Rabu, 05 April 2023

MENGASIHI MULAI DARI YANG TERDEKAT

Seolah mudah dan lumrah jika kita diminta mengasihi sesama itu dimulai dari lingkaran terdekat dalam hidup kita. Suami-istri, orang tua- anak, kakak dan adik. Orang akan mengatakan wajar dan seharusnya begitu jika saya mengasihi istri, anak, orang tua, kakak atau adik. Namun, bukankah merupakan kenyataan juga bahwa ada banyak orang yang terluka dan mengalami trauma justru oleh orang-orang terdekat? Ada banyak kasus putus hubungan orang tua – anak, cerai suami – istri bahkan saling bermusuhan, perang saudara akibat berebut harta waris merupakan gambaran bahwa mengasihi orang-orang terdekat itu tidak mudah!

 

Yesus tahu dengan jelas bahwa orang-orang terdekat-Nya akan meninggalkan diri-Nya pada saat-saat genting. Tidak hanya itu, Ia tahu bahwa dari kedua belas murid-Nya itu ada yang akan menyangkal, bahkan tiga kali. Padahal ia adalah orang terdekat yang selalu tampil paling depan. Yesus sangat mafhum jika ada murid-Nya yang akan berkhianat, sekongkol dengan orang-orang yang membenci-Nya. Yesus tahu, nyawa-Nya hanya dihargai 30 keping uang perak oleh murid-Nya sendiri! 

 

Mengapa Yesus membiarkan mereka tetap menyertai-Nya, bahkan duduk bersama semeja dalam sebuah perjamuan? Bayangkan jika Anda tahu ada orang-orang terdekat Anda yang akan berkhianat, melakukan tindakan-tindakan keji terhadap Anda, apakah Anda masih tetap mau menerimanya? Masihkah Anda mau mengasihinya dengan tulus?

 

Cinta bisa membuat orang melakukan apa yang tidak lazim! Cinta Yesus melebihi penyangkalan, penolakan dan penghianatan dari orang-orang terdekat-Nya. Cinta-Nya selalu memberi kesempatan bagi siapa saja untuk berubah, untuk menanggalkan egoisme dan rasa menang sendiri. Sejatinya, ketika para murid begitu dekat dengan-Nya: mendengar ajaran dan melihat tindakan-Nya mereka memahami bahwa Sang Guru yang begitu agung sangat mengasihi mereka. Mereka dapat belajar mencontoh apa yang diperbuat-Nya meski di kalangan budaya mereka hal itu tidak lazim.

 

Cinta bisa membuat tindakan yang tidak lazim. Ya, lazimnya orang membasuh kakinya sendiri sebelum masuk ke ruang perjamuan sebagai ungkapan hadir dalam keadaan bersih. Dan hanya tamu yang dihormati saja, misalnya seorang guru atau tokoh, orang yang dituakan akan dibasuh kakinya. Bila ada pembasuhan kaki, maka itu pun akan dilakukan sebelum perjamuan dimulai. Namun, Injil Yohanes yang sering disebut Injil Cinta Kasih, menceritakan bahwa Yesus Sang Guru itu membasuh kaki para murid-Nya. Sekali lagi ini tidak lazim! Tidak ada ceritanya guru membasuh kaki murid-muridnya!

 

Lagi pula, pembasuhan ini terjadi bukan di awal, buka ketika seseorang akan masuk ruang perjamuan agar masuk dalam keadaan bersih. Jelas, ini ada maknanya. Yesus membasuh kaki para murid itu tepat di tengah-tengah perjamuan, “Lalu bangunlah Yesus dan menanggalkan jubah-Nya. Ia mengambil sehelai kain lenan dan mengikatkan-Nya pada pinggang-Nya, kemudian Ia menuangkan air ke dalam sebuah basi, dan mulai membasuh kaki murid-murid-Nya lalu menyekanya dengan kain yang terikat pada pinggang-Nya itu.”(Yohanes 13:4,5). Jika pembasuhan ini tidak biasa dilakukan seperti ini, lalu apa maknanya?

 

Dalam Injil Yohanes sangat kental Yesus digambarkan menyadari diri-Nya datang dari Allah dan kembali kepada Allah, karena itu seharusnya mereka yang bergaul dengan Yesus dari dekat akan mengenali Yang Ilahi. Mereka yang akrab dengan-Nya akan mengerti firman yang menjadi Manusia! Setidaknya, ini semua diajarkan dan diperagakan Yesus di depan mata mereka, termasuk pembasuhan kaki pada perjamuan malam terakhir itu. Yesus menyatakan kepada orang-orang terdekat-Nya itu bahwa mereka sedemikian berharga, sedemikian terhormat sehingga untuk itu Ia rela membasuh kaki mereka!

 

Lebih dari itu, Yesus ingin berbagi kepada mereka tentang jati diri-Nya yang berasal dari Bapa dan akan kembali kepada Bapa, Yesus ingin menyatakan kasih-Nya secara nyata kepada mereka. Inilah yang dimaksud dengan mengasihi “sampai pada kesudahannya” (eis telos). Yesus menyatakan cinta-Nya tidak setengah-setengah, tetapi sampai tujuan kedatangan-Nya terlaksana, yakni membawa manusia ke dekapan Allah, asal Terang dan Kehidupan itu. 

 

Pembasuhan kaki yang tidak lazim itu dijelaskan Yesus sebagai teladan bagi para murid, agar mereka berbuat seperti itu satu dengan yang lainnya. Teladan ini kemudian menjadi bekal kehidupan orang-orang percaya bahwa Yesus itu datang dari Allah dan kembali kepada-Nya setelah berhasil memperkenalkan siapa Allah itu sesungguhnya. Setiap pengikut Yesus yang berhasil menangkap bekal itu pasti akan tercermin dalam tutur kata, sikap dan tingkah lakunya. Ia akan meneruskan teladan yang diterimanya dari Yesus kepada semua orang dimulai dari orang-orang terdekat. 

 

Yang jelas bukan sekedar mempraktikkan pembasuhan kaki secara harfiah, melainkan menangkap makna dari tindakan tersebut. Tidak ada gunanya ritual pembasuhan kaki yang dipertontonkan jika tidak mau mengubah diri menjadi pribadi yang mau melayani, menganggap orang lain lebih penting dari diri sendiri. Tidak ada gunanya juga membasuh kaki orang lain, jika orang-orang terdekat dalam rumah sendiri diabaikan. 

 

Yesus Kristus telah meninggalkan teladan yang begitu luhur. Ia membasuh kaki para murid secara simbolis dan menindaklanjuti dengan sebuah tindakan pengorbanan kasih di kayu salib. Ia menempuh jalan itu nyaris sendirian sebab para murid-Nya meninggalkan Dia. Yesus tidak pernah berhenti mengasihi mereka sekalipun mereka seperti itu. Yesus tidak trauma, menjaga jarak dan tidak lagi mau berhubungan dengan mereka. Tidak! Terbukti nanti, ketika Yesus bangkit, Ia mencari dan meneguhkan kembali para murid yang kocar-kacir itu.

 

Anda dan saya sangat berpotensi terluka oleh orang-orang terdekat kita. Sebaliknya, kita juga sangat mungkin berpotensi melukai orang-orang terdekat kita. Milikilah kasih seperti kasih Yesus. Meski Ia tahu bahwa orang-orang terdekat-Nya mengecewakan namun Ia tetap mengasihi mereka. Yesus juga tetap mengasihi kita, walaupun Ia tahu, kita banyak mengecewakan-Nya. Milikilah kasih Yesus, kasih yang lebih besar dari pada kegagalan, penyangkalan dan penghianatan para murid. Milikilah kasih Yesus, kasih yang lebih besar dari keberdosaan kita, kasih yang selalu membangun relasi, yang mendekatkan kita kepada kasih Allah sendiri!

 

Jika hari ini Anda sedang menjauh dan berpikir untuk memutuskan hubungan dengan orang-orang terdekat Anda karena alasan bahwa mereka telah mengecewakan dan menyakiti. Pandanglah pada kasih Yesus, kasih yang tidak menyerah dengan rasa sakit dan kecewa, kasih yang menang dari penyangkalan dan pengkhianatan. Bangunlah kembali relasi, sekalipun Anda berpikir akan berpotensi tersakiti lagi, namun percayalah pada akhirnya Anda akan bahagia dapat meneruskan kasih Yesus yang hari ini diteladankan untuk kita semua!

 

Jakarta, 5 April 2023 Kamis Putih tahun A

Kamis, 30 Maret 2023

LEMAH LEMBUT SEPERTI YESUS

Flexing, menjadi kata yang belakangan ini sangat populer. Twitter, Instagram, TikTok dan platform media sosial lainnya menjadi sarana atau wahana orang ber-flexingFlexing sering diartikan sebuah tindakan pamer kekayaan melalui media sosial. Beberapa pakar ilmu sosial berpendapat bahwa budaya flexing sebenarnya sudah ada jauh sebelum marak dan berkembangnya media sosial. Pada umumnya orang ingin menampilkan apa yang menjadi keunggulannya.  Orang ingin terlihat memiliki kekayaan, kekuasaan, ingin terlihat menarik secara fisik dan populer!

 

Ketika Yesus masuk Yerusalem, Ia tidak sedang flexing, memamerkan kekuasaan-Nya tampil sebagai Raja. Tidak! Kehadiran-Nya sangat bersahaja. Sederhana! Namun, Kota Raja Besar, itu bergetar! Guncangannya bak lindu yang memaksa penduduknya keluar. Ini kali kedua, Yerusalem bergejolak. Keduanya disebabkan oleh berita yang sama: Kedatangan Sang Raja! Peristiwa pertama berita kedatangan Sang Raja itu didengungkan oleh para cendikia bijak, yakni orang-orang Majus dari Timur. Sesampainya di Yerusalem mereka bertanya tentang raja orang Yahudi yang baru dilahirkan. Ketika pertanyaan itu sampai di telinga Herodes, gemparlah seluruh Yerusalem!

 

Peristiwa kedua adalah ketika Sang Raja itu memasuki Yerusalem. Putri Sion, penduduk Kota Raja Besar itu diajak bergembira menyambut kedatangan Sang Raja Penyelamat. Bagi Matius kedatangan Yesus Kristus ke Yerusalem merupakan penggenapan dari Yesaya 62:11 dan Zakharia 9:9, “Bersorak-soraklah dengan nyaring, hai putri Sion, bersorak-sorailah, hai putri Yerusalem! Lihat, rajamu datang kepadamu; ia adil dan jaya. Ia lemah lembut dan mengendarai seekor keledai beban muda.”

 

Tentu saja Matius menyadari bahwa Raja itu adil dan jaya. Namun, kali ini ia fokus pada sisi “lemah-lembut” sehingga Matius menulisnya dengan, “Katakanlah kepada puteri Sion: Lihat, Rajamu datang kepadamu, Ia lemah lembut dan mengendarai seekor keledai, seekor keledai beban yang muda.” (Matius 21:5). Dalam pemahaman Matius dan orang-orang yang berharap penuh akan kedatangan Mesias; Mesias yang akan datang itu adalah sosok yang memiliki wibawa seorang raja: Ia adil dan jaya sekaligus juga adalah sosok lemah lembut, maksudnya adalah Mesias yang memahami kerapuhan manusia. Memang seolah-olah ada dua tokoh satu sisi kebesaran dan sisi lain kelemah-lembutan. Kedua-duanya mendatangi Yerusalem bersamaan.

 

Kita dapat membayangkan Raja yang dinanti-nantikan itu datang. Ia yang diharapkan itu adalah Raja perkasa yang adil dan jaya yang akan mewujudkan mimpi-mimpi mereka sebagai kaum tertindas dari imperium Romawi. Namun, pada saat yang sama Raja itu justru tampil sangat sederhana. Naik keledai! Ini tidak biasa karena keledai bukanlah tunggangan para pahlawan yang siap berkonfrontasi dengan siapa pun yang dianggap lawan. Keledai adalah tunggangan niaga; kendaraan damai!

 

Matius mengajak mereka yang mendengar berita Injilnya melihat dengan mata batin. Bukan dua figur berbeda yang mendatangi Kota Raja Besar itu. Tetapi satu sosok dengan dua kontras berbeda: sosok yang adil dan jaya tetapi juga lemah lembut. Ini bagaikan dua sisi mata uang yang sama. Sang Mesias yang datang itu adalah Raja yang penuh dengan wibawa tetapi juga utusan Tuhan yang lemah lembut. 

 

Keledai, mengapa bukan kuda atau kereta perang? Meski keledai sering dipergunakan untuk mengangkut barang, namun belum tentu setiap orang bisa menungganginya dengan baik. Lebih sukar mengendarai keledai ketimbang hewan tunggangan yang lainnya. Keledai biasanya bukan hewan penurut, lagi pula tidak dapat berjalan dengan cepat. Oleh karena itu, keledai banyak digunakan untuk mengangkut barang, bukan dikendarai orang. Keledai yang mengangkut barang itu pun harus dituntun oleh pemiliknya agar dapat mengarahkannya kapan harus belok, diam dan berjalan. Hanya orang yang “pintar” yang bisa menunggangi keledai tanpa ada yang mengarahkannya di depan. Apalagi keledai yang belum pernah dikendarai orang. Kita mengingat kisah Bileam, seorang ahli ilmu gaib yang diminta oleh Raja Balak, tetapi akhirnya Bileam yang menunggangi keledai betina itu memahami apa dan siapa yang sedang dihadapinya dan tidak jadi menuruti permintaan raja angkara murka itu (Bilangan 22-24)

 

Kini, Yesus memasuki Yerusalem dengan mengendarai keledai. Jelas ia bukan teman seperguruan dari Bileam. Tetapi Yesus adalah orang yang tahu mengarahkan tunggangan yang sukar itu. Melalui drama simbolik ini, mau mengatakan bahwa: Yesus adalah orang yang penuh kearifan. Ia dapat menyatukan kejayaan dan kelemah-lembutan, dua kenyataan yang melekat pada diri seseorang yang sangat sulit dibayangkan!

 

Orang-orang yang menyambut-Nya dengan antusias menghamparkan pakaian di jalanan ketika Yesus lewat. Apa maksudnya? Pertama, Dia yang lewat itu pasti tidak akan menjejak tanah yang kerap dipakai untuk menggambarkan kerapuhan serta kelemahan manusia. Yang mendatangi Yerusalem ini adalah Raja yang mengatasi kelemahan dengan kebijaksanaan yang lembut namun berwibawa. Tindakan menghamparkan pakaian itu menggambarkan kesediaan orang-orang yang melakukannya untuk tunduk kepada Dia yang sedang mendatangi mereka dengan kebijaksanaan. Pakaian membuat orang yang memakainya menjadi jelas. Pakaian menjelaskan identitas pemakainya. Bila pakaian itu dilemparkan, digelar untuk menjadi alas orang yang berwibawa berarti menandakan bahwa yang memakainya bersedia menghambakan diri kepada orang tersebut!

 

Betulkah mereka menghambakan diri kepada Raja Mesias yang sedang lewat itu? Belum tentu! Ketika Yesus masuk dan menggemparkan Yerusalem, kekuatan-kekuatan yang mengancam dan membenci Yesus belum terakumulasi menjadi sebuah kekuatan besar. Namun, sebentar lagi kekuatan-kekuatan yang mau menyingkirkan kuasa yang lemah lembut itu akan segera menyatu, tampil dan menangkap serta menganiaya Yesus! Pada saat itulah orang-orang yang mengelu-elukan Yesus dan menyatakan diri tunduk kepada-Nya mulai berbalik dan menyatu dengan kekuatan destruktif. Mereka Bersatu menyerukan kematian bagi Sang Raja yang lemah lembut itu!

 

Di Minggu pra-paskah terakhir kita diajak untuk meneladani karakter dan sifat Yesus yang lemah-lembut. Lemah lembut bukanlah semata-mata murah senyum, ramah dan penuh kesantunan dan tidak pernah marah. Musa, dalam Alkitab dicatat sebagai pribadi yang lemah lembut, Bilangan 12:3 mengatakan, “Adapun Musa ialah seorang yang sangat lembut hatinya, lebih dari setiap manusia yang di atas muka bumi.” Namun, Musa bisa tampil sangat tegas, ia bisa marah! Lemah lembut adalah sikap yang mau mengerti dan peduli. Ia bisa marah pada saat yang tepat dengan kadar yang tepat dan alasan yang jelas. Kemarahannya bukan lantaran kepentingan pribadi yang terusik. Namun karena apa yang seharusnya tidak dilakukan. Orang yang lemah lembut bisa marah kalau kehendak Tuhan dilecehkan. 

 

Kelemah-lembutan Yesus mengajarkan kepada kita untuk senantiasa rendah hati walaupun sedianya Yesus bisa tampil dengan kejayaan-Nya namun Ia tidak memakai-Nya untuk menjadi jalan pintas menjatuhkan lawan-lawan-Nya. Paulus dengan indah membahasakannya, “…yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia…”(Filipi 2:6,7). Yesus setia kepada kehendak Bapa-Nya. Bisa saja pada saat ini Tuhan menitipkan kepada kita kuasa dan takhta untuk mengatur dan memerintah. Apakah dengan mudah kita menggunakan untuk kepentingan dan kesenangan diri sendiri? Apakah kita menggunakannya untuk memperlancar urusan pribadi kita? Senang memamerkan kekayaan dan kepandaian? 

 

Jakarta, 29 Maret 2023 Minggu Palmarum tahun A 2023