Psikolog Korea, Jung Yeoul dalam bukunya, “Beauty of Trauma” yang sebagian besar isinya adalah pengalaman pribadinya melewati trauma, di bagian awal membedakan antara stres dan trauma. Ia mencontohkan stres dengan rasa marah ketika terjebak dalam kemacetan total. Stres akan segera hilang ketika kemacetan sudah mulai mencair. Jika diamati dari luar, stres bisa terlihat lebih parah. Sebab, stres diekspresikan dengan kemarahan agresif untuk memperlihatkan “aku sedang kesal”. Sementara trauma tersembunyi lebih dalam dan disimpan sendiri oleh orang yang bersangkutan.
Kita bisa dengan enteng membicarakan berbagai cara “menghilangkan” stres: jalan-jalan, tamasya-berlibur, makan, hang out, dan sejenisnya. Namun, trauma orang menggunakannya dengan kata “memulihkan”. Mengapa? Ini karena trauma jauh lebih berat, serius dan menyakitkan!
Kekuatan trauma terletak pada kemampuannya untuk mengubah total kehidupan seseorang. Ini dicontohkan sendiri oleh kesaksian Yeoul, “Sepertinya dulu, aku bukan tipe orang introver dan sensitif (baper). Saat masih kecil, aku justru mau naik panggung untuk bernyanyi tanpa disuruh oleh orang dewasa. Namun, sifatku berubah drastis menjadi sangat sensitif dan muram sejak kelas 4 SD”.
“Kamu kenapa berbeda sekali dengan anak-anak yang lain sih? Kenapa tidak supel sama sekali, sih?” Semakin sering mendengar ocehan atau kritikan seperti itu, Yeoul semakin berpikir ‘walau sepi, aku lebih nyaman sendiri’. Walau punya beberapa teman baik, aku tetap berpikir bahwa ‘suatu saat mereka pasti meninggalkanku’ sehingga tidak jarang Yeoul mejauhkan diri dari mereka. Pikirnya, bahwa dirinya tidak punya harapan. Hidupnya akan selalu penuh kesepian!
Trauma Yeoul berawal ketika usianya menginjak 11 tahun. Peristiwa itu terjadi di laboratorium sains. Ia memecahkan mangkuk percobaan. Wali kelasnya memasang wajah mengerikan, dengan nada sinis dan tajam, ia menghardik, “Kamu lagi?” Sambil berdiri kaku dan menatapnya. Sekeras apa pun ia berpikir, tetap saja tidak tahu apa salah sebelumnya. Kini, ia menempatkan diri sebagai seorang guru. Kira-kira pertanyaan apa yang paling pertama ia ajukan jika ada anak yang memecahkan mangkuk kaca itu? Guru yang sesungguhnya akan bertanya, “Kamu tidak apa-apa, nak? Tidak terluka, kan?”
Trauma membuat kita melindungi diri sendiri secara berlebihan. Membuat kita ketakutan setengah mati dan bersembunyi. Bersembunyi di balik cangkang yang dibuat sendiri, seperti kura-kura yang memasukkan lehernya dan tidak mau menjulurkan wajahnya.
Murid-murid Tuhan Yesus berada dalam sebuah ruangan yang tertutup rapat. Terkunci! Mereka seperti kura-kura yang menyembunyikan kepala di dalam tempurungnya. Jelas, murid-murid Yesus bersembunyi bukan hanya sekedar stres. Mereka trauma dengan kejadian sebelumnya. Bukankah, sama seperti harapan Yeoul sewaktu memecahkan mangkuk kaca percobaan itu? Ia ingin sang guru menyapanya, “Kamu tidak apa-apa, nak? Tidak terluka, kan?. Murid-murid menghendaki Sang Guru itu tidak mati, apalagi dengan cara biadab dan mengerikan. Murid-murid merindukan, Sang Guru memperlihatkan kekuasaan yang sering mereka saksikan. Ini tidak terjadi!
Pintu-pintu yang terkunci itu setidaknya mencerminkan pintu-pintu hati yang tertutup. Mereka berusaha melarikan diri dari ketakutan yang mendera, membuat perlindungan diri. Malam itu Yesus datang, berdiri di tengah-tengah para murid. Kedatangan-Nya tidak lazim. Ia hadir tidak melalui pintu yang dibuka karena sebelumnya mereka telah mengunci pintu itu. Yesus hadir di tengah mereka dengan tubuh kebangkitan. Identitas-Nya tampak dengan menunjukkan luka: lubang bekas paku di kaki dan tangan, serta lambung yang terkoyak!
Jalan pemulihan itu diprakarsai oleh Yesus sendiri. Ia hadir walau para murid mengunci pintu. Dia memulihkan bukan dengan “sim-salabim, aba-kadabra!” Tidak! Namun, Ia hadir dengan memperlihatkan luka-luka-Nya sendiri. Ya, luka yang masih menganga! Yesus mengerti luka trauma mereka. Kini, Ia ingin memulihkan dengan luka itu. Luka itu bukan untuk disesali dan terus menghantui, membebani.
“Damai sejahtera bagi kamu!” Yesus memberikan salam damai. Meski salam seperti ini adalah lazim di kalangan orang Yahudi, namun dalam konteks Injil Yohanes salam ini punya arti khusus. Inilah salam damai yang dijanjikan Tuhan Yesus dalam kata-kata perpisahan-Nya (Yohanes 14:27), damai sejahtera yang merupakan pemberian Tuhan Yesus sendiri yang berbeda dari salam yang diberikan oleh dunia. Jika kita memerhatikan, sama seperti yang diberitahukan dalam Yohanes 14:26-27, pemberian damai sejahtera itu berbarengan dengan pemberian Roh Kudus. Kedatangan Tuhan Yesus, ucapan salam-Nya, dan penampakan luka-luka-Nya membawa perubahan dahsyat di tengah-tengah para murid yang mengalami trauma.
Mereka yang tadinya mengunci diri karena ketakutan, berubah menjadi murid-murid yang bersukacita dan percaya! Dampak perubahan itu begitu nyata khususnya terlihat dalam bacaan kedua minggu ini (Kisah Para Rasul 5:27-32). Mahkamah Agama yang dulu menghakimi Yesus dengan vonis mati, kini mereka hadapi. Di hadapan Gamaliel dan anggota dewan, Petrus yang pernah menyangkal Yesus tiga kali, kini dapat berbicara lantang, “Kita harus lebih taat kepada Allah dari pada kepada manusia. Allah nenek moyang kita telah membangkitkan Yesus, yang kamu gantung pada kayu salib dan kamu bunuh.” (Kis. 5:29-30).
Seperti penampakan Yesus kepada Maria Magdalena (Yohanes 20:17), penampakan Yesus dalam adegan ketiga kebangkitan-Nya membawa pesan pengutusan. Yesus mengucapkan salam damai dan tentu itu bukan hanya untuk mereka saja melainkan disampaikan kepada dunia. Yesus mengutus murid-murid-Nya sama seperti Ia sendiri diutus oleh Bapa-Nya. Untuk itu mereka juga dilengkapi dengan Roh yang sama yang diterima Yesus.
Ketakutan dan trauma yang menimpa para murid teratasi dengan mereka melihat sendiri Tuhan Yesus yang mati disalibkan, kini hidup dan hadir di tengah-tengah mereka. Kehadiran-Nya membawa damai sejahtera dan sukacita yang tidak serupa dengan yang diberikan dunia. Di tengah perlawanan dan ancaman yang tetap ada, damai dan sukacita bertahan karena iman bahwa Tuhan Yesus hidup dan menyertai mereka.
Yesus yang hadir menguatkan jemaat dengan Roh-Nya, lalu mengutus mereka. Misi Yesus adalah menyelamatkan, mengasihi, memulihkan sebanyak mungkin orang. Ia hadir bukan untuk menghakimi tetapi dengan mendekati, merangkul dan memberikan cinta-Nya.
Pada bagian lain, Yeoul mengungkapkan “Semakin dibuka, luka malah semakin membaik.” Tuhan Yesus telah membuka dan memperlihatkan luka-Nya, Ia memulihkan luka dan trauma para murid. Para murid bersedia untuk dibalut dan dipulihkan hingga akhirnya mereka pulih dan menjadi saksi-Nya.
Kekuatan memulihkan trauma telah Ia berikan sebagai kelengkapan tugas perutusan. “Kekuatan pemulihan trauma tidak hanya dimiliki oleh dokter atau ahli terapi,” sambung Yeoul, “sebab, mengobati dan memulihkan adalah dua hal yang berbeda. Pengobatan membutuhkan pendekatan profesional sehingga lebih efektif memanfaatkan bantuan dokter atau obat. Sementara itu pemulihan dapat dilakukan oleh siapa pun dan bahkan kadang dapat terjadi walau hanya melalui kejadian kecil dalam keseharian.”
Di sekitar kita banyak dijumpai orang-orang yang terpenjara oleh luka traumatis. Mungkin sulit kita melihatnya, karena tersembunyi di kedalaman hati mereka. Atau jangan-jangan kita sendiri masih hidup di bawah bayang-bayang trauma. Ingatlah, Tuhan Yesus mengerti luka setiap kita. Ia sangat paham itu, karena Ia sendiri telah mengalami luka yang jauh lebih dahsyat dari pada luka kita. Jangan biarkan hati kita terus terkunci, bukalah dan perlihatkanlah pada Yesus, biarlah Dia yang menjamah dan memulihkan. Bukalah hati dan pikiran kita, bahwa Tuhan itu baik, tidak selalu Ia menuntut dan menghukum. Kekacauan hidup dan penderitaanmu sekarang, bukanlah hukuman dari-Nya. Kecaplah dan lihatlah bahwa Tuhan itu baik. Bersedialah dipulihkan!
Kini, kita yang sudah pulih ada tugas menanti: menjadi orang-orang yang membawa damai sejahtera Allah untuk memulihkan. Berhentilah menghakimi dan tebarkanlah cinta kasih. Karena cinta kasih adalah obat paling mujarab untuk pemulihan!
Jakarta, Paskah Minggu ke-2 tahun C 2022