Jumat, 15 April 2022

BERANI HIDUP KARENA YESUS HIDUP

Ada banyak orang tidak takut mati. Contoh, aksi-aksi yang menantang maut kian hari kian menjadi, apalagi dalam era digital. Demi konten mereka menantang bahaya. Ada yang nekad menghadang mobil truck, bermain dengan ular berbisa, kebut-kebutan, dan banyak lagi aksi-aksi lain yang bercanda dengan maut. Betul-betulkah mereka berani mati? Tampaknya begitu, namun belum tentu mereka berani hidup. Bisa jadi hal itu dilakukan sebagai cara untuk melarikan diri dari kenyataan hidup yang sebenarnya!

 

Banyak orang berani mati, namun sedikit yang berani hidup. Ada banyak alasan orang takut menghadapi kenyataan hidup ini. Matt Haig (Reasons to Stay Alive) menggambarkan alasan kuat manusia takut menjalani kehidupan oleh karena dunia ini lambat laun didesain untuk membuat kita depresi. Kebahagiaan tidak terlalu bagus untuk ekonomi. Andai kata kita bahagia dengan apa yang kita miliki, untuk apa kita membutuhkan lebih? Bagaimana menjual krim pelembab kulit anti-penuaan dini? Buatlah seseorang khawatir tentang penuaan dini. Bagaimana cara orang memilih partai politik tertentu? Buatlah kelompok mereka khawatir kenyamanannya terusik. Bagaimana cara membuat orang membeli asuransi? Buatlah mereka khawatir tentang segala hal. Bagaimana cara orang melakukan operasi plastik? Dengan menunjukkan kekurangan-kekurangan fisik mereka. Bagaimana cara menyuruh orang menyimak berita? Buatlah mereka takut ketinggalan informasi. Bagaimana cara membuat orang membeli ponsel baru? Buatlah mereka merasa ketinggalan dalam teknologi! 

 

Dunia ini menakutkan, kehidupannya mengerikan dan tidak bersahabat. Mungkin, perasaan itulah yang ada dalam benak para murid Yesus. Sejak semula mereka mengikut Yesus, ada banyak kuasa dan keajaiban yang mereka lihat dan alami. Sehingga tak salah-salah amat kalau mereka meyakini bahwa Sang Guru ini adalah Dia yang akan datang itu. Mesias! Ya, mesias yang akan meraih kembali kejayaan Israel masa lampau.Mesias yang akan mewujudkan mimpi-mimpi mereka. Namun sekarang, setelah penghakiman-Nya tampak mesias itu tidak berdaya. Bahkan Ia mati! Para murid kehilangan pengharapan. Suram melihat masa depan dan tidak lagi berani menapaki kehidupan.

 

Sangat mungkin dari komunitas para murid Yesus, mereka yang biasa berkumpul dekat dengan Yesus adalah kaum perempuan yang sangat terpukul. Setidaknya hal ini digambarkan oleh Maria dari Magdala, Yohana, Maria ibu Yakobus dan para perempuan lain (Lukas 24:10). Ketika mereka sampai di tempat di mana Yesus dikuburkan, ada tiga fakta yang membuat mereka tercengang. Pertama, batu penutup makam itu terguling. Kedua, ketika mereka masuk ke dalam makam, jenazah Yesus sudah tidak ada lagi di makam itu. Ketiga, dua orang lelaki dengan pakaian yang berkilauan menyapa mereka. 

 

Sedih dan bingung akan apa yang terjadi. Jenazah Yesus sudah tidak ada! Dalam kebingungan itu, lelaki itu memberi kabar bahwa Yesus telah bangkit seperti yang sudah dikatakan-Nya ketika Ia masih di Galilea. Kepada mereka diajukan pertanyaan, “Mengapa kamu mencari Dia yang hidup di antara orang mati?” Alasan dari pertanyaan ini sebenarnya sederhana, yakni bahwa mereka telah mendengar apa yang dinyatakan oleh Yesus di Galilea bahwa Ia akan diserahkan ke tangan orang-orang berdosa, disalibkan, dan bangkit pada hari ketiga. Bayang-bayang kematian tampaknya begitu kuat sehingga mereka lupa dan mengabaikan perkataan Yesus. Cengkeraman dan sengat maut dapat membutakan kita dari pengharapan!

 

Peran para perempuan ini sangat mewarnai berita kebangkitan dalam Injil Lukas. Para perempuan ini tidak hanya kali ini saja tampil dalam kisah Yesus. Mereka telah menjadi saksi penyaliban Yesus. Mereka berdiri jauh-jauh dan melihat peristiwa itu (Lukas 23:49). Mereka juga hadir ketika Yesus dimakamkan (Lukas 23:55). Barulah ketika mereka masuk ke dalam kubur kosong itu, Lukas mulai mengisahkan kehadiran dua lelaki yang membawa warta kebangkitan.

 

Pengalaman para perempuan memuat tiga hal: makam kosong, pemberitahuan dua lelaki, dan ingatan mereka akan kata-kata Yesus. Ketiga unsur inilah yang mendasari kepercayaan mereka akan kebangkitan Yesus. Makam kosong dan pemberitahuan di dalam makam membuat mereka teringat akan kata-kata yang telah diucapkan Yesus sendiri. Meski tidak ada perintah untuk mewartakan pada yang terjadi kepada para murid, para perempuan ini pergi menyatakan apa yang mereka alami.

 

Kita menyaksikan inilah yang disebut “the power of emak-emak”, tak dapat disangkal, perempuan sering kali mudah panik, hanyut dalam perasaan dan dukacita. Tetapi pada pihak lain, justru kaum perempuan inilah yang menjadi saksi-saksi dekat, mereka menemani Yesus pada saat-saat terberat dalam pelayanan-Nya dan mereka juga yang menjadi saksi-saksi utama dari kebangkitan Yesus. Dari para perempuan inilah tersebar berita kebangkitan, pengharapan dan era baru dalam kelompok para murid dimulai. Ada optimisme dalam menatap kehidupan. Kematian tidak mengubur asa, sengatnya tidak melumpuhkan pengharapan dan perlahan tapi pasti mereka berani untuk kembali menapaki kehidupan. Ya, mereka berani hidup oleh karena Yesus hidup!

 

Meski dunia ini menakutkan dan dirancang demikian, Matt Haig meneruskan: Kita memang tidak bisa pindah ke dunia lain, tapi sebenarnya kalau kita perhatikan baik-baik, dunia penuh materi dan iklan bukanlah kehidupan yang sesungguhnya. Kehidupan adalah hal-hal lain. Kehidupan adalah semua yang tersisa setelah Anda membuang omong kosong lainnya, atau setidaknya mengabaikan omong kosong itu untuk sementara waktu.

 

Kehidupan adalah orang-orang yang mencintai Anda. Tidak seorang pun akan memilih untuk tetap hidup demi iPhone. Orang-orang yang bisa kita hubungi dengan iPhonlah yang lebih penting. Begitu kita mulai pulih dan hidup lagi, kita melakukannya dengan cara pandang baru. Segala sesuatu menjadi lebih jelas, dan kita menyadari hal-hal yang tidak kita sadari sebelumnya.

 

Haig mengajak kita untuk berani hidup dengan pemaknaan baru. Benar ada banyak alasan untuk kita menjadi cemas, pesimis bahkan depresi. Namun, bukankah ada lebih banyak lagi alasan untuk kita berani hidup. Alasan utama adalah bahwa Tuhan kita bukan Tuhan yang mati. Dia hidup! Dia mencintai kita, tidak membiarkan kita hidup dalam kegamangan. Kebangkitan-Nya yang disaksikan oleh para perempuan setidaknya menyadarkan kembali hal-hal yang tidak kita sadari sebelumnya, yakni jaminan Yesus sendiri. Tinggal kini, apakah telinga dan hati kita terus condong pada hal-hal yang menakutkan dan untuk itu kita menaklukkan diri? Ataukah kata-kata dan ajaran Yesus itu bermakna dan menjadi pandu dalam kehidupan kita.

 

Alasan lain yang tidak kala penting untuk kita berani hidup adalah: membagikan cinta Yesus kepada orang-orang lain. Seperti para perempuan itu, tanpa ada yang menyuruh, mereka pergi memberitakan kebangkitan kepada para murid lain, mestinya kita pun sama, yakni menyampaikan kabar baik bagi orang lain. Kabar baik itu adalah kabar cinta! Banyak orang-orang di sekitar kita yang enggan meneruskan hidup. Banyak yang merasa tidak dicintai. Tidak berani hidup dengan setumpuk masalah yang dihadapi mereka. Kini, Tuhan ingin berkarya melalui Anda dan saya. Untuk mencintai mereka, memberi pengharapan kepada mereka, menemani dalam kekalutan mereka sampai mereka merasa dicintai, dipulihkan dan berani melangkah lagi.

 

Jakarta, Paskah 2022, tahun C

Kamis, 14 April 2022

RAJA YANG DITOLAK

Dunia bagai panggung besar tempat pelbagai pentas dipertontonkan. Kerap kali dipentaskan kontras: kebenaran versi politis populis dan kebenaran spiritual hakiki. Pada adegan awal tampaknya versi politis populis lebih unggul. Sebaliknya, kebenaran spiritual hakiki tenggelam dan mati. Tidak diminati! Kebenaran ditakuti dan diberangus oleh karena mempunyai konsekuensi mengancam kekuasaan, mengusik kenyamanan! Pengadilan rekayasa digelar supaya terlihat punya alasan untuk menjatuhkan vonis. Lalu, apakah kebenaran itu lenyap? Tunggu dulu, ini baru episode awal!

 

Yesus diseret ke pengadilan, mula-mula pengadilan agama dengan dakwaan penodaan agama. Kemudian karena Yahudi dalam jajahan Romawi tidak bisa menghukum mati maka Yesus diseret ke penguasa Roma dengan tuduhan makar. Ia didakwa dengan menyatakan diri Raja Orang Yahudi. Menurut Injil Yohanes, sejak awal Yesus diadili di praetorium, markas besar Pilatus: “Maka membawa Yesus dari Kayafas ke gedung pengadilan (praetorium)” (Yohanes 18:28). Di tempat itu, Yesus diinterogasi secara pribadi oleh Pilatus, sementara masa yang menuntut hukuman mati berada di luar gedung. 

 

Alasan mengapa Yesus dibawa dari istana Imam Besar Kayafas ke Pilatus adalah, karena mereka tidak bisa menghukum Yesus dengan hukuman mati. Maka dicari pasal yang bisa menjerat Yesus dengan hukuman mati. Makar! Yesus menyatakan diri sebagai Raja Orang Yahudi. Upah untuk orang yang memberontak terhadap kaisar Romawi adalah salib!

 

Kini setelah selesai peradilan agama, Yesus berhadapan dengan Pilatus. Ada perbedaan mencolok antara Kisah Sengsara menurut Injil Sinoptik dan Yohanes. Menurut Injil Sinoptik, dalam pengadilan ketika berkonfrontasi dengan Pilatus, Yesus kebanyakan diam. Namun, dalam Injil Yohanes, Yesus berbicara bebas dan meyakinkan. Alasannya, bukan hanya karena Yohanes menyajikan informasi historis yang lebih kaya, tetapi terutama sanggahan terhadap tuduhan utama, yaitu bahwa Yesus tidak dapat dituduh sebagai penghasut politis, bahwa dari tingkat politis Yesus sama sekali tidak merupakan bahaya bagi Roma.

 

L.M. Bermejo (Selubung Kirmizi, 2008) menyatakan, bahwa dalam menyelidiki kisah Injil tentang pengadilan itu, ahli hukum akan kecewa karena hampir tidak ada legalitas yang bisa dianggap penting sekali dalam pengadilan seperti itu: tidak ada laporan rinci dan tidak ada penyebutan saksi yang dapat memberi kesaksian di bawah sumpah. Sedangkan dalam pengadilan Yahudi sebelumnya, terlihat adanya legalitas dalam menghadirkan saksi-saksi (benar atau palsu). Dalam pengadilan Romawi kita tidak melihat kehadiran saksi seperti itu.

 

Pilatus tidak mengadili Yesus berdasarkan kelanjutan dari pengadilan sebelumnya. Pilatus mengadakan investigasi sendiri tanpa memperhatikan penyelidikan Yahudi oleh Mahkamah Agama yang dilakukan sebelumnya. Pengadilan Yahudi dan pengadilan Romawi merupakan dua hal yang terlepas sama sekali. Tidak berhubungan satu sama lain, dan keputusan Pilatus tidak didasarkan pada pendapat Imam Besar dan Mahkamah Agama. Isi dari kedua pengadilan itu amat berbeda karena dalam pengadilan yang dilakukan oleh Pilatus isi tuduhan pokok adalah masalah Yesus menjadi raja, yang dalam pengadilan agama isunya bukan itu.

 

Konfrontasi Yesus dan Pilatus tak pelak lagi menjadi adegan yang paling dramatis dalam seluruh Injil. Tetapi, penafsirannya tidak selalu mudah, Yohanes memakai makna simbolis dan teologis. R Brown (The Gospel according to John) melihat kasus peradilan Yesus oleh Pilatus seperti ini:

 

Tidak ada saling pengaruh antara tradisi historis dan minat teologi, dan tidak ada drama yang menjadi jelas daripada dalam adegan pengadilan di hadapan Pilatus…Ada dua letak panggung: di luar ruang gedung pengadilan, tempat orang-orang Yahudi berkumpul; dan di dalam gedung pengadilan, tempat Yesus ditahan sebagai orang hukuman. Pilatus keluar masuk dari satu panggung yang satu ke panggung yang lain dalam tujuh episode yang dibuat seimbang secara teliti. Suasana di dalam gedung tenang dan nalar jernih tentang ketidaksalahan Yesus ditegaskan kepada Pilatus: Suasana di luar gedung riuh dengan teriakan-teriakan kacau penuh kebencian mana kala orang-orang Yahudi memberi tekanan kepada Pilatus untuk menyatakan Yesus bersalah. Lalu-lalangnya Pilatus dari satu panggung ke panggung yang lain memberi ungkapan lahir atas pergulatan yang terjadi di dalam jiwanya… karena kepastiannya atas ketidakbersalahan Yesus bertambah dan pada waktu bersamaan kekuatan politis yang mendesaknya untuk menjatuhkan hukuman pada Yesus juga bertambah.

 

Meski Yesus dalam pelayanan publiknya tidak pernah memakai gelar Raja Orang Yahudi, namun dalam pengadilan Romawi itu, tema sentral dan satu-satunya tuduhan pokok adalah, “Engkau inikah raja orang Yahudi?” (Yohanes 18:33). Jawaban Yesus merupakan puncak dari seluruh bagian pengadilan itu, “Kerajaan-Ku bukan dari dunia ini” (Yohanes 18:36-37). Jawaban itu harus dimengerti dalam terang pernyataan Yesus sebelumnya, “Aku tidak ada lagi di dalam dunia… Mereka bukan dari dunia, sama seperti Aku bukan dari dunia” (Yohanes 17:11,6). Sementara Pilatus bergerak pada tingkat politis, Yesus bergerak pada tingkat spiritual. Kedua tokoh itu pada hakikatnya tidak berinteraksi; pikiran-pikiran mereka tidak nyambung. 

 

Yesus tidak menjawab secara langsung pertanyaan tuduhan Pilatus, Ia menjawabnya dengan, “Engkau mengatakan bahwa Aku adalah raja” (Yohanes 18:37). Sebenarnya ini bukan jawaban. Yesus tidak menyangkal bahwa diri-Nya adalah raja. Tetapi, dengan jawaban itu, secara tersurat Ia mengatakan bahwa Ia tidak pernah menggunakan gelar itu, terutama dengan tekanan berat bersifat politis yang diletakan Pilatus pada gelar itu. Dengan jawaban itu, seolah-olah Yesus berkata, “Pewarnaan politis yang Anda lihat pada gelar itu merupakan tanggung jawab Anda, bukan tanggung jawab-Ku.” Dengan kata lain, dengan istilah “kerajaan” Yesus memaksudkan kerajaan yang hanya bersifat internal dan spiritual. Pada dasarnya, Yesus merupakan pernyataan Bapa-Nya, cermin Bapa-Nya, dan kerajaan yang hendak didirikan adalah kerajaan dengan kesediaan diajar dan kepatuhan internal, kerajaan kemuridan. Jelas, Pilatus yang mewakili orang banyak tidak menangkap apa yang dimaksudkan Yesus.

 

Di tengah-tengah pengadilan di bawah tekanan orang banyak itu, tiga kali Pilatus menyatakan secara tegas bahwa Yesus tidak bersalah, “Aku tidak mendapati kesalahan apa pun pada-Nya” (Yohanes 18:38). Kalimat yang sama diulang dua kali lagi (Yohanes 19:4,6). Namun, Pilatus menyerah dengan tekanan dan teriakan orang banyak yang menginginkan kematian Yesus. Jika kita cermati, vonis hukuman mati itu sebenarnya telah terjadi sebelum pengadilan itu dilakukan. Para pemuka Yahudi yang memerovokasi masa sudah bulat, sepakat untuk membunuh Yesus, kini tinggal bagaimana caranya. Tangan kuasa Roma, dalam hal ini Pilatus yang kemudian mereka pinjam untuk menjatuhkan hukuman salib! Selanjutnya, Yesus disesah, dihina, dan disalibkan!

 

Hati yang menolak dan penuh kebencian akhirnya membuahkan vonis hukuman mati.  Mereka menolak Yesus sebagai raja damai yang mendamaikan manusia dengan Sang Kaliq. Mereka menolak oleh karena kuatir ritual dan strata sosial mereka terusik. Mereka menolak karena tidak bersedia membuka topeng-topeng kemunafikan dan beragama. Sama seperti Pilatus, sangat mungkin mereka tidak melihat kesalahan apa pun di dalam diri Yesus. Namun, apa yang dilakukan Yesus mengancam kestabilan kekuasaan mereka di Bait Allah. Mereka cemburu, begitu banyak orang-orang berdosa, sakit, miskin dan tersingkirkan mendapat tempat semestinya sebagai manusia. Mereka menolak, karena Raja itu menjungkirbalikkan kenyamanan dan kehormatan mereka.

 

Kita bisa berada pada posisi Pilatus. Dua panggung berbeda yang dihadapi Pilatus: Di luar gedung pengadilan dengan tekanan politis rakyat yang meminta Yesus dihukum mati. Dan di dalam ruang pengadilan di mana dia bisa berjumpa dengan Yesus dengan tidak menemukan kesalahan, di sini Pilatus berjumpa dengan kebenaran. Namun, akhirnya menyerah karena tekanan massa. Kita dapat saja menyerah pada tekanan yang mengganggu kenyamanan kita, lalu menolak dan melemparkan kebenaran itu untuk dilenyapkan!

 

Kita pun bisa menolak Sang Raja dan Sang Mesias itu lalu, menyalibkan-Nya lagi ketika kita mengabaikan apa yang menjadi pesan dan teladan-Nya. Kita bisa menolak Dia ketika mata hati kita tertutup pada kebenaran yang diajarkan-Nya tetapi membukanya untuk memuaskan nafsu dan ambisi, kita bisa menolak Dia ketika enggan membuka topeng-topeng kemunafikan dalam ibadah kita, kita bisa menolak Dia ketika mata hati kita dibutakan oleh gemerlapnya dunia.

 

 

Jakarta, Jumat Agung tahun C 2022