Kamis, 16 Desember 2021

SUKACITA MENYAMBUT SANG JURUSELAMAT

Sukacita? Benarkah masih tersisa di penghujung penantian ini? Ya, pertanyaan ini mestinya menjadi perenungan yang harus dijawab dengan jujur. Mengapa? Natal tinggal menunggu hitungan hari. Sempat ada sebuah pengharapan. Ibarat nyala lilin di tengah kegelapan. Tampaknya badai segera berlalu. Pandemi Covid-19 mulai terkendali, kasus harian hanya tinggal 100 - 200-an saja. Jelas, lebih banyak kasus malaria atau demam berdarah! Gereja-gereja mulai menyiapkan ibadah tatap muka terbatas. Panitia Natal mulai mendekor gereja dan berlatih paduan suara, drama, kantata, atau konser musik!

 

Suasana kembali tak menentu. Keputusan pemerintah tentang pembatasan sosial berubah-ubah. Karantina kembali dilakukan malah lebih ketat bagi mereka yang telah bepergian ke luar negeri. Omicron, mulai menggila! Pembatasan-pembatasan di berbagai negara kembali diperketat. Sektor pariwisata yang digadang-gadang akan kembali mengangkat pemulihan ekonomi terpaksa gigit jari pasalnya, para pelancong enggan menghabiskan waktu dan uang lebih banyak untuk membayar karantina di hotel. Belum lagi cuaca belakangan yang kurang bersahabat: banjir, rob air laut sehingga menimbulkan bencana hidrometeorologi. Belakangan menyusul bencana vulkanologi. Semeru erupsi! Dan yang terbaru adalah gempa di wilayah NTT dan kepulauan Slayar.

 

Sukacita? Mungkinkah kita menyambut Natal, kelahiran-Nya dengan sukacita sementara kondisi sekitar kita atau bahkan kita sendiri sedang dalam keadaan memprihatinkan?

 

Seorang perempuan hamil muda berjalan dari Galilea menuju pegunungan Yehuda dekat Yerusalem. Sulit dibayangkan! Jalanan terjal, ancaman bahaya penyamun, belum lagi bekal dan tetek bengek yang harus disiapkan untuk perjalanan empat hari! Adalah Maria, perempuan hamil muda itu. Di tengah kesulitan dan keterbatasannya ia berusaha mengunjungi sanaknya, Elisabet. Kitab suci bungkam tentang seberapa pentingnya Maria mengunjungi sanaknya itu. Meski dalam Lukas 1:36, Malaikat Tuhan memberitahu bahwa Elisabet, sanaknya itu sedang mengandung, namun itu bukan perintah bagi dirinya supaya mengunjungi Elisabet. Para penafsir tradisional menangkapnya sebagai isyarat kasih sosial yang bergejolak dalam hati Maria setelah mendapat kabar bahwa sanaknya yang mandul dan sudah lanjut usia itu - ini merupakan aib bagi komunitas Yahudi - sekarang sedang mengandung. 

 

Sebagaimana Injil Lukas bungkam tentang alasan sesungguhnya Maria mengunjungi Elisabet, kisah kunjungan ini juga minim informasi tentang situasi perjalanan dan letak geografis yang sesungguhnya. Meski demikian, yang harus dibaca dengan cermat dari kisah ini adalah tentang Kabar Baik dari Allah dan karya-Nya. Yang perlu dicari ialah bukan “apa yang pernah terjadi”, bagaimana kronologinya. Bukan! Tetapi, apa maksud kisah ini, tepatnya: Apa yang hendak disampaikan penulis Injil Lukas kepada umat Kristen pada zaman itu?

 

Dikisahkan, Maria bergegas menuju sebuah kota di pegunungan. Menurut kisah ini, Maria pergi sendirian. Tidak bersama dengan Yusuf. Injil Lukas tidak menceritakan perjalanan Maria. ia malah tidak menyebut nama kota yang dituju Maria. Lukas memang tidak mau menyibukkan perhatian pembaca dengan perjalanan Maria. Dengan menyebut pegunungan Yudea, maka orang segera mengerti bahwa perjalanan ini cukup jauh dari Galilea tempat tinggal Maria.

 

Sesampainya di rumah Elisabet, Maria menyampaikan salam. Salam adalah tanda kasih. Di zaman dulu, salam bukanlah tanda formalitas belaka, melainkan penganugerahan damai sejahtera. Salam yang diucapkan Maria, walau isinya biasa saja namun merupakan sabda karunia kuasa Allah. Dampaknya? Janin dalam rahim Elisabet melakukan suatu gerakan mendadak dan kuat (melonjak), yang bisa dimaknai  sebagai tanggapan datangnya Roh Kudus kepada Yohanes sebelum ia dilahirkan dan sebagai pertanda relasi antara Yohanes dengan Yesus yang sedang dikandung Maria. Allah tidak hanya menggunakan bahasa lisan. Ia dapat menggunakan bahasa tubuh! Di zaman dulu, gerakan-gerakan aneh dalam janin dijadikan sebagai pertanda mengenai masa depan dari jabang bayi. Kejadian 25:22, ini tentang Esau dan Yakub “bertolak-tolakan di dalam rahim” Ribka, dan hal ini diartikan sebagai gambaran perselisihan mereka di kemudian hari.

 

Sebagai orang yang punya relasi dekat dengan Tuhan, Elisabet peka mengartikan hal-hal biasa, dalam hal ini salam yang diucapkan Maria dan gerakan bayi dalam rahimnya sebagai tanda kehadiran Allah yang berkarya dan akan terus berkarya melalui anak yang akan keluar dari rahimnya. Kemampuan demikian dimiliki oleh orang yang dipakai Roh Kudus sebagai sarana-Nya serta orang tersebut menanggapi dengan positif panggilan itu. Elisabet sepenuh-penuhnya terarah kepada Allah. Ia dipakai oleh Allah untuk bernubuat, atau tepatnya berbicara atas nama anak yang masih dalam kandungannya. Dalam kata-kata sambutannya terhadap Maria, Elisabet mewakili Yohanes yang belum lahir itu.

 

Elisabet menyebut Maria sebagai perempuan yang mempunyai andil luar biasa dalam pembebasan umat manusia lewat buah kandungannya yang ternyata adalah seorang Pembawa Damai. Sehingga Maria disebut sebagai perempuan yang paling diberkati Allah. Maria disebut berbahagia karena ia dikaruniai Allah. Karunia ilahi ini memang tidak tampak dalam berkat secara lahiriah: kekayaan, kuasa dan status sosial tinggi. Kata yang digunakan Elisabet adalah makaria yang artinya seperti yang dipakai dalam Mazmur 1:1, 2:12, 83:4, 93:12. Kebahagiaan-kebahagiaan seperti itu adalah kebahagiaan hakiki yang melampaui batas-bataskegembiraan sesaat karena orang mendapatkan harta benda atau kedudukan tinggi di masyarakat.

 

Manusia sungguh-sungguh terberkati, bukan bila ia sejahtera secara materi. Manusia bersukacita bukan ketika ia hidup dalam kemewahan dan kenyamanan. Manusia terberkati ketika Allah dapat berkarya dalam dirinya secara leluasa. Sebab karya Allah itu akan berhasil dengan baik, apabila manusia memberikan diri seutuhnya bagi rencana dan kehendak Allah. Elisabet dan Maria adalah orang yang terberkati itu. Elisabet dan Maria adalah perempuan-perempuan yang berbahagia. Mereka menyambut karya Tuhan dengan sukacita!

 

Yang terpenting dari bacaan Injil Minggu Adven ke-IV ini adalah bukan soal kronologi, letak geografis, dan bagaimana perjalanan Maria itu berlangsung. Bukan! Melainkan, pertemuan kedua ibu yang sedang hamil itu - dalam pelbagai kesulitan yang harus mereka terima - supaya mereka mengungkapkan puji-pujian terhadap Allah yang mau berkarya dalam hidup mereka yang sederhana.

 

Benar, hari-hari belakangan ini ada banyak alasan untuk kita menahan sukacita. Ada banyak peristiwa yang mengharu-biru sehingga menyesakkan dada kita. Lihatlah, Maria dan Elisabet juga tidak bebas dari hiruk pikuk beban yang harus mereka tanggung. Kalau kita telisik lebih ke belakang lagi; kedua perempuan ini mengalami pergumulan tidak mudah. Elisabet yang mandul tentu sudah kenyang dengan cibiran dan ucapan sinis para kerabat dan tetangganya. Maria yang bergumul tentang masa depan hidup pernikahan dengan Yusuf dan bagaimana harus memberi penjelasan tentang kehamilannya bagi kerabat dan sanak saudaranya. Pergumulan-pergumulan itu mereka letakkan dalam kerangka Tuhan yang berkarya dalam kehidupan mereka dan mereka rela melepaskan apa yang menjadi mimpi-mimpi mereka. Di situlah mereka menemukan kebahagiaan, sukacita sejati!

 

Sukacita menyambut Sang Juruselamat pada saat-saat sulit seperti ini bukanlah sebuah kalimat utopis. Ini sungguh realistis. Bukankah justru di tengah-tengah ketiadaan pengharapan kita harus menjadi alat di tangan Tuhan untuk mendatangkan harapan? Bukankah justru di tengah-tengah kegamangan hidup yang sumir ini, kita harus menghadirkan pengharapan yang bersumber pada Allah sendiri. Bukankah di tengah keadaan keos dan konflik, kita harus mampu menghadirkan damai? Nah, ketika kita mampu menjadi alat di tangan-Nya, maka sama seperti Elisabet dan Maria kita akan menjadi orang-orang yang terberkatimakaria. Berbahagia, dan bersukacita!

 

 

Jakarta, Minggu Adven IV tahun C, 2021

Kamis, 09 Desember 2021

SPIRITUALITAS PERTOBATAN DAN KEBAIKAN HATI

“Bersorak-sorailah, hai putri Sion, bertempik-soraklah, hai Israel! Bersukacitalah dan beria-rialah dengan segenap hati, hai puteri Yerusalem!” (Zefanya 3:14)

 

Gaudate! Sukacita. Ya, di tengah penantian ada sukacita! Mana mungkin? Biasanya orang akan jemu, penat dan kehilangan pengharapan dalam menanti-nantikan apa yang diharapkan. Kecewa, marah, bahkan putus asa itu pemandangan yang biasa kita lihat dalam masa-masa penantian. Tetapi bukankah ada fenomena lain: orang justru menggunakan kesempatan menunggu ini dengan sukacita. Ibarat seorang gadis menantikan kekasihnya. Menanti baginya adalah kesempatan bersolek agar ia dapat menyambut sang kekasih dengan paras yang elok, tentu saja dengan sukacita. Atau sepasang suami-istri dalam menantikan kelahiran buah cinta mereka. Ada harap-harap cemas, namun mereka terus mempersiapkannya agar kelak sang bayi dapat lahir dengan baik. Persiapan itu dilakukan dengan rutin pemeriksaan kehamilan. Tentu saja ada kesulitan, biaya dan kerepotan bolak-balik klinik kandungan. Namun, semuanya mereka lakukan dengan sukacita.

 

Gaudate, sukacita yang diserukan oleh Zefanya dalam bacaan pertama hari ini bukan tanpa alasan. Sebelum umat bersukacita, ada peringatan mengerikan dari sang nabi. Pewartaan Zefanya dimulai dengan berita penghukuman bahkan pemusnahan, “Aku akan menyapu bersih segala-galanya dari atas muka bumi, demikian firman TUHAN.” (Zafanya 1:2). Mengerikan! Suara itu sangat keras diucapkan karena Israel adalah bangsa yang keras kepala. Kemerosotan moral berada pada titik nadir pada zaman Nabi Zefanya, di mana Manasye, anak Hizkia mulai mendirikan mezbah-mezbah bagi Baal yang dulu telah dimusnahkan oleh Hizkia. Penyembahan berhala marak, diiringi penindasan penguasa atas yang lemah dan moralitas bobrok merupakan pemandangan keseharian. Benar, walau di penghujung hidupnya Manasye bertobat tetapi penyembahan berhala diteruskan oleh anaknya, Amon. Maka tidaklah mengherankan Allah murka atas umat-Nya itu.

 

Tidak seorang pun dapat menghindar dari murka Allah. Mereka yang menyatakan diri sebagai keturunan Abraham pun tidak akan luput dari murka itu. Apakah Allah sedemikian murkanya? Tidakkah ada cara untuk terbebas dari murka Allah itu?

 

Bersemangatlah dan berkumpullah, hai bangsa yang acuh tak acuh, sebelum kamu dihalau seperti sekam yang tertiup, sebelum datang ke atasmu murka TUHAN yang bernyala-nyala itu, sebelum datang ke atasmu hari kemurkaan TUHAN. Carilah TUHAN, hai semua orang yang rendah hati di negeri, yang melakukan hukum-Nya; carilah keadilan, carilah kerendahan hati; mungkin kamu akan terlindung pada hari kemurkaan TUHAN.” (Zefanya 2:1-3)

 

Walau bangsa Israel adalah bangsa yang sedemikian bebal, namun Allah tetap memberikan kesempatan. Bertobat! Kasih-Nya yang tidak menghendaki manusia binasa dalam murka-Nya. Namun, tampaknya seruan sang nabi ini tidak banyak didengar dan diindahkan orang. Enam ratus tahun berlalu setelah Zefanya menyerukan agar umat Israel mencari TUHAN; berbalik dan bertobat, Yohanes Pembaptis menyerukan hal yang sama: “Kapak sudah tersedia pada akar pohon dan setiap pohon yang tidak menghasilkan buah yang baik, akan ditebang dan dibuang ke dalam api.” (Lukas 3:9). Lagi-lagi ini mengingatkan kita bahwa umat itu benar-benar keras kepala. Bebal!

 

Menghadapi situasi kritis: murka Allah, tidak ada jalan lain kecuali bertobat! Yohanes menyerukan pertobatan bukan hanya kepada kelompok Farisi dan Saduki. Semua orang harus bertobat sebab berdosa. Rupanya seruan Yohanes ditanggapi positif. Mereka yang mendengarnya bertanya, “Jika demikian, apakah yang harus kami perbuat?” Yohanes menjawab: bertobat! Bagi Yohanes pertobatan itu nyata. Pertobatan itu terlihat dari perubahan perilaku sehari-hari. Pertobatan itu bukan hanya kesalehan pribadi, melainkan hidup yang berdampak bagi orang-orang di sekitar mereka.

 

Yohanes tidak menuntut yang bukan-bukan atau yang sulit dikerjakan oleh mereka yang mendengarnya. Tidak! Ia tidak menyuruh orang memberi persembahan atau berpuasa empat puluh hari empat puluh malam. Tidak! Namun, ia menyampaikan pesan Ilahi agar rakyat yang sudah miskin itu tetap peduli dengan mereka yang lebih miskin. Mayoritas pendengar seruan Yohanes adalah mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan. Kemiskinan bukan alasan untuk tidak memerhatikan mereka yang lebih sengsara. Mereka yang mempunyai baju (khiton) - yang dimaksudkan adalah baju yang biasa dipakai di dalam, sedangkan di luarnya semacam jubah (himation). Mereka yang mempunyai dua helai baju hendaklah berbagi dengan yang tidak punya. Supaya orang yang tidak punya baju itu tidak mati kedinginan terutama ketika mereka berada dalam perjalanan. 

 

Bukan hanya baju, tetapi mereka juga harus berbagi makan. Yohanes pasti tahu bahwa sebagian besar dari orang-orang yang datang kepadanya adalah mereka yang miskin, sulit mendapat makanan. Lagi-lagi, bukan alasan untuk tidak dapat berbagi. Dalam teks Yunani, kata “makanan” ditulis dalam bentuk jamak, sehingga dapat diartikan “makanan apa saja”. Ini berarti bahwa pertobatan itu adalah tidak membiarkan saudaramu atau orang yang berada di dekatmu mati karena tidak mempunyai apa yang dapat dimakan! Baik pakaian atau makanan dalam seruan Yohanes ini hanyalah sebagai contoh. Yang penting maknanya ialah: kasihilah sesamamu secara nyata, sebab itulah tandanya bahwa kamu bertobat. Itulah tandanya bahwa kamu tidak hanya mementingkan dirimu sendiri namun mempunyai hati seperti hati Tuhan! Gaudate: bersukacita bagi mereka yang lapar dan telanjang dan tentu lebih bersukacita bagi orang yang dapat memberi!

 

Selanjutnya seruan Yohanes ditujukan kepada para pemungut cukai dan prajurit. Para pemungut cukai yang dimaksud di sini adalah orang-orang Yahudi yang bekerja sebagai pegawai administrasi pemerintahan Romawi. Mereka kaki tangan penjajah dan pada umumnya mereka menggunakan jabatan untuk memeras. Menurut pendapat umum orang Yahudi, mereka itu adalah pendosa tulen, sebab terus-menerus berurusan dengan uang bangsa kafir yang menaziskan mereka dan yang menindas sesama anak Abraham.

 

Sistem penagihan pajak yang dipakai penguasa Romawi sangat memberatkan rakyat. Pemerasan dan korupsi terjadi di mana-mana dan ujung-ujungnya rakyat yang sudah menderita semakin menderita. Ditambah dengan perilaku prajurit yang sering digunakan sebagai pengawal dari para pemungut pajak. Para prajurit ini sebenarnya adalah orang-orang Yahudi juga yang dipekerjakan oleh Herodes Antipas untuk menjaga ketertiban dan mengawasi orang-orang Yahudi agar tidak memberontak. Bagi Yohanes, pertobatan adalah tidak menyalahgunakan wewenang. Pertobatan adalah tidak menindas dan memeras sesama demi kenyamanan diri sendiri. Pertobatan adalah mencukupkan dengan gaji yang diterima. Pertobatan adalah bersyukur atas apa yang wajar diterima. Gaudate! Bersukacitalah dengan apa yang ada padamu, sebab keserakahan hanya membuahkan derita!

 

Menarik, Yohanes mengartikan pertobatan tidak ekstrim. Ia tidak menyerukan agar pemungut cukai dan para prajurit itu berhenti bekerja pada pemerintahan kolonial. Meski pandangan umum Yahudi bahwa mereka itu berdosa sebab mereka bekerja sama dengan penjajah. Yohanes tidak memerintahkan mereka untuk menjadi pengabdi-pengabdi imam besar atau menghasut mereka agar memberontak terhadap kaisar. Tidak! Yohanes hanya meminta mereka bekerja sesuai dengan ketentuan yang ada. Tidak memeras dan mencukupkan dengan gaji yang mereka terima.

 

Jelas, pertobatan adalah membagi pakaian dengan yang telanjang. Membagi makanan dengan mereka yang kelaparan. Tidak mengambil lebih banyak dari apa yang seharusnya. Tidak merampas dan memeras, serta mencukupkan diri dengan upah yang diterima. Sederhana!

 

Penantian seperti inilah yang mendatangkan sukacita, yakni: kesempatan untuk peduli dan bersyukur. 

 

Gaudate, Adven 3 Tahun C 2021