Rabu, 23 Agustus 2023

GKI SEBAGAI GEREJA PERSEKUTUAN YANG MISIONER

Pernahkah Anda mendaki gunung dan berada di puncaknya? Jika Anda berdiri di puncak gunung, Anda akan memiliki satu sudut pandang. Anda dapat melihat leluasa, jika tidak ada awan Anda akan bisa melihat jauh batas bumi dan cakrawala. Ini berbeda ketika Anda berdiri di bawah ngarai atau jurang, maka Anda akan memiliki sudut pandang yang relatif kecil. Pandangan Anda terhalang dinding-dinding ngarai yang megah itu. Jika Anda berdiri di tengah padang rumput, savana ini pun akan menghasilkan citra penglihatan yang berbeda.

Jika Anda seorang pebisnis, umur tiga puluh lima, tinggal di kawasan pemukiman elit maka Anda akan memiliki sudut pandang yang berbeda dibanding para driver ojek online yang tinggal di kos-kosan kumuh. Anda seorang gadis remaja tinggal di kawasan hiburan malam pasti punya sudut pandang berbeda tentang pergaulan ketimbang teman sebaya Anda yang tinggal bersama orang tua yang rajin beribadah.

Pertanyaan yang tampaknya sulit dijawab adalah: sudut pandang manakah yang terbaik? Pertanyaan ini tidak mudah dijawab oleh karena masing-masing ada kebenarannya dan masing-masing ada keterbatasannya. Pertanyaan ini tidak mudah dijawab oleh karena pendapat terbaik adalah pendapat yang dihasilkan dari pengalaman, nilai, budaya, dan sudut pandang Anda sendiri. Namun, pada waktu yang sama, kita menyadari bahwa ini merupakan sebuah sudut pandang yang berbeda.

Peristiwa di Kaisarea Filipi memperlihatkan pelbagai sudut pandang mengenai Yesus. Di ujung wilayah utara Israel yang berbatasan dengan Siria, Yesus bertanya tentang pendapat orang mengenai jati diri-Nya, "Kata orang, siapakah Anak Manusia itu?" (Matius 16:13b). Di kota yang berjarak 40 km dari Danau Galilea itu mereka melihat Yesus bagaikan sosok Yohanes Pembaptis yang bangkit kembali setelah dipenggal kepalanya oleh Herodes. Raja Herodes Antipas yang dihantui rasa bersalah itu yakin bahwa Yesus adalah penjelmaan orang yang dia bunuh itu. Tentu saja pendapatnya berpengaruh terhadap orang-orang di sekitarnya.

Tidak! Yohanes Pembaptis tidak pernah bangkit lagi. Para ahli kitab punya sudut pandang berbeda. Bukankah kitab suci mengatakan bahwa di akhir zaman Elia, seorang nabi besar itu akan muncul? "Sesungguhnya Aku akan mengutus nabi Elia kepadamu menjelang datangnya hari TUHAN yang besar dan dahsyat itu." (Maleakhi 4:5). Kelompok lain yang mengamati Yesus yang ditolak di Galilea, menyingkir setelah Yohanes Pembaptis dibunuh dan pelbagai upaya pembunuhan terhadap diri-Nya, ini mirip dengan Yeremia. Selama dua abad menjelang Yesus berkarya, Yeremia sangat populer di kalangan umat Yahudi. Namun, ia ditolak dan menderita sehingga figurnya dapat saja menjadi semacam nubuat tentang ditolak dan sengsaranya Sang Mesias itu. Dari semua jawaban atau pendapat umum orang Yahudi pada waktu itu mudah disimpulkan bahwa bangsa Yahudi tidak cukup menangkap ajaran dan pernyataan Yesus. Namun, apa yang dilakukan Yesus setidaknya menimbulkan efek tertentu, sehingga Ia diakui sebagai nabi atau utusan Allah.

Sekarang, Yesus beralih kepada murid-murid-Nya, "Apa katamu, siapakah Aku ini?" (Matius 16:15). Tentu saja pengalaman para murid yang terhubung begitu dekat dengan Yesus mempunyai sudut pandang dan jarak pandang yang berbeda dari kebanyakan orang. Seperti biasa, Simon Petrus mewakili teman-temannya tampil dan menjawab, "Engkaulah Mesias, Anak Allah yang hidup!" (Matius 16:16).  Dalam pengakuan Petrus, gelar Anak Manusia dan Mesias untuk pertama kalinya disatukan dengan Anak Allah, "Anak Allah yang hidup".  Allah diakui oleh umat Israel sebagai Allah yang hidup dan menghidupkan.

"Berbahagialah engkau Simon bin Yunus, sebab bukan manusia yang menyatakan itu kepadamu, melainkan Bapa-Ku yang di surga." (Matius 16:17). Simon disebut sebagai orang yang berbahagia karena pengakuannya atas diri Yesus sebagai Mesias, Anak Allah yang hidup. Hal ini diyakini bukan berasal dari dirinya, melainkan Bapa yang menyatakannya. Sekali lagi ucapan Yesus digenapi, "... karena semua itu Engkau sembunyikan bagi orang bijak dan orang pandai, tetapi Engkau nyatakan kepada orang kecil." (Matius 11:25). Bapa berkenan menyatakan jati diri Yesus kepada Simon seorang nelayan Galilea!

Selanjutnya Yesus berujar, "Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya." (Matius 16:18). Simon diakui sebagai Petrus, batu karang, suatu pengakuan yang diiringi dengan janji bahwa di atas petra (batu karang) itu Yesus akan mendirikan jemaat-Nya. Karena didirikan di atas batu karang, jemaat tidak akan runtuh meskipun dirongrong oleh kuasa maut. Lalu, apa yang sesungguhnya "batu karang" itu? Apakah Yesus yang berbicara kepada Petrus itu menunjuk tempat berdirinya Petrus yang di atas petra itu, sehingga di tempat itu menjadi pusat berdirinya jemaat Yesus? Rasanya tidak demikian.

Apa dan siapa "batu karang" itu telah menjadi perdebatan panjang. Banyak orang mengatakan, jelas yang dimaksud batu karang itu adalah Petrus sendiri, maka Petruslah yang kemudian akan menjadi pemimpin jemaat Yesus. Ah, masa iya? Petrus yang disebut batu karang itu sebentar lagi justru akan menghalangi jalan penderitaan Yesus. Ia seorang yang labil! Bahkan, nantinya Petrus tiga kali menyangkal Yesus. Lalu, pada abad pertengahan para ahli tafsir sepakat bahwa yang disebut "batu karang" sendiri adalah Yesus Kristus. Hal ini mengacu pada 1 Korintus 10:4, "batu karang itu ialah Kristus." Ya, tentu saja kita meyakini bahwa Yesuslah dasar utama bagi kehidupan orang percaya. Dialah batu penjuru, dasar yang kokoh dan batu karang sejati!

Namun, bagaimanakah umat percaya, jemaat Tuhan dan gereja dapat bertahan dari alam maut? Tidak lain: iman kepada Sang Batu Karang! Iman seperti apa? Dalam konteks percakapan Yesus dengan Petrus adalah iman yang dinyatakan oleh Bapa sendiri, yakni: Engkaulah Mesias, Anak Allah yang hidup! Ketika gereja berpegang pada pengakuan dan iman seperti ini, maka jelas alam maut tidak akan menguasainya. Gereja diberi wewenang dan tanggungjawab untuk melanjutkan karya Kristus di muka bumi ini.

Gereja hadir di muka bumi pada hakikatnya menjalankan misi Allah yang ingin menyelamatkan sebanyak mungkin orang. GKI adalah gereja yang hadir di bumi pertiwi, Indonesia. Pada dirinya sendiri GKI tidak punya misi yang secara khusus untuk kepentingan GKI itu sendiri, misi yang dilakukan merupakan misi Allah dalam konteks Indonesia. Maka masing-masing setiap kita terpanggil menghidupi misi itu dengan dasar iman kepada Yesus Kristus. Dan untuk menjalani misi itu, masing-masing kita diberi peran yang berbeda, "Sebab sama seperti pada satu tubuh kita mempunyai banyak anggota, tetapi tidak semua anggota itu mempunyai tugas yang sama, demikian juga kita, walaupun banyak, adalah satu tubuh di dalam Kristus; tetapi kita adalah anggota yang seorang terhadap yang lain." (Roma 12:4,5).

Gereja yang benar adalah gereja yang bertumpu pada pengakuan Yesus Kristus sebagai Mesias dan Anak Allah yang hidup. Meminjam catatan Paulus, gereja yang sehat adalah ketika setiap umat terpanggil untuk hidup bersama dalam pelbagai keragaman membangun di atas dasar iman itu. Umat Tuhan terpanggil untuk menyerahkan diri mereka sebagai persembahan yang hidup bagi pembangunan tubuh Kristus yang adalah jemaat itu sendiri.

GKI menjadi persekutuan gereja yang misioner bukan dalam arti anggota-anggota jemaatnya menyerahkan kegiatan misi gereja kepada satu badan atau lembaga pelayanan misi. Tidak demikian! Dalam kesadaran sebagai tubuh Kristus, setiap anggota jemaat berperan dalam kapasitas masing-masing sambil menyadari bahwa kita adalah satu tubuh dengan fungsi anggota yang berbeda-beda, bahu-membahu melayani dan menyaksikan Injil Yesus Kristus melalui kata dan perbuatan, hidup dan prilaku yang memuliakan Tuhan sehingga benar-benar menjadi persembahan yang hidup, kudus dan harum bagi kemuliaan nama-Nya. Selamat Hari Ulang Tahun ke-35 Penyatuan GKI!

Jakarta, 23 Agustus 2023. Minggu biasa tahun A

Rabu, 16 Agustus 2023

MENJADI JEMBATAN BAGI BANGSAKU

Semakin dekat pemilihan umum, semakin menguat dukungan kelompok-kelompok atau partai-partai tertentu pada calon-calon presiden yang diusung mereka. Pelbagai cara dilakukan baik oleh calon maupun pendukungnya untuk mendulang suara sebanyak-banyaknya. Meski banyak pakar dan pengamat politik mewanti-wanti untuk tidak menggunakan politik idendentitas, tampaknya pemilu kali ini pun tidak terhindar dari isu tersebut. Politik identitas adalah kegiatan politik, tentu saja untuk memenangi pemilu, dengan mengusuk identitas kelompok berdasarkan etnis, ras, suku, hingga agama. 

Politik identitas ditengarai menjadi biang keladi pemecah-belah kehidupan berbangsa sebab akan menghasilkan polarisasi yang saling berhadap-hadapan. Masyarakat mudah termakan berita bohong, pencemaran nama baik, ujaran kebencian dan seterusnya. Dampak poliutik identitas sangat serius karena satu golongan dapat menyerang golongan lainnya yang menimbulkan diskriminasi dan radikalisasi. 

Bila kita cermati akar politik identitas telah lama tumbuh dalam sejarah peradaban manusia. Dari keyakinan sebagai ras atau bangsa pilihan sampai pada faham Chauvinisme terus bergulir. Intinya hanya kelompok, golongan, ras, ideologi diri merekalah yang paling unggul di muka bumi, yang lain pelengkap saja atau bahkan layak disamakan dengan hewan! Begitulah sepintas yang tergambar dalam bacaan Injil hari ini (Matius 15:21-28). Dalam budaya dan spirit "politik identitas", kelompok-kelompok akan membangun tembok-tembok pemisah, peradaban mereka hanya boleh dikelola oleh kelompok sendiri dan demi komunitasnya sendiri.

Kelompok Yahudi meyakini sebagai bangsa dan ras yang lebih unggul dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain di sekitar mereka. Status umat pilihan Allah melekat kuat di setiap dada orang Yahudi, termasuk para murid Yesus. Sehingga, tidak mengherankan ketika ada seorang ibu berkebangsaan Kanaan, atau dalam catatan Injil Markus seorang Siro-Fenisia yang sedang membutuhkan pertolongan segera untuk anaknya. Mereka merasa terganggu. Para murid ini mengusulkan agar Yesus mengusir perempuan malang ini karena mengganggu kenyamanan mereka.

Tembok yang memisahkan komunitas umat pilihan dengan goyim (bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah) terlihat begitu jelas ketika Yesus berkata, "Aku diutus hanya kepada domba-domba yang hilang dari umat Israel... Tidak patut mengambil roti yang disediakan bagi anak-anak dan melemparkannya kepada anjing." (Matius 15:24, 26). Perempuan itu bergeming dengan keyakinannya bahwa orang yang kepadanya ia berbicara bersedia menolongnya.

Benarkah Yesus termakan "politik identitas"? Dia hanya berkarya untuk bangsa-Nya sendiri, Israel dan yang lain itu disamakan dengan anjing? Bukankah baru saja Ia melakukan pelbagai pelayanan dan berita kabar baik itu di seberang, di Genesaret yang sudah tentu kebanyakan dari mereka adalah goyim? Bukankah lidah bibir Yesus belum kering ketika Ia memaparkan adat istiadat Yahudi dan ajaran yang disampaikan-Nya? Lalu, bagaimana mungkin kini Ia masih berbicara tentang primordial bangsa-Nya? 

Saya melihat, apa yang dilakukan Yesus pada waktu itu adalah gambaran yang terjadi dalam kesadaran komunal Yudaisme. Yesus tampil mewakili mereka. Gambarannya seperti ini: Seorang ibu yang begitu khawatir dengan puteranya memohon pertolongan segera dari Yesus yang diyakininya dapat memberikan solusi. Yesus, yang telah mengajarkan dan memperagakan bela rasa terhadap begitu banyak orang menderita, memperlihatkan gaya keyahudian itu. Ia menolak dan karya-Nya hanya untuk kelompok-Nya sendiri. Seolah, Yesus meperlihatkan kepada para murid yang mengusulkan untuk mengusir perempuan itu, "Aku telah menolaknya, Aku ada hanya untuk kalian! Namun, lihat dan bukalah mata dan telinga kalian. Apakah kalian tega mengusir perempuan yang dengan sungguh-sungguh mencari Aku?" Tidak hanya berhenti di situ. Yesus seolah mengatakan, "Lihatlah, Aku juga telah memprioritaskan bangsa kita dengan menyebut bahwa 'roti ini hanya untuk kalian' tidak untuk mereka! Namun, lagi-lagi apakah kalian yang adalah murid-Ku benar-benar menganggap bangsa lain itu adalahseperti anjing?"

Saya membayangkan bahwa apa yang disampaikan Yesus itu adalah sebuah tantangan bagi pemahaman mereka tentang keunggulan sebuah bangsa pilihan. Seharusnya, mereka membuka diri. Mengapa? Sebab, sejatinya kalau pun mereka punya pemahaman sebagai bangsa pilihan, tugasnya adalah menyalurkan berkat, menjadi jembatan untuk mereka yang belum mengenal Allah dapat merasakan berkat-berkat-Nya bukan sebaliknya, membatasi belas kasihan Allah hanya untuk diri dan kelompoknya saja!

Sepertinya, Yesus sudah tahu sikap perempuan Kanaan ini. Ia gigih dan tidak peduli dengan tembok-tembok rasisme yang dibangun begitu lama oleh kelompok-kelompok elit pilihan Tuhan ini. Yesus tahu dan menjadikannya contoh hidup beriman yang sesungguhnya itu. "Hai ibu, besar imanmu, maka jadilah kepadamu seperti yang kaukehendaki." (Matius 15:28). Terbukti Yesus tidak membatasi karya-Nya hanya untuk kalangan sendiri. Yesus meruntuhkan tembok pemisah antara umat pilihan dan bangsa-bangsa yang disebut kafir. Ia membangun jembatan penghubung sehingga setiap bangsa dapat terhubung dengan kasih karunia Allah.

Pada pihak lain, iman perempuan Kanaan itu telah menjadi jembatan. Penghubung dirinya dengan kasih yang dinyatakan Kristus. Iman itu tampak dalam ketegaran hatinya yang tidak baperan karena ungkapan sarkas. Ia juga tidak peduli dengan perasaan tidak nyaman yang ditimbulkan dari sikap para murid Yesus. Iman menjadi jembatan seseorang mengenal kasih Yesus. Jadi, bila banyak hal merintangi kita, teruslah fokus pada Kristus sebab Ia tidak akan membiarkanmu bergumul sendirian.

Sama seperti apa yang dilakukan Yesus yang mendobrak batasan-batasan primordial. Maka siapa saya yang mengaku pengikut Yesus dipanggil untuk meneruskan karya-Nya. Jangan batasi pelayanan dan kepedulian gereja hanya untuk "kalangan sendiri", bukalah seluas-luasnya untuk sebanyak  mungkin orang menikmati berkat Allah. Jangan juga merasa diri paling unggul, paling selamat dan memandang rendah kelompok atau orang lain. Mereka juga adalah ciptaan Allah yang kepada mereka Allah juga menyayangi. Bisa jadi sikap merasa diri paling benar atau paling terpilih, di situ kita sedang membangun tembok, membatasi diri dan membatasi berkat Allah bagi sesama.

Kita diajar untuk membuka diri, bukan membangun tembok tetapi membangun jembatan. Jembatan penghubung yang menyatakan bahwa Allah mengasihi bangsa kita. Benar, tidak mudah khususnya pada saat-saat kritis perjalanan bangsa kita menentukan kepemimpinan mendatang. Di sinilah kita harus dapat bekerja sama dengan pihak-pihak lain yang bersama-sama berjuang untuk memajukan Indonesia sebagai negara kesatuan yang utuh yang tidak dapat dipisah-pisahkan oleh kelompok, ras, suku, agama tertentu.

 

Jakarta, 16 Agustus 2023. Minggu Biasa tahun A