Jumat, 15 April 2022

DI DEPAN KUBUR SUNYI

“Kedukaan itu sungguh dahsyat. Kita mudah terperangkap dalam kepedihan dan terus menjadi orang yang getir, penuh amarah atau depresi. Kedukaan merenggut hati kita dan sepertinya tak akan melepaskannya.” (David Kessler: Finding Meaning the Sixth of Grief).

 

Dahsyatnya kedukaan yang menimpa Maria Magdalena dan Maria yang lain membuat mereka terpaku, duduk di depan makam Yesus (Matius 27:61). Seperti kebanyakan orang, kedua Maria ini berada dalam tahap yang disebut oleh Elisabeth Kübler-Ross dengan istilah denial (penyangkalan). Mereka syok dan tidak percaya bahwa Yesus yang mereka cintai kini terbaring kaku di dalam kubur. Mati! Mereka menuju fase anger, marah dan kecewa bahwa orang yang dikasihinya tidak ada lagi. Selanjutnya, mereka diliputi depresi: kesedihan mendalam.

 

Ekspresi duka masing-masing orang itu berbeda, sebagaimana sidik jari juga setiap orang berbeda. Tetapi satu hal yang sama adalah bahwa seperti apa pun kedukaan ini, mereka sama-sama ingin dimengerti. Yang dibutuhkan mereka yang sedang berduka adalah kehadiran seseorang sepenuhnya untuk menyaksikan betapa dalamnya kehilangan yang sedang dialami itu.

 

Ekspresi duka berbeda-beda. Ada yang marah, emosional dan berujung anarkis. Tidak sedikit yang kelewat menyesali diri dan akhirnya menyakiti diri bahkan menghabisi diri sendiri. Banyak yang mencari pelarian, menghibur diri ke tempat-tempat yang dianggapnya bisa “melupakan” kepedihannya. Kedua Maria memilih untuk duduk diam, terpaku di depan kubur Yesus! 

 

Kita pun dapat terpaku di depan kematian. Dalam hati, seperti Maria dan juga kebanyakan orang bertanya, apa gerangan yang terjadi di balik kematian? Sungguh sebuah misteri. Kematian menyisakan ruang kosong. Ya, tanpa lagi orang yang kita kasihi. Dalam situasi seperti ini, godaan yang terbesar adalah kita kehilangan harapan. Seolah kematian merupakan akhir dari segalanya. Bukankah ini juga yang dikatakan Ayub di tengah-tengah duka citanya, “Kalau manusia mati, dapatkah ia hidup lagi?...” (Ayub 14:14). Bukankah kenyataannya begitu? Kita sering berpikir bahwa kematian merupakan akhir dari segalanya! Maka, karena ini akhir duka cita kita semakin kelam dan mendalam. 

 

Kesedihan yang mencengkeram diri, membuat kita terburu-buru menyimpulkan bahwa akhir segalanya adalah kematian. Kita kurang memberi tempat pada “hening”, jeda untuk sejanak membiarkan misteri itu di tempatkan pada proporsinya. Sabtu Sunyi yang kita jalani hari ini, memberi ruang pada kematian. Sebagaimana Yesus memberi ruang pada maut dan kematian, maka biarlah suasana hening ini kita nikmati. Bukankah sesudah penyaliban dan kematian, Yesus tidak langsung bangkit? 

 

Dalam hening inilah, kita mencari makna di balik kematian. Bila air mata masih menetes, biarkanlah, bila kesedihan dan awan hitam itu masih belum beranjak berdiam dirilah! Hening bukan sepi, tapi kembali kepada makna hidup. Hening adalah saat kita kembali mengingat kata-kata pengharapan dan janji-janji Tuhan. 

 

Ketika berduka, kita perlu merasa bahwa kesedihan kita dimengerti orang lain. Namun, di dunia kita yang super sibuk ini, dukacita semakin diminimalkan dan disanitasikan. Kita mendapat cuti kerja  tiga hari setelah kepergian orang yang kita sayangi, selanjutnya orang berharap kita akan biasa-biasa saja, seakan-akan tidak terjadi apa-apa. Semakin lama, semakin kecil kesempatan orang di sekitar kita  menyaksikan dan menamani kesedihan kita.

 

Kedukaan seharusnya menyatukan kita. Ini merupakan pengalaman universal. Ini seumpama kita berbicara dengan orang yang menderita sakit fisik, kita bisa saja mendengarkan dan berempati, tetapi mungkin tidak akan pernah mengalami sakit yang dirasakannya. Namun, ketika kita bersama dengan orang yang kehilangan, orang yang disayanginya meninggal dunia, kita tahu bahwa suatu hari kita akan berada pada posisi yang sama dan kita berusaha memahami perasaan mereka. Bukan mengubahnya. 

 

Sering kali orang luar, mungkin juga termasuk kita memiliki itikad baik, memberikan saran kepada orang yang sedang kedukaan bahwa sudah waktunya meneruskan kehidupan karena orang yang meninggal sudah selesai, ia sudah aman di sisi Tuhan. Bukankah demikian yang terjadi dengan Elifas, Bildad, dan Zofar, sahabat-sahabat Ayub, yang berusaha menghibur Ayub di tengah kemalangan hidupnya? Alhasil mereka gagal. Mereka tetap berati “di luar” sehingga mudah menilai dan menghakimi Ayub. Akibatnya Ayub berpendapat bahwa kematian adalah akhir dari kehidupan.

 

Orang-orang yang memahami apa yang terjadi ketika seseorang berada dalam awan kelam kedukaan tidak akan menilai atau berpikir bahwa kedukaan kita berlebihan atau berkepanjangan. Berduka adalah sesuatu hal yang terjadi di dalam diri kita, sementara berkabung adalah yang terlihat dari luar. Kedukaan secara internal merupakan sebuah proses, suatu perjalanan. Hal tersebut tidak mengikuti suatu dimensi tertentu dan tidak berakhirv pada tanggal tertentu.

 

Dalam situasi masyarakat modern, kita sering menyaksikan kedukaan secara daring. Ketika memasang kata-kata Mutiara, bahkan ayat-ayat Alkitab tentang dukacita, kita melihat ada beberapa respon. Jika kita mengekspos kata-kata yang penuh harapan, optimis soal penyembuhan, hal tersebut memberi harapan bagi banyak orang tetapi bagi sebagian orang tidak merasakannya. Mereka tidak siap mendengar soal apa pun tentang harapan. Sering kali hal itu terjadi karena mereka berada pada tahap awal proses kedukaan dan kesedihan mereka yang terlalu dalam untuk bisa merasakan emosi yang lainnya. Mereka hanya menginginkan agar kedukaan mereka bisa dipahami. Air mata mereka merupakan bukti cinta dan tanda bahwa orang yang meninggal sangat berarti buat mereka.

 

Bagi orang yang sedang berada pada pase awal tahap kedukaan, yang diperlukan adalah kehadiran penuh, mengerti bahwa dirinya kehilangan dan berduka. Tidak usah banyak nasihat dan kata-kata harapan. Kata-kata pengharapan justru akan berbalik melemahkan, “Dalam kehilanganku, berani-beraninya kau menyuruhku untuk merasa penuh harapan…emangnya gampang?” Harapan itu sangat erat terhubung dengan kebermaknaan. 

 

Di sinilah kita memerlukan prose, jeda dan hening sesaat. Tuhan memberikan jeda itu untuk para murid-Nya. Seolah Ia membiarkan kematian dan kesedihan melanda mereka. Namun sesungguhnya Dia sedang membawa mereka dan kita semua dalam sebuah proses pemaknaan hidup. Perlahan namun pasti, proses itu akan terjadi ketika nantinya mereka tahu bahwa kematian itu bukan akhir dari segalanya…

 

Jakarta, Sabtu Sunyi tahun C 2022

Tidak ada komentar:

Posting Komentar