Rabu, 13 April 2022

HIDUP YANG MENGASIHI DAN MELAYANI

Kalimat tema ini mudah untuk mengucapkan tetapi tidak pada pelaksanaannya. Mudah untuk dijadikan selogan tetapi sulit menghidupinya. Mengapa? Ya, terang saja, bukankah selama ini setiap orang - termasuk kita - lebih suka dikasihi, diperhatikan, dan dilayani ketimbang sebaliknya. Nilai-nilai yang kita katakan duniwai, bukankah juga kontribusi dari sikap dan keinginan hati kita juga?

 

Jika kita buka mata lebar-lebar, semua kelompok, semua tatanan yang ada dalam masyarakat dibangun dengan model piramid. Semua berlomba ingin berada di atas, di puncak. Mengapa? Yang berada di puncak adalah yang berkuasa, kaya, pandai. Mereka yang berada di lapisan paling bawah adalah para imigran, buruh, kuli, orang-orang yang tidak punya pekerjaan, sakit dan penyandang cacat. Mereka dipinggirkan dan hanya “dirangkul” ketika musim pemilu. Dijadikan obyek amal yang foto dan videonya dijual di media sosial!

 

Mereka dipinggirkan, sama sekali tidak diperhitungkan. Bersama mereka Yesus hadir. Ia menempatkan diri pada strata paling bawah, di tempat yang paling akhir. Tempat para budak! Bagi Petrus, saya kira baki kita juga ini tidak mungkin, ini tidak masuk akal! Petrus dan kita menolak pola ini karena memang hidup dalam masyarakat model piramid. Kini, Yesus tampil membawa model yang sama sekali berbeda. Ia membawa model “tubuh”. Menurut model ini setiap orang dihargai dan berarti. Setiap orang mempunyai tempat; layak mencintai dan dicintai. Masing-masing saling membutuhkan dan saling tergantung. Dalam relasi yang dibangun Yesus, mestinya tidak ada orang yang berada di tempat terakhir.

 

Jika kemarin dalam minggu sengsara kita diingatkan oleh bacaan II yang terambil dari Filipi 2:5-11, bahwa Yesus telah mengosongkan diri mengambil rupa seorang hamba. Kini, Yesus memperagakan pekerjaan hamba itu. Ia menanggalkan jubah-Nya (Yohanes 13:4), mengambil sehelai kain lenan dan mengikat-Nya pada pinggang-Nya, lalu membasuh kaki murid-murid-Nya!

 

Petrus begitu manusiawi, ia seperti kita. Ia hidup menurut budaya, pola pikir serta tindakannya, Yesus lebih tinggi, Tuhan dan Guru. Ia tidak pernah boleh membasuh kaki murid-murid-Nya yang lebih rendah. Merekalah yang harus membasuh kaki Sang Guru. Petrus tidak bisa mengerti tindakan Yesus ini. Petrus dan kita membutuhkan Yesus yang “di atas” bukan yang berada di bawah. Yesus yang di atas itu memberi rasa nyaman dan aman. Yesus jelas mempunyai kekuatan dan kekuasaan. Bukankah Dia itu Mesias, Anak Allah yang Mahatinggi?

 

Dengan menyatakan diri sebagai hamba; yang paling kecil dan terakhir dalam kelompok masyarakat, sebagai orang yang melakukan pekerjaan kotor, Yesus mau melibatkan para murid untuk memberi perhatian kepada yang paling kecil dan terakhir dalam masyarakat. Dalam versi Injil Matius 25, Ia menggabarkan diri-Nya bersama mereka yang tersisih, hina dan terbuang. Allah di dalam Kristus - apalagi dalam prolog Injil Yohanes - tidak berada di luar jangkauan, di langit. Tidak! Allah tersembunyi di “langit” hati orang-orang yang berada di tempat tersisih, tempat terakhir!

 

Pesan Injil yang diperagakan Yesus memutarbalikkan perhitungan dunia. Sikap Petrus itu wajar dan biasa. Sikap itu menunjukkan jarak antara pesan Injil dengan sikap kemanusiaan kita serta pola pikir dan bertindak semua budaya kita; antara Yesus yang sejati dengan gambaran yang kita miliki mengenai diri-Nya sebagai pemimpin dan raja. Yang ada dalam benak kita semua adalah model piramida. Bukankah kita semua berusaha untuk berteman dengan orang-orang yang berada di atas, bukan dengan mereka yang berada di tempat paling bawah?

 

Kalau kita mudah memahami dan menerima sikap Petrus, maka semakin sulit untuk kita dapat memahami jawaban Yesus: “Jika Aku tidak membasuh engkau, engkau tidak akan mendapat bagian dalam Aku” (Yohanes 13:8). Kalimat ini jelas, Yesus ingin mengajak Petrus, yang juga mewakili kita untuk masuk menjadi bagian dari “tubuh-Nya” yang nantinya diminta oleh Yesus melakukan hal yang sama, dalam hal ini perintah saling membasuh (saling melayani dan mengasihi). 

 

Menarik cara Yesus melibatkan Petrus, murid-murid yang lain termasuk di dalamnya kita yang percaya kepada-Nya. Dengan membasuh, Yesus menyentuh bagian tubuh paling bawah, tangan-Nya mengusap dan menyeka kaki, mata-Nya menatap tajam sambil mengisyaratkan, “engkau berharga di mata-Ku”. Kasih itu mengalir dan menyentuh hati setiap murid. Yesus melibatkan para murid dengan sentuhan kasih dan pengalaman dihargai. Dan Dia ingin hal serupa dapat diteruskan oleh setiap orang yang menyapa diri-Nya: Tuhan dan Guru.

 

Pembasuhan kaki yang dilakukan Yesus terhadap para murid baru dimengerti oleh mereka setelah Yesus menyelesaikan semua yang harus diselesaikan-Nya. Mereka baru menyadari bahwa pembasuhan kaki itu adalah simbol dari sebuah cinta kasih yang teramat dalam yang kemudian digenapi Yesus di kayu salib. Di situlah Ia benar-benar menjadi sosok manusia yang memberikan nyawa-Nya sebagai tebusan.

 

Ketika Yesus meminta kita untuk saling membasuh kaki, itu artinya Ia mengajak kita untuk saling mencintai, untuk saling melayani dan saling mengampuni. Ini tidak berarti bahwa kita harus benar-benar secara harfiah membasuh kaki semua orang. Pembasuhan kaki adalah simbol yang amat kuat untuk merendahkan diri, memberi diri demi mencintai dan melayani sesama.

 

Bagi setiap orang yang telah “dibasuh kakinya” oleh Yesus maka gaya hidup yang mengasihi dan melayani bukan perkara yang sulit. Orang yang dibasuh oleh Kristus artinya berjumpa, disentuh, merasakan dan mengalami kasih Kristus maka ia seperti menerima Air Hidup. Air Hidup yang dulu Yesus ceritakan kepada perempuan Samaria itu, akan menjadi sumber mata air. Ia akan mengalir menjadi berkat bagi banyak orang. Mengasihi dan melayani tidak lagi menjadi beban dan tujuan, melainkan keniscayaan, sebagai dampak atau buah bagi setiap orang yang tinggal di dalam Yesus. Ia laksana ranting yang menempel di pokok anggur yang akan menghasilkan buah pada waktunya.

 

Jadi, jangan pikirkan kesulitannya untuk hidup benar-benar mengasihi dan melayani. Yang sekarang kita lakukan adalah bersedia dibasuh oleh Kristus, jalin relasi yang intim dengan-Nya, maka niscaya kalimat tema kita hari ini bukan hanya selogan, melainkan sungguh nyata terjadi dalam kehidupan kita.

 

Jakarta, Kamis Putih, tahun C 2022

Jumat, 08 April 2022

HAMBA YANG MENDERITA

Seorang ibu berkata, “Entah, aku tidak mengerti mengapa aku dapat melewati peristiwa ini dengan tegar. Bayangkan, suami meninggalkan kami ketika anak-anak masih kecil. Rumah jauh dari nyaman, sudah bisa meletakkan kepala untuk tidur dan tidak bocor ketika hujan, itu sudah sangat bersyukur. Setiap hari aku harus mengais rejeki menjajakan kue buatan tetanggaku. Kini, tanpa terasa waktu berjalan. Ketiga anakku semua sudah menyelesaikan kuliah bahkan dua di antara mereka pasca sarjana. Kini, aku yakin itu semua karena Tuhan yang menopang dan memberiku kekuatan!”

 

Pernahkah Anda mempunyai pengalaman serupa? Beban berat, penderitaan yang tampaknya sulit untuk ditanggung namun pada akhirnya Anda bisa melewatinya juga? Dan, sesudah itu Anda terheran-heran, koq bisa aku melewatinya? Bisa saja dalam pase awal penderitaan kita menolak lalu mempertanyakan penyertaan Tuhan, namun kemudian toh pada akhirnya kita tidak bisa menghindar, cawan itu harus diminum!

 

Yesus berkata, “Ya Bapa-Ku, jikalau Engkau mau, ambillah cawan ini dari pada-Ku” (Lukas 22:42). Cawan itu adalah cawan nasib-Nya yang penuh dengan penderitaan, yang sekarang sudah mulai tampak jelas di cakrawala dan itu sama sekali tidak dapat Ia mengerti. Ia sungguh tidak dapat mengerti bagaimana kematian yang penuh derita itu sesuai dengan rencana penyelamatan Bapa. J. Fitzmyer (The Gospel according to Luke,II) mengungkapkan dengan baik apa arti cawan bagi Yesus. Dengan kata- kata itu, Yesus dalam Injil Lukas mengungkapkan penolakan secara naluriah terhadap nasib yang menanti-Nya.

 

Tidak ada tradisi lain dalam Injil yang menggambarkan kemanusiaan Yesus dengan begitu gamblang seperti dalam Lukas itu. Tanggapan-Nya tidak hanya menunjukkan penderitaan fisik dan kecemasan psikis yang menanti-Nya, tetapi juga meliputi juga kesedihan dan keraguan batin mengenai makna dari semuanya yang akan terjadi itu. Penderitaan fisik, psikis, kesedihan dan keraguan batin itu terungkap dengan peluh-Nya yang menjadi seperti titik-titik darah yang bertetesan ke tanah!

 

Betulkah peluh yang menetes seperti titik-titik darah itu merupakan gambaran Yesus yang berada dalam tekanan dahsyat? Banyak orang mengartikannya bahwa Yesus benar-benar berpeluh darah, dan studi ilmu kedokteran mutakhir  menemukan bahwa jika seseorang berada dalam ketegangan kelewat berat, pembulu-pembulu darah dapat pecah dan kemudian keringat keluar dan bercampur dengan darah. Tetapi dalam kisah ini belum tentu demikian. Bisa juga bahwa peluh yang seperti titik-titik darah berarti Yesus berpeluh sangat banyak sehingga mengalir ke tanah seperti titik-titik darah. Namun, yang jelas ungkapan ini mau mengatakan bahwa Yesus berada dalam tekanan berat!

 

Di bukit zaitun itu Yesus menjadi korban ketakutan, kegagalan, dan kekecewaan ditambah dengan kesepian luar biasa. Tidak satu pun dari murid-murid-Nya bisa diajak berbagi, apalagi diandalkan. Dia harus menanggungnya seorang diri. Yesus sangat ketakutan! Yesus sekarang berada dalam situasi seperti yang digambarkan oleh pemazmur, “Hatiku gelisah, kengerian maut telah menimpa aku. Aku dirundung takut dan gentar, perasaan seram meliputi aku.” (Mazmur 55:5-6). Sekurang-kurangnya, Yesus secara samar melihat peristiwa-peristiwa yang segera akan menimpa diri-Nya. Pada waktu itu terjadi, Yesus tidak melihat siapa pun yang akan memberi dukungan dan penghiburan. Akibatnya, Ia merasa kehilangan daya dan sedih. Hati-Nya remuk!

 

Lalu, apakah Yesus mengalami keragu-raguan atas misi-Nya? Bukankah selama ini Ia selalu optimis? Bukankah Ia terus maju dan bertindak, tak pernah goyah dan terombang-ambing? Namun, teks kecil dalam Ibrani mengingatkan kita, “Ia sama dengan kita … hanya tidak berbuat dosa” (Ibrani 4:15).

 

Ya, semua yang ditakutkan Yesus segera menjadi kenyataan. Ia segera akan dihianati murid-Nya sendiri, ditangkap, dianiaya, dihina dan dilecehkan lalu disalibkan dan mati. Tidak dapat dihindari, cawan itu harus diminum-Nya! Namun, Injil Lukas memberi catatan penting. Di tengah-tengah ketakutan dahsyat itu, “Maka seorang malaikat dari langit menampakkan diri kepada-Nya untuk memberi kekuatan kepada-Nya” (Lukas 22:43). Penampakan malaikat ini merupakan jawaban dari doa Yesus yang berpeluh seperti tetesan darah itu. Mengenai peristiwa ini, kitab Ibrani mencatat, “Dalam hidup-Nya sebagai manusia. Ia telah mempersembahkan doa dan permohonan dengan ratap tangis dan keluhan kepada Dia, yang sanggup menyelamatkan-Nya dari maut, dan karena kesalehan-Nya, Ia telah di dengarkan. Ia telah belajar menjadi taat dalam apa yang telah diderita-Nya”  (Ibrani 5:7-8). Penulis surat ini mempunyai pandangan yang luhur tentang keilahian Yesus dan dalam teks itu ia mempertentangkan dengan tajam Yesus sebagai Anak dan Yesus dalam daging, yang dapat mengalami penderitaan manusia. Manusia Yesus belajar taat, meski Ia adalah Anak Allah!

 

Penampakan malaikat itu tak pelak lagi sebagai jawaban terhadap permohonan Yesus untuk menyingkirkan cawan itu. Yesus tidak dibebaskan dari derita yang harus dipikul-Nya. Ia harus meminum cawan itu, tetapi bantuan ilahi tersedia untuk menopang-Nya. Bantuan ilahi membuat-Nya tegar untuk menjalani rangkaian akhir pelayanan-Nya di dunia. Pergumulan itu diselesaikan-Nya di taman zaitun itu. Selanjutnya, Ia tinggal menjalani saja via dolorosa itu!

 

Kita semua pernah mengalami atau bahkan mungkin saja sekarang sedang mengalami apa yang disebut syndrome Getsemani, kecemasan luar biasa oleh karena beban penderitaan yang teramat berat. Sementara tidak ada satu pun teman, sanak dan kerabat yang dapat diandalkan. Sehingga tetesan peluh kekuatiran dan air mata kita membasahi tempat tidur. Gelisah dan depresi! Yesus, yang menurut catatan Ibrani sama seperti kita manusia, Ia mengalami hal itu juga. Ada yang dapat kita contoh dari-Nya: Berdoa, yakin dan percaya bahwa Allah, Bapa kita tidak pernah meninggalkan kita. Ia akan menopang kita!

 

Andai kata beban itu tetap ada, sakit penyakit terus bersarang dalam tubuh Anda, beban ekonomi dan kesulitan hidup seolah betah dan tidak mau beranjak dari diri Anda, hari depanmu tampak suram. Percayalah, malaikat yang dulu menopang Yesus ada bersama dengan Anda, sehingga Anda pun akan tetap bisa meneruskan kehidupan ini. Anda akan kuat bertahan oleh karena Dia besertamu!

 

Kini, sama seperti Yesus dalam menapaki jalan sengsara-Nya, Ia tetap taat dan setia. Sebagai hamba, Ia taat meski harus menempuh penderitaan yang teramat sangat. Maka, sekarang marilah kita mencontoh Dia. Taat dan setia dalam segala sesuatu. Jangan biarkan tergoda dan kemudian berpaling dari-Nya. Kelak kita akan melihat dan menoleh kembali pada jalan hidup kita. Sama seperti kisah si Ibu di awal tulisan ini. Penderitaannya tidak terelakan, namun kemudian ia bisa melewatinya bersama dengan Tuhan. Mungkin saja penyertaan dan pertolongan Tuhan itu tidak sedahsyat atau sespektakuler seperti yang disaksikan orang-orang, namun kelak kita akan mengerti, “Koq bisa ya, aku melewati semuanya itu?”

 

Jakarta, Minggu Palmarum / Minggu Sengsara, tahun C 2022