Rabu, 29 Desember 2021

YESUS, TUHAN YANG MENGHIRAUKAN

Lihatlah, Aku menjadikan segala sesuatu baru!” (Wahyu 21:5)

 

Banyak orang menjadi skeptis memulai pergantian tahun. Ya, oleh karena masalah yang dihadapi tetap sama. Banyak resolusi-resolusi berakhir di catatan, itu pun kalau sempat dicatat. Tahun baru hanyalah pergantian angka, tidak lebih dari itu! Mungkin benar seperti apa yang dikatakan Pengkhotbah, “Yang sekarang ada dulu sudah ada, dan yang akan ada sudah lama ada; dan Allah mencari yang sudah lalu.” (Pengkhotbah 3:15).

 

Pesimis! Nada itu yang diungkapkan Pengkhotbah barangkali tepat menggambarkan situasi dan kondisi batin kita. Apalagi berhadapan dengan masa depan yang tidak menentu. Kita tidak tahu di ujungnya nanti kondisi pandemik, politik, ekonomi, hukum dan kemelut dunia ini seperti apa. Akankah benar bahwa Tuhan segera menghancurkan dunia yang terlanjur busuk dan kemudian digantikan dengan Yerusalem baru yang turun dari langit? Sementara jarum jam terus bergulir, tanpa kompromi waktu menggilas apa saja bagai Sang Batara Kala dalam mitologi Jawa. 

 

Batara Kala adalah sosok raksasa rakus yang melahap apa saja. Memakan semuanya! Yang mau selamat dari kerakusannya harus melarikan diri ke dunia lain, yang tidak mungkin dijamah oleh Kala. Makna mitologi ini adalah pencarian kekekalan. Batara Kala melambangkan waktu. Segala sesuatu dikalahkan oleh waktu. Mungkinkah orang bisa luput dari sang waktu. Jawabnya: Mungkin! Caranya? Dengan masuk ke dunia batin yang kekal, di luar waktu!

 

Batin manusia selalu cukup menyediakan ruang untuk merasakan dan mengalami kekekalan. Tentu saja ini tergantung bagaimana kita mengelolanya. Selalu ada pilihan! Apakah kita memilih skeptis dan masa bodoh membiarkan sang waktu menggilas tanpa ampun? Ataukah, justru kita menggunakannya sebagai momen menikmati kekekalan itu sehingga segalanya akan menjadi indah pada waktunya?

 

Ya, di tengah segala sikap skeptis dan pesimis, penulis kitab Pengkhotbah mengingatkan kita dengan ayat terkenal, “Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya…” (Pengkhotbah 3;11a). Kata Ibrani yang dipakai untuk indah di sini bukan tob seperti pada kisah penciptaan. “Indah” adalah sebuah istilah estetika. Tob bisa bermakna etis maupun estetika. Sedangkan yafe lebih menunjuk pada pemberian makna dari sebuah peristiwa dan Allah dapat memperindah sebuah peristiwa yang terjadi. Sebelum tiba pada ayat 11a, Pengkhotbah menjelaskan peristiwa-peristiwa yang pada umumnya dapat dialami oleh umat manusia. Peristiwa-peristiwa itu jika dimaknai dengan benar, maka kita akan menemukan keindahannya. Bisa saja kita belum menemukan makna pada saat sebuah peristiwa itu terjadi. Namun, ketika kita melewatinya, kita bisa menemukan makna yang disebut indah itu!

 

Hanya Allah yang dapat membuat segala sesuatu yafe (indah) pada waktunya. Ibarat orang Jawa memahami ungkapan “Memayu hayuning buwana” artinya memperindah dunia. Hanya Allah yang dapat memperindah dunia! Lebih dahsyat lagi, dalam kitab Wahyu hanya Allah yang sanggup menjadikan segala sesuatu menjadi baru.

 

Yohanes melihat langit yang baru dan bumi yang baru. Yohanes telah menyaksikan kebinasaan orang jahat, dan sekarang dalam penglihatannya ia melihat kebahagiaan orang-orang benar. Impian tentang langit baru dan bumi baru punya akar kuat dalam ingatan orang-orang Yahudi. Yesaya merekamnya, “Sebab sesungguhnya Aku menciptakan langit yang baru dan bumi yang baru; hal-hal yang dulu tidak akan diingat lagi, dan tidak akan timbul lagi dalam hati.” (Yesaya 65:17) Akar kuat harapan langit dan bumi baru bisa saja terkubur oleh karena beban penderitaan yang teramat berat. Lalu, kita tidak menghiraukannya. Namun sejatinya Tuhan tidak pernah melupakan janji-Nya. Allah di dalam Kristus adalah Tuhan yang menghiraukan kita!

 

Dalam gambaran langit yang baru dan bumi yang baru, dukacita akan lenyap, dosa dihapuskan, kegelapan akan berakhir; waktu yang fana diubah menjadi kekal. Sebuah tatanan ideal. Tentu saja ini dapat terjadi ketika Allah bukan saja menciptakan tatanan baru, tetapi juga Ia hadir di tengah-tengah umat manusia. Di sinilah akan terjadi persekutuan indah antara Allah dengan manusia. Allah akan membuat kemah-Nya di tengah-tengah manusia. Tentu saja kegirangan dan sukacita akan memenuhi umat manusia, kedukaan dan kelu kesah akan menjauh (Yesaya 35:10). “Aku akan bersorak-sorak karena Yerusalem, dan kegirangan karena umat-Ku; di dalamnya tidak akan kedengaran lagi bunyi tangisan dan bunyi erang pun tidak” (Yesaya 65:19). 

 

Ini sepintas adalah janji masa depan. Namun, di dunia masa kini pun mestinya sudah berlaku bagi siapa saja yang menyediakan “kemah” bagi kediaman Allah di dalam hidupnya. Bagi mereka yang mau diubahkan menjadi manusia ciptaan baru. Seperti yang diungkapkan Paulus, “Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang” (2 Korintus 5:17). Allah di dalam Kristus mampu mengambil seseorang dan menjadikannya baru dan pada saat yang sama Allah dapat pula menciptakan alam semesta yang baru bagi orang-orang yang dengan setia melakukan kehendak-Nya: bagi domba-domba yang mendengar suara-Nya. Bagi mereka yang memberi makan orang lapar, minum bagi yang haus, pakaian kepada yang telanjang, mengunjungi yang sakit dan terpenjara. 

 

Aku adalah Alfa dan Omega, Yang Awal dan Yang Akhir. Orang yang haus akan Kuberi minum dengan cuma-cuma dari mata air kehidupan.” (Wahyu 21: ) Alfa adalah huruf pertama dari abjad Yunani dan Omega adalah huruf terakhir. Di sini Yohanes menegaskan bahwa Allah adalah yang awal dan yang akhir. Istilah untuk awal adalah archē, ini artinya bukan sekedar yang pertama dalam kurun waktu, melainkan juga pertama dalam artisumber segala sesuatu. Sedangkan “akhir” dari kata telos, tidak sekadar akhir dalam kaitannya dengan urutan waktu, tetapi akhir dalam tujuan. Menurut Yohanes, segala kehidupan mulai dari dan di dalam Allah dan berakhir juga di dalam Allah.

 

Jika Allah di dalam Kristus begitu rupa menghiraukan kita. Maka seharusnya kita pun peduli degna hidup dan masa depan kita, bukan bersikap skeptis dan pesimis. Lalu memandang masa depan dengan suram. Bukan, bukan demikian. Allah yang memulai, memprakarsai kehidupan termasuk kehidupan Anda dan saya. Ia juga kelak akan mengakhiri namun dengan tujuan yang indah. Apakah kita telah memanfaatkannya dengan optimal, sungguh-sungguh dengan melakukan apa yang baik menurut kehendak-Nya. Ataukah kita membiarkannya begitu saja sampai sang waktu menggilas kita. Lalu dalam ketidak-berdayaan, kita menyesalinya?

 

Jakarta, Selamat Tahun Baru, 1 Januari 2022

 

 

DIPIMPIN TERANG KRISTUS

Baik dalam arti harfiah maupun spiritual, terang pasti dibutuhkan oleh manusia. Bayangkan mobil tanpa lampu tidak mungkin dapat melaju dalam kegelapan. Walau cahaya yang dihasilkan oleh sepasang lampu itu terbatas, mobil dapat melaju dipandu oleh cahaya terang itu.

 

“Ego eimi to phos tou kosmou”. Pada perayaan Pondok Daun di dalam komplek Bait Allah, Yesus mengatakan, “Akulah Terang dunia!” Perayaan itu sendiri sarat dengan cahaya terang lentera dari pondok-pondok yang mereka buat untuk mengingat kembali kehadiran Allah dalam wujud tiang api ketika nenek moyang mereka hidup dalam pengembaraan di padang gurun menuju ke tanah perjanjian. Terang itu secara harafiah menuntun mereka agar tidak terantuk batu, terperosok lubang atau tersesat. Sementara secara rohani, Terang itu memberikan pedoman hukum-hukum Tuhan yang harus dilakukan umat itu agar mereka tetap hidup kudus di hadapan Tuhan. Jelas, terang punya arti yang sangat agung dalam kehidupan umat TUHAN.

 

“Akulah terang dunia”, Yesus tidak mengatakan, “Aku adalah terang dunia”, dalam hal ini ucapan Yesus mempunyai arti: Terang dunia yang sejati adalah Yesus sendiri. Orang yang mengikuti terang tidak akan berjalan dalam kegelapan, melainkan akan mempunyai terang hidup. Artinya, siapa saja yang percaya kepada-Nya akan berjalan dalam terang, tidak akan tersandung bahkan orang tersebut akan mempunyai terang. Kehidupannya memancarkan terang dan memberi arah yang jelas bagi orang-orang di sekelilingnya. Orang-orang yang melihatnya itu akan menemukan terang yang sesungguhnya. Yesus!

 

“Akulah terang dunia!” Dalam pernyataan ini, “Aku” sangat ditekankan, sehingga “Aku” bukan hanya menjadi subyek kalimat, melainkan juga menjadi predikat. Oleh karena itu, yang dibutuhkan bukanlah pertama-tama menganalisis apakah arti terang itu. Tanpa diuraikan panjang lebar pun orang segera mengerti bahwa dunia yang gelap membutuhkan terang. Hanya teranglah yang dapat mengenyahkan kegelapan! Yesus adalah jawabannya: Akulah terang dunia!

 

Ternyata pernyataan Yesus ini sudah ada sejak permulaan Injil Yohanes (Yohanes 1:4). Yesus menjadi terang, kekuatan yang membebaskan dunia dari kungkungan kegelapan yang menguasainya. Sepanjang tahun ini ada banyak hal yang bisa kita hubungkan dengan kegelapan. Kejahatan yang semakin inten, tindakan-tindakan amoral yang dilakukan oleh orang-orang yang mestinya menjadi figur dan teladan. Kejahatan kemanusiaan di tengah bencana: korupsi dana bantuan, manipulasi obat, pembunuhan, korupsi dan masih banyak lagi yang lain. Yang semuanya itu berujung pada penderitaan dan kematian. Dunia dalam kesuraman! 

 

Dalam gelap, terang bersinar Yesus lahir di palungan!

 Janji Tuhan terbukti benar kita tidak dilupakan!

Sukacita lahir, kar’na Yesus hadir mengalahkan kesuraman.

Tiada apa pun dapat memisahkan kita dengan kasih Tuhan!” 

(Sukacita lahir, karya Pdt. Juswantori)


Yesus yang lahir adalah jawaban dari kesuraman dunia. Yesuslah terang dunia yang membawa pengharapan menyelamatkan dunia dari kegelapan yang berujung pada kematian. Maut! Setip orang yang berjalan di dalam Dia, kegelapan tidak akan meliputinya!

 

Pernyataan diri yang tegas ini mengagetkan orang Yahudi, khususnya ahli Taurat dan orang-orang Farisi. Mereka tidak bisa menerima, tepatnya menolak pernyataan Yesus ini. Mereka mencari alasan untuk penolakan itu. Mereka menyatakan bahwa kesaksian satu orang - lebih-lebih menyaksikan dirinya sendiri tidak dapat dibenarkan (Yohanes 8:13). Mereka memprotes Yesus karena Ia memploklamirkan diri-Nya sebagai terang dunia. Namun, protes ini kemudian menjadi landasan bagi Yesus untuk berbicara. Ia mengambil unsur dari protes mereka untuk memberi kesaksian tentang diri-Nya.

 

Bagi Yesus, kesaksian-Nya adalah benar meski Ia memberi kesaksian tentang diri-Nya sendiri. Yesus menyatakan, mereka yang menggugat-Nya benar jika kesaksian itu hanya dinyatakan oleh diri-Nya sendiri:kesaksian tidak boleh dilakukan hanya oleh satu pihak! Namun, Yesus menyatakan bahwa kesaksian yang dinyatakan-Nya tidak sendirian. Bapa yang mengutus-Nya juga bersaksi tentang diri-Nya (ayat 17-18). Kesaksian itu benar menurut kaidah hukum Taurat karena disaksikan oleh dua pihak.

 

Namun, persoalannya tidak sesederhana itu. Benar kesaksian itu sah kalau dua pihak menyatakannya. Masalahnya orang-orang Yahudi dan kelompok Farisi itu hanya melihat Yesus. Mereka tidak mengerti bahwa Yesus dan Bapa adalah satu sebagaimana yang dinyatakan dalam prolog Yohanes. Oleh karena itu mereka bertanya kepada Yesus, “Di manakah Bapa-Mu?”

 

Sudah berulang kali Yesus menyatakan asal-usul-Nya. Berkali-kali Ia menjelaskan bahwa Ia datang dari Bapa karena Ia diutus oleh Bapa-Nya. Namun demikian hubungan erat diri-Nya dengan Sang Bapa tidak dimengerti oleh kelompok-kelompok yang selalu menentang-Nya. Oleh karena itu ketika Yesus berkata bahwa Bapa memberi kesaksian tentang diri-Nya, orang menanyakan di manakah Bapa-Nya itu. Pertanyaan ini merupakan pertanyaan legalis. Kalau seseorang mengatakan bahwa orang lain bisa memberikan kesaksian tentang dirinya, maka orang itu harus bisa menghadirkan orang yang dimaksudnya itu. Kalau Yesus mengatakan bahwa Bapa bersaksi tentang diri-Nya, maka Yesus juga harus membawa Bapa itu ke hadapan mereka.

 

Jawaban Yesus masih menekankan kembali kesatuan-Nya dengan Bapa. Orang-orang tidak mengenal baik Anak maupun Bapa. Andaikata mereka mengenali atau tepatnya mau mengenali identitas sejati dari Yesus, mereka akan mengenali Bapa juga. Mereka bertanya tentang di manakah Bapa karena mereka tidak mampu mengenali bahwa Anak dan Bapa adalah satu. Dengan menolak Yesus, sesungguhnya mereka juga menolak Bapa yang mengutus-Nya dan dengan demikian tidak pernah mengenal Bapa. 

 

Ternyata di kemudian hari bukan hanya orang Farisi yang mempertanyakan Bapa. Filipus, salah seorang murid inti pun menanyakan hal serupa. Dalam menjawab pertanyaan yang sama, Yesus mengatakan, “Telah sekian lama Aku bersama-sama kamu, Filipus, namun engkau tidak mengenal Aku? Barang siapa telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa; bagaimanakah engkau berkata: Tunjukkanlah Bapa itu kepada kami. Tidak percayakan engkau, bahwa Aku di dalam Bapa dan Bapa di dalam Aku? Apa yang Aku katakan kepadamu, tidak Aku katakan dari diri-Ku sendiri, tetapi Bapa yang diam di dalam Aku, Dialah yang melakukan pekerjaan-Nya” (Yohanes 14:9-10).

 

Jangankan orang lain atau kelompok yang selalu menolak Yesus tidak mengerti dan mengakui Yesus Kristus sebagai terang dunia. Kelompok inti pun demikian. Jangan-jangan kita juga termasuk kelompok yang tidak mengerti atau tidak mau mengerti atau bahkan menolak Yesus sebagai terang dunia. Mengapa? Ya, meski sudah bertahun-tahun kita mengikut Yesus namun tidak pernah mengerti atau tidak mau mengerjakan apa yang diajarkan dan menjadi kehendak-Nya. 

 

Bisa jadi kita paham tentang ajaran cinta kasih-Nya namun enggan melakukannya karena kita berpikir ada banyak hal yang harus dikorbankan dan harus keluar dari zona nyaman. Kita menolak terang memimpin kehidupan kita. Bisa jadi kita tahu ajaran tentang pengampunan, namun tidak pernah mewujud dalam kehidupan yang menciptakan damai alih-alih kita tetap menjadi seorang pendendam. Jelas hidup ini akan tetap suram karena kita tidak mau mengenakan terang itu sebagai pandu kehidupan kita. Bisa jadi kita paham dan hafal ajaran khotbah di bukit, namun kita menolak melakukannya karena kita enggan melepas keegoisan kita. Jadi, hakikatnya yang menjadi penghalang dan terus-menerus merintangi kita adalah keegoisan diri kita sendiri.

 

Di penghujung tahun ini, marilah kita introspeksi diri. Seberapa jauh keegoisan kita telah menutup terang yang telah lahir itu. Seberapa jauh kekerasan hati kita membentengi diri dan enggan dipimpin oleh Sang Terang itu? Nyamankah dengan kehidupan yang demikian? Jika tidak, tinggalkan! Baruilah diri kita dengan tekad penuh untuk mengikut Sang Terang dunia itu.

 

Jakarta, penghujung tahun 2021