Kamis, 12 Mei 2022

TUAH KATA KASIH

Emanuel James Rohn, motivator ulung kelahiran Washington, 17 September 1930 pernah mengatakan, “Dirimu adalah rata-rata adalah dari lima orang yang paling banyak menghabiskan waktu bersamamu.” Kalimat ini paling banyak dikutip orang sebagai petuah agar berhati-hati dalam pergaulan. Sejalan dengan itu, James Altucher menasihati para penulis dan wirausahawan muda untuk menemukan “pangkalan”, tempat nongkrong mereka – sekawanan teman sebaya yang menolong mereka untuk menjadi lebih baik. Ayah Anda mungkin pernah memberi peringatan ketika dilihatnya Anda menghabiskan waktu dengan anak-anak nakal: “Ingat, kamu akan jadi seperti teman-temanmu.” Goethe to the point, “Coba katakan kepadaku dengan siapa kamu senang bergaul dan akan kukatakan siapa dirimu. Bila aku tahu bagaimana kamu menghabiskan waktumu, maka aku tahu kamu akan jadi orang seperti apa?”

 

Untuk menguji kebenaran kalimat Jim Rohn, James Altucher, dan Goethe kita dapat mengatakan, begini: “Murid-murid Yesus menghabiskan waktu mereka bersama dengan Yesus. Mereka nongkrong, berjalan berkeliling, makan, minum, bermalam, dan melakukan segala kegiatan bersama-sama dengan Yesus. Mereka tinggal bersama dengan Yesus. Mestinya mereka jadi seperti Yesus. Mereka berpikir, berucap, dan bertindak seperti Yesus!” Namun, nyatanya tidak. Dari beberapa kisah Injil memperlihatkan perilaku dan karakter mereka. Ada yang berebut minta posisi kekuasaan, ada yang mementingkan uang, ada yang menyangkal dan tak kalah menyeramkan, ada sang penghianat!

 

Salah satu tema besar Injil Yohanes adalah tinggal di dalam Yesus (meno). Maksud tinggal bersama Yesus bukanlah melulu pada fisik. Bisa saja secara badani tinggal dan menghabiskan waktu bersama dengan Yesus, tetapi pikiran, angan-angan mengembara ke mana-mana. Bisa saja kita beribadah di gereja, tinggal (ada) di gedung gereja menikmati kebaktian tetapi pikiran mengelana ke mana-mana. Ibadah belum selesai pikiran sudah ada di mall, tempat wisata dan lain sebagainya. Yesus menjelaskan tinggal bersama-Nya itu seperti ranting yang menempel pada pokok anggur. Hanya dengan cara itulah para murid akan menghasilkan “buah”. “Jika kamu tinggal di dalam Aku dan Firman-Ku tinggal di dalam kamu …”. Ternyata rahasianya di sini: Tinggal di dalam Yesus bukan hanya secara fisik, melainkan juga Firman-Nya itu mendapat tempat di hati kita. Artinya, kita harus memberi ruang di dalam hati kita untuk Sang Firman itu tinggal!

 

Yudas, tidak bisa memberi ruang bagi firman itu. Ia memilih hengkang menerobos kegelapan untuk bergabung dengan mereka yang “gelap” hatinya. Siapakah Yudas? Siapakah pribadi yang aneh, ruwet, yang tampil dalam Injil tiga kali dalam tiga peristiwa yang berbeda, dan setiap kali tampil ia bertentangan dengan Yesus? Dalam kisah Injil kita membaca, Yesus membasuh kaki para murid-Nya. Iblis telah masuk ke dalam hati Yudas. Dalam hatinya, Yudas mempunyai gagasan untuk menyerahkan Yesus ke tangan orang-orang yang membenci-Nya. Yesus yang telah membasuh kakinya, yang kemudian menyerahkan roti yang sudah dicelupkan ke dalam air anggur. Jelas, ini merupakan tindakan kasih luar biasa. Di luar kebiasaan. Biasanya murid yang membasuh kaki gurunya, biasanya murid yang menjamu gurunya. Ini luar biasa!

 

Yudas yang terpenjara dalam kegelapan, yang hatinya penuh dengan keserakahan dan kebencian, tidak bisa tenang. Ia tidak mampu membuka diri terhadap Yesus. Ia tidak bisa memberi ruang hati untuk Sang Firman tinggal. Maka, ia hengkang dalam kegelapan batin dan menyatu dengan kegelapan malam. Bagaimana kita menjelaskan orang yang selama ini bersama dan menghabiskan waktu dengan Yesus, kemudian menjadi orang yang berbalik, menghianati Yesus? Ada orang yang membenci kasih dan marah kepada kasih. Mereka menginginkan kekuasaan, efisiensi, kemakmuran, pengakuan terhadap kekuasaan, kekuatan, identitas pribadi. Bagi mereka kasih adalah kelemahan, kekosongan yang mengerikan. Dalam kasih, kita menyerahkan diri kepada dia yang kita kasihi. Bahkan kita membagikan kelemahan kita dengan orang lain. Dalam kadar tertentu kita kehilangan kemerdekaan. Kita menawarkan dan memberikan diri kita kepada yang kita kasihi.

 

Bagi Yudas, kasih yang diucapkan dan sebelumnya diperagakan oleh Yesus adalah bentuk kelemahan. Bagi Yudas kasih seperti ini tidak bertuah. Tidak ada gunanya! Bisa jadi, dalam kehidupan kita juga enggan melakukan apa yang dicontohkan dan diajarkan Yesus. Siapa sih yang mau jadi jongos? Siapa sih yang mau jadi pelayan? Bukankah yang lebih menyenangkan adalah hidup dilayani? Hidup memerintah dan berkuasa?

 

Ketika Yudas meninggalkan ruangan, seolah Yesus menyerukan kemenangan. Yesus tidak pernah membelenggu orang untuk selalu ada dekat-Nya. Ia membebaskan Yudas dengan sikapnya. Namun, di lain pihak kasih yang diajarkan-Nya akan terus hidup. Selanjutnya, Yesus memanggil para murid dengan sebutan “anak-anak-Ku, karena dalam arti spiritual mereka masih anak-anak kecil. Mereka masih belum matang mereka akan terus diajari tentang kasih, kata-Nya, “Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu, demikian pula kamu harus saling mengasihi. Dengan demikian semua orang akan tahu bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi.” (Yohanes 13:34,35).

 

Yesus mengatakan bahwa perintah-Nya itu adalah perintah baru. Apakah Yesus adalah orang pertama yang memberikan perintah untuk saling mengasihi? Tentu saja tidak! Perintah untuk saling mengasihi sudah menjadi aturan hidup dalam tradisi Perjanjian Lama (Imamat 19:18). Tradisi non Yahudi juga sudah mengenal perintah untuk saling mengasihi sebagai prinsip hidup bersama. Lalu, apa yang membuat perintah Yesus ini disebut perintah baru? Yang membuat perintah ini menjadi baru adalah kualifikasi! “Sama seperti Aku telah mengasihi kamu” Kasih para murid Yesus mengalir dari kasih Yesus itu. Kebaruan itu terletak pada kasih Yesus yang menjadi dasar dan sumber kasih mereka. Kasih Yesus mengalirkan aliran-aliran kasih bagi mereka yang harus mereka teruskan kepada orang banyak.

 

Oleh karena itu para murid Yesus akan mengasihi dengan kasih yang dijiwai oleh kasih Yesus. Kasih yang bukan menuntut pamrih, kasih yang bukan untuk menyejahterakan dan memopulerkan diri sendiri, kasih yang tidak menarik keuntungan, melainkan agar semua orang mengalami kasih Yesus sebagaimana telah mereka alami. Mengasihi bukan lagi karena tuntutan etis, melainkan meluap dari sumber kasih itu. Inilah yang kemudian menjadi ciri utama dari murid-murid Yesus. Inilah kata kasih yang bertuah itu. Identitas para pengikut Kristus bukan terletak seberapa sering ia menghabiskan waktu di gereja, seberapa banyak memberi sumbangan dan seberapa sering mengucapkan kata-kata rohani. Tidak cukup hanya ini!

 

Identitas atau ciri utama pengikut Kristus adalah sejauh mana ia menjalani hidup ini mengisinya dengan cinta kasih. Cinta kasih yang dimaksud adalah cinta kasih yang bersumber dari Yesus Kristus. Kata-kata kasih itu akan bertuah, artinya mempunyai dampak positif ketika dilakukan. Kata-kata kasih Yesus bertuah sampai detik ini oleh karena pertama-tama Yesus menjadikan kasih itu bukan saja sebagai bahan kurikulum pembelajaran para murid, melainkan karena Ia sendiri menghidupinya. Tidak hanya membasuh kaki dan melayani perjamuan malam, Yesus juga akhirnya membuktikan tuah kata kasih itu dengan memikul salib, disalibkan dan mati. Ia memberikan nyawa-Nya demi siapa saja yang dikasihi-Nya.

 

Mengapa kata-kata kasih kita sering kehilangan “tuah”, tidak membawa dampak baik? Sangat mungkin karena kita terlalu banyak bicara dan menunjuk orang lain. Bisa jadi juga kita punya karakter seperti Yudas, atau jangan-jangan kehadiran dan waktu yang kita habiskan atas nama pelayanan gerejawi hanya sebagai kata-kata klise?

 

 

Jakarta, Minggu Paskah ke-5, Tahun C 2022

Kamis, 05 Mei 2022

EVERLASTING LIFE

EVERLASTING LIFE

 

Panjang umur adalah salah satu doa yang sering kita ucapkan untuk teman, kerabat dan sahabat kita yang berulang tahun. Mungkin itu adalah harapan kita juga. Namun, seriuskah kita dengan doa dan harapan itu? Michael Hebb dalam karyanya “Let’s Talk About Death Over Dinner” memberi judul dalam setiap babnya dengan kalimat tanya. Ada sebuah bab yang menarik tentang seberapa keinginan orang untuk meraih umur panjang. Judul bab itu, begini: “Jika kamu bisa memperpanjang hidupmu, berapa BANYAK tahun yang akan kamu TAMBAHKAN? Dua puluh, lima puluh, seratus, selamanya?”

 

Tampaknya Hebb serius, ia menanyai beberapa orang. Di luar dugaan, ternyata beberapa orang perpendapat, dengan usia yang panjang justru merupakan kondisi mengerikan. “Dengan asumsi kualitas hidup yang baik - cukup lama untuk memiliki hubungan yang bermakna dengan cucu-cucu kesayangan - maka mungkin tambahan dua puluh tahun… jawaban sederhana adalah bahwa aku ingin hidup selama itu masih kata kerja. Aku ingin hidup sampai hari akuy tidak lagi menggendong cucu, mengingat nama anak-anakku, mengemudi, memberi makan diri sendiri, dan berjalan tanpa bantuan serta sehari setelah kehilangan teman baik terakhirku. Aku telah melihat betapa kesepiannya menjadi satu-satunya yang tersisa. Jika itu lima puluh tahun, itu akan bagus. Namun, … sisi lain pertanyaan itu adalah aku tidak yakin ingin hidup di dunia dengan perubahan iklim yang tidak terkendali. Aku merasa, aku akan sangat merindukan hari-hari ketika kita memiliki keindahan alam yang dunia inginkan untuk kita tinggali.” Begitu salah satu tanggapan favorit dari survei yang dilakukan Hebb.

 

Sangat mungkin, kita berpikir dengan cara demikian ketika usia beranjak tua dan kondisi menjadi renta. Alih-alih kebahagiaan, hidup menjadi susah dan kesepian. Kehilangan makna! Kalau demikian, mestinya kehidupan kekal yang dijanjikan Tuhan Yesus bukan berarti hidup dengan umur panjang yang tidak kunjung mati. Melainkan, kehidupan kekal itu sejajar dengan kehidupan yang bermakna; kehidupan yang berkualitas. Banyak orang mengartikan bahwa kehidupan kekal itu hanya diperoleh di seberang kematian. Kita akan dibangkitkan dan memperoleh ganjaran hidup kekal!

 

Benar! Kehidupan kekal sepenuhnya dikaruniakan Allah setelah kita berjuang di dunia ini. Namun, hal ini bukan berarti selagi kita hidup di dunia tidak dapat menikmati kehidupan kekal itu. Jika saja kehidupan kekal itu dikaitkan dengan hidup yang bermakna dan hidup yang berkualitas, justru di dunia inilah kita harus memberi makna pada kehidupan kita. Hidup kita harus menampakkan hidup yang berkualitas. Kualitas sebagai domba-domba gembalaan Yesus Kristus!

 

“Death be not proud”   merupakan kalimat pertama sonata abad ke-17 yang ditulis oleh John Donne, yang selama berabad-abad digunakan untuk mereka yang sedang berkabung, dengan keyakinan bahwa kematian hanya sebuah gerbang menuju kehidupan abadi. Ini merupakan suatu cara untuk tidak membiarkan kematian dipandang sebagai suatu kemenangan terhadap kita. Salah satu pelajaran penting berharga adalah bahwa kematian berjalan paralel dengan cara memandang kehidupan. Jika kematian hanya dipandang sebagai musuh yang pada akhirnya mengalahkan kita, maka kehidupan kita tidak bermakna (David Kessler : Finding Meaning: The Sixht Stage of Grief). Selanjutnya, Kessler menguraikan bahwa kematian menjadikan hidup lebih bermakna. 

 

Ketika kita sadar bahwa hidup kita di dunia ini berujung pada kematian, maka kita akan menjadikan kehidupan ini penuh makna. Tidak main-main dengan waktu atau kesempatan yang Tuhan berikan untuk kita hidup. Sebab, di balik kematian itu ada gerbang kehidupan abadi. Nah, apakah gerbang itu akan terbuka lebar untuk kita atau tertutup rapat? Ini sangat bergantung dari bagaimana kita hidup sekarang ini.

 

Hidup abadi sangat bergantung pada masa kini, selagi kita hidup. Hidup abadi itu bersumber pada sikap iman kita sekarang kepada Kristus, apakah menyambut atau menolaknya. Apakah kita benar-benar telah menjadi domba-domba gembalaan-Nya atau bukan. “Domba-domba-Ku mendengarkan suara-Ku dan Aku mengenal mereka dan mereka mengikuti Aku, dan Aku memberikan hidup yang kekal kepada mereka dan mereka pasti tidak akan binasa sampai selama-lamanya dan seorang pun tidak akan merebut mereka dari tangan-Ku”(Yohanes 10:27-28). 

 

Mengapa Yesus dapat memberikan hidup yang kekal? Sebab, Yesus adalah Sang Firman yang sehakekat dengan Allah. Kebangkitan-Nya menegaskan bahwa Yesus adalah Yesus sehakekat dengan Allah Bapa yang kekal sehingga berkuasa memberikan kehidupan yang abadi. Domba-domba tidak dapat direbut dari tangan Yesus karena tangan-Nya menyatu dengan tangan Bapa. Kesatuan tangan ini mengungkapkan siapakah Yesus sesungguhnya sebagai Mesias - ini yang sulit dipahami oleh mereka yang “di luar” Yesus, yang menuntut-Nya membuktikan kemesiasan-Nya. Seharusnya mereka dapat melihat, di mana Yesus bertindak, di situ Bapa bekerja (bnd. ayat 25: pekerjaan-pekerjaan yang Kulakukan dalam nama Bapa). Dalam pekerjaan Yesus, Allah sendiri bekerja dengan penuh kuasa. Karena itu hubungan Yesus dengan murid-murid-Nya; sama seperti hubungan Gembala dan domba tidak dapat diputuskan oleh apa dan siapa pun. Inilah hidup abadi (everlasting life)! Dasarnya adalah kuasa Bapa yang telah memberikan mereka kepada Yesus; kesatuan Yesus dengan Bapa. “Aku dan Bapa adalah satu.”

 

Makna kalimat ini hanya dapat dimengerti oleh “kawanan domba Yesus” sehingga makna kalimat ini akan membawa setiap kawanan domba itu memberi makna dalam hidup mereka masing-masing. Sebab, di luar kawanan domba gembalaan-Nya, mereka menuntut Yesus membuktikan Mesias seperti apa yang dulu dilakukan oleh Yudas Makabeus yang melawan Raja Siria, Antiokhus Epifanes yang telah menajiskan Bait Allah itu. Mereka berharap Yesus membuktikan kuasa Mesias yang melebihi Yudas Makabeus itu. 

 

Tentu saja Yesus sangat sedih dengan sikap mereka itu. “Aku telah mengatakannya kepada kamu, tetapi kamu tidak percaya; pekerjaan-pekerjaan yang Kulakukan dalam nama Bapa-Ku, itulah yang memberikan kesaksian tentang Aku, tetapi kamu tidak percaya, karena kamu tidak termasuk domba-domba-Ku.” (Yohanes 10:25,26). Apakah kita juga termasuk kelompok ini? Bisa jadi iya. Ketika yang kita pikirkan adalah ambisi kepentingan diri sendiri, ambisi untuk menaklukkan orang atau kelompok lain, keinginan untuk memegahkan diri dan semacamnya maka kita tidak pernah akan mengerti apa yang diajarkan dan dinyatakan oleh Yesus Kristus. Mengenal dan percaya kepada Yesus tidak sama dengan mendapatkan kepastian akan salah satu gelar yang tersedia.

 

Sebaliknya, kita akan disebut domba-domba-Nya ketika kita memenuhi apa yang dikatakan Yesus, yakni : mendengar dan mengikuti Sang Gembala! Ciri penting seorang beriman sudah terangkum di sini. Orang beriman mendengar dan mengikuti Yesus, mempercayai-Nya sebagai Mesias yang melampaui segala bayangan dan khayalan selama ini. Orang-orang yang dalam rentang waktu kehidupannya memilih sikap seperti ini merekalah yang kelak diberikan hidup abadi (ainios) oleh Yesus Kristus. Mereka tidak akan binasa. Siapa pun tidak bisa merebutnya dari tangan Gembala baik!

 

Dalam iman kepada Yesus, kita akan semakin menemukan siapa Dia, Sang Mesias Gembala yang berbicara dan bekerja dalam kesatuan dengan Sang Bapa. Dalam diri Yesus, Bapa sendiri hadir bersabda dan bekerja di tengah kita, dan memberi kita kepenuhan yang tidak akan binasa. Dalam iman, kesatuan kita dengan Kristus membuat kita bisa tinggal bersama-Nya saat sekarang juga. Dalam tinggal bersama-Nya, menjadi kawanan domba gembalaan-Nya, kita akan mengalami makna hidup itu. Ya, makna hidup yang menuntun kita pada kehidupan abadi!

 

Jakarta, Minggu Paskah ke-4 Tahun C, 2022