Kamis, 13 Juli 2023

PENABUR YANG SETIA

Walau bertaburan kata-kata bijak tentang hal-hal positif di balik kegagalan, tetap saja yang namanya gagal menimbulkan kepedihan atau malah traumatis. Tidak semanis ungkapan "Gagal itu adalah kesuksesan yang tertunda", atau "Kegagalan merupakan guru yang paling baik", atau seperti yang diungkapkan oleh sang begawan penemu dan pemilik sejumlah besar hak paten, Thomas Alpa Edison, "Banyak kegagalan dalam hidup, mereka tidak menyadari betapa dekatnya mereka dengan keberhasilan di saat mereka menyerah!"

Bagi banyak orang, kegagalan adalah kenangan buruk yang menghantui setiap memulai sesuatu yang baru. Trauma! Bahkan, ada banyak orang, barang kali Anda termasuk di dalamnya, yang terus menggendong trauma itu sampai hari ini. Ketika gagal dalam ujian misalnya, lalu guru atau orang tuamu mengatakan, "Bodoh kamu, begitu saja tidak bisa!" Anda membawa terus sampai hari ini dan menerima label bahwa "saya memang orang bodoh". Dampaknya, tidak lagi mau memulai dan melakukan sebuah karya dengan alasan nanti aku akan gagal lagi.

Kenangan akan pengalaman kegagalan, menyakitkan. Pengalaman seperti ini akan mengingatkan kita bahwa kita tidak bisa mengatasinya. Lalu, kita mengambil pilihan lebih baik menjadi orang yang skepitis, masa bodoh! Padahal, sejatinya rasa sakit itu hanya ada ketika kita berada pada masa lalu.

"Perumpamaan tentang penabur" demikian judul yang disematkan oleh LAI dalam bacaan Injil hari ini. Tema kita juga berbicara tentang sang penabur, "Penabur yang setia". Bila kita cermat membaca bagian Injil ini, subyek "Penabur" hanya disebut satu kali saja, "....Adalah seorang penabur..." (Matius 13:3). Kisah selanjutnya adalah tentang benih yang jatuh di lahan yang berbeda-beda.

Cerita perumpamaan ini bertujuan memusatkan perhatiabn pembacanya pada benih dan berbagai macam hasil seturut tanah, tempat benih itu jatuh. Cerita ini sejatinya adalah cerita tentang kegagalan. Tiga kali benih itu gagal tumbuh, hanya satu yang berhasil. Dan, yang berhasil ini justru menghasilkan buah luar biasa sehingga menutup kerugian akibat tiga kali kegagalan itu.

Mendengar cerita tentang kegagalan itu, orang-orang yang mendengar khotbah Yesus di atas perahu itu mungkin saja terkesan bahwa sia-sialah pekerjaan si penabur itu. Lagi pula mengapa orang itu menaburkan  benih bukan di tempat yang semestinya: lahan subur yang telah diolah dan disiapkanb terlebih dahulu. Bisa saja kita punya pendapat demikian. Namun, petani Galilea pada saat itu tidak menabur benih di tempat persemaian, setelah benih itu tumbuh baru dipindahkan ke ladang. Tidak seperti itu. Mereka biasa menabur begitu saja. Akibatnya? Ada sebagian yang jatuh ke tanah yang tidak baik, tanah itu keras. Atau jatuh di lapisan tanah yang sangat tipis, di atas bebatuan, atau ke tengah semak yang tumbuh di sekitar ladang itu. Benih-benih itu tidak menghasilkan buah!

Tiga kali benih itu gagal tumbuh! Namun, sekali yang tumbuh di tanah subur itu dapat mengonpensasi kegagalan-kegagalan itu. Hasil akhir sungguh di luar dugaan. Yesus berbicara dengan mengerti hati para pendengarnya. Seolah Ia mengatakan, "Biarpun seluruh karya-Ku tampaknya gagal atau sia-sia di mata sejumlah orang, kalian tidak boleh berputus asa. Justru sebaliknya, percayalah bahwa akhirnya karya-Ku akan menuai hasil yang menggembirakan!"

Lalu, kita bertanya: Bukankah benih firman TUHAN yang ditabur itu tidak akan pernah gagal dan kembali dengan sia-sia seperti ungkapan Nabi Yesaya? "...demikianlah firman-Ku yang keluar dari mulut-Ku: ia tidak akan kembali kepada-Ku dengan sia-sia, tetapi Ia akan melaksanakan apa yang Kukehendaki.." (Yesaya 55:11). Benar, bahwa firman Allah itu tidak pernah gagal dan kembali dengan sia-sia. Apalagi firman yang menjadi Manusia, mustahil gagal! Nyatanya dapat kita lihat, banyak orang yang melihat apa yang dilakukan Yesus semula sebagai sebuah tindakan yang "gagal". Di tanah tempat Dia dibesarkan, Dia ditolak. Meski semula orang berbondong-bondong mengikuti-Nya, akhirnya Yesus diserahkan untuk dihakimi dan dibunuh. Sungguh tanah tempat Injil ditabur itu keras, penuh bebatuan dan membahayakan!

Apa yang tampak sebagai kegagalan dan penolakan ternyata membuahkan hasil manis, tuaian dan panen itu menghasilkan berpuluh bahkan beratus kali lipat. Hasil akhir justru dapat mengkonpensasi bahkan dapat lebih menutup segala "kerugian" dari kegagalan itu. Firman TUHAN selalu berhasil dan tidak pernah kembali dengan sia-sia!

Penabur atau petani yang baik tentu akan menyimpan hasil panennnya di gudang untuk persediaan makan atau dijual untuk keperluan yang lain. Ia juga akan memilah dari hasil panen itu bulir-bulir yang bermutu untuk dijadikannya benih pada periode taman berikutnya. Ada peroses dari bulir yang baru dipetik itu untuk menjadi benih yang berkualitas. Penyimpanan dalam jangka waktu tertentu akan mematangkan benih sehingga ketika ditabur, benih-benih itu akan segera berkecambah, hidup dan terus bertumbuh!

Yesus Kristuslah penabur yang sesungguhnya. Namun, dalam "periode taman berikutnya", Ia mengutus murid-murid-Nya untuk menjadi pernabur-penabur selanjutnya. Sampailah nasab itu kepada kita sebagai orang-orang yang telah menerima firman itu. Dalam posisi inilah setiap orang Kristen terpanggil untuk menaburkan kembali benih-benih firman Allah sesuai dengan konteksnya masing-masing. Tentu saja menaburkan firman Allah bukan sekedar pandai dan fsih berbicara seperti ahli Taurat dan orang Farisi, melainkan seperti apa yang dilakukan oleh Yesus Kristus sendiri. Kata dan perbuatan-Nya menyatu dalam integras mumpuni maka Ia adalah firman yang hidup!

Seperti Yesus Kristus, setiap anak-anak Tuhan akan mengalami pelbagai kesulitan: tanah yang tandus, gersang, bebatuan atau semak duri. Menghadapi situasi seperti ini kita gampang  frustasi, bahkan traumatik dan ogah untuk melayani kembali. Namun, apa yang dikatakan Yesus juga harus menjadi kekuatan bagi kita untuk terus menabur. Sebab, akan ada hasil yang tidak dapat kita bayangkan sebelumnya: berpuluh kali bahkan beratus kali lipat yang dapat mengkonpensasi kegagalan-kegagalan itu.

Seorang guru Sekolah Minggu yang sudah mulai menua bercerita tentang pergumulan dalam melayani akhir-akhir ini. Anak-anak semakin rewel, seolah tidak mau tahu dengan cerita yang sudah setengah mati dipersiapkan seminggu sebelumnya, Majelis Jemaat seolah tidak mau peduli dengan fasilitas dan kebutuhan Komisi Anak, dalam keluarga dikeluhkan terlalu banyak menyita waktu untuk kegiatan gereja dan pelayanannya. "Sudahlah, kalau begini buat apa melayani aku sudah lelah!" Namun, betapa terkejutnya ketika guru sekolah minggu ini menyimak sebuah berita tentang sorang hakim yang memutuskan perkara dengan adil meskipun risikonya sangat tinggi. Sang Hakim itu berkata, "Apa yang saya lakukan, saya berpegang pada keyakinan saya. Dulu, guru sekolah minggu saya mengajarkan bahwa Tuhan berpihak pada orang-orang miskin, lemah dan teraniaya. Tuhan menghendaki saya untuk melakukan kehendak-Nya!"

Sang Guru Sekolah Minggu ini melihat bahwa wajah hakim itu tidak asing lagi buat dirinya. Lalu penasaran ia melihat di bawah layar itu nama sang hakim tampak. "Ya, Tuhan ternyata dia adalah salah seorang murid sekolah minggu yang dulu sering bermasalah!"  

Bisa jadi apa yang Anda lakukan sekarang seperti menabur di bebatuan dan tanah tandus. Namun, ingatlah akan selalu ada benih yang tumbuh di lahan yang subur. Benar, sang penabur itu hanya disebut satu kali saja dalam perumpamaan Yesus, setelah itu tidak lagi diceritakan. Mungkin juga Anda yang melayani dan menabur tidak akan pernah diceritakan dan disebut-sebut lagi, namun percayalah bahwa firman Tuhan yang ditabur dengan tulus, tidak pernah akan kembali dengan sia-sia. Oleh karena itu tugas kita adalah: Jadilah penabur-penabur yang setia!

Jakarta, 13 Juli 2023, Minggu Biasa Tahun A.

Kamis, 06 Juli 2023

MENGHIDUPI ALLAH YANG BERKARYA

Abad 15 dan 16 diwarnai dengan era penjelajahan. Pada 1519, setelah melalui perjalan laut dari Kuba, Henán Cortés tiba di pantai Meksiko. Saat itu juga ia mendeklarasikan Meksiko sebagai koloni Spanyol dan dirinya sendiri sebagai gubernur. Apa yang dilakukan Cortés setelah ia bersama tim ekspedisinya mendarat? Ia membakar dan menghancurkan kapalnya. Cortés membuang semua kemungkinan dirinya dan anak buahnya untuk bisa kembali ke Spanyol!

Dari sudut pandang ekonomi, apa yang dilakukan Cortés, tidak masuk akal. Mengapa? Bukankah ada banyak risiko ketika ia baru mendarat di belahan dunia baru yang asing sama sekali buat dirinya dan anak buahnya? Dia juga tidak pernah tahu apakah di wilayah yang didaratinya itu akan nyaman ditinggali atau tidak. Jadi, mengapa Cortés melakukannya? Komitmen! Ya, komitmen untuk memulai kehidupan yang baru, di negeri yang baru. Maka dengan komitmen itu Cortés bersama anak buahnya harus mengerahkan segala kekuatan mereka untuk memulainya. Armada kapal sudah dibakar, tidak ada jalan kembali. Cortés menghidupi komitmennya!

Nyatanya, tidak semua orang seperti Cortés yang mampu menghidupi komitmen atau tekadnya. Apa jadinya kalau kita adalah salah satu dari anak buah Cortés? Bukankah akan lebih aman kalau kapal ekspedisi itu tidak dihancurkan. Masih ada kesempatan untuk kembali jika keadaan tidak memungkinkan untuk sebuah kehidupan yang lebih baik. Gambaran seperti ini juga dapat kita jumpai ketika seseorang berkomitmen menjadi murid Yesus. Banyak orang gamang ketika diperhadapkan memilih melakukan dan menghidupi kehendak-Nya dengan kepentingan diri sendiri yang tampaknya lebih menyenangkan.

Kegamangan seperti ini digambarkan Paulus, "Sebab bukan apa yang aku kehendaki, yaitu yang baik, yang aku perbuat, melainkan apa yang tidak aku kehendaki, yaitu yang jahat, yang aku perbuat." (Roma 7:19). Paulus memahami bahwa melakukan hukum-hukum Tuhan itu baik, namun ada sesuatu, nafsu kedagingan yang sulit disingkirkan. Hukum Taurat berperan memberi tahu tentang dosa namun tidak menyelesaikan masalah. Paulus menyatakan bahwa hanya hidup di dalam Yesuslah yang dapat menyelesaikan masalah dosa. "Roh yang memberi hidup telah memerdekakan kamu dalam Kristus dari hukum dosa dan hukum maut." (Roma 8:2). Dengan begitu pada bagian lain, Paulus dapat berkata, "Sebab aku telah mati oleh hukum Taurat untuk hukum Taurat, supaya aku hidup untuk Allah . Aku telah disalibkan dengan Kristus; namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku. Dan hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman  dalam anak Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku."(Galatia 2:19-20).

Apa yang terjadi dengan Paulus? Totalitas! Ia menyerahkan diri dan hidupnya untuk menghidupi iman percaya dan komitmennya. Ia telah "membakar habis" apa yang dahulu menjadi kebanggaannya. Paulus menganggap kebanggaannya yang dahulu itu bagaikan sampah (bnd. Filipi 3:8). Kini, dengan sepenuh hati ia ingin orang lain merasakan dan mengalami kasih Allah yang melimpahinya. Ia menjadikan Yesus dan ajaran-Nya hidup di dalam dirinya!

Paulus, seperti kebanyakan ahli Taurat dan orang-orang Farisi, pada awalnya menolak apa yang diberitakan Yesus, tak terkecuali Yohanes Pembaptis pun meragukan Yesus sebagai Mesias. Sang Nabi yang di dalam penjara itu mengutus murid-muridnya bertanya tentang identitas Yesus. Yohanes mempertanyakan karya-karya  yang dilakukan Yesus, khususnya di Kapernaum dan sekitarnya. Bagi Nabi yang dipenjarakan ini, tampaknya apa yang dilakukan Yesus itu belum memenuhi kriteria "Dia yang akan datang itu". Tetapi Yesus menyampaikan kepadanya wahyu tentang apa yang penting dalam rencana Allah menurut Kitab Suci telah digenapi-Nya. Yohanes seharusnya menyimpulkan sendiri bahwa Yesuslah Mesias sejati.

Yesus menunjukkan karya yang benar, yakni kebijaksanaan ilahi, yaitu karya yang menggenapkan rencana Allah. Karya itulah yang menyatakan  dan membuktikan identitas Yesus yang sesungguhnya. Dialah orang yang "datang itu". Dia lebih besar dari Yunus (Matius 12:40), dari Salomo (Matius 12:42), dari Bait Suci sendiri (Matius 11:5 dst), melalui Dia Allah menyatakan belarasa terhadap mereka yang miskin, orang-orang kecil, mereka yang menangis karena beban berat (Matius 11:28), bagi mereka tersedia bukan hukuman melainkan kelegaan dan ketenangan.

Meski demikian banyak orang yang tidak mengakui-Nya, menolak bahkan berusaha membinasakan-Nya. Mereka disebut "angkatan ini", sebutan ini disematkan kepada para penduduk Khorazim, Betsaida, dan Kapernaum (Matius 11:20-24), lalu kepada kelompok ahli-ahli Taurat dan orang Farisi. Meski mereka orang-orang terpelajar, bergaul begitu dekat dengan Kitab Suci, karya-karya Yesus tetap "tersembunyi". Mengapa? Justru karena mereka "bijak dan pandai" (Matius 11:25)! Ya, bijak dan pandai berargumentasi dan berdalil namun tidak untuk menjadikan firman dan pengertiannya hidup di dalam darah dan daging mereka!

Kita bisa menjadi bagian dari warga penduduk Khorazim, Betsaida, Kapernaum dan "angkatan ini" ketika cukup puas dengan mengoleksi banyak pengetahuan tentang Kitab Suci, merasa sudah melayani ketika mengikuti acara-acara ritual ibadah, dan seterusnya. Benar, suatu perbuatan yang mulia ketika kita mendekatkan diri dengan Kitab Suci dan ritual-ritual ibadah. Namun, tidak cukup berhenti di sini. Kita harus menghidupi apa yang tertulis dalam Kitab Suci itu. Kita harus menjadikan ayat-ayat yang tertulis mati dalam lembaran kertas kitab itu menjadi darah dan daging. Hidup dalam setiap perilaku kita!

Ayat-ayat itu menjadi nyata terlihat seperti apa yang dilakukan Yesus sehingga Dialah benar-benar firman yang menjadi manusia. Seperti Paulus yang menyatakan bahwa hidupnya bukanlah dirinya lagi, melainkan Kristus yang ada di dalam dirinya. Bagaimana dengan kita? Betulkah, bahwa kita menghidupi karya Allah di dalam Yesus Kristus itu? Sehingga setiap orang yang bersentuhan dengan kita akan merasakan juga kehadiran-Nya?

Sama seperti Yesus yang mewujudkan karya Allah yang mengasihi itu dalam karya-karya nyata. Tidak banyak promosi! Demikian juga dengan para pengikut-Nya akan meneruskan karya-karya-Nya itu dengan wujud konkrit. Setiap orang yang terpanggil dan berkomitmen mengikut Dia, maka akan memprioritaskan hidupnya untuk menghidupi apa yang dipercayanya. Prioritasmu tidak diungkapkan dengan kata-katamu, mereka terungkap dalam seluruh tindakanmu, dan tindakanmu akan tercermin dari rutinitasmu.

Prioritas itu akan terlihat seberapa banyak engkau menghabiskan waktumu, mencurahkan perhatian dan pikiranmu dan melakukan apa yang engkau yakini sebagai kebenaran. Jangan mengaku bahwa kita telah memprioritaskan menghidupi karya Allah jika sebagaian besar waktu kita gunakan untuk bermain games, bermedsosria, dan memperjuangakan keinginan sendiri!

Benar, ini tidak mudah. Menghidupi karya Allah di dalam hidup kita bukanlah seperti kita menetapkan sebuah target atau pencapaian. Ini perjuangan seumur hidup! Menurut Bob Schwartz dalam bukunya, "Diets Don't Work, hanya 10 dari 200 orang yang berhasil dalam melakukan diet, dan hanya satu dari antara yang 10 orang itu yang berhasil mempertahankan berat badan ideal yang telah tercapai itu. Meskipun mungkin banyak orang yang telah mencapai tujuannya, jarang ada orang yang bisa mempertahankannya. Konsisten!

Hanya orang yang termotivasi kuat akan punya komitmen tinggi bahwa berat badan ideal itu sehat yang akan terus menjaga konsistensi diet itu. Jadi, ini bukan semacam target, kalau sudah dapat maka berhenti. Menghidupi firman atau kehendak Allah itu bukan semacam target. Tetapi gaya hidup yang terus-menerus sampai mati! Tidak pernah ada kata selesai bahwa kita telah melakukan bagian firman tertentu.

Hanya orang yang telah berjumpa, merasakan, mengalami cinta kasih Allah di dalam Kristus yang memungkinnya mempunyai motivasi dan komitmen kuat untuk meneruska karya cinta kasih Allah itu sampai Tuhan memanggilnya pulang. Selain Paulus, Anda salah satu kandidatnya!

 

Jakarta, 6 Juli 2023 Minggu Biasa Tahun A