Jumat, 25 Agustus 2023

BERDERAP SATU, MELANGKAH MAJU

Bacaan : Roma 12:3-8

Coba kita angkat telapak tangan kita. Perhatikan dengan saksama jari-jari yang ada pada tangan kita. Pernahkah Anda bertanya: Mengapa jari-jari ini berbeda? Ada yang gemuk, kurus tinggi, kecil. Pernahkah Anda bayangkan kalau jari-jari ini jempol semuanya? Atau kelingking semuanya, apa jadinya? Lucu? Gak, juga. Aneh iya!

Lalu, apakah Anda pernah bertanya, mengapa jari-jari tangan ini berbeda-beda? Ya, jelas bentuk yang berbeda menandakan fungsi yang berbeda. Namun, ada kalanya karena fungsi yang berbeda salah satunya menganggap diri paling hebat, paling keren! Jempol, menganggap diri paling oke. Jelas, aku yang paling besar di antara kalian, segala sesuatu yang hebat dan keren, akulah yang diacungkan. Oop, tunggu dulu! Sahut si telunjuk, "bolehlah kamu paling besar dan paling hebat. Tapi nyatanya, akulah yang bisa memerintah. Namanya telunjuk! Jelas, aku bisa menunjuk dan memerintah!"

"Tunggu dulu!" kata si jari tengah, coba kalian realistis. Mari kita sama-sama berdiri, siapa yang pling tinggi di antara kita? Siapa yang punya posisi paling strategis? Jelas, bukan kalian! Akulah yang paling tinggi!"

"Apa yang kalian perdebatkan tidak ada artinya jika dibandingkan dengan aku. Bolehlah kalian paling besar, hebat, tinggi. Tapi, buat apa kalau tidak disayang? Aku, si jari manis, namanya saja jari manis, ya jelas paling manis. Hanya aku yang diberi cincin, kalian tidak!"

"Benar, aku paling kecil di antara kalian," kata kelingking yang dari tadi menunggu giliran bicara, "namun jangan sekali-kali meremehkan fungsiku. Coba tanya jemaat yang hadir di ruang kebaktian ini, pasti mereka tahu apa fungsiku. Sangat dibutuhkan oleh tubuh manusia! 

Begitulah cerita perdebatan imajiner tentang jari-jari yang dapat menggambarkan kehidupan komunitas baik persekutuan orang beragama maupun kehidupan berbangsa dan bernegara. Semua mempunyai kecenderungan untuk membanggakan diri sendiri, kelompok, ras, atau golongannya. Setidaknya ini yang tergambar dalam surat Rasul Paulus kepada jemaat di kota Roma. Di sana Paulus harus mengingatkan mereka, "Sebab sama seperti pada satu tubuh kita mempunyai banyak anggota, tetapi tidak semua anggota itu mempunyai tugas yang sama, demikian juga kita, walaupun banyak, adalah satu tubuh di dalam Kristus; tetapi kita masing-masing adalah anggota yang seorang terhadap yang lain." (Roma 12:4,5).

Apa gerangan yang terjadi dalam Jemaat Tuhan di kota Roma sehingga Paulus mengingatkan mereka seperti itu? Soetonius seorang sejarahwan Romawi pernah menulis bahwa pada tahun 49 M, Kaisar Claudius mengusir semua orang Yahudi dari kota Roma karena mereka bertengkar atas hasutan seorang yang bernama "Krestus" (Kis. 18:2). Jadi, di kota Roma sebelum tahun 49, sudah ada orang-orang Kristen termasuk mereka yang berasal dari orang-orang Yahudi meskipun jumlah mereka tidak terlalu banyak.

Pada waktu Paulus menulis suratnya, tampaknya orang-orang Yahudi sudah diperbolehkan kembali masuk kota Roma. Maka, jemaat di kota Roma itu terdiri dari orang-orang Yahudi dan juga bukan orang Yahudi. Kemungkinan jumlah orang-orang non Yahudi dalam jemaat itu jumlahnya lebih banyak.

Orang-orang Yahudi menolak Injil yang diberitakan oleh Paulus, lagi pula mereka membenci Paulus. Buat mereka, Paulus adalah seorang yang murtad, sebab Paulus telah merampas buah proselitisme yang telah mereka perjuangkan. Artinya, karena pemberitaan Injil yang dilakukan Paulus, orang-orang non Yahudi di Roma tidak jadi masuk dan memeluk Yudaisme. Banyak di antara mereka yang sudah berminat masuk Yahudi, malah menerima tanda sunat, akhirnya batal! Gara-gara itulah orang Yahudi merencanakan pembunuhan terhadap Paulus (Kis. 20:3). Di sinilah Paulus memohon agar Jemaat mendoakannya.

Bagaimana dengan orang-orang Yahudi yang telah menerima Injil? Ternyata tidak mudah. Mereka tidak mau menerima pandangan Paulus yang mengatakan bahwa Injil meniadakan eklusifitas Israel selaku umat Allah. Mereka bersikukuh bahwa kedatangan dan karya Yesus itu tidak mengubah status mereka sebagai umat istimewa, umat pilihan Allah. Yesus dan karya-Nya tidak serta-merta meniadakan kewajiban orang percaya untuk memelihara seluruh Taurat. Maka, mereka tetap menuntut supaya orang-orang kafir yang telah menjadi percaya kepada Yesus Kristus tetap menjalankan syareat hukum Yahudi dengan jalan disunat, memelihara seluruh perintah Taurat. Bagi mereka, gereja seakan-akan umat Israel yang telah bertobat dan dibarui! Mereka tidak hanya menolak Paulus, tetapi membencinya juga. Sebab, Paulus merongrong eksklusifitas umat Israel dan tidak mengharuskan orang-orang non Yahudi yang telah menerima Injil untuk memelihara hukum Taurat. Akhirnya, kelompok ini menghasut jemaat-jemaat yang didirikan Paulus, mereka menghasut tokoh-tokoh Kristen Yahudi di Yerusalem. DI sinilah Paulus berbicara tentang "berderap satu, melangkah maju".

Saya kira dalam setiap komunitas akan tetap ada orang-orang yang berpikiran eksklusif. Merasa diri paling berperan, perintis, pendiri, tokoh, kelompok-kelompok yang merasa diri paling penting dan dominan, sehingga sulit ditembus oleh orang atau kelompok yang berbeda. Mengingat sejarahnya, GKI setidaknya itu tertuang dalam kebulatan hati para leluhur dan pendahulu kita yang mengikrarkan gereja yang mulanya bernuansa etnis Tionghoa, Tionghoa Kie Tok Kwau Hwee menjadi Gereja Kristen Indonesia pada tahun 1950. Ini dilakukan bukan sekedar punya warna Indonesia. Tetapi dalam semangat Sumpah Pemuda. Dengan memakai nama Gereja Kristen Indonesia, bukan Gereja Kristen di Indonesia, GKI menyadari bahwa dirinya bukan lagi perwakilan gereja Belanda yang ada di Indonesia, kendati pun lembaga pekabaran Injil semua berasal dari orang-orang Belanda. GKI juga bukan gereja orang-orang Tionghoa yang ada di Indonesia. Bukan itu!

Sebagaimana Paulus menggumuli kehidupan orang Kristen di kota Roma: di dalam Yesus tidak ada eksklusifisme, di dalam Yesus tidak ada kelompok yang lebih unggul, di hadapan Yesus semua sama! GKI sebagai gereja Indonesia seharusnya merupakan bagian dari segenap dinamika dan pergumulan serta pembangunan bangsa dan negara Indonbesia. GKI telah memberikan sumbangsih contoh penyatuan, yakni yang hari ini kita rayakan bersama. Sangat sedikit di dunia ini, ada gereja yang menyatukan diri. GKI contohnya dari tiga sinode menjadi satu. Yang banyak ditampilkan adalah perpecahan demi perpecahan di dalam gereja. 

Berkaca dari surat Paulus, sebenarnya yang menjadi musuh utama gereja bukanlah pendindasan, penganiayaan dan tekanan dari luar gereja. Bukan! Musuh utama gereja adalah perpecahan, tidak bisa berderap satu, masing-masing ingin menonjolkan diri!

Seperti jari-jari kita berbeda, demikian juga dengan kehidupan jemaat dan komunitas orang percaya itu berbeda-beda. Di sinilah kita - sama seperti nasihat Paulus - harus meletakkannya dalam wawasan fungsional anggota-anggota tubuh yang memang diberi peran dan kontribusi yang berbeda-beda. Perbedaan itu bukan musibah atau ancaman, tetap kekayaan yang Tuhan berikan kepada kita. Tinggal kini, kita dapat mengelolanya dengan baik. Menempatkannya dalam fungsi masing-masing dengan proposional.

Sebaliknya, setiap anggota harus menyadari bahwa masing-masing memiliki tempat dan tugasnya untuk kebaikan tubuh secara keseluruhan dan kebaikan masing-masing anggota lain. Kita tidak saja menjadi anggota tubuh Kristus, tetapi juga kita menjadi anggota-anggota yang seorang terhadap yang lain. Kita terikat dalam relasi satu dengan yang lain. Kita terpanggil untuk melakukan semua yang baik sebagai persembahan yang hidup, kudus dan berkenan kepada-Nya. Oleh karena itu kita tidak boleh menyombongkan diri dengan meninggikan pencapaian dan prestasi diri. Karena apa pun yang kita punyai, jika kita menerimanya, maka kita menerimanya bukan untuk diri sendiri, melainkan untuk kebaikan bersama!

 (Khotbah HUT ke-35 Penyatuan GKI di GKI Gejayan/Pakuwon Mall)


Rabu, 23 Agustus 2023

GKI SEBAGAI GEREJA PERSEKUTUAN YANG MISIONER

Pernahkah Anda mendaki gunung dan berada di puncaknya? Jika Anda berdiri di puncak gunung, Anda akan memiliki satu sudut pandang. Anda dapat melihat leluasa, jika tidak ada awan Anda akan bisa melihat jauh batas bumi dan cakrawala. Ini berbeda ketika Anda berdiri di bawah ngarai atau jurang, maka Anda akan memiliki sudut pandang yang relatif kecil. Pandangan Anda terhalang dinding-dinding ngarai yang megah itu. Jika Anda berdiri di tengah padang rumput, savana ini pun akan menghasilkan citra penglihatan yang berbeda.

Jika Anda seorang pebisnis, umur tiga puluh lima, tinggal di kawasan pemukiman elit maka Anda akan memiliki sudut pandang yang berbeda dibanding para driver ojek online yang tinggal di kos-kosan kumuh. Anda seorang gadis remaja tinggal di kawasan hiburan malam pasti punya sudut pandang berbeda tentang pergaulan ketimbang teman sebaya Anda yang tinggal bersama orang tua yang rajin beribadah.

Pertanyaan yang tampaknya sulit dijawab adalah: sudut pandang manakah yang terbaik? Pertanyaan ini tidak mudah dijawab oleh karena masing-masing ada kebenarannya dan masing-masing ada keterbatasannya. Pertanyaan ini tidak mudah dijawab oleh karena pendapat terbaik adalah pendapat yang dihasilkan dari pengalaman, nilai, budaya, dan sudut pandang Anda sendiri. Namun, pada waktu yang sama, kita menyadari bahwa ini merupakan sebuah sudut pandang yang berbeda.

Peristiwa di Kaisarea Filipi memperlihatkan pelbagai sudut pandang mengenai Yesus. Di ujung wilayah utara Israel yang berbatasan dengan Siria, Yesus bertanya tentang pendapat orang mengenai jati diri-Nya, "Kata orang, siapakah Anak Manusia itu?" (Matius 16:13b). Di kota yang berjarak 40 km dari Danau Galilea itu mereka melihat Yesus bagaikan sosok Yohanes Pembaptis yang bangkit kembali setelah dipenggal kepalanya oleh Herodes. Raja Herodes Antipas yang dihantui rasa bersalah itu yakin bahwa Yesus adalah penjelmaan orang yang dia bunuh itu. Tentu saja pendapatnya berpengaruh terhadap orang-orang di sekitarnya.

Tidak! Yohanes Pembaptis tidak pernah bangkit lagi. Para ahli kitab punya sudut pandang berbeda. Bukankah kitab suci mengatakan bahwa di akhir zaman Elia, seorang nabi besar itu akan muncul? "Sesungguhnya Aku akan mengutus nabi Elia kepadamu menjelang datangnya hari TUHAN yang besar dan dahsyat itu." (Maleakhi 4:5). Kelompok lain yang mengamati Yesus yang ditolak di Galilea, menyingkir setelah Yohanes Pembaptis dibunuh dan pelbagai upaya pembunuhan terhadap diri-Nya, ini mirip dengan Yeremia. Selama dua abad menjelang Yesus berkarya, Yeremia sangat populer di kalangan umat Yahudi. Namun, ia ditolak dan menderita sehingga figurnya dapat saja menjadi semacam nubuat tentang ditolak dan sengsaranya Sang Mesias itu. Dari semua jawaban atau pendapat umum orang Yahudi pada waktu itu mudah disimpulkan bahwa bangsa Yahudi tidak cukup menangkap ajaran dan pernyataan Yesus. Namun, apa yang dilakukan Yesus setidaknya menimbulkan efek tertentu, sehingga Ia diakui sebagai nabi atau utusan Allah.

Sekarang, Yesus beralih kepada murid-murid-Nya, "Apa katamu, siapakah Aku ini?" (Matius 16:15). Tentu saja pengalaman para murid yang terhubung begitu dekat dengan Yesus mempunyai sudut pandang dan jarak pandang yang berbeda dari kebanyakan orang. Seperti biasa, Simon Petrus mewakili teman-temannya tampil dan menjawab, "Engkaulah Mesias, Anak Allah yang hidup!" (Matius 16:16).  Dalam pengakuan Petrus, gelar Anak Manusia dan Mesias untuk pertama kalinya disatukan dengan Anak Allah, "Anak Allah yang hidup".  Allah diakui oleh umat Israel sebagai Allah yang hidup dan menghidupkan.

"Berbahagialah engkau Simon bin Yunus, sebab bukan manusia yang menyatakan itu kepadamu, melainkan Bapa-Ku yang di surga." (Matius 16:17). Simon disebut sebagai orang yang berbahagia karena pengakuannya atas diri Yesus sebagai Mesias, Anak Allah yang hidup. Hal ini diyakini bukan berasal dari dirinya, melainkan Bapa yang menyatakannya. Sekali lagi ucapan Yesus digenapi, "... karena semua itu Engkau sembunyikan bagi orang bijak dan orang pandai, tetapi Engkau nyatakan kepada orang kecil." (Matius 11:25). Bapa berkenan menyatakan jati diri Yesus kepada Simon seorang nelayan Galilea!

Selanjutnya Yesus berujar, "Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya." (Matius 16:18). Simon diakui sebagai Petrus, batu karang, suatu pengakuan yang diiringi dengan janji bahwa di atas petra (batu karang) itu Yesus akan mendirikan jemaat-Nya. Karena didirikan di atas batu karang, jemaat tidak akan runtuh meskipun dirongrong oleh kuasa maut. Lalu, apa yang sesungguhnya "batu karang" itu? Apakah Yesus yang berbicara kepada Petrus itu menunjuk tempat berdirinya Petrus yang di atas petra itu, sehingga di tempat itu menjadi pusat berdirinya jemaat Yesus? Rasanya tidak demikian.

Apa dan siapa "batu karang" itu telah menjadi perdebatan panjang. Banyak orang mengatakan, jelas yang dimaksud batu karang itu adalah Petrus sendiri, maka Petruslah yang kemudian akan menjadi pemimpin jemaat Yesus. Ah, masa iya? Petrus yang disebut batu karang itu sebentar lagi justru akan menghalangi jalan penderitaan Yesus. Ia seorang yang labil! Bahkan, nantinya Petrus tiga kali menyangkal Yesus. Lalu, pada abad pertengahan para ahli tafsir sepakat bahwa yang disebut "batu karang" sendiri adalah Yesus Kristus. Hal ini mengacu pada 1 Korintus 10:4, "batu karang itu ialah Kristus." Ya, tentu saja kita meyakini bahwa Yesuslah dasar utama bagi kehidupan orang percaya. Dialah batu penjuru, dasar yang kokoh dan batu karang sejati!

Namun, bagaimanakah umat percaya, jemaat Tuhan dan gereja dapat bertahan dari alam maut? Tidak lain: iman kepada Sang Batu Karang! Iman seperti apa? Dalam konteks percakapan Yesus dengan Petrus adalah iman yang dinyatakan oleh Bapa sendiri, yakni: Engkaulah Mesias, Anak Allah yang hidup! Ketika gereja berpegang pada pengakuan dan iman seperti ini, maka jelas alam maut tidak akan menguasainya. Gereja diberi wewenang dan tanggungjawab untuk melanjutkan karya Kristus di muka bumi ini.

Gereja hadir di muka bumi pada hakikatnya menjalankan misi Allah yang ingin menyelamatkan sebanyak mungkin orang. GKI adalah gereja yang hadir di bumi pertiwi, Indonesia. Pada dirinya sendiri GKI tidak punya misi yang secara khusus untuk kepentingan GKI itu sendiri, misi yang dilakukan merupakan misi Allah dalam konteks Indonesia. Maka masing-masing setiap kita terpanggil menghidupi misi itu dengan dasar iman kepada Yesus Kristus. Dan untuk menjalani misi itu, masing-masing kita diberi peran yang berbeda, "Sebab sama seperti pada satu tubuh kita mempunyai banyak anggota, tetapi tidak semua anggota itu mempunyai tugas yang sama, demikian juga kita, walaupun banyak, adalah satu tubuh di dalam Kristus; tetapi kita adalah anggota yang seorang terhadap yang lain." (Roma 12:4,5).

Gereja yang benar adalah gereja yang bertumpu pada pengakuan Yesus Kristus sebagai Mesias dan Anak Allah yang hidup. Meminjam catatan Paulus, gereja yang sehat adalah ketika setiap umat terpanggil untuk hidup bersama dalam pelbagai keragaman membangun di atas dasar iman itu. Umat Tuhan terpanggil untuk menyerahkan diri mereka sebagai persembahan yang hidup bagi pembangunan tubuh Kristus yang adalah jemaat itu sendiri.

GKI menjadi persekutuan gereja yang misioner bukan dalam arti anggota-anggota jemaatnya menyerahkan kegiatan misi gereja kepada satu badan atau lembaga pelayanan misi. Tidak demikian! Dalam kesadaran sebagai tubuh Kristus, setiap anggota jemaat berperan dalam kapasitas masing-masing sambil menyadari bahwa kita adalah satu tubuh dengan fungsi anggota yang berbeda-beda, bahu-membahu melayani dan menyaksikan Injil Yesus Kristus melalui kata dan perbuatan, hidup dan prilaku yang memuliakan Tuhan sehingga benar-benar menjadi persembahan yang hidup, kudus dan harum bagi kemuliaan nama-Nya. Selamat Hari Ulang Tahun ke-35 Penyatuan GKI!

Jakarta, 23 Agustus 2023. Minggu biasa tahun A