Lalu, apakah Anda pernah bertanya, mengapa jari-jari tangan ini berbeda-beda? Ya, jelas bentuk yang berbeda menandakan fungsi yang berbeda. Namun, ada kalanya karena fungsi yang berbeda salah satunya menganggap diri paling hebat, paling keren! Jempol, menganggap diri paling oke. Jelas, aku yang paling besar di antara kalian, segala sesuatu yang hebat dan keren, akulah yang diacungkan. Oop, tunggu dulu! Sahut si telunjuk, "bolehlah kamu paling besar dan paling hebat. Tapi nyatanya, akulah yang bisa memerintah. Namanya telunjuk! Jelas, aku bisa menunjuk dan memerintah!"
"Tunggu dulu!" kata si jari tengah, coba kalian realistis. Mari kita sama-sama berdiri, siapa yang pling tinggi di antara kita? Siapa yang punya posisi paling strategis? Jelas, bukan kalian! Akulah yang paling tinggi!"
"Apa yang kalian perdebatkan tidak ada artinya jika dibandingkan dengan aku. Bolehlah kalian paling besar, hebat, tinggi. Tapi, buat apa kalau tidak disayang? Aku, si jari manis, namanya saja jari manis, ya jelas paling manis. Hanya aku yang diberi cincin, kalian tidak!"
"Benar, aku paling kecil di antara kalian," kata kelingking yang dari tadi menunggu giliran bicara, "namun jangan sekali-kali meremehkan fungsiku. Coba tanya jemaat yang hadir di ruang kebaktian ini, pasti mereka tahu apa fungsiku. Sangat dibutuhkan oleh tubuh manusia!
Begitulah cerita perdebatan imajiner tentang jari-jari yang dapat menggambarkan kehidupan komunitas baik persekutuan orang beragama maupun kehidupan berbangsa dan bernegara. Semua mempunyai kecenderungan untuk membanggakan diri sendiri, kelompok, ras, atau golongannya. Setidaknya ini yang tergambar dalam surat Rasul Paulus kepada jemaat di kota Roma. Di sana Paulus harus mengingatkan mereka, "Sebab sama seperti pada satu tubuh kita mempunyai banyak anggota, tetapi tidak semua anggota itu mempunyai tugas yang sama, demikian juga kita, walaupun banyak, adalah satu tubuh di dalam Kristus; tetapi kita masing-masing adalah anggota yang seorang terhadap yang lain." (Roma 12:4,5).
Apa gerangan yang terjadi dalam Jemaat Tuhan di kota Roma sehingga Paulus mengingatkan mereka seperti itu? Soetonius seorang sejarahwan Romawi pernah menulis bahwa pada tahun 49 M, Kaisar Claudius mengusir semua orang Yahudi dari kota Roma karena mereka bertengkar atas hasutan seorang yang bernama "Krestus" (Kis. 18:2). Jadi, di kota Roma sebelum tahun 49, sudah ada orang-orang Kristen termasuk mereka yang berasal dari orang-orang Yahudi meskipun jumlah mereka tidak terlalu banyak.
Pada waktu Paulus menulis suratnya, tampaknya orang-orang Yahudi sudah diperbolehkan kembali masuk kota Roma. Maka, jemaat di kota Roma itu terdiri dari orang-orang Yahudi dan juga bukan orang Yahudi. Kemungkinan jumlah orang-orang non Yahudi dalam jemaat itu jumlahnya lebih banyak.
Orang-orang Yahudi menolak Injil yang diberitakan oleh Paulus, lagi pula mereka membenci Paulus. Buat mereka, Paulus adalah seorang yang murtad, sebab Paulus telah merampas buah proselitisme yang telah mereka perjuangkan. Artinya, karena pemberitaan Injil yang dilakukan Paulus, orang-orang non Yahudi di Roma tidak jadi masuk dan memeluk Yudaisme. Banyak di antara mereka yang sudah berminat masuk Yahudi, malah menerima tanda sunat, akhirnya batal! Gara-gara itulah orang Yahudi merencanakan pembunuhan terhadap Paulus (Kis. 20:3). Di sinilah Paulus memohon agar Jemaat mendoakannya.
Bagaimana dengan orang-orang Yahudi yang telah menerima Injil? Ternyata tidak mudah. Mereka tidak mau menerima pandangan Paulus yang mengatakan bahwa Injil meniadakan eklusifitas Israel selaku umat Allah. Mereka bersikukuh bahwa kedatangan dan karya Yesus itu tidak mengubah status mereka sebagai umat istimewa, umat pilihan Allah. Yesus dan karya-Nya tidak serta-merta meniadakan kewajiban orang percaya untuk memelihara seluruh Taurat. Maka, mereka tetap menuntut supaya orang-orang kafir yang telah menjadi percaya kepada Yesus Kristus tetap menjalankan syareat hukum Yahudi dengan jalan disunat, memelihara seluruh perintah Taurat. Bagi mereka, gereja seakan-akan umat Israel yang telah bertobat dan dibarui! Mereka tidak hanya menolak Paulus, tetapi membencinya juga. Sebab, Paulus merongrong eksklusifitas umat Israel dan tidak mengharuskan orang-orang non Yahudi yang telah menerima Injil untuk memelihara hukum Taurat. Akhirnya, kelompok ini menghasut jemaat-jemaat yang didirikan Paulus, mereka menghasut tokoh-tokoh Kristen Yahudi di Yerusalem. DI sinilah Paulus berbicara tentang "berderap satu, melangkah maju".
Saya kira dalam setiap komunitas akan tetap ada orang-orang yang berpikiran eksklusif. Merasa diri paling berperan, perintis, pendiri, tokoh, kelompok-kelompok yang merasa diri paling penting dan dominan, sehingga sulit ditembus oleh orang atau kelompok yang berbeda. Mengingat sejarahnya, GKI setidaknya itu tertuang dalam kebulatan hati para leluhur dan pendahulu kita yang mengikrarkan gereja yang mulanya bernuansa etnis Tionghoa, Tionghoa Kie Tok Kwau Hwee menjadi Gereja Kristen Indonesia pada tahun 1950. Ini dilakukan bukan sekedar punya warna Indonesia. Tetapi dalam semangat Sumpah Pemuda. Dengan memakai nama Gereja Kristen Indonesia, bukan Gereja Kristen di Indonesia, GKI menyadari bahwa dirinya bukan lagi perwakilan gereja Belanda yang ada di Indonesia, kendati pun lembaga pekabaran Injil semua berasal dari orang-orang Belanda. GKI juga bukan gereja orang-orang Tionghoa yang ada di Indonesia. Bukan itu!
Sebagaimana Paulus menggumuli kehidupan orang Kristen di kota Roma: di dalam Yesus tidak ada eksklusifisme, di dalam Yesus tidak ada kelompok yang lebih unggul, di hadapan Yesus semua sama! GKI sebagai gereja Indonesia seharusnya merupakan bagian dari segenap dinamika dan pergumulan serta pembangunan bangsa dan negara Indonbesia. GKI telah memberikan sumbangsih contoh penyatuan, yakni yang hari ini kita rayakan bersama. Sangat sedikit di dunia ini, ada gereja yang menyatukan diri. GKI contohnya dari tiga sinode menjadi satu. Yang banyak ditampilkan adalah perpecahan demi perpecahan di dalam gereja.
Berkaca dari surat Paulus, sebenarnya yang menjadi musuh utama gereja bukanlah pendindasan, penganiayaan dan tekanan dari luar gereja. Bukan! Musuh utama gereja adalah perpecahan, tidak bisa berderap satu, masing-masing ingin menonjolkan diri!
Seperti jari-jari kita berbeda, demikian juga dengan kehidupan jemaat dan komunitas orang percaya itu berbeda-beda. Di sinilah kita - sama seperti nasihat Paulus - harus meletakkannya dalam wawasan fungsional anggota-anggota tubuh yang memang diberi peran dan kontribusi yang berbeda-beda. Perbedaan itu bukan musibah atau ancaman, tetap kekayaan yang Tuhan berikan kepada kita. Tinggal kini, kita dapat mengelolanya dengan baik. Menempatkannya dalam fungsi masing-masing dengan proposional.
Sebaliknya, setiap anggota harus menyadari bahwa
masing-masing memiliki tempat dan tugasnya untuk kebaikan tubuh secara
keseluruhan dan kebaikan masing-masing anggota lain. Kita tidak saja menjadi
anggota tubuh Kristus, tetapi juga kita menjadi anggota-anggota yang seorang
terhadap yang lain. Kita terikat dalam relasi satu dengan yang lain. Kita
terpanggil untuk melakukan semua yang baik sebagai persembahan yang hidup,
kudus dan berkenan kepada-Nya. Oleh karena itu kita tidak boleh menyombongkan diri
dengan meninggikan pencapaian dan prestasi diri. Karena apa pun yang kita
punyai, jika kita menerimanya, maka kita menerimanya bukan untuk diri sendiri,
melainkan untuk kebaikan bersama!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar