Kamis, 14 April 2022

RAJA YANG DITOLAK

Dunia bagai panggung besar tempat pelbagai pentas dipertontonkan. Kerap kali dipentaskan kontras: kebenaran versi politis populis dan kebenaran spiritual hakiki. Pada adegan awal tampaknya versi politis populis lebih unggul. Sebaliknya, kebenaran spiritual hakiki tenggelam dan mati. Tidak diminati! Kebenaran ditakuti dan diberangus oleh karena mempunyai konsekuensi mengancam kekuasaan, mengusik kenyamanan! Pengadilan rekayasa digelar supaya terlihat punya alasan untuk menjatuhkan vonis. Lalu, apakah kebenaran itu lenyap? Tunggu dulu, ini baru episode awal!

 

Yesus diseret ke pengadilan, mula-mula pengadilan agama dengan dakwaan penodaan agama. Kemudian karena Yahudi dalam jajahan Romawi tidak bisa menghukum mati maka Yesus diseret ke penguasa Roma dengan tuduhan makar. Ia didakwa dengan menyatakan diri Raja Orang Yahudi. Menurut Injil Yohanes, sejak awal Yesus diadili di praetorium, markas besar Pilatus: “Maka membawa Yesus dari Kayafas ke gedung pengadilan (praetorium)” (Yohanes 18:28). Di tempat itu, Yesus diinterogasi secara pribadi oleh Pilatus, sementara masa yang menuntut hukuman mati berada di luar gedung. 

 

Alasan mengapa Yesus dibawa dari istana Imam Besar Kayafas ke Pilatus adalah, karena mereka tidak bisa menghukum Yesus dengan hukuman mati. Maka dicari pasal yang bisa menjerat Yesus dengan hukuman mati. Makar! Yesus menyatakan diri sebagai Raja Orang Yahudi. Upah untuk orang yang memberontak terhadap kaisar Romawi adalah salib!

 

Kini setelah selesai peradilan agama, Yesus berhadapan dengan Pilatus. Ada perbedaan mencolok antara Kisah Sengsara menurut Injil Sinoptik dan Yohanes. Menurut Injil Sinoptik, dalam pengadilan ketika berkonfrontasi dengan Pilatus, Yesus kebanyakan diam. Namun, dalam Injil Yohanes, Yesus berbicara bebas dan meyakinkan. Alasannya, bukan hanya karena Yohanes menyajikan informasi historis yang lebih kaya, tetapi terutama sanggahan terhadap tuduhan utama, yaitu bahwa Yesus tidak dapat dituduh sebagai penghasut politis, bahwa dari tingkat politis Yesus sama sekali tidak merupakan bahaya bagi Roma.

 

L.M. Bermejo (Selubung Kirmizi, 2008) menyatakan, bahwa dalam menyelidiki kisah Injil tentang pengadilan itu, ahli hukum akan kecewa karena hampir tidak ada legalitas yang bisa dianggap penting sekali dalam pengadilan seperti itu: tidak ada laporan rinci dan tidak ada penyebutan saksi yang dapat memberi kesaksian di bawah sumpah. Sedangkan dalam pengadilan Yahudi sebelumnya, terlihat adanya legalitas dalam menghadirkan saksi-saksi (benar atau palsu). Dalam pengadilan Romawi kita tidak melihat kehadiran saksi seperti itu.

 

Pilatus tidak mengadili Yesus berdasarkan kelanjutan dari pengadilan sebelumnya. Pilatus mengadakan investigasi sendiri tanpa memperhatikan penyelidikan Yahudi oleh Mahkamah Agama yang dilakukan sebelumnya. Pengadilan Yahudi dan pengadilan Romawi merupakan dua hal yang terlepas sama sekali. Tidak berhubungan satu sama lain, dan keputusan Pilatus tidak didasarkan pada pendapat Imam Besar dan Mahkamah Agama. Isi dari kedua pengadilan itu amat berbeda karena dalam pengadilan yang dilakukan oleh Pilatus isi tuduhan pokok adalah masalah Yesus menjadi raja, yang dalam pengadilan agama isunya bukan itu.

 

Konfrontasi Yesus dan Pilatus tak pelak lagi menjadi adegan yang paling dramatis dalam seluruh Injil. Tetapi, penafsirannya tidak selalu mudah, Yohanes memakai makna simbolis dan teologis. R Brown (The Gospel according to John) melihat kasus peradilan Yesus oleh Pilatus seperti ini:

 

Tidak ada saling pengaruh antara tradisi historis dan minat teologi, dan tidak ada drama yang menjadi jelas daripada dalam adegan pengadilan di hadapan Pilatus…Ada dua letak panggung: di luar ruang gedung pengadilan, tempat orang-orang Yahudi berkumpul; dan di dalam gedung pengadilan, tempat Yesus ditahan sebagai orang hukuman. Pilatus keluar masuk dari satu panggung yang satu ke panggung yang lain dalam tujuh episode yang dibuat seimbang secara teliti. Suasana di dalam gedung tenang dan nalar jernih tentang ketidaksalahan Yesus ditegaskan kepada Pilatus: Suasana di luar gedung riuh dengan teriakan-teriakan kacau penuh kebencian mana kala orang-orang Yahudi memberi tekanan kepada Pilatus untuk menyatakan Yesus bersalah. Lalu-lalangnya Pilatus dari satu panggung ke panggung yang lain memberi ungkapan lahir atas pergulatan yang terjadi di dalam jiwanya… karena kepastiannya atas ketidakbersalahan Yesus bertambah dan pada waktu bersamaan kekuatan politis yang mendesaknya untuk menjatuhkan hukuman pada Yesus juga bertambah.

 

Meski Yesus dalam pelayanan publiknya tidak pernah memakai gelar Raja Orang Yahudi, namun dalam pengadilan Romawi itu, tema sentral dan satu-satunya tuduhan pokok adalah, “Engkau inikah raja orang Yahudi?” (Yohanes 18:33). Jawaban Yesus merupakan puncak dari seluruh bagian pengadilan itu, “Kerajaan-Ku bukan dari dunia ini” (Yohanes 18:36-37). Jawaban itu harus dimengerti dalam terang pernyataan Yesus sebelumnya, “Aku tidak ada lagi di dalam dunia… Mereka bukan dari dunia, sama seperti Aku bukan dari dunia” (Yohanes 17:11,6). Sementara Pilatus bergerak pada tingkat politis, Yesus bergerak pada tingkat spiritual. Kedua tokoh itu pada hakikatnya tidak berinteraksi; pikiran-pikiran mereka tidak nyambung. 

 

Yesus tidak menjawab secara langsung pertanyaan tuduhan Pilatus, Ia menjawabnya dengan, “Engkau mengatakan bahwa Aku adalah raja” (Yohanes 18:37). Sebenarnya ini bukan jawaban. Yesus tidak menyangkal bahwa diri-Nya adalah raja. Tetapi, dengan jawaban itu, secara tersurat Ia mengatakan bahwa Ia tidak pernah menggunakan gelar itu, terutama dengan tekanan berat bersifat politis yang diletakan Pilatus pada gelar itu. Dengan jawaban itu, seolah-olah Yesus berkata, “Pewarnaan politis yang Anda lihat pada gelar itu merupakan tanggung jawab Anda, bukan tanggung jawab-Ku.” Dengan kata lain, dengan istilah “kerajaan” Yesus memaksudkan kerajaan yang hanya bersifat internal dan spiritual. Pada dasarnya, Yesus merupakan pernyataan Bapa-Nya, cermin Bapa-Nya, dan kerajaan yang hendak didirikan adalah kerajaan dengan kesediaan diajar dan kepatuhan internal, kerajaan kemuridan. Jelas, Pilatus yang mewakili orang banyak tidak menangkap apa yang dimaksudkan Yesus.

 

Di tengah-tengah pengadilan di bawah tekanan orang banyak itu, tiga kali Pilatus menyatakan secara tegas bahwa Yesus tidak bersalah, “Aku tidak mendapati kesalahan apa pun pada-Nya” (Yohanes 18:38). Kalimat yang sama diulang dua kali lagi (Yohanes 19:4,6). Namun, Pilatus menyerah dengan tekanan dan teriakan orang banyak yang menginginkan kematian Yesus. Jika kita cermati, vonis hukuman mati itu sebenarnya telah terjadi sebelum pengadilan itu dilakukan. Para pemuka Yahudi yang memerovokasi masa sudah bulat, sepakat untuk membunuh Yesus, kini tinggal bagaimana caranya. Tangan kuasa Roma, dalam hal ini Pilatus yang kemudian mereka pinjam untuk menjatuhkan hukuman salib! Selanjutnya, Yesus disesah, dihina, dan disalibkan!

 

Hati yang menolak dan penuh kebencian akhirnya membuahkan vonis hukuman mati.  Mereka menolak Yesus sebagai raja damai yang mendamaikan manusia dengan Sang Kaliq. Mereka menolak oleh karena kuatir ritual dan strata sosial mereka terusik. Mereka menolak karena tidak bersedia membuka topeng-topeng kemunafikan dan beragama. Sama seperti Pilatus, sangat mungkin mereka tidak melihat kesalahan apa pun di dalam diri Yesus. Namun, apa yang dilakukan Yesus mengancam kestabilan kekuasaan mereka di Bait Allah. Mereka cemburu, begitu banyak orang-orang berdosa, sakit, miskin dan tersingkirkan mendapat tempat semestinya sebagai manusia. Mereka menolak, karena Raja itu menjungkirbalikkan kenyamanan dan kehormatan mereka.

 

Kita bisa berada pada posisi Pilatus. Dua panggung berbeda yang dihadapi Pilatus: Di luar gedung pengadilan dengan tekanan politis rakyat yang meminta Yesus dihukum mati. Dan di dalam ruang pengadilan di mana dia bisa berjumpa dengan Yesus dengan tidak menemukan kesalahan, di sini Pilatus berjumpa dengan kebenaran. Namun, akhirnya menyerah karena tekanan massa. Kita dapat saja menyerah pada tekanan yang mengganggu kenyamanan kita, lalu menolak dan melemparkan kebenaran itu untuk dilenyapkan!

 

Kita pun bisa menolak Sang Raja dan Sang Mesias itu lalu, menyalibkan-Nya lagi ketika kita mengabaikan apa yang menjadi pesan dan teladan-Nya. Kita bisa menolak Dia ketika mata hati kita tertutup pada kebenaran yang diajarkan-Nya tetapi membukanya untuk memuaskan nafsu dan ambisi, kita bisa menolak Dia ketika enggan membuka topeng-topeng kemunafikan dalam ibadah kita, kita bisa menolak Dia ketika mata hati kita dibutakan oleh gemerlapnya dunia.

 

 

Jakarta, Jumat Agung tahun C 2022

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar