Kamis, 21 April 2022

KEBANGKITAN KRISTUS YANG MEMULIHKAN

Psikolog Korea, Jung Yeoul dalam bukunya, “Beauty of Trauma” yang sebagian besar isinya adalah pengalaman pribadinya melewati trauma, di bagian awal membedakan antara stres dan trauma. Ia mencontohkan stres dengan rasa marah ketika terjebak dalam kemacetan total. Stres akan segera hilang ketika kemacetan sudah mulai mencair. Jika diamati dari luar, stres bisa terlihat lebih parah. Sebab, stres diekspresikan dengan kemarahan agresif untuk memperlihatkan “aku sedang kesal”. Sementara trauma tersembunyi lebih dalam dan disimpan sendiri oleh orang yang bersangkutan.

 

Kita bisa dengan enteng membicarakan berbagai cara “menghilangkan” stres: jalan-jalan, tamasya-berlibur, makan, hang out, dan sejenisnya. Namun, trauma orang menggunakannya dengan kata “memulihkan”. Mengapa? Ini karena trauma jauh lebih berat, serius dan menyakitkan!

 

Kekuatan trauma terletak pada kemampuannya untuk mengubah total kehidupan seseorang. Ini dicontohkan sendiri oleh kesaksian Yeoul, “Sepertinya dulu, aku bukan tipe orang introver dan sensitif (baper). Saat masih kecil, aku justru mau naik panggung untuk bernyanyi tanpa disuruh oleh orang dewasa. Namun, sifatku berubah drastis  menjadi sangat sensitif dan muram sejak kelas 4 SD”. 

 

“Kamu kenapa berbeda sekali dengan anak-anak yang lain sih? Kenapa tidak supel sama sekali, sih?” Semakin sering mendengar ocehan atau kritikan seperti itu, Yeoul semakin berpikir ‘walau sepi, aku lebih nyaman sendiri’. Walau punya beberapa teman baik, aku tetap berpikir bahwa ‘suatu saat mereka pasti meninggalkanku’ sehingga tidak jarang Yeoul mejauhkan diri dari mereka. Pikirnya, bahwa dirinya tidak punya harapan. Hidupnya akan selalu penuh kesepian!

 

Trauma Yeoul berawal ketika usianya menginjak 11 tahun. Peristiwa itu terjadi di laboratorium sains. Ia memecahkan mangkuk percobaan. Wali kelasnya memasang wajah mengerikan, dengan nada sinis dan tajam, ia menghardik, “Kamu lagi?” Sambil berdiri kaku dan menatapnya. Sekeras apa pun ia berpikir, tetap saja tidak tahu apa salah sebelumnya. Kini, ia menempatkan diri sebagai seorang guru. Kira-kira pertanyaan apa yang paling pertama ia ajukan jika ada anak yang memecahkan mangkuk kaca itu? Guru yang sesungguhnya akan bertanya, “Kamu tidak apa-apa, nak? Tidak terluka, kan?”

 

Trauma membuat kita melindungi diri sendiri secara berlebihan. Membuat kita ketakutan setengah mati dan bersembunyi. Bersembunyi di balik cangkang yang dibuat sendiri, seperti kura-kura yang memasukkan lehernya dan tidak mau menjulurkan wajahnya.

 

Murid-murid Tuhan Yesus berada dalam sebuah ruangan yang tertutup rapat. Terkunci! Mereka seperti kura-kura yang menyembunyikan kepala di dalam tempurungnya. Jelas, murid-murid Yesus bersembunyi bukan hanya sekedar stres. Mereka trauma dengan kejadian sebelumnya. Bukankah, sama seperti harapan Yeoul sewaktu memecahkan mangkuk kaca percobaan itu? Ia ingin sang guru menyapanya, “Kamu tidak apa-apa, nak? Tidak terluka, kan?. Murid-murid menghendaki Sang Guru itu tidak mati, apalagi dengan cara biadab dan mengerikan. Murid-murid merindukan, Sang Guru memperlihatkan kekuasaan yang sering mereka saksikan. Ini tidak terjadi! 

 

Pintu-pintu yang terkunci itu setidaknya mencerminkan pintu-pintu hati yang tertutup. Mereka berusaha melarikan diri dari ketakutan yang mendera, membuat perlindungan diri. Malam itu Yesus datang, berdiri di tengah-tengah para murid. Kedatangan-Nya tidak lazim. Ia hadir tidak melalui pintu yang dibuka karena sebelumnya mereka telah mengunci pintu itu. Yesus hadir di tengah mereka dengan tubuh kebangkitan. Identitas-Nya tampak dengan menunjukkan luka: lubang bekas paku di kaki dan tangan, serta lambung yang terkoyak!

 

Jalan pemulihan itu diprakarsai oleh Yesus sendiri. Ia hadir walau para murid mengunci pintu. Dia memulihkan bukan dengan “sim-salabim, aba-kadabra!” Tidak! Namun, Ia hadir dengan memperlihatkan luka-luka-Nya sendiri. Ya, luka yang masih menganga! Yesus mengerti luka trauma mereka. Kini, Ia ingin memulihkan dengan luka itu. Luka itu bukan untuk disesali dan terus menghantui, membebani.

 

Damai sejahtera bagi kamu!” Yesus memberikan salam damai. Meski salam seperti ini adalah lazim di kalangan orang Yahudi, namun dalam konteks Injil Yohanes salam ini punya arti khusus. Inilah salam damai yang dijanjikan Tuhan Yesus dalam kata-kata perpisahan-Nya (Yohanes 14:27), damai sejahtera yang merupakan pemberian Tuhan Yesus sendiri yang berbeda dari salam yang diberikan oleh dunia. Jika kita memerhatikan, sama seperti yang diberitahukan dalam Yohanes 14:26-27, pemberian damai sejahtera itu berbarengan dengan pemberian Roh Kudus. Kedatangan Tuhan Yesus, ucapan salam-Nya, dan penampakan luka-luka-Nya membawa perubahan dahsyat di tengah-tengah para murid yang mengalami trauma. 

 

Mereka yang tadinya mengunci diri karena ketakutan, berubah menjadi murid-murid yang bersukacita dan percaya! Dampak perubahan itu begitu nyata khususnya terlihat dalam bacaan kedua minggu ini (Kisah Para Rasul 5:27-32). Mahkamah Agama yang dulu menghakimi Yesus dengan vonis mati, kini mereka hadapi. Di hadapan Gamaliel dan anggota dewan, Petrus yang pernah menyangkal Yesus tiga kali, kini dapat berbicara lantang, “Kita harus lebih taat kepada Allah dari pada kepada manusia. Allah nenek moyang kita telah membangkitkan Yesus, yang kamu gantung pada kayu salib dan kamu bunuh.” (Kis. 5:29-30).

 

Seperti penampakan Yesus kepada Maria Magdalena (Yohanes 20:17), penampakan Yesus dalam adegan ketiga kebangkitan-Nya membawa pesan pengutusan. Yesus mengucapkan salam damai dan tentu itu bukan hanya untuk mereka saja melainkan disampaikan kepada dunia. Yesus mengutus murid-murid-Nya sama seperti Ia sendiri diutus oleh Bapa-Nya. Untuk itu mereka juga dilengkapi dengan Roh yang sama yang diterima Yesus.

 

Ketakutan dan trauma yang menimpa para murid teratasi dengan mereka melihat sendiri Tuhan Yesus yang mati disalibkan, kini hidup dan hadir di tengah-tengah mereka. Kehadiran-Nya membawa damai sejahtera dan sukacita yang tidak serupa dengan yang diberikan dunia. Di tengah perlawanan dan ancaman yang tetap ada, damai dan sukacita bertahan karena iman bahwa Tuhan Yesus hidup dan menyertai mereka. 

 

Yesus yang hadir menguatkan jemaat dengan Roh-Nya, lalu mengutus mereka. Misi Yesus adalah menyelamatkan, mengasihi, memulihkan sebanyak mungkin orang. Ia hadir bukan untuk menghakimi tetapi dengan mendekati, merangkul dan memberikan cinta-Nya.

 

Pada bagian lain, Yeoul mengungkapkan “Semakin dibuka, luka malah semakin membaik.” Tuhan Yesus telah membuka dan memperlihatkan luka-Nya, Ia memulihkan luka dan trauma para murid. Para murid bersedia untuk dibalut dan dipulihkan hingga akhirnya mereka pulih dan menjadi saksi-Nya. 

 

Kekuatan memulihkan trauma telah Ia berikan sebagai kelengkapan tugas perutusan. “Kekuatan pemulihan trauma tidak hanya dimiliki oleh dokter atau ahli terapi,” sambung Yeoul, “sebab, mengobati dan memulihkan adalah dua hal yang berbeda. Pengobatan membutuhkan pendekatan profesional sehingga lebih efektif memanfaatkan bantuan dokter atau obat. Sementara itu pemulihan dapat dilakukan oleh siapa pun dan bahkan kadang dapat terjadi walau hanya melalui kejadian kecil dalam keseharian.”

 

Di sekitar kita banyak dijumpai orang-orang yang terpenjara oleh luka traumatis. Mungkin sulit kita melihatnya, karena tersembunyi di kedalaman hati mereka. Atau jangan-jangan kita sendiri masih hidup di bawah bayang-bayang trauma. Ingatlah, Tuhan Yesus mengerti luka setiap kita. Ia sangat paham itu, karena Ia sendiri telah mengalami luka yang jauh lebih dahsyat dari pada luka kita. Jangan biarkan hati kita terus terkunci, bukalah dan perlihatkanlah pada Yesus, biarlah Dia yang menjamah dan memulihkan. Bukalah hati dan pikiran kita, bahwa Tuhan itu baik, tidak selalu Ia menuntut dan menghukum. Kekacauan hidup dan penderitaanmu sekarang, bukanlah hukuman dari-Nya. Kecaplah dan lihatlah bahwa Tuhan itu baik. Bersedialah dipulihkan!

 

Kini, kita yang sudah pulih ada tugas menanti: menjadi orang-orang yang membawa damai sejahtera Allah untuk memulihkan. Berhentilah menghakimi dan tebarkanlah cinta kasih. Karena cinta kasih adalah obat paling mujarab untuk pemulihan!

 

Jakarta, Paskah Minggu ke-2 tahun C 2022

Jumat, 15 April 2022

DI DEPAN KUBUR SUNYI

“Kedukaan itu sungguh dahsyat. Kita mudah terperangkap dalam kepedihan dan terus menjadi orang yang getir, penuh amarah atau depresi. Kedukaan merenggut hati kita dan sepertinya tak akan melepaskannya.” (David Kessler: Finding Meaning the Sixth of Grief).

 

Dahsyatnya kedukaan yang menimpa Maria Magdalena dan Maria yang lain membuat mereka terpaku, duduk di depan makam Yesus (Matius 27:61). Seperti kebanyakan orang, kedua Maria ini berada dalam tahap yang disebut oleh Elisabeth Kübler-Ross dengan istilah denial (penyangkalan). Mereka syok dan tidak percaya bahwa Yesus yang mereka cintai kini terbaring kaku di dalam kubur. Mati! Mereka menuju fase anger, marah dan kecewa bahwa orang yang dikasihinya tidak ada lagi. Selanjutnya, mereka diliputi depresi: kesedihan mendalam.

 

Ekspresi duka masing-masing orang itu berbeda, sebagaimana sidik jari juga setiap orang berbeda. Tetapi satu hal yang sama adalah bahwa seperti apa pun kedukaan ini, mereka sama-sama ingin dimengerti. Yang dibutuhkan mereka yang sedang berduka adalah kehadiran seseorang sepenuhnya untuk menyaksikan betapa dalamnya kehilangan yang sedang dialami itu.

 

Ekspresi duka berbeda-beda. Ada yang marah, emosional dan berujung anarkis. Tidak sedikit yang kelewat menyesali diri dan akhirnya menyakiti diri bahkan menghabisi diri sendiri. Banyak yang mencari pelarian, menghibur diri ke tempat-tempat yang dianggapnya bisa “melupakan” kepedihannya. Kedua Maria memilih untuk duduk diam, terpaku di depan kubur Yesus! 

 

Kita pun dapat terpaku di depan kematian. Dalam hati, seperti Maria dan juga kebanyakan orang bertanya, apa gerangan yang terjadi di balik kematian? Sungguh sebuah misteri. Kematian menyisakan ruang kosong. Ya, tanpa lagi orang yang kita kasihi. Dalam situasi seperti ini, godaan yang terbesar adalah kita kehilangan harapan. Seolah kematian merupakan akhir dari segalanya. Bukankah ini juga yang dikatakan Ayub di tengah-tengah duka citanya, “Kalau manusia mati, dapatkah ia hidup lagi?...” (Ayub 14:14). Bukankah kenyataannya begitu? Kita sering berpikir bahwa kematian merupakan akhir dari segalanya! Maka, karena ini akhir duka cita kita semakin kelam dan mendalam. 

 

Kesedihan yang mencengkeram diri, membuat kita terburu-buru menyimpulkan bahwa akhir segalanya adalah kematian. Kita kurang memberi tempat pada “hening”, jeda untuk sejanak membiarkan misteri itu di tempatkan pada proporsinya. Sabtu Sunyi yang kita jalani hari ini, memberi ruang pada kematian. Sebagaimana Yesus memberi ruang pada maut dan kematian, maka biarlah suasana hening ini kita nikmati. Bukankah sesudah penyaliban dan kematian, Yesus tidak langsung bangkit? 

 

Dalam hening inilah, kita mencari makna di balik kematian. Bila air mata masih menetes, biarkanlah, bila kesedihan dan awan hitam itu masih belum beranjak berdiam dirilah! Hening bukan sepi, tapi kembali kepada makna hidup. Hening adalah saat kita kembali mengingat kata-kata pengharapan dan janji-janji Tuhan. 

 

Ketika berduka, kita perlu merasa bahwa kesedihan kita dimengerti orang lain. Namun, di dunia kita yang super sibuk ini, dukacita semakin diminimalkan dan disanitasikan. Kita mendapat cuti kerja  tiga hari setelah kepergian orang yang kita sayangi, selanjutnya orang berharap kita akan biasa-biasa saja, seakan-akan tidak terjadi apa-apa. Semakin lama, semakin kecil kesempatan orang di sekitar kita  menyaksikan dan menamani kesedihan kita.

 

Kedukaan seharusnya menyatukan kita. Ini merupakan pengalaman universal. Ini seumpama kita berbicara dengan orang yang menderita sakit fisik, kita bisa saja mendengarkan dan berempati, tetapi mungkin tidak akan pernah mengalami sakit yang dirasakannya. Namun, ketika kita bersama dengan orang yang kehilangan, orang yang disayanginya meninggal dunia, kita tahu bahwa suatu hari kita akan berada pada posisi yang sama dan kita berusaha memahami perasaan mereka. Bukan mengubahnya. 

 

Sering kali orang luar, mungkin juga termasuk kita memiliki itikad baik, memberikan saran kepada orang yang sedang kedukaan bahwa sudah waktunya meneruskan kehidupan karena orang yang meninggal sudah selesai, ia sudah aman di sisi Tuhan. Bukankah demikian yang terjadi dengan Elifas, Bildad, dan Zofar, sahabat-sahabat Ayub, yang berusaha menghibur Ayub di tengah kemalangan hidupnya? Alhasil mereka gagal. Mereka tetap berati “di luar” sehingga mudah menilai dan menghakimi Ayub. Akibatnya Ayub berpendapat bahwa kematian adalah akhir dari kehidupan.

 

Orang-orang yang memahami apa yang terjadi ketika seseorang berada dalam awan kelam kedukaan tidak akan menilai atau berpikir bahwa kedukaan kita berlebihan atau berkepanjangan. Berduka adalah sesuatu hal yang terjadi di dalam diri kita, sementara berkabung adalah yang terlihat dari luar. Kedukaan secara internal merupakan sebuah proses, suatu perjalanan. Hal tersebut tidak mengikuti suatu dimensi tertentu dan tidak berakhirv pada tanggal tertentu.

 

Dalam situasi masyarakat modern, kita sering menyaksikan kedukaan secara daring. Ketika memasang kata-kata Mutiara, bahkan ayat-ayat Alkitab tentang dukacita, kita melihat ada beberapa respon. Jika kita mengekspos kata-kata yang penuh harapan, optimis soal penyembuhan, hal tersebut memberi harapan bagi banyak orang tetapi bagi sebagian orang tidak merasakannya. Mereka tidak siap mendengar soal apa pun tentang harapan. Sering kali hal itu terjadi karena mereka berada pada tahap awal proses kedukaan dan kesedihan mereka yang terlalu dalam untuk bisa merasakan emosi yang lainnya. Mereka hanya menginginkan agar kedukaan mereka bisa dipahami. Air mata mereka merupakan bukti cinta dan tanda bahwa orang yang meninggal sangat berarti buat mereka.

 

Bagi orang yang sedang berada pada pase awal tahap kedukaan, yang diperlukan adalah kehadiran penuh, mengerti bahwa dirinya kehilangan dan berduka. Tidak usah banyak nasihat dan kata-kata harapan. Kata-kata pengharapan justru akan berbalik melemahkan, “Dalam kehilanganku, berani-beraninya kau menyuruhku untuk merasa penuh harapan…emangnya gampang?” Harapan itu sangat erat terhubung dengan kebermaknaan. 

 

Di sinilah kita memerlukan prose, jeda dan hening sesaat. Tuhan memberikan jeda itu untuk para murid-Nya. Seolah Ia membiarkan kematian dan kesedihan melanda mereka. Namun sesungguhnya Dia sedang membawa mereka dan kita semua dalam sebuah proses pemaknaan hidup. Perlahan namun pasti, proses itu akan terjadi ketika nantinya mereka tahu bahwa kematian itu bukan akhir dari segalanya…

 

Jakarta, Sabtu Sunyi tahun C 2022