Semakin dekat pemilihan umum, semakin menguat dukungan kelompok-kelompok atau partai-partai tertentu pada calon-calon presiden yang diusung mereka. Pelbagai cara dilakukan baik oleh calon maupun pendukungnya untuk mendulang suara sebanyak-banyaknya. Meski banyak pakar dan pengamat politik mewanti-wanti untuk tidak menggunakan politik idendentitas, tampaknya pemilu kali ini pun tidak terhindar dari isu tersebut. Politik identitas adalah kegiatan politik, tentu saja untuk memenangi pemilu, dengan mengusuk identitas kelompok berdasarkan etnis, ras, suku, hingga agama.
Politik identitas ditengarai menjadi biang keladi pemecah-belah kehidupan berbangsa sebab akan menghasilkan polarisasi yang saling berhadap-hadapan. Masyarakat mudah termakan berita bohong, pencemaran nama baik, ujaran kebencian dan seterusnya. Dampak poliutik identitas sangat serius karena satu golongan dapat menyerang golongan lainnya yang menimbulkan diskriminasi dan radikalisasi.
Bila kita cermati akar politik identitas telah lama tumbuh dalam sejarah peradaban manusia. Dari keyakinan sebagai ras atau bangsa pilihan sampai pada faham Chauvinisme terus bergulir. Intinya hanya kelompok, golongan, ras, ideologi diri merekalah yang paling unggul di muka bumi, yang lain pelengkap saja atau bahkan layak disamakan dengan hewan! Begitulah sepintas yang tergambar dalam bacaan Injil hari ini (Matius 15:21-28). Dalam budaya dan spirit "politik identitas", kelompok-kelompok akan membangun tembok-tembok pemisah, peradaban mereka hanya boleh dikelola oleh kelompok sendiri dan demi komunitasnya sendiri.
Kelompok Yahudi meyakini sebagai bangsa dan ras yang lebih unggul dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain di sekitar mereka. Status umat pilihan Allah melekat kuat di setiap dada orang Yahudi, termasuk para murid Yesus. Sehingga, tidak mengherankan ketika ada seorang ibu berkebangsaan Kanaan, atau dalam catatan Injil Markus seorang Siro-Fenisia yang sedang membutuhkan pertolongan segera untuk anaknya. Mereka merasa terganggu. Para murid ini mengusulkan agar Yesus mengusir perempuan malang ini karena mengganggu kenyamanan mereka.
Tembok yang memisahkan komunitas umat pilihan dengan goyim (bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah) terlihat begitu jelas ketika Yesus berkata, "Aku diutus hanya kepada domba-domba yang hilang dari umat Israel... Tidak patut mengambil roti yang disediakan bagi anak-anak dan melemparkannya kepada anjing." (Matius 15:24, 26). Perempuan itu bergeming dengan keyakinannya bahwa orang yang kepadanya ia berbicara bersedia menolongnya.
Benarkah Yesus termakan "politik identitas"? Dia hanya berkarya untuk bangsa-Nya sendiri, Israel dan yang lain itu disamakan dengan anjing? Bukankah baru saja Ia melakukan pelbagai pelayanan dan berita kabar baik itu di seberang, di Genesaret yang sudah tentu kebanyakan dari mereka adalah goyim? Bukankah lidah bibir Yesus belum kering ketika Ia memaparkan adat istiadat Yahudi dan ajaran yang disampaikan-Nya? Lalu, bagaimana mungkin kini Ia masih berbicara tentang primordial bangsa-Nya?
Saya melihat, apa yang dilakukan Yesus pada waktu itu adalah gambaran yang terjadi dalam kesadaran komunal Yudaisme. Yesus tampil mewakili mereka. Gambarannya seperti ini: Seorang ibu yang begitu khawatir dengan puteranya memohon pertolongan segera dari Yesus yang diyakininya dapat memberikan solusi. Yesus, yang telah mengajarkan dan memperagakan bela rasa terhadap begitu banyak orang menderita, memperlihatkan gaya keyahudian itu. Ia menolak dan karya-Nya hanya untuk kelompok-Nya sendiri. Seolah, Yesus meperlihatkan kepada para murid yang mengusulkan untuk mengusir perempuan itu, "Aku telah menolaknya, Aku ada hanya untuk kalian! Namun, lihat dan bukalah mata dan telinga kalian. Apakah kalian tega mengusir perempuan yang dengan sungguh-sungguh mencari Aku?" Tidak hanya berhenti di situ. Yesus seolah mengatakan, "Lihatlah, Aku juga telah memprioritaskan bangsa kita dengan menyebut bahwa 'roti ini hanya untuk kalian' tidak untuk mereka! Namun, lagi-lagi apakah kalian yang adalah murid-Ku benar-benar menganggap bangsa lain itu adalahseperti anjing?"
Saya membayangkan bahwa apa yang disampaikan Yesus itu adalah sebuah tantangan bagi pemahaman mereka tentang keunggulan sebuah bangsa pilihan. Seharusnya, mereka membuka diri. Mengapa? Sebab, sejatinya kalau pun mereka punya pemahaman sebagai bangsa pilihan, tugasnya adalah menyalurkan berkat, menjadi jembatan untuk mereka yang belum mengenal Allah dapat merasakan berkat-berkat-Nya bukan sebaliknya, membatasi belas kasihan Allah hanya untuk diri dan kelompoknya saja!
Sepertinya, Yesus sudah tahu sikap perempuan Kanaan ini. Ia gigih dan tidak peduli dengan tembok-tembok rasisme yang dibangun begitu lama oleh kelompok-kelompok elit pilihan Tuhan ini. Yesus tahu dan menjadikannya contoh hidup beriman yang sesungguhnya itu. "Hai ibu, besar imanmu, maka jadilah kepadamu seperti yang kaukehendaki." (Matius 15:28). Terbukti Yesus tidak membatasi karya-Nya hanya untuk kalangan sendiri. Yesus meruntuhkan tembok pemisah antara umat pilihan dan bangsa-bangsa yang disebut kafir. Ia membangun jembatan penghubung sehingga setiap bangsa dapat terhubung dengan kasih karunia Allah.
Pada pihak lain, iman perempuan Kanaan itu telah menjadi jembatan. Penghubung dirinya dengan kasih yang dinyatakan Kristus. Iman itu tampak dalam ketegaran hatinya yang tidak baperan karena ungkapan sarkas. Ia juga tidak peduli dengan perasaan tidak nyaman yang ditimbulkan dari sikap para murid Yesus. Iman menjadi jembatan seseorang mengenal kasih Yesus. Jadi, bila banyak hal merintangi kita, teruslah fokus pada Kristus sebab Ia tidak akan membiarkanmu bergumul sendirian.
Sama seperti apa yang dilakukan Yesus yang mendobrak batasan-batasan primordial. Maka siapa saya yang mengaku pengikut Yesus dipanggil untuk meneruskan karya-Nya. Jangan batasi pelayanan dan kepedulian gereja hanya untuk "kalangan sendiri", bukalah seluas-luasnya untuk sebanyak mungkin orang menikmati berkat Allah. Jangan juga merasa diri paling unggul, paling selamat dan memandang rendah kelompok atau orang lain. Mereka juga adalah ciptaan Allah yang kepada mereka Allah juga menyayangi. Bisa jadi sikap merasa diri paling benar atau paling terpilih, di situ kita sedang membangun tembok, membatasi diri dan membatasi berkat Allah bagi sesama.
Kita diajar untuk membuka diri, bukan membangun tembok tetapi membangun jembatan. Jembatan penghubung yang menyatakan bahwa Allah mengasihi bangsa kita. Benar, tidak mudah khususnya pada saat-saat kritis perjalanan bangsa kita menentukan kepemimpinan mendatang. Di sinilah kita harus dapat bekerja sama dengan pihak-pihak lain yang bersama-sama berjuang untuk memajukan Indonesia sebagai negara kesatuan yang utuh yang tidak dapat dipisah-pisahkan oleh kelompok, ras, suku, agama tertentu.
Jakarta, 16 Agustus 2023. Minggu Biasa tahun A
Tidak ada komentar:
Posting Komentar