Rabu, 29 Desember 2021

DIPIMPIN TERANG KRISTUS

Baik dalam arti harfiah maupun spiritual, terang pasti dibutuhkan oleh manusia. Bayangkan mobil tanpa lampu tidak mungkin dapat melaju dalam kegelapan. Walau cahaya yang dihasilkan oleh sepasang lampu itu terbatas, mobil dapat melaju dipandu oleh cahaya terang itu.

 

“Ego eimi to phos tou kosmou”. Pada perayaan Pondok Daun di dalam komplek Bait Allah, Yesus mengatakan, “Akulah Terang dunia!” Perayaan itu sendiri sarat dengan cahaya terang lentera dari pondok-pondok yang mereka buat untuk mengingat kembali kehadiran Allah dalam wujud tiang api ketika nenek moyang mereka hidup dalam pengembaraan di padang gurun menuju ke tanah perjanjian. Terang itu secara harafiah menuntun mereka agar tidak terantuk batu, terperosok lubang atau tersesat. Sementara secara rohani, Terang itu memberikan pedoman hukum-hukum Tuhan yang harus dilakukan umat itu agar mereka tetap hidup kudus di hadapan Tuhan. Jelas, terang punya arti yang sangat agung dalam kehidupan umat TUHAN.

 

“Akulah terang dunia”, Yesus tidak mengatakan, “Aku adalah terang dunia”, dalam hal ini ucapan Yesus mempunyai arti: Terang dunia yang sejati adalah Yesus sendiri. Orang yang mengikuti terang tidak akan berjalan dalam kegelapan, melainkan akan mempunyai terang hidup. Artinya, siapa saja yang percaya kepada-Nya akan berjalan dalam terang, tidak akan tersandung bahkan orang tersebut akan mempunyai terang. Kehidupannya memancarkan terang dan memberi arah yang jelas bagi orang-orang di sekelilingnya. Orang-orang yang melihatnya itu akan menemukan terang yang sesungguhnya. Yesus!

 

“Akulah terang dunia!” Dalam pernyataan ini, “Aku” sangat ditekankan, sehingga “Aku” bukan hanya menjadi subyek kalimat, melainkan juga menjadi predikat. Oleh karena itu, yang dibutuhkan bukanlah pertama-tama menganalisis apakah arti terang itu. Tanpa diuraikan panjang lebar pun orang segera mengerti bahwa dunia yang gelap membutuhkan terang. Hanya teranglah yang dapat mengenyahkan kegelapan! Yesus adalah jawabannya: Akulah terang dunia!

 

Ternyata pernyataan Yesus ini sudah ada sejak permulaan Injil Yohanes (Yohanes 1:4). Yesus menjadi terang, kekuatan yang membebaskan dunia dari kungkungan kegelapan yang menguasainya. Sepanjang tahun ini ada banyak hal yang bisa kita hubungkan dengan kegelapan. Kejahatan yang semakin inten, tindakan-tindakan amoral yang dilakukan oleh orang-orang yang mestinya menjadi figur dan teladan. Kejahatan kemanusiaan di tengah bencana: korupsi dana bantuan, manipulasi obat, pembunuhan, korupsi dan masih banyak lagi yang lain. Yang semuanya itu berujung pada penderitaan dan kematian. Dunia dalam kesuraman! 

 

Dalam gelap, terang bersinar Yesus lahir di palungan!

 Janji Tuhan terbukti benar kita tidak dilupakan!

Sukacita lahir, kar’na Yesus hadir mengalahkan kesuraman.

Tiada apa pun dapat memisahkan kita dengan kasih Tuhan!” 

(Sukacita lahir, karya Pdt. Juswantori)


Yesus yang lahir adalah jawaban dari kesuraman dunia. Yesuslah terang dunia yang membawa pengharapan menyelamatkan dunia dari kegelapan yang berujung pada kematian. Maut! Setip orang yang berjalan di dalam Dia, kegelapan tidak akan meliputinya!

 

Pernyataan diri yang tegas ini mengagetkan orang Yahudi, khususnya ahli Taurat dan orang-orang Farisi. Mereka tidak bisa menerima, tepatnya menolak pernyataan Yesus ini. Mereka mencari alasan untuk penolakan itu. Mereka menyatakan bahwa kesaksian satu orang - lebih-lebih menyaksikan dirinya sendiri tidak dapat dibenarkan (Yohanes 8:13). Mereka memprotes Yesus karena Ia memploklamirkan diri-Nya sebagai terang dunia. Namun, protes ini kemudian menjadi landasan bagi Yesus untuk berbicara. Ia mengambil unsur dari protes mereka untuk memberi kesaksian tentang diri-Nya.

 

Bagi Yesus, kesaksian-Nya adalah benar meski Ia memberi kesaksian tentang diri-Nya sendiri. Yesus menyatakan, mereka yang menggugat-Nya benar jika kesaksian itu hanya dinyatakan oleh diri-Nya sendiri:kesaksian tidak boleh dilakukan hanya oleh satu pihak! Namun, Yesus menyatakan bahwa kesaksian yang dinyatakan-Nya tidak sendirian. Bapa yang mengutus-Nya juga bersaksi tentang diri-Nya (ayat 17-18). Kesaksian itu benar menurut kaidah hukum Taurat karena disaksikan oleh dua pihak.

 

Namun, persoalannya tidak sesederhana itu. Benar kesaksian itu sah kalau dua pihak menyatakannya. Masalahnya orang-orang Yahudi dan kelompok Farisi itu hanya melihat Yesus. Mereka tidak mengerti bahwa Yesus dan Bapa adalah satu sebagaimana yang dinyatakan dalam prolog Yohanes. Oleh karena itu mereka bertanya kepada Yesus, “Di manakah Bapa-Mu?”

 

Sudah berulang kali Yesus menyatakan asal-usul-Nya. Berkali-kali Ia menjelaskan bahwa Ia datang dari Bapa karena Ia diutus oleh Bapa-Nya. Namun demikian hubungan erat diri-Nya dengan Sang Bapa tidak dimengerti oleh kelompok-kelompok yang selalu menentang-Nya. Oleh karena itu ketika Yesus berkata bahwa Bapa memberi kesaksian tentang diri-Nya, orang menanyakan di manakah Bapa-Nya itu. Pertanyaan ini merupakan pertanyaan legalis. Kalau seseorang mengatakan bahwa orang lain bisa memberikan kesaksian tentang dirinya, maka orang itu harus bisa menghadirkan orang yang dimaksudnya itu. Kalau Yesus mengatakan bahwa Bapa bersaksi tentang diri-Nya, maka Yesus juga harus membawa Bapa itu ke hadapan mereka.

 

Jawaban Yesus masih menekankan kembali kesatuan-Nya dengan Bapa. Orang-orang tidak mengenal baik Anak maupun Bapa. Andaikata mereka mengenali atau tepatnya mau mengenali identitas sejati dari Yesus, mereka akan mengenali Bapa juga. Mereka bertanya tentang di manakah Bapa karena mereka tidak mampu mengenali bahwa Anak dan Bapa adalah satu. Dengan menolak Yesus, sesungguhnya mereka juga menolak Bapa yang mengutus-Nya dan dengan demikian tidak pernah mengenal Bapa. 

 

Ternyata di kemudian hari bukan hanya orang Farisi yang mempertanyakan Bapa. Filipus, salah seorang murid inti pun menanyakan hal serupa. Dalam menjawab pertanyaan yang sama, Yesus mengatakan, “Telah sekian lama Aku bersama-sama kamu, Filipus, namun engkau tidak mengenal Aku? Barang siapa telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa; bagaimanakah engkau berkata: Tunjukkanlah Bapa itu kepada kami. Tidak percayakan engkau, bahwa Aku di dalam Bapa dan Bapa di dalam Aku? Apa yang Aku katakan kepadamu, tidak Aku katakan dari diri-Ku sendiri, tetapi Bapa yang diam di dalam Aku, Dialah yang melakukan pekerjaan-Nya” (Yohanes 14:9-10).

 

Jangankan orang lain atau kelompok yang selalu menolak Yesus tidak mengerti dan mengakui Yesus Kristus sebagai terang dunia. Kelompok inti pun demikian. Jangan-jangan kita juga termasuk kelompok yang tidak mengerti atau tidak mau mengerti atau bahkan menolak Yesus sebagai terang dunia. Mengapa? Ya, meski sudah bertahun-tahun kita mengikut Yesus namun tidak pernah mengerti atau tidak mau mengerjakan apa yang diajarkan dan menjadi kehendak-Nya. 

 

Bisa jadi kita paham tentang ajaran cinta kasih-Nya namun enggan melakukannya karena kita berpikir ada banyak hal yang harus dikorbankan dan harus keluar dari zona nyaman. Kita menolak terang memimpin kehidupan kita. Bisa jadi kita tahu ajaran tentang pengampunan, namun tidak pernah mewujud dalam kehidupan yang menciptakan damai alih-alih kita tetap menjadi seorang pendendam. Jelas hidup ini akan tetap suram karena kita tidak mau mengenakan terang itu sebagai pandu kehidupan kita. Bisa jadi kita paham dan hafal ajaran khotbah di bukit, namun kita menolak melakukannya karena kita enggan melepas keegoisan kita. Jadi, hakikatnya yang menjadi penghalang dan terus-menerus merintangi kita adalah keegoisan diri kita sendiri.

 

Di penghujung tahun ini, marilah kita introspeksi diri. Seberapa jauh keegoisan kita telah menutup terang yang telah lahir itu. Seberapa jauh kekerasan hati kita membentengi diri dan enggan dipimpin oleh Sang Terang itu? Nyamankah dengan kehidupan yang demikian? Jika tidak, tinggalkan! Baruilah diri kita dengan tekad penuh untuk mengikut Sang Terang dunia itu.

 

Jakarta, penghujung tahun 2021

 

 

Kamis, 23 Desember 2021

IA YANG TELAH LAHIR PENUH HIKMAT DAN KASIH KARUNIA

Jauh sebelum anak kami lahir, kami membeli sebuah buku panduan tentang tumbuh kembangnya janin dalamrahim. Jelas, waktu itu belum ada “youtube” atau “mbah google”. Menarik untuk disimak. Buku itu berisi tentang bagaimana menyikapi dan mengantisipasi segala kemungkinan yang bakal terjadi dalam masa pertumbuhan janin. Hal yang sama kami lakukan setelah Eirene - demikian nama yang diberikan kepada anak kami - lahir. 

 

Setiap tahap pertumbuhan selalu saja menimbulkan kekaguman. Waktu berjalan begitu cepat. Kini, Eirene sudah menyelesaikan studi S1-nya. Ia punya pandangan sendiri terhadap diri, orang lain bahkan dunia ini. Ia pun punya cara sendiri bagaimana menghidupi apa yang diyakininya sebagai kebenaran. Kini kami harus belajar “melepas”, seperti anak burung ia harus mengembangkan sayapnya dan hidup menurut keyakinan dan panggilannya.

 

Seperti kebanyakan orang tua, Yusuf dan Maria tentu sangat serius dalam memperhatikan dan mendidik buah hati mereka. Mereka adalah pasangan Yahudi saleh, hidup dalam tradisi iman Yudaisme ketat. Hukum Yahudi mewajibkan semua pria dewasa untuk berziarah ke Yerusalem tiga kali dalam setahun: Pada Hari Raya Paskah, Pentakosta, dan Pondok Daun. Kaum perempuan dan anak-anak tidak diwajibkan.

 

Dalam tradisi kesalehan ketat itu, Yesus dibesarkan. Anak laki-laki Yahudi dianggap dewasa secara spiritual ketika ia menginjak usia tiga belas tahun. Sejak saat itulah, setiap remaja Yahudi punya tanggung jawab penuh terhadap diri dan komunitas, serta Tuhannya. Selama dua belas tahun anak-anak Yahudi digemleng oleh ayahnya, agar setahun kemudian ia tampil sebagai seorang dewasa.

 

Setiap tahun Yusuf dan Maria membawa Yesus ke Yerusalem, tepatnya ke Bait Allah. Injil yang kita baca hari ini (Lukas 2:41-50) menceritakan ketika orang tua-Nya membawa Yesus yang beranjak remaja ke Yerusalem. Koq  dua belas tahun disebut remaja? Ya, kehidupan keagamaan dan budaya Yahudi memang demikian. Para peziarah Paskah tidak wajib tinggal sepanjang perayaan Paskah, yaitu tujuh hari. Meski banyak juga dari mereka yang sampai semua acara selesai. Para peziarah yang berasal jauh dari Yerusalem biasanya berjalan berkelompok. Kaum perempuan dan anak-anak biasanya akan berjalan lebih dahulu dari kelompok laki-laki dewasa. Mereka bertemu di tempat-tempat yang sebelumnya sudah ditentukan sebagai pos perhentian.

 

Kehebohan terjadi saat rombongan Yusuf hendak pulang meninggalkan Yerusalem. Yesus tidak ada dalam kelompok ibu-ibu dan anak-anak. Demikian juga Yesus juga tidak ditemukan dalam kelompok pria dewasa. Hal ini sangat mungkin terjadi, kelompok pria dewasa menganggap Yesus yang waktu dua belas tahun, masih kanak-kanak tentunya Ia ada bersama dengan kelompok ibu-ibu yang membawa anak-anak mereka. Di pihak lain, Maria dan kelompoknya beranggapan, Yesus telah beranjak remaja tentu Ia ada bersama-sama rombongan pria dewasa. Ketika dua kelompok rombongan ini bertemu, mereka tercengang, gelisah, panik dan heboh. Di manakah Yesus berada?

 

Dapat dibayangkan, setelah seharian perjalanan ternyata mereka tidak menemukan Yesus. Keadaan waktu itu pasti masih ramai! Sebagai orang tua yang bertanggung jawab, Yusuf dan Maria kembali ke Yerusalem. Mereka mencari ke sana ke mari. Setelah tiga hari barulah mereka menemukan Yesus. Dia ada dalam kompleks Bait Allah! Yesus sedang duduk di tengah-tengah para guru agama. Biasanya selama hari raya dan hari Sabat, Mahkamah Agama tidak mengadakan kegiatan. Namun, pada hari-hari itu para anggota dan para rabi lazim berada di pelataran Bait Allah. Mereka mengajar dan menjawab pelbagai pertanyaan yang dikemukakan umat. Layaknya pendalaman Alkitab.

 

Para rabi Yahudi menempati pelataran Bait Allah, mereka duduk waktu mengajar. Metode pengajaran mereka umumnya dialog. Lukas mencatat bahwa Yesus duduk, artinya sangat mungkin Yesus pada saat itu menyampaikan pengajaran! Mereka mempercakapkan Taurat dan isi Kitab Suci, tepatnya kehendak Allah yang terungkap di dalamnya. Yesus memahaminya sebab Ia tahu apa yang diharapkan Allah dari manusia. Inilah yang menandakan bahwa Yesus penuh hikmat. Inilah inti kebijaksanaan-Nya yang dikagumi oleh orang-orang yang menyaksikan-Nya.

 

Dalam kisah ini dicatat pula rasa heran dari orang tua Yesus. Mereka tidak heran kalau Yesus cerdas. Mereka, khususnya Maria yang menyimpan segala sesuatu di dalam hatinya tahu betul bahwa sejak awal banyak tanda-tanda ajaib tentang Yesus. Kalangan Yahudi juga tidak heran kalau ada anak Yahudi dalam usia yang masih belia dapat berdialog dan menunjukkan hikmatnya. Tradisi Yahudi menceritakan tentang Daniel yang pada usia dua belas tahun juga duduk di antara tua-tua Yahudi sambil membela Susana. Demikian juga tradisi yang menyebut bahwa Samuel sudah menjadi nabi ketika usianya sangat muda. Dua belas tahun!

 

Yusuf dan Maria heran bukan karena kecerdasan Yesus, melainkan karena Ia bertingkah laku tidak biasa. Mereka bertambah heran setelah mereka mendengar pernyataan Yesus, “Mengapa kamu mencari Aku? Tidakkah kamu tahu bahwa Aku harus berada dalam rumah Bapa-Ku?” (Lukas 2:49). Dengan kata lain Yesus menegaskan bahwa Ia harus terlibat dan mengerjakan kehendak Bapa.

 

Dalam pernyataan-Nya ini, Yesus mau membuat kontras kata Bapa-Ku, maksudnya Allah yang diucapkannya sendiri, dengan kata bapak-Mu, maksudnya Yusuf yang diucapkan Maria. Maria bicara tentang kewajiban anak terhadap orang tuanya. Sedangkan Yesus berbicara tentang kewajiban-Nya terhadap Allah. Dengan bertanya, “Tidakkah kamu tahu”, Yesus menyatakan bahwa Yusuf dan Maria mestinya tahu. Lalu, mengapa mereka tidak tahu? Kunci masalahnya ada pada kata “harus”. “Aku harus berada di rumah Bapa-Ku…” Yesus harus terlibat penuh dalam perkara-perkara Bapa. Ia harus, sebab itulah kehendak Bapa!

 

“Harus” merupakan prioritas, hal yang paling utama. Terlibat dalam perkara-perkara Bapa merupakan hal yang utama. Injil Lukas mencatat penggunaan kata “harus” berkali-kali. Khususnya nanti dalam kisah sengsara Yesus. Yesus harus mengutamakan seluruh kehidupan-Nya dalam memenuhi kehendak Bapa. Untuk itulah Ia lahir!

 

Tentu saja terasa agak aneh dan kasar, seorang anak ditegur oleh orang tuanya, lalu menanggapi dengan cara demikian. Yusuf dan Maria juga heran, bahkan tidak mengerti! Ketidakmengertian mereka tentu saja ada sebabnya. Ya, sebagaimana tradisi Yahudi yang mengajarkan hormat terhadap orang tua, mestinya sikap Yesus tidak demikian. Seorang anak harus menurut dan menaruh hormat terhadap orang tuanya. Orang tua Yesus tidak mengerti, ini erat hubungannya dengan rasa heran. Ini merupakan reaksi normal ketika manusia berhadapan dengan misteri ilahi dari Yesus sebagai “Anak Allah”. Orang yang terbuka terhadap sabda Yesus pun mengalaminya. Anda dan saya suatu ketika juga pasti mengalami ketidakmengertian seperti ini. Hal yang sama dialami oleh para murid Yesus, terlebih setelah diberitahukan kepada mereka bahwa Ia harus menempuh jalan sengsara. Misteri Yesus sulit dipahami sebelum Ia selesai merampungkan mandat dari Bapa-Nya.

 

Lalu, apa yang harus dilakukan di tengah ketidakmengertian misteri Yesus ini? Mari kita belajar dari orang tua Yesus. Mereka tidak memaksakan kehendak, apalagi memarahi Yesus di depan orang banyak. Dalam ketidakmengertian mereka, mereka pulang bersama-sama dengan Yesus ke Nazaret. Yesus tetap hidup dalam asuhan mereka. Ibunya pun menyimpan semua hal itu di dalam hatinya hingga Yesus terus tumbuh dewasa, bertambah hikmat, dikasihi Allah dan manusia (Lukas 2:51-52).

 

Dalam ketidakmengertian Yusuf dan Maria, Yesus tetap ada bersama mereka. Mereka menjalankan fungsi dan tugasnya sebagai orang tua. Di dalam ketidakmengertian kita, yakinlah bahwa Yesus tetap menyertai kita. Yang diminta dari kita, marilah berproses bersama. Berjalan bersama dengan Yesus dan kerjakanlah tugas tanggung jawab sesuai dengan apa yang dipercayakan Tuhan kepada kita. Seperti Maria, dan juga kelak murid-murid-Nya akan mengerti setelah dengan utuh mereka menyaksikan karya Yesus. 

 

Jika hari ini kita sulit mengerti jalan Tuhan, jika hari ini ada yang aneh dalam mengikuti kehendak-Nya, jangan bimbang. Ikuti saja terus jalan-Nya, lakukan apa yang terbaik sesuai dengan kehendak-Nya dan percayalah bahwa suatu kali kita akan mengerti bahwa kasih karunia-Nya selalu menyertai kita!

 

Jakarta, 26 Desember 2021