Kamis, 31 Maret 2022

MAKNA PENGURAPAN YESUS

Hare Krishna adalah sebuah gerakan bhakti atau amal yang didirikan di Amerika Serikat tahun 1965 oleh A.C. Bhaktivedanta Swami Prabhupada dengan nama resmi “The International Society for Krishna Consciousness”. Sebagai sebuah gerakan amal, anggota Sekte Hare Krishna kerap berada di ruang publik, bandara atau stasiun kereta api. Seorang anggota sekte biasanya akan menyapa dengan seseorang dengan ramah sambil memberikan setangkai bunga kecil. Jika Anda seperti kebanyakan orang, Anda akan menerima bunga itu untuk menghindar dari kesan kasar dan tidak bersahabat. Namun, jika Anda berusaha menolak, Anda akan segera mendengar suara lembut, “Ambillah, ini hadiah dari kami untuk Anda.”

Jika Anda ingin membuang bunga itu ke tempat sampah terdekat, Anda akan melihat sudah ada beberapa tangkai di sana. Tapi itu bukan akhir. Tepat ketika perasaan tidak enak mulai menarik-narik hati Anda, seorang anggota sekte Hare Krishna yang lain akan segera mendekati Anda, kali ini jelas bukan untuk memberikan setangkai bunga lagi, melainkan proposal sumbangan! Sering kali permintaan ini berhasil, sangat sukses sehingga banyak bandara internasional melarang anggota sekte tersebut berada dalam wilayah mereka.  

Seorang psikolog ternama, Robert Cialdini menjelaskan kesuksesan kampanye seperti ini dan yang sejenisnya. Cialdini mempelajari fenomena “timbal-balik” (reciprocity). Ia telah menemukan bahwa manusia akan mengalami kesulitan kalau berutang kepada orang lain. Maka tidaklah heran jika banyak LSM dan lembaga amal menggunakan Teknik yang percis sama: pertama, memberi, lalu mengambil. Apakah fenomena ini hanya berhenti pada LSM dan lembaga-lembaga amal saja? Rasanya tidak! Bahkan, kita dapat menjumpai dalam gereja pun terjadi. Atas nama pelayanan gereja berbagi amal, bakti sosial dan yang sejenisnya. Untuk apa? Ya, supaya gereja kita aman Pak! Perhatian dan doa-doa personal menjadi andalan agar cengkraman makin kuat, anggota jemaat tidak hengkang. Politik hutang budi membuat seseorang tidak bebas. Paisengki!

Lazarus telah mati dan dibangkitkan. Sekarang si Pembangkit itu berkunjung ke kampung Lazarus. Betania! Ini kesempatan baik untuk balas budi. Keluarga itu menyiapkan perjamuan. Perjamuan spektakuler. Betapa tidak, bukan hanya hidangan makan, minum. Narwastu murni setengah kati seharga 45 juta rupiah tumpah ruah di kaki Yesus. Jelas, ini menimbulkan bau semerbak harum di seluruh ruangan bahkan mungkin saja sampai keluar rumah. Harum narwastu pengganti bau anyir mayat yang telah dibangkitkan Yesus. Rasanya narwastu seharga 300 dinar menjadi tidak berarti dibanding nyawa saudara Maria yang kembali! Namun, bagi Yudas ini adalah bentuk pemborosan. Bukankah uang sebanyak itu dapat disumbangkan untuk para fakir miskin?

Reciprocity-kah Maria? Mengingat saudara yang dicintainya tidak jadi mati sehingga ia mau mengurbankan apa saja yang paling berharga untuk membalas kebaikan Sang Guru? Jika benar, kalau demikian apakah yang dilakukan oleh Yesus tidak ubahnya seperti banyak LSM, lembaga amal atau salah satu metode marketing?

Yesus mencintai dan menyatakan belas kasihan-Nya terhadap keluarga Maria itu nyata. Tidak dapat dibantah! Sebelumnya, Yesus bahkan menangis karena kepergian Lazarus. Sepertinya, untuk menggambarkan rasa belas kasihan mendalam, Alkitab hanya mencatat terjadi dalam keluarga ini. Cinta Yesus yang begitu besar ditangkap oleh saudara-bersaudara ini. Jelas, ini bukan reciprocity. Ini kasih yang tulus, kasih yang tanpa syarat, yang tidak mengharapkan balasan. Yesus tidak sedang menanam saham balas budi. Yesus tidak sedang mengikat Maria dan saudara-saudaranya sehingga memaksakan diri untuk melayani Yesus. Tidak!

Justru, kasih-Nya membebaskan mereka dari belenggu kematian. Mengarahkan Marta dan Maria agar memahami arti dari sebuah pelayanan! Dampak dari kasih yang membebaskan itu terlihat dari sikap Maria. Ia bebas, tidak terikat dengan harta kekayaan. Ia bebas, bahkan dengan rambutnya - mahkota seorang perempuan - ia menyeka bagian terendah dari tubuh Yesus. Kaki-Nya! Maria tidak menyayangkan untuk tindakan kasih yang ia nyatakan kepada Yesus. Hal yang serupa terjadi pada Paulus ketika ia mengalami perjumpaan dengan Yesus yang membebaskannya dari belenggu Taurat, Paulus merasakan dekapan kasih Yesus itu sehingga dalam bacaan kedua minggu ini (Filipi 3:4-14), membuat segala sesuatu yang dianggap berharga kini dilepaskannya, bahkan secara ekstrem ia memandangnya sebagai sampah. Mengapa? Yang berharga dan terbaik telah ia dapatkan di dalam Kristus!

Tindakan Maria diniatkan oleh kasih yang begitu mendalam terhadap Yesus tanpa disadarinya telah menjadi semacam persiapan dalam puncak pelayanan Yesus. Tindakan Maria yang mengurapi Yesus dengan minyak narwastu murni merupakan persiapan penguburan Yesus.

Tindakan menyeka kaki Yesus dengan rambutnya pada zaman itu, bahkan mungkin juga sekarang, merupakan tindakan berlebihan dan tidak elok dilihat banyak orang: menguraikan rambut, tentu saja membuka tudung kepala. Rambut bagi seorang perempuan adalah mahkota, kini ia gunakan untuk membasuh kaki, bagian tubuh paling bawah tentu saja merupakan pemandangan kontras. Namun, tanpa disadari Maria, inilah wujud dari kerendahan hati, yang nantinya akan diperagakan juga oleh Yesus ketika Ia membasuh kaki para murid dalam perjamuan malam terakhir. Yesus yang adalah Sang Guru dan Tuhan meminta para murid untuk meneladani-Nya.

Jika Maria, dalam peristiwa pembangkitan Lazarus dikenal dan dihormati dengan pengakuannya, “Ya, Tuhan, aku percaya, bahwa Engkaulah Mesias, Anak Allah, Dia yang akan datang ke dalam dunia” (Yohanes 11:27), sekarang Maria dihormati sebagai orang yang mengungkapkan kasihnya. Seorang yang patut diteladani oleh semua kaum beriman.

Sama seperti Maria, apakah buat kita perjumpaan dengan Yesus Kristus itu hanya sekedar pelajaran katekisasi? Atau, benar bahwa Dia adalah seorang Sahabat, Guru dan Tuhan, yang memahami kemelut hidup kita, mengerti dan mengampuni segala dosa dan penyesalan kita? Sekarang, apa yang dapat kita persembahkan kepada Kristus? Jika Maria telah memberikan yang terbaik, baik materi maupun “harga diri” meskipun harus menimbulkan protes dari seorang Yudas, lalu apa dapat kita persembahkan kepada-Nya? Masihkah kita memberi dan melayani-Nya dengan motif “timbal-balik”?

Seharusnya, kasih Kristus itu membebaskan kita dari segala ikatan yang membelenggu. Di dalam Kristus, kita adalah orang-orang yang merdeka. Merdeka untuk melayani-Nya dengan segenap hati, akal budi dan kekuatan kita. Sangat mungkin akan tampil orang-orang seperti Yudas yang mencibir dan menganggap “pemborosan” dalam kita melayani-Nya. Namun, ketika cinta-Nya merengkuh kita maka hanya ada satu kata “bersyukur!”

Jakarta, Minggu Pra-paskah ke-5 Tahun C

Kamis, 24 Maret 2022

MENERUSKAN KASIH BAPA YANG MENYAMBUT

Banyak orang mempercayai bahwa Tuhan adalah Allah yang Mahamurah dan Maha pengampun. Sayang, keyakinan ini sering terhambat oleh perasaan diri terlalu berdosa, terlalu kotor untuk diampuni dan diterima kembali dalam relasi yang baik dengan Allah. Akibatnya, alih-alih datang kepada-Nya malah punya pendirian: “kepalang basah!”

“Ingatlah, ini bukan sesuatu yang logis, namun sesuatu yang emosional dan spiritual. Cinta tulus mencintaimu bukan karena kamu melakukan hal tertentu. Kamu tidak perlu menjelaskan apa pun. Untuk saat ini, kamu hanya perlu memahami, bahwa semuanya sudah dimaafkan. Ini adalah momen ah-hah untukku…” (Jackson Mackenzie, Whole Again). Kalimat ini memang tidak ditujukan kepada figur Sang Bapa, namun saya meminjamnya dan mengarahkan kepada Sang Bapa yang setiap saat menyambut siapa saja yang ingin kembali pada dekapan-Nya dengan tidak memperhitungkan berapa pun pelanggaran mereka (bnd. 2 Korintus 5:19).

Kita tidak perlu lagi bercerita, beralasan, membuat dalil atau menjawab, di hadapan-Nya. Itu tidak perlu dan tidak urgen. Yang mendesak diperlukan adalah tekad untuk kembali kepada-Nya. Bertobat! 

Tiga perumpamaan yang ada dalam Lukas 15 adalah bagian pengajaran Yesus selama perjalanan menuju Yerusalem. Kala itu Yesus berhadapan dengan orang-orang Farisi dan para ahli Taurat. Lukas menampilkan keterbukaan Injil Yesus Kristus bagi orang-orang  yang tersisih dalam kehidupan masyarakat Yahudi. Pendosa! Tiga perumpamaan ini didahului dengan sebuh introduksi (Lukas 15:1-3). Setelah introduksi itu, dikisahkan tentang dua perumpamaan pendek yang paralel: domba yang hilang (Lukas 15:4-7) dan dirham yang hilang (15:8-10), kemudian disambung dengan perumpamaan panjang tentang anak yang hilang (Lukas 15:11-32). Ketiga perumpamaan ini bernada sama : happy ending! Kegembiraan yang ditunjukkan seseorang oleh karena “yang hilang” telah kembali.

Jika kita amati, dua perumpamaan pendek paralel, sang gembala dan si janda aktif mencari domba dan dirham mereka yang hilang. Sementara dalam perumpamaan terakhir, sang ayah tidak aktif mencari anaknya yang hilang atau pergi. Anak itu sendiri yang pulang kembali kepada ayahnya. Melihat sang anak bungsunya pulang, ia pun berlari menjemput, merangkul dan mencium anaknya itu.

Baik mencari dan menyambut, itulah wujud kasih Bapa di dalam Yesus Kristus. Namun, kali ini dengan membahas perumpamaan yang terakhir, kita fokus pada “kasih yang menyambut”. Tanpa mengesampingkan, bisa saja sang ayah mencari dengan cara lain, misalnya membayar orang untuk menemukan anaknya. Dalam rangkaian pertobatan di minggu-minggu pra-paskah ini, kita belajar merefleksikan sebuah tekad atau keberanian si anak bungsu yang telah berdosa terhadap ayahnya untuk pulang kembali ke rumah. Sebab, bisa saja ada orang berpikir untuk tetap bertahan dalam kondisi keberdosaannya (kepalang basah). Gengsi, malu atau apa juga namanya untuk kembali menata ulang kehidupannya yang berkenan kepada Allah.

Perumpamaan Lukas 15:11-32 dapat dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama, Lukas 15:11-24 berkisah tentang sang adik dan bagian kedua, Lukas 15:25-32 yang mengisahkan tentang sang abang. Kita terbiasa untuk menyebut yang hilang itu adalah si adik. Namun, banyak penafsir sepakat bahwa sebenarnya kedua anak sang bapa ini hilang. Si adik, hilang, pergi dengan harta waris yang dimintanya sebelum ayahnya meninggal, sedangkan si abang “hilang” di rumah ayahnya sendiri. Ia tidak merasakan kebahagiaan bersama-sama dengan sang ayah. Tafsiran pada saat ini akan fokus pada bagian kisah tentang si adik untuk dapat kita refleksikan sebagai pertobatan dan kembali kepada Bapa yang tangan-Nya selalu terbuka menyambut orang berdosa yang mau kembali.

Si adik tampaknya belum menikah dan usianya kira-kira 20 tahun. Sesuai dengan adat-istiadat Yahudi, seorang ayah dapat membagikan hartanya melalui semacam surat wasiat yang pelaksanaan sepenuhnya dilakukan setelah ia meninggal, atau bisa juga dibagikan sewaktu ia masih hidup. Bisa jadi ada banyak kasus, orang tua masih hidup, anak-anaknya meminta harta waris, maka dalam kitab Sirakh dicantumkan peringatan supaya hal tersebut tidak dilakukan (33:19-23).

Pembagian harta waris, biasanya diatur: anak tertua berhak menerima “dua bagian dari segala kepunyaan” ayah, yaitu dua kali lipat daripada harta yang diberikan kepada anak-anak lain. Namanya “hak kesulungan” (Ul.21:17). Dalam perumpamaan ini tampil dua anak saja, sehingga dapat dipastikan bahwa anak sulung diberi 2/3, sedangkan anak bungsu 1/3 dari kekayaan keluarga. Dengan menerima bagian itu, masing-masing anak disebut “pemilik”. Namun, hasil ea rahu tetap ada pada ayahnya sampai ia meninggal dunia. Bila anak menjual hartanya, maka si pembeli dapat mengambilnya baru sesudah ayah anak itu meninggal.

Dalam kisah ini, si anak bungsu menjual seluruh bagiannya, hasilnya penjualan itu ia bawa pergi ke negeri yang jauh. Di sana uang itu difoya-foyakannya.

Kelaparan terjadi di negeri rantau itu. Malapetaka, ia menjadi melarat! Sebagai orang Yahudi, si bungsu mungkin saja mengartikan bahwa kelaparan itu meupakan hukuman Allah terhadap dirinya. Lalu ia pergi dan bekerja pada seorang majikan.

Si adik berasal dari keluarga Yahudi baik-baik, berkecukupan bahkan kaya. Tetapi kini ia terpaksa mengurusi kawanan babi yang dianggap najis (Im.11:7; Ul.14:8). Dengan menjadi penjaga babi, harkat martabat di adik turun ea rah. Semakin nelangsa, ia bahkan tidak bisa mengisi perutnya yang lapar dengan ampas kacang-kacangan makanan babi. Di titik nadir inilah si adik merindukan rumah ayahnya.

Refleksi rasional si adik mengantarkannya kepada kesimpulan bahwa keadaannya yang lebih buruk ketimbang yang dialami oleh para upahan di rumah ayahnya, “mereka menikmati kelimpahan roti”.

Apakah di titik ini si adik bertobat? Kebanyakan para penafsir berpendapat bahwa niat si adik pulang kembali ke rumah ayahnya bukan karena bertobat, melainkan karena kehabisan uang sehingga menderita kelaparan. Juga karena kehilangan bagian warisannya. Seandainya ia tidak kehabisan uang, ia tidak akan pulang dan tidak akan pernah mengakui dirinya berdosa pula. Tetapi ia sadar bahwa dengan memboroskan uang, ia tidak dapat melaksanakan kewajibannya berupa memelihara ayah di hari tuanya. Dalam arti inilah ia merasa berdosa terhadap ayahnya. Namun, meskipun demikian kesengsaraan merupakan pintu masuk si adik untuk mulai memikirkan kembali ke rumah ayahnya.

Si adik Menyusun sebuah rencana pengakuan dosa. Kini, ia menyadari bahwa setelah memboroskan harta waris yang dimintanya itu, ia tidak berhak lagi meminta apa pun dari ayahnya. Maka selanjutnya yang terpikir olehnya adalah, “Jadikanlah aku sebagai salah seorang upahan bapa”, yaitu sebagai budak yang dibayar setiap hari setelah melakukan pekerjaan. Dengan tekad ini si adik memberanikan diri melangkah dan pulang!

Di luar dugaan, alih-alih sang ayah memutuskan relasi dengan anak yang meninggalkannya, kasihnya tidak pernah luntur, ia begitu rindu bertemu dengannya, sehingga ia mengubur masa lampau yang menyakitkan itu. Melupakan segala keburukkannya! Sebagai penduduk kampung, ayah itu sadar bahwa semua penduduk kampungnya akan mencela atau malah mengucilkan anak durhaka yang baru pulang ini. Maka sang ayah berbuat apa saja, supaya penduduk kampung itu tidak menghakimi anaknya ini. Ia berlari menyambut si adik untuk menjemputnya. Anaknya tidak boleh melintasi kampung halamannya sendirian, supaya orang banyak jangan mengoloknya. Daripada dihina oleh orang kampung, ayahnya menanggung kehinaan dengan lari ke arah anak yang telah menghabiskan warisan bagiannya itu.

Sang ayah mendapatkan si adik, merangkul, dan menciumnya. Kata yang sama dipakai oleh Lukas dalam Kisah Para Rasul 20:37. Adegan kasih yang serupa juga terjadi ketika pertemuan Yakub dan Esau (Kejadian 33:4), juga antara Benyamin dan Yusuf (Kejadian 45:14, dst). Cium, melambangkan kasih dan pengampunan, meski kemudian Yudas memakainya dengan maksud sebaliknya.

Di tengah-tengah kegembiraan sang ayah, si adik menyampaikan “doa” yang sudah disusun sebelumnya (ay.18), tetapi ayahnya memotong kata-katanya tepat sebelum si adik meminta untuk diterima sebagai orang upahan. Seolah mau menegaskan bahwa sang ayah mengerti hancurnya keadaan si adik. Ia tidak menuduh, menghakimi apalagi mengutuknya. Kehadirannya sendiri sudah cukup bagi sang ayah untuk menegaskan bahwa ia kembali kepadanya. Sang ayah dengan setegas-tegasnya menyatakan kepada hamba-hambanya, bahwa ia menyambut anaknya itu sebagai anaknya lagi, bahkan akan menghormati dia sebagaimana penghormatan diberikan kepada tamu agung: jubah ialah tanda kehormatan: cincin (cincin meterai) ialah tanda kedudukan yang tinggi dan kuasa yang diberikan. Sepatu menunjukkan bahwa ia seorang yang merdeka, bukan seorang budak yang biasanya berjalan tanpa alas kaki. Dengan demikian kemhormatan dan kedudukannya sebagai seorang anak dipulihkan kembali. Inilah kasih yang menyambut, kasih dan pengampunan yang mendahului pertobatan. Artinya, kasih itu tetap ada sebelum tindakan pertobatan itu terjadi. Pada pihak lain, si adik tidak sampai hati meneruskan rumusan yang disiapkannya. Hatinya melemas menyaksikan kasih ayahnya yang tidak pernah dibayangkannya.

Kasih Allah memang tak terhingga, tak terbayangkan. Kasih inilah yang sulit dipahami dan diterima oleh kalangan kaum Farisi dan ahli Taurat yang terus mempertahankan system ketahiran Yudaisme ketimbang menebarkan dan memperagakan kasih Allah itu. Kaum Farisi dan Ahli Taurat ini dapat digambarkan sebagai sang kakak, dalam perumpamaan ini. Sama seperti sikap mereka, si kakak dalam perumpamaan ini merasa terganggu dan marah dengan kedatangan si pendosa yang telah menghamburkan harta warisan bapaknya. Sama seperti mereka, si kakak menjadi marah atas sambutan dan jamuan pesta itu. Si kakak merasa telah berjeri lelah bekerja di ladang ayahnya, pun demikian kaum Farisi dan ahli Taurat itu telah berjerih lelah dengan menjalankan syareat keyahudian mereka.

Kembali ke kisah si adik. Tak terbayangkan kasih ayahnya yang begitu besar. Lidahnya menjadi kelu dan ia tak bisa melanjutkan kata-katanya lagi. Dalam hal inilah menjadi jelas buat kita. Ajaran kasih yang disampaikan Yesus itu, bahwa Bapa mengasihi orang berdosa bahkan sebelum pertobatan itu terjadi. Yang diperlukan dari kita (baca: orang berdosa) adalah keberanian untuk kembali. Datang kepada Bapa. Alasan, penjabaran pengakuan dosa secara detail bahkan tidak dibutuhkan lagi ketika kita dengan tulus datang kepada Bapa. Ia sangat tahu dan mengerti!

Kembali kepada Bapa itu mestinya dilakukan dengan tulus. Kebahagiaan akan tercermin dari orang-orang yang diampuni dosanya dan tidak berjiwa penipu (Mazmur 32). Jika Allah, Bapa kita sedemikian rupa memulihkan kita sebagai anak-anak-Nya, maka sudah semestinya kita berhenti untuk menghakimi diri sendiri sebagai orang yang berdosa, apalagi berprinsif, “sudah kepalang basah”. Kembalilah kepada Bapa, maka kita akan mengerti, mengalami, dan kagum akan kasih yang luar biasa itu

Jika Allah Bapa sedemikian rupa mengasihi, menyambut setiap kita yang berdosa maka sudah selayaknyalah kita meneruskan cinta kasih dan pengampunyan Bapa bagi semua orang. Kita wajib menerima dan menyambut semua orang dan membangun kembali relasi yang baik.

 

Jakarta, Pra-paskah ke-4 tahun C.