Rabu, 16 Agustus 2023

POLA HIDUP YANG MEMERDEKAKAN

Novelis Rusia, Dostoevski menuliskan kisah yang menjadi inspirasi banyak orang tentang kekuatan cinta, Crime and Punishement (1951). Raskolnikov, tokoh utama kisah ini adalah seorang mahasiswa miskin yang sedang terdesak untuk melunasi uang kuliah dan kosnya di Petersburg (sekarang Moskow). Dalam kekalutannya, ia gelap mata. Apa yang ia lakukan? Membunuh! Korbannya  adalah dua orang perempuab tua, tukang gadai barang!

Atas peristiwa itu Raskolnikov menjadi buronan. Lama polisi mencariya namun tak kunjung tertangkap. Selama itu pula Raskolnikov gelisah. Dalam kegelisaannya ia meluapkan pengakuan kepada sang kekasih, Sonia. Pengakuan itu meluncur deras bagaikan dirus hujan yang masuk ke dalam jambangan ketulusan dan kesederhanaan si gadis miskin itu. 

Energi cinta yang melimpah dari Sonia mendorong Raskolnikov untuk melangkah lebih jauh lagi. Kini, Raskolnikov berani mengambil keputusan untuk mengakui kesalahannya di depan polisi. Cinta yang tulus telah memerdekakan Raskolnikov dari belenggu rasa bersalah dan gelisah dahsyat itu. Raskolnikov akhirnya mendapat ganjaran delapan tahun kerja paksa di Siberia. Sang cinta sejati tidak pernah meninggalkannya, Sonia ikut menemani sang kekasih hingga ke Siberia. Dostoevski tidak pernah menggambarkan Sonia seperti seorang moralis yang berkhotbah tentang kebaikan dan tanggung jawab atau pelanggaran kitab suci tentang pembunuhan. Sang cinta yang membebaskan itu tampil dalam sosok gadis sederhana, yang bahkan sering menjadi incaran orang-orang kaya untuk dijadikan korban pemuas nafsu syahwat mereka!

Koresh, tidak pernah ditampilkan oleh Alkitab sebagai sosok raja yang setia beribadah dan menegakkan syareat hukum-hukum TUHAN yang suci. Namun, ia tampil sebagai pembebas. Tidak hanya Yahudi, atau Israel yang dibebaskannya. Melainkan juga, bangsa-bangsa lain yang ia bebaskan dari tangan besi raja Babilonia. Dalam kacamata iman, Koresh adalah orang yang digerakkan Allah untuk menyatakan keadilan-Nya. Untuk memerdekakan orang dari cengkeraman kelaliman dan kembali memulihkan kemanusiaan.

Allah yang adalah sumber keadilan dan kekuatan menghendaki agar semua bangsa meninggalkan berhala. Mengapa? Sebab, ketika manusia menyembah berhala, pada hakikatnya ia tidak sedang memuji dan memuliakan si berhala itu. Ia sedang memperhatikan dan berjuang hanya untuk dirinya sendiri. Berhala itu dipuja agar segala yang diinginkannya dapat diraih. Berhala diberi korban sesajen agar ia mendapat kembali keuntungan yang berlipat ganda. Berhala dapat memuaskan segala nafsu keserakahan! 

Berhala moderen tidak lagi berbentuk patung atau sesembahan yang sejenisnya. Ia bisa hadir dalam bentuk materi, harta benda, uang, kekuasan, ketenaran, kepintaran, ideologi dan yang sejenisnya. Semua itu dicari manusia agar apa yang diinginkannya terpuaskan. Untuk pencapaian itu, manusia rela menindas sesamanya. Dalam tataran ini kita memahami, mengapa setelah pembebasan dari Babel itu, Allah menghendaki setiap bangsa meninggalkan berhalanya. Ada keserakahan di balik penyembahan berhala itu!

Hari ini, kita bersyukur untuk kemerdekaan yang bersama-sama kita rayakan. Tujuh puluh delapan tahun tentu saja bukan waktu singkat. Namun, mari kita buka mata, pertajam pendengaran! Apakah kita sudah sungguh-sungguh merdeka? Benarkah keadilan yang Tuhan kehendaki telah menyelimuti negeri ini? Jawabannya belum, untuk menghindari kata "tidak"! Masih banyak orang yang diperlakukan tidak adil, salah satunya mungkin Anda. Masih banyak juga orang yang dikuasai ambisi dan nafsu serakahnya untuk menguasai dan menindas orang lain, ini pun salah satunya mungkin Anda!

Dalam kenyataan seperti ini kita tidak cukup hanya berdoa meminta Tuhan Sang Penguasi keadilan untuk turun tangan. Tuhan sudah turun tangan, Ia sudah menurunkan Anda dan saya untuk memperjuangkan keadilan-Nya. Benar, bahwa yang kita hadapi adalah kekuatan-kekuatan dahyat yang kata Paulus, ".. karena perjuangan kita bukan melawan darah dan daging, tetapi melawan pemerintah-pemerintah, melawan penguasa-penguasa, melawan penghulu-penghulu dunia yang gelap ini, melawan roh-roh jahat di udara." (Efesus 6:12). Namun, bukankah Tuhan sendiri telah menyediakan bagi kita perlengkapan "senjata" untuk menghadapinya?

Berkali-kali saban merayakan HUT Kemerdekaan kita selalu diingatkan bahwa perjuagan saat ini bukan lagi dengan mengangkat senjata dan mengusir penjajah. Bukan! Tetapi dengan segala daya kreatif kita mengusir dan memerdekakan orang dari belenggu kebodohan, kebobrokan moral, dan yang sejenisnya. Maka pola hidup yang memerdekakan itu bisa tampil dalam pelbagai bidang kehidupan dan dalam spektrum yang tidak terbatas.

Belajar dari kisah Raskolnikov dan Sonia, pola hidup yang memerdekakan itu tumbuh dari benih cinta. Cinta yang benar adalah cinta yang memerdekakan dan bukan yang membelenggu. Sonia tidak berkoar-koar tentang kebenaran dan keadilan. Namun, dalam kesederhanaanya ia menampilkan cinta kuat yang mendorong Raskolnikov untuk berani bertanggung jawab. Tidak hanya ini, Sonia menemani dalam kekasihnya menebus kesalahnnya itu. Hari ini ada banyak orang di sekitar kita yang sedang gelisa, terbelenggu dan belum merdeka! 

Barang kali inilah saatnya kita menampilkan gaya hidup mencintai. Ya, behentilah bebicara dan berdebat tentang cinta, saatnya lakukan! Lakukanlah cinta yang membebaskan itu sama seperti Yesus melakukannya. Mampukan orang lain merasakannya tetapi juga memunculkan tanggung jawab sosial dan selanjutnya, temani!

 

Jakarta, 16 Agustus 2023 HUT RI ke-78. Merdeka!

 

 

Kamis, 10 Agustus 2023

JEJAK PERUBAHAN BAGI BANGSA

Perahu Retak

Perahu negeriku, perahu bangsaku menyusuri gelombang.

Semangat rakyatku, kibar benderaku menyeruak lautan.

Langit membentang, cakrawala di depan melambaikan tantangan.

 

Di atas tanahku, dari dalam airku tumbuh kebahagiaan.

Di sawah kampungku, di jalan kotaku terbit kesejahteraan.

Tapi kuheran di tengah perjalanan muncullah ketimpangan.

 

                Aku heran, aku heran yang salah dipertahankan.

                Aku heran, aku heran yang benar disingkirkan.

 

Perahu negeriku, perahu bangsaku jangan retak dindingmu.

Semangat rakyatku, derap kaki tekadmu jangan terantuk batu.

Tanah pertiwi angugerahi ilahi jangan ambil sendiri.

Tanah pertiwi anugerah ilahi jangan makan sendiri.

 

                Aku heran, aku heran satu kenyang seribu kelaparan.

                Aku heran, aku heran keserakahan diagungkan.

                                                     (lirik oleh : Emha Ainun Najib. Lagu/dinyanyikan: Franky Sahilatua)

 

Kritik sosial melalui lantunan suara ini populer pada 1995, tiga tahun sebelum era reformasi. Ketimpangan membuncah seperti lirik lagu Perahu Retak. Setiap suara yang menyerukan keadilan dibungkam dan entah di mana kita dapat menemui si pemilik suara itu. Raib! Jejak negeri yang semula dibangun dalam bersamaan, di tengah perjalanan seperti perahu yang retak itu. Nyaris tenggelam oleh badai keegoisan penguasa. Hal semacam ini tidak hanya menjadi jejak bangsa kita, tetapi di banyak negara dan sepanjang zaman.

"Yang salah dipertahankan, yang benar disingkirkan. Satu kenyang seribu kelaparan, keserakahan diagungkan!" Heran! Ya, mungkin dalam keputusasaannya Nabi Elia juga mempertanyakan keadilan TUHAN. Betapa tidak, ia merasakan perjuangannya mengembalikan bangsanya ke jalan yang benar tetapi justru disingkirkan dan hendak dibunuh, "Aku bekerja segiat-giat-Nya bagi TUHAN, Allah semesta alam, karena orang Israel meninggalkan perjanjian-Mu, meruntuhkan mezbah-mezbah-Mu dan membunuh nabi-nabi-Mu dengan pedang; hanya aku seorang diriilah yang masih hidup dan mereka ingin mencabut nyawaku." (1 Raja-raja 19:10). Jelas, Elia sangat mencintai bangsanya. Namun, apa yang ia dapat? Ancaman, intimidasi dan rencana pembunuhan yang digagas oleh ibu negara, Izabel!

Reformasi 1998, negeri ini menapaki era baru. Seolah semua dapat berbicara, punya kesempatan sama meski harus diawali dengan peristiwa berdarah. Menyakitkan! Namun, lagi-lagi seperti perahu retak itu. Ketimpangan kembali terjadi, atas nama demokrasi, politik identitas dimainkan tanpa menghitung badai besar akan melumat perahu negeri yang mulai berlayar kembali. Perpecahan menghadang! Meski demikian kita masih dianugerahi Tuhan dengan tokoh-tokoh yang tidak gentar memperjuangkan kebenaran dan kesetaraan. Mereka tahu dan bersedia menanggung risiko dibungkam, dianiaya dan dipenjarakan. Korban politik identitas!

Bukankah telah lama politik identitas itu juga dipraktikan oleh Herodes Antipas bersama petinggi Yudaisme? Mereka menghalalkan apa saja demi mempertahankan kekuasaan. Herodes atas permintaan Salome anak dari Herodias, memenggal kepala Yohanes Pembaptis. Sejatinya, Yohaneslah yang mencintai bangsanya. Namun, atas nama kekuasaan ia harus mati! Pada gilirannya, Yesus akan mengalami hal serupa. Peristiwa kematian Yohanes memaksa Yesus menyingkir. Namun, orang banyak yang sudah lama diperlakukan bagai "domba tanpa gembala" terus mengikut langkah-Nya, hingga mereka menemukan Yesus dan di sanalah Yesus menjamu mereka dengan lima roti dan dua ikan. 

Peristiwa ini memicu orang banyak untuk menjadikan Yesus sebagai "Raja". Ya, raja yang dapat memenuhi kebutuhan mereka. Bukankah ini sangat logis, jika Yesus yang menjadi raja mereka; mereka tidak usah lagi mengolah tanah untuk menghasilkan bahan makanan dan roti atau pergi ke tengah danau mencari ikan? Jika mereka sakit tidak lagi perlu mencari tabib atau rumah sakit, cukup datang kepada Yesus dan dengan belas kasihan-Nya Ia akan menyembuhkan! Bukankah hal seperti ini yang sedang dilakukan oleh para politisi kita? Memberi mereka "roti" dan "ikan", menebar pesona dengan aksi-aksi sosial!

Sayang, Yesus tidak mau dijadikan raja roti dan paranormal penyembuh! Menurut catatan Yohanes, Yesus sengaja menyingkir, "Karena Yesus tahu, bahwa mereka hendak datang dan hendak membawa Dia dengan paksa untuk menjadikan Dia raja, Ia menyingkir pula ke gunung, seorang diri." (Yohanes 6:15). Secara politis, bukankah ini saat yang tepat? Yesus dengan pengaruh, pengajaran dan mukjizat-Nya telah memikat banyak orang dan orang-orang itu menginginkan-Nya menjadi raja. Ini kesempatan emas untuk meraih kekuasaan! Sekali lagi, Yesus menolak! Ia konsisten dengan misi-Nya, kalau mau kekuasaan, itu sudah dari dulu ketika Si Iblis menawari-Nya. Yesus tidak mau para pengikut-Nya hidup dengan kemudahan-kemudahan yang mematikan daya juang dan keyakinan iman yang benar.

Apa yang diperlihatkan Yesus mestinya juga menolong kita untuk tidak terjebak mengikut calon atau para pemimpin yang menjanjikan kemudahan, yang hanya pandai memberi roti dan ikan, tetapi tidak dapat menyediakan lahan untuk menanam atau kail dan perahu untuk mencari sendiri ikan-ikan itu. Dari sikap Yesus mestinya kita bisa berefleksi untuk menjadi pengikut-pengikut-Nya yang siapa dan setia menapaki jejak-Nya meskipun bukan jejak di jalan mulus melainkan via dolorosa!

Perjalanan yang sulit itu tergambar melalui peristiwa para murid yang diterjang badai dalam perahu mereka. Yesus sengaja mendesak mereka untuk cepat-cepat beranjak seusai keramaian perjamuan lima roti dan dua ikan itu. Sedangkan Ia sendiri, naik ke bukit seorang diri dan berdoa. Adegan lain, para murid yang berlayar tanpa Yesus mengalami tantangan hebat. Angin sakal menerjang perahu mereka. Perahu yang diancam ombak dan angin, dalam Injil Matius mengacu kepada gereja yang terancam kuasa alam maut ketika terpisah dari Yesus. Ia datang menjelang pagi, mengingatkan kita dalam tradisi Perjanjian Lama, "Allah akan menolongnya menjelang pagi" ( Mazmur 46:6; 30:6 dan Yesaya 17:14). Dengan berjalan di atas air - bukan melayang terbang - Yesus melakukan apa yang hanya dilakukan Allah, "Ia melangkah di atas gelombang-gelombang laut" (Ayub 9:8; Mazmur 77:20, Yesaya 43:16). Demikian Yesus menyatakan sebagai Allah yang menaklukan kuasa maut.

Alih-alih para murid gembira melihat Yesus di tengah badai itu, mereka terkejut dan menyangka-Nya hantu. Murid-murid kurang percaya. Yesus menenangkan mereka, "egõ eimi (Aku ada), perkataan yang sama seperti Allah menyatakan diri kepada Musa (Keluaran 3:14). Rahasia jati diri ilahi Yesus yang disembunyikan bagi orang bijak dan pandai, di danau dan dalam badai itu dinyatakan kepada murid-murid, orang-orang kecil!

Seperti biasa, Petrus tampil mewakili murid yang lain, "Tuhan, apabila Engkau itu, suruhlah aku datang kepada-Mu berjalan di atas air." (Matius 14:28). Yesus menerima tantangan Petrus dan mempersilahkannya berjalan di atas air menuju diri-Nya. Petrus melakukannya. Ia dapat berjalan di atas air itu! Namun, apa yang terjadi ketika ia melihat badai yang memukul-mukul air di sekitarnya. Nyalinya ciut, ia tenggelam dan berseru, "Tuhan, tolonglah aku!". Lagi, Yesus mengabulkan permohonan Petrus. Ia mengulurkan tangan-Nya dan memegang. Setelah itu Yesus mencela ketakutan Petrus. Petrus dicela karena ia kurang percaya. Celaan ini berulang kali dipakai Injil Matius untuk melukiskan kerapuhan iman para murid. Iman mereka ada, namun tidak memadai. Ini seperti benih yang jatuh di tanah yang berbatu; Petrus segera percaya namun tidak bertahan ketika kesulitan datang.

Nyali kita baik pribadi maupun gereja ciut menghadapi tantangan atau badai. Ciutnya iman kita muncul dalam pelbagai diktum, antara lain: kami kaum minoritas atau minoritas ganda! Dengan label itu sangat mudah kita diombang-ambing oleh badai arus dunia. Kita cenderung menjadi orang atau umat pragmatis yang mengikut arus agar selamat dan tidak diganggu baik dalam usaha atau ibadah. Kita gambang menyetujui kebijakan-kebijakan yang sebenarnya bertentangan dengan norma kemanusiaan dan kehendak Tuhan. Kita takut perahu kita karam.

Di sinilah, di Indonesia yang terus berubah, kita ditempatkan Tuhan. Perahu kita berlayar di sini, maka jangan retak agar tidak tenggalam. Di sinilah iman kita diuji untuk menghadirkan perubahan ke arah yang lebih baik. Bisa jadi tidak apa yang kita lakukan sederhana, namun berdampak dalam kehidupan sosial. Anda ingin Indonesia lebih baik? Mulailah dari diri sendiri meski besar tantangan yang di hadapi, ingat Yesus Kristus, Anak Allah yang hidup itu ada bersama-sama dalam perahu kita!

Jakarta, 10 Agustus 2023 Minggu Biasa Tahun A