Kalimat tema ini mudah untuk mengucapkan tetapi tidak pada pelaksanaannya. Mudah untuk dijadikan selogan tetapi sulit menghidupinya. Mengapa? Ya, terang saja, bukankah selama ini setiap orang - termasuk kita - lebih suka dikasihi, diperhatikan, dan dilayani ketimbang sebaliknya. Nilai-nilai yang kita katakan duniwai, bukankah juga kontribusi dari sikap dan keinginan hati kita juga?
Jika kita buka mata lebar-lebar, semua kelompok, semua tatanan yang ada dalam masyarakat dibangun dengan model piramid. Semua berlomba ingin berada di atas, di puncak. Mengapa? Yang berada di puncak adalah yang berkuasa, kaya, pandai. Mereka yang berada di lapisan paling bawah adalah para imigran, buruh, kuli, orang-orang yang tidak punya pekerjaan, sakit dan penyandang cacat. Mereka dipinggirkan dan hanya “dirangkul” ketika musim pemilu. Dijadikan obyek amal yang foto dan videonya dijual di media sosial!
Mereka dipinggirkan, sama sekali tidak diperhitungkan. Bersama mereka Yesus hadir. Ia menempatkan diri pada strata paling bawah, di tempat yang paling akhir. Tempat para budak! Bagi Petrus, saya kira baki kita juga ini tidak mungkin, ini tidak masuk akal! Petrus dan kita menolak pola ini karena memang hidup dalam masyarakat model piramid. Kini, Yesus tampil membawa model yang sama sekali berbeda. Ia membawa model “tubuh”. Menurut model ini setiap orang dihargai dan berarti. Setiap orang mempunyai tempat; layak mencintai dan dicintai. Masing-masing saling membutuhkan dan saling tergantung. Dalam relasi yang dibangun Yesus, mestinya tidak ada orang yang berada di tempat terakhir.
Jika kemarin dalam minggu sengsara kita diingatkan oleh bacaan II yang terambil dari Filipi 2:5-11, bahwa Yesus telah mengosongkan diri mengambil rupa seorang hamba. Kini, Yesus memperagakan pekerjaan hamba itu. Ia menanggalkan jubah-Nya (Yohanes 13:4), mengambil sehelai kain lenan dan mengikat-Nya pada pinggang-Nya, lalu membasuh kaki murid-murid-Nya!
Petrus begitu manusiawi, ia seperti kita. Ia hidup menurut budaya, pola pikir serta tindakannya, Yesus lebih tinggi, Tuhan dan Guru. Ia tidak pernah boleh membasuh kaki murid-murid-Nya yang lebih rendah. Merekalah yang harus membasuh kaki Sang Guru. Petrus tidak bisa mengerti tindakan Yesus ini. Petrus dan kita membutuhkan Yesus yang “di atas” bukan yang berada di bawah. Yesus yang di atas itu memberi rasa nyaman dan aman. Yesus jelas mempunyai kekuatan dan kekuasaan. Bukankah Dia itu Mesias, Anak Allah yang Mahatinggi?
Dengan menyatakan diri sebagai hamba; yang paling kecil dan terakhir dalam kelompok masyarakat, sebagai orang yang melakukan pekerjaan kotor, Yesus mau melibatkan para murid untuk memberi perhatian kepada yang paling kecil dan terakhir dalam masyarakat. Dalam versi Injil Matius 25, Ia menggabarkan diri-Nya bersama mereka yang tersisih, hina dan terbuang. Allah di dalam Kristus - apalagi dalam prolog Injil Yohanes - tidak berada di luar jangkauan, di langit. Tidak! Allah tersembunyi di “langit” hati orang-orang yang berada di tempat tersisih, tempat terakhir!
Pesan Injil yang diperagakan Yesus memutarbalikkan perhitungan dunia. Sikap Petrus itu wajar dan biasa. Sikap itu menunjukkan jarak antara pesan Injil dengan sikap kemanusiaan kita serta pola pikir dan bertindak semua budaya kita; antara Yesus yang sejati dengan gambaran yang kita miliki mengenai diri-Nya sebagai pemimpin dan raja. Yang ada dalam benak kita semua adalah model piramida. Bukankah kita semua berusaha untuk berteman dengan orang-orang yang berada di atas, bukan dengan mereka yang berada di tempat paling bawah?
Kalau kita mudah memahami dan menerima sikap Petrus, maka semakin sulit untuk kita dapat memahami jawaban Yesus: “Jika Aku tidak membasuh engkau, engkau tidak akan mendapat bagian dalam Aku” (Yohanes 13:8). Kalimat ini jelas, Yesus ingin mengajak Petrus, yang juga mewakili kita untuk masuk menjadi bagian dari “tubuh-Nya” yang nantinya diminta oleh Yesus melakukan hal yang sama, dalam hal ini perintah saling membasuh (saling melayani dan mengasihi).
Menarik cara Yesus melibatkan Petrus, murid-murid yang lain termasuk di dalamnya kita yang percaya kepada-Nya. Dengan membasuh, Yesus menyentuh bagian tubuh paling bawah, tangan-Nya mengusap dan menyeka kaki, mata-Nya menatap tajam sambil mengisyaratkan, “engkau berharga di mata-Ku”. Kasih itu mengalir dan menyentuh hati setiap murid. Yesus melibatkan para murid dengan sentuhan kasih dan pengalaman dihargai. Dan Dia ingin hal serupa dapat diteruskan oleh setiap orang yang menyapa diri-Nya: Tuhan dan Guru.
Pembasuhan kaki yang dilakukan Yesus terhadap para murid baru dimengerti oleh mereka setelah Yesus menyelesaikan semua yang harus diselesaikan-Nya. Mereka baru menyadari bahwa pembasuhan kaki itu adalah simbol dari sebuah cinta kasih yang teramat dalam yang kemudian digenapi Yesus di kayu salib. Di situlah Ia benar-benar menjadi sosok manusia yang memberikan nyawa-Nya sebagai tebusan.
Ketika Yesus meminta kita untuk saling membasuh kaki, itu artinya Ia mengajak kita untuk saling mencintai, untuk saling melayani dan saling mengampuni. Ini tidak berarti bahwa kita harus benar-benar secara harfiah membasuh kaki semua orang. Pembasuhan kaki adalah simbol yang amat kuat untuk merendahkan diri, memberi diri demi mencintai dan melayani sesama.
Bagi setiap orang yang telah “dibasuh kakinya” oleh Yesus maka gaya hidup yang mengasihi dan melayani bukan perkara yang sulit. Orang yang dibasuh oleh Kristus artinya berjumpa, disentuh, merasakan dan mengalami kasih Kristus maka ia seperti menerima Air Hidup. Air Hidup yang dulu Yesus ceritakan kepada perempuan Samaria itu, akan menjadi sumber mata air. Ia akan mengalir menjadi berkat bagi banyak orang. Mengasihi dan melayani tidak lagi menjadi beban dan tujuan, melainkan keniscayaan, sebagai dampak atau buah bagi setiap orang yang tinggal di dalam Yesus. Ia laksana ranting yang menempel di pokok anggur yang akan menghasilkan buah pada waktunya.
Jadi, jangan pikirkan kesulitannya untuk hidup benar-benar mengasihi dan melayani. Yang sekarang kita lakukan adalah bersedia dibasuh oleh Kristus, jalin relasi yang intim dengan-Nya, maka niscaya kalimat tema kita hari ini bukan hanya selogan, melainkan sungguh nyata terjadi dalam kehidupan kita.
Jakarta, Kamis Putih, tahun C 2022