Selasa, 01 Maret 2022

MENOLAK SALEH YANG SALAH

Sadara tau tidak, keinginan untuk diakui, bahkan dianggap hebat berasal dari latar belakang masa kecil kita. Coba ingat, ketika kita melakukan kebaikan, maka segera akan mendapat pujian. Sebaliknya, kalau melakukan kesalah, pasti hukuman akan kita terima. Sampai di sini tentu saja tidak ada yang keliru.

Selanjutnya, ritme kehidupan kita berlangsung seperti itu. Mulai dari sekolah, olahraga, pekerjaan bahkan pelayanan dan ibadah. Lakukan hal besar, berprestasilah, maka nilai dirimu akan bertambah. Orang akan mengagumimu! Lagi-lagi, sampai di sini tidak ada yang salah. Seiring berjalannya waktu, kita mulai lapar atau tepatnya ketagihan dengan pengakuan orang lain karena dari merekalah nilai diri kita ditentukan. Akibatnya, pujian lebih penting ketimbang melakukan perbuatan baik atau berprestasi itu!

Dunia ini menilai kita berdasarkan penampilan. Nilai diri kita oleh apa yang orang lain lihat. Jika orang lain mengatakan bahwa kita baik, maka kita menjadi baik. Begitu pula sebaliknya. Dunia ini melihat rupa. Geloranya menghantam kita sehingga kita merasa butuh untuk dihargai, dihormati, dipuji, dan diakui atas apa yang kita lakukan. Kebutuhan untuk dicintai bisa diperoleh melalui kekaguman orang lain. Sayangnya, kekaguman dan pengakuan atas penampilan begitu fana dan rapuh. Kita hanya sebaik apa yang kita tampilkan setiap hari.

Di luar Kerajaan Allah, nilai diri kita ditentukan oleh orang lain. Maka, jika kita melakukan sesuatu tanpa ada yang orang yang mengetahuinya, kita menjadi gelisah karena tidak mendapatkan apa yang kita inginkan. Ini serupa ketika kita mengunggah status, foto atau video, lalu tidak ada orang yang memberi tanda jempol dan berkomentar kita menjadi gelisah!

Sangat mudah bagi kita juga untuk mengalami kegelisahan ini dalam kehidupan rohani. Kebanyakan orang akan memuji orang yang “rohani”. Orang-orang yang dewasa secara rohani itu ditunjukkan dengan rajin berdoa, membaca Alkitab dan berpuasa. Tentu hal ini perbuatan yang mulia, baik dan terpuji. Ini adalah buah dari kesalehan. Setiap agama dan ajaran spiritual menghendaki para pengikutnya untuk menjadi orang-orang yang saleh. 

Kesalehan adalah wujud atau buah dari iman. Iman itu terpancar melalui praktik kehidupan sehari-hari. Namun, ketika orang-orang mulai berdecak kagum atas penampilan kesalehan dan kemudian kita mengerjakan kesalehan itu demi tuntutan pengakuan mereka, di sinilah kesalehan menjadi kesalahan fatal. Meski dibungkus oleh apa yang namanya demi “kesaksian”, namun tetap saja dengan melakukan itu berarti kita sedang pamer kesalehan atau kita menjadi orang yang sombong rohani. Kesombongan adalah racun bagi orang-orang saleh!

Kesombongan adalah dosa yang paling tidak terlihat. Kesombongan tersembunyi di balik kesalehan. James Bryan Smith mengatakan, “Penyakit ini menyerang tepat di dalam kebaikan manusia. Kesombongan adalah satu-satunya dosa yang memerlukan kebaikan agar bisa terlihat keberadaannya. Kesombongan bersembunyi di balik kebaikan, dan inilah mengapa ia sulit untuk disadari.” Andrew Murray menuliskan, “Tidak ada kebanggaan yang lebih membahayakan, tersembunyi dan busuk, dari pada kebanggaan akan kekudusan diri.”

Yesus membongkar kesombongan rohani semacam ini. Dalam Khotbah di Bukit, Yesus memberikan tiga contoh mengenai orang-orang yang melakukan kebaikan agar dipuji orang lain. Tidak hanya dulu, sekarang pun orang akan memuji tiga kesalehan ini: memberi sedekah, berdoa dan bepuasa. Ketiganya, tentu saja dikehendaki Allah agar kebaikan Allah itu dapat tercermin dalam kehidupan kita. Sayangnya, ketiga perbuatan saleh ini dilakukan malah dengan cara merusak diri.

Yesus memperlihatkan pemahaman mendalam tentang hati manusia, “Ingatlah, jangan kamu melakukan kewajiban agamamu di hadapan orang supaya dilihat mereka, karena jika demikian, kamu tidak beroleh upah dari Bapamu yang di surga.”

Yesus mengkritik pemberian sedekah kepada orang-orang miskin. Sinagoga pada abad pertama memiliki system untuk membantu orang-orang miskin. Banyak orang memberikan uang ke sinagoga, kemudian uang tersebut disalurkan kepada orang-orang miskin. Ketika seseorang memberikan uang dalam jumlah banyak, maka semua orang akan mengetahuinya (Sirakh 31:11). Tidak ada yang salah memberi uang kepada orang miskin. Ini sangat baik! Tidak ada yang salah juga bahwa pada akhirnya orang akan mengetahui pemberian Anda. Namun, Yesus mempertanyakan, apakah pemberian itu bertujuan untuk mendapat pujian orang lain? Jika iya, maka sesungguhnya kita sudah mendapat upanya. Pujian mereka, bukan dari Allah!

Yesus mengkritik budaya umum saat itu: berdoa di sinagoge dan tikungan jalan raya. Orang Yahudi saleh berdoa tiga kali sehari - ini bukan doa makan ya -. Terkadang mereka berdoa di tempat-tempat umum. Pada jam Sembilan, orang Yahudi akan pergi ke sinagoge untuk berdoa, dan mereka akan berdoa dengan berdiri dan bersuara keras. Semua orang tahu bahwa dia sedang berdoa. Yesus mempertanyakan, apa motivasi berdoa itu. Apakah kita berdoa supaya orang lain tahu bahwa kita berdoa? Apakah supaya orang lain memuji kesalehan kita dengan meninggalkan aktivitas lain dan memilih berdoa? Doa tidak salah, malah perbuatan saleh. Komitmen dalam jam tertentu juga baik melatihcdisiplin rohani kita. Namun, Yesus mempertanyakanL: apakah motovasi berdoa itu supaya orang lain melihat lalu berdecak kagum akan kesalehan kita? Tentu saja esensi doa bukan itu!

Terakhir Yesus mengkritik kesalehan orang berpuasa. Mengapa? Yesus tidak pernah melarang orang berpuasa. Yang Yesus tidak kehendaki adalah berpuasa supaya dilihat orang. Lagi-lagi Yesus mengingatkan bahwa kesalehan itu bukan tontonan dan bukan sarana orang mendapatkan nilai diri lebih tinggi. Bukan! Yesus berkata, jika mereka ingin membuat orang lain terkesan, maka mereka telah mendapatkannya. Kata Yunani untuk “upah” berada dalam bentuk singular, yang menunjukkan bahwa upah ini hanya diberi satu kali saja. Mereka mendapatkan apa yang mereka inginkan. Allah sama sekali tidak terkait dengan mereka karena Allah tidak mendapatkan tempat di hati orang-orang yang sombong rohani. Mereka menginginkan pujian, bukan keintiman dengan Allah! Tujuan mereka bukanlah meringankan beban orang miskin, atau mencari keintiman persekutuan dengan Allah melalui doa, atau melatih dan membersihkan diri serta bertobat melalui puasa. Melainkan, mereka butuh pengakuan dan kekaguman orang lain!

Hari ini Rabu Abu. Tradisi gereja menorehkan abu di kening kita. Kita diingatkan tentang kefanaan: “dari debu akan kembali kepada debu, bertobatlah!” Ritual ini sangat mudah bagi kita untuk terjerumus pada kesombongan rohani yang Yesus kritik dulu. Banyak umat justru berswafoto dan memajang di flatform medsos masing-masing. Euforia, menunjukkan diri bertobat dan siap memasuki minggu-minggu pra-paskah. Saya merenung, mungkinkah Tuhan Yesus tersenyum bangga dengan umat-Nya yang memajang abu di jidat dan memamerkannya? Ataukah Dia akan mengernyitkan dahi-Nya lalu geleng-geleng kepala dan bergumam, “Ternyata telah dua ribu tahun lalu Aku mengecam kemunafikan kesalehan yang salah, namun sampai hari ini pun tetap digemari!”

Lakukanlah kesalehan dengan motivasi tulus. Masukilah hidup pertobatan dengan sesungguhnya.  Selamat memasuki masa raya Paskah!

Jakarta, Rabu Abu 2022

Kamis, 24 Februari 2022

KEMAH ALLAH SELUAS DUNIA

Niat baik adakalanya menimbulkan riak. Sebab, realisasinya berjalan tidak seperti bayangan. Rumus klasik tersebut baru-baru ini terjadi di sebuah lingkungan permukiman di Portsmouth, pesisir New Hampshire, Amerika Serikat. Guna membuat anak mereka yang berumur delapan tahun bahagia, pasangan suami-istri berniat membangun rumah pohon di halaman rumah mereka. Setelah meminta izin tetangga, pasangan itu mendapat lampu hijau. Proses pengerjaan pun segera dilakukan oleh kontraktor.

Setelah bangunan rumah pohon itu jadi, tetangga mengajukan keberatan. “Ukuran rumah pohon itu ternyata besar dan menghalangi pemandangan di halaman belakang rumah kami,” kata Mark Moses, si tetangga. Rumah pohon itu memiliki panjang 7,6 meter dan tinggi 2,4 meter. Luas lantainya 15,6 meter persegi. Dewan penilai Portsmouth, pekan lalu memutuskan rumah pohon itu harus digeser mundur hingga 2,4 meter dari pagar. “Bangunan itu mengganggu properti lain,” kata Phyllis Eldridge dari dewan penilai Portsmouth. Artinya, rumah pohon itu harus digeser mundur. (Sumber: “Kilas Kawat Dunia” Kompas, 24 Februari 2022).

Niat baik adakalanya menimbulkan riak. Sebab, realisasinya berjalan tidak seperti bayangan. Mungkinkah hal ini juga yang menimpa Petrus. Dalam kisah transfigurasi, di mana Yesus berubah rupa dalam kemuliaan-Nya, spontan Petrus mengajukan niat baiknya - dalam hal ini bukan mengajukan mendirikan rumah pohon - ia berkata, “Guru, betapa bahagianya kami berada di tempat ini. Baiklah kami dirikan sekarang tiga kemah, satu untuk Engkau, satu untuk Musa dan satu untuk Elia.” (Lukas 9:33). Meski Lukas memberikan keterangan “Tetapi Petrus tidak tahu apa yang dikatakannya itu.” Hal ini menunjukkan bahwa Petrus dan dua murid yang lain berada dalam suasana bahagia. Lalu dalam kebahagiaannya itu ia ingin suasana seperti itu bertahan lebih lama. Ia ingin kemuliaan itu diberi tempat dalam kemah!

Kata “kemah” (skēnē) yang diungkapkan Petrus adalah semacam pondok sementara yang biasa didirikan oleh para pengembara, gembala atau prajurit. Memang tidak terlalu jelas mengapa Petrus punya inisiatif demikian. Bisa jadi pendirian kemah yang dimaksud Petrus terinspirasi dengan kehadiran Allah di tengah-tengah bangsa Israel sewaktu mereka mengembara di padang gurun. Mungkin juga Petrus berpikir bahwa ia sedang menyaksikan sebuah penglihatan yang menandai saat penggenapan sejarah bangsanya kini menjadi kenyataan. Sang Mesias benar-benar hadir dengan segala kemuliaan-Nya, tepat berada di depan matanya.

Petrus ternyata sama sekali tidak menangkap makna perjumpaan Musa dan Elia dengan Yesus. Tradisi Yahudi memandang Musa dan Elia bukanlah tokoh biasa. Kedua tokoh ini dipandang sebagai wakil-wakil orang pilihan surgawi. Mengapa? Selama hidupnya, mereka banyak menderita karena imannya kepada Allah dan demi umat yang mereka bimbing. Maka setelah mereka menjadi penghuni surga, mereka berkompeten untuk berbicara kepada Yesus tentang kesengsaraan. Hanya orang yang telah berhasil melewati pergumulan berat dengan tetap mempertahankan ketaatan mereka kepada Allahlah yang layak berbicara tentang penderitaan yang mendatangkan kemuliaan.

Petrus gagal menangkap maksud Musa dan Elia berbicara kepada Yesus. Petrus mengira mereka hadir untuk mendatangkan kemuliaan, padahal, “Keduanya menampakkan diri dalam kemuliaan dan berbicara tentang tujuan kepergian-Nya yang akan digenapi-Nya di Yerusalem.” (Lukas 9:31). Berita tentang “kepergian” Yesus ini hanya dicatat oleh Lukas saja. Dari sini dapat disimpulkan bahwa Musa dan Elia menyampaikan kepada Yesus sesuatu yang akan dijalani-Nya di Yerusalem.

Musa dan Elia tidak datang untuk menghibur Yesus atau menghembuskan kemuliaan, tetapi untuk menjelaskan kaitan sabda Allah dalam Perjanjian Lama (di sini mereka menjadi wakilnya) dengan perjalanan Yesus ke Yerusalem. Perjalanan itu akan berakhir dengan kematian, sedangkan kematian itu sendiri adalah peristiwa Ilahi: Musa dan Elia memberi kesaksian tentang itu. Di sinilah yang hendak ditekankan oleh penulis Injil Lukas, alih-alih perubahan rupa Yesus. Yesus diberi semacam petunjuk surgawi tentang derita yang sebentar lagi akan Ia jalani. Penderitaan itulah yang kelak menghasilkan kemuliaan (Lukas 24:26).

Menurut teks Yunani, Musa dan Elia berbicara dengan Yesus mengenai exodos yang umumnya berarti “keluaran”. Namun, hal ini bisa mengandung banyak makna, antara lain: keluar dari derita, dari kubur (= kebangkitan), dari kehidupan keduniawian, dari lingkungan bumi (= kenaikan). Pada umumnya para penafsir sepakat untuk mengartikan exodos ini secara luas, yaitu keseluruhan proses peralihan Yesus dari dunia ini kepada kemuliaan surgawi.

Dalam ketidaktahuan itu Petrus menawarkan kepada Yesus untuk mendirikan kemah. Yesus sama sekali tidak menanggapi apa yang ditawarkan Petrus. Tetapi Allah menanggapinya dengan mendatangkan sebuah awan. Kata “awan” tidak dipakai dalam bentuk jamak (awan-awan) yang mengacu kepada kendaraan “surgawi”. Awan itu menandai terjadinya teofani (penampakan Allah yang menyampaikan sesuatu kepada manusia).

Dalam kisah-kisah keluaran Perjanjian Lama, awan itu turun, naik, ataupun tinggal di atas Kemah Suci sebagai manifestasi kehadiran Allah di tengah-tengah umat-Nya. Setelah Kemah didirikan, awan Ilahi (kehadiran Allah) itu akan menaungi mereka sehingga terwujudlah janji Allah bahwa Ia akan tinggal bersama Israel. Apa yang terjadi ketika Allah tinggal bersama umat-Nya? Sudah dapat diduga: Mereka akan mengalami damai sejahtera meski di tengah mara bahaya dan tantangan.

Lewat datangnya awan itu, seolah-olah Allah berkata, “Petrus, engkau tidak perlu mendirikan kemah-kemah buat ketiga orang pilihan-Ku, sebab kehadiran-Ku menaungi mereka secara khusus.” Awan itu menaungi Yesus, Musa dan Elia. Mereka direngkuh masuk dalam rangkulan Allah.

Ternyata awan itu melingkupi mereka juga. Maka mereka ketakutan. Dari dalam awan itu mereka mendengar suara, “Inilah Anak-Ku yang Kupilih, dengarkanlah Dia!” Kini, ketiga murid itu disapa oleh suara Ilahi. Dalam peristiwa sebelumnya Musa dan Elia menyampaikan amanat kepada Yesus. Kini, Allah sendiri menyatakan bahwa amanat Yesus adalah amanat-Nya sendiri: suara Yesus adalah suara Allah sendiri, maka patut untuk didengarkan. Yesus memang Mesias, sebagaimana Petrus menyatakan sebelumnya (Lukas 9:20), namun Ia adalah Mesias dari Allah, sehingga kata-kata-Nya adalah kata-kata Ilahi. Kini Yesus menggantikan tokoh-tokoh Perjanjian Lama itu, sehingga murid-murid-Nya harus berpaling, taat dan mendengarkan Dia.

Apa yang harus didengarkan dari-Nya? Kata-kata Yesus bahwa Ia harus kembali kepada Bapa-Nya dengan menempuh jalan salib. Jalan ini pulalah yang harus ditempuh oleh para murid-Nya.

Peristiwa transfigurasi yang dikisahkan Injil Lukas bukan semata menitikberatkan pada peristiwa perubahan wajah Yesus dalam kilau kemuliaan-Nya, melainkan bercerita tentang jalan setia dan taat kepada Sang Bapa yang membuahkan kemuliaan. Jangan takut ketika kita harus menempuh jalan terjal sengsara dan derita. Allah yang menyertai melalui kehadiran-Nya yang digambarkan oleh selimut awan itu mampu merangkul dan merengkuh kita. Sehingga kita tidak lagi perlu - seperti Petrus - mendirikan kemah. Kemah Allah jauh lebih sempurna dan agung. Kemah Allah seluas dunia, sehingga di mana pun kita berada pasti ada dalam jangkauan-Nya.

Jakarta, Minggu Tranfigurasi, tahun C 2022