Walau bertaburan kata-kata bijak tentang hal-hal positif di balik kegagalan, tetap saja yang namanya gagal menimbulkan kepedihan atau malah traumatis. Tidak semanis ungkapan "Gagal itu adalah kesuksesan yang tertunda", atau "Kegagalan merupakan guru yang paling baik", atau seperti yang diungkapkan oleh sang begawan penemu dan pemilik sejumlah besar hak paten, Thomas Alpa Edison, "Banyak kegagalan dalam hidup, mereka tidak menyadari betapa dekatnya mereka dengan keberhasilan di saat mereka menyerah!"
Bagi banyak orang, kegagalan adalah kenangan buruk yang menghantui setiap memulai sesuatu yang baru. Trauma! Bahkan, ada banyak orang, barang kali Anda termasuk di dalamnya, yang terus menggendong trauma itu sampai hari ini. Ketika gagal dalam ujian misalnya, lalu guru atau orang tuamu mengatakan, "Bodoh kamu, begitu saja tidak bisa!" Anda membawa terus sampai hari ini dan menerima label bahwa "saya memang orang bodoh". Dampaknya, tidak lagi mau memulai dan melakukan sebuah karya dengan alasan nanti aku akan gagal lagi.
Kenangan akan pengalaman kegagalan, menyakitkan. Pengalaman seperti ini akan mengingatkan kita bahwa kita tidak bisa mengatasinya. Lalu, kita mengambil pilihan lebih baik menjadi orang yang skepitis, masa bodoh! Padahal, sejatinya rasa sakit itu hanya ada ketika kita berada pada masa lalu.
"Perumpamaan tentang penabur" demikian judul yang disematkan oleh LAI dalam bacaan Injil hari ini. Tema kita juga berbicara tentang sang penabur, "Penabur yang setia". Bila kita cermat membaca bagian Injil ini, subyek "Penabur" hanya disebut satu kali saja, "....Adalah seorang penabur..." (Matius 13:3). Kisah selanjutnya adalah tentang benih yang jatuh di lahan yang berbeda-beda.
Cerita perumpamaan ini bertujuan memusatkan perhatiabn pembacanya pada benih dan berbagai macam hasil seturut tanah, tempat benih itu jatuh. Cerita ini sejatinya adalah cerita tentang kegagalan. Tiga kali benih itu gagal tumbuh, hanya satu yang berhasil. Dan, yang berhasil ini justru menghasilkan buah luar biasa sehingga menutup kerugian akibat tiga kali kegagalan itu.
Mendengar cerita tentang kegagalan itu, orang-orang yang mendengar khotbah Yesus di atas perahu itu mungkin saja terkesan bahwa sia-sialah pekerjaan si penabur itu. Lagi pula mengapa orang itu menaburkan benih bukan di tempat yang semestinya: lahan subur yang telah diolah dan disiapkanb terlebih dahulu. Bisa saja kita punya pendapat demikian. Namun, petani Galilea pada saat itu tidak menabur benih di tempat persemaian, setelah benih itu tumbuh baru dipindahkan ke ladang. Tidak seperti itu. Mereka biasa menabur begitu saja. Akibatnya? Ada sebagian yang jatuh ke tanah yang tidak baik, tanah itu keras. Atau jatuh di lapisan tanah yang sangat tipis, di atas bebatuan, atau ke tengah semak yang tumbuh di sekitar ladang itu. Benih-benih itu tidak menghasilkan buah!
Tiga kali benih itu gagal tumbuh! Namun, sekali yang tumbuh di tanah subur itu dapat mengonpensasi kegagalan-kegagalan itu. Hasil akhir sungguh di luar dugaan. Yesus berbicara dengan mengerti hati para pendengarnya. Seolah Ia mengatakan, "Biarpun seluruh karya-Ku tampaknya gagal atau sia-sia di mata sejumlah orang, kalian tidak boleh berputus asa. Justru sebaliknya, percayalah bahwa akhirnya karya-Ku akan menuai hasil yang menggembirakan!"
Lalu, kita bertanya: Bukankah benih firman TUHAN yang ditabur itu tidak akan pernah gagal dan kembali dengan sia-sia seperti ungkapan Nabi Yesaya? "...demikianlah firman-Ku yang keluar dari mulut-Ku: ia tidak akan kembali kepada-Ku dengan sia-sia, tetapi Ia akan melaksanakan apa yang Kukehendaki.." (Yesaya 55:11). Benar, bahwa firman Allah itu tidak pernah gagal dan kembali dengan sia-sia. Apalagi firman yang menjadi Manusia, mustahil gagal! Nyatanya dapat kita lihat, banyak orang yang melihat apa yang dilakukan Yesus semula sebagai sebuah tindakan yang "gagal". Di tanah tempat Dia dibesarkan, Dia ditolak. Meski semula orang berbondong-bondong mengikuti-Nya, akhirnya Yesus diserahkan untuk dihakimi dan dibunuh. Sungguh tanah tempat Injil ditabur itu keras, penuh bebatuan dan membahayakan!
Apa yang tampak sebagai kegagalan dan penolakan ternyata membuahkan hasil manis, tuaian dan panen itu menghasilkan berpuluh bahkan beratus kali lipat. Hasil akhir justru dapat mengkonpensasi bahkan dapat lebih menutup segala "kerugian" dari kegagalan itu. Firman TUHAN selalu berhasil dan tidak pernah kembali dengan sia-sia!
Penabur atau petani yang baik tentu akan menyimpan hasil panennnya di gudang untuk persediaan makan atau dijual untuk keperluan yang lain. Ia juga akan memilah dari hasil panen itu bulir-bulir yang bermutu untuk dijadikannya benih pada periode taman berikutnya. Ada peroses dari bulir yang baru dipetik itu untuk menjadi benih yang berkualitas. Penyimpanan dalam jangka waktu tertentu akan mematangkan benih sehingga ketika ditabur, benih-benih itu akan segera berkecambah, hidup dan terus bertumbuh!
Yesus Kristuslah penabur yang sesungguhnya. Namun, dalam "periode taman berikutnya", Ia mengutus murid-murid-Nya untuk menjadi pernabur-penabur selanjutnya. Sampailah nasab itu kepada kita sebagai orang-orang yang telah menerima firman itu. Dalam posisi inilah setiap orang Kristen terpanggil untuk menaburkan kembali benih-benih firman Allah sesuai dengan konteksnya masing-masing. Tentu saja menaburkan firman Allah bukan sekedar pandai dan fsih berbicara seperti ahli Taurat dan orang Farisi, melainkan seperti apa yang dilakukan oleh Yesus Kristus sendiri. Kata dan perbuatan-Nya menyatu dalam integras mumpuni maka Ia adalah firman yang hidup!
Seperti Yesus Kristus, setiap anak-anak Tuhan akan mengalami pelbagai kesulitan: tanah yang tandus, gersang, bebatuan atau semak duri. Menghadapi situasi seperti ini kita gampang frustasi, bahkan traumatik dan ogah untuk melayani kembali. Namun, apa yang dikatakan Yesus juga harus menjadi kekuatan bagi kita untuk terus menabur. Sebab, akan ada hasil yang tidak dapat kita bayangkan sebelumnya: berpuluh kali bahkan beratus kali lipat yang dapat mengkonpensasi kegagalan-kegagalan itu.
Seorang guru Sekolah Minggu yang sudah mulai menua bercerita tentang pergumulan dalam melayani akhir-akhir ini. Anak-anak semakin rewel, seolah tidak mau tahu dengan cerita yang sudah setengah mati dipersiapkan seminggu sebelumnya, Majelis Jemaat seolah tidak mau peduli dengan fasilitas dan kebutuhan Komisi Anak, dalam keluarga dikeluhkan terlalu banyak menyita waktu untuk kegiatan gereja dan pelayanannya. "Sudahlah, kalau begini buat apa melayani aku sudah lelah!" Namun, betapa terkejutnya ketika guru sekolah minggu ini menyimak sebuah berita tentang sorang hakim yang memutuskan perkara dengan adil meskipun risikonya sangat tinggi. Sang Hakim itu berkata, "Apa yang saya lakukan, saya berpegang pada keyakinan saya. Dulu, guru sekolah minggu saya mengajarkan bahwa Tuhan berpihak pada orang-orang miskin, lemah dan teraniaya. Tuhan menghendaki saya untuk melakukan kehendak-Nya!"
Sang Guru Sekolah Minggu ini melihat bahwa wajah hakim itu tidak asing lagi buat dirinya. Lalu penasaran ia melihat di bawah layar itu nama sang hakim tampak. "Ya, Tuhan ternyata dia adalah salah seorang murid sekolah minggu yang dulu sering bermasalah!"
Bisa jadi apa yang Anda lakukan sekarang seperti menabur di bebatuan dan tanah tandus. Namun, ingatlah akan selalu ada benih yang tumbuh di lahan yang subur. Benar, sang penabur itu hanya disebut satu kali saja dalam perumpamaan Yesus, setelah itu tidak lagi diceritakan. Mungkin juga Anda yang melayani dan menabur tidak akan pernah diceritakan dan disebut-sebut lagi, namun percayalah bahwa firman Tuhan yang ditabur dengan tulus, tidak pernah akan kembali dengan sia-sia. Oleh karena itu tugas kita adalah: Jadilah penabur-penabur yang setia!
Jakarta, 13 Juli 2023, Minggu Biasa Tahun A.