“Bersorak-sorailah, hai putri Sion, bertempik-soraklah, hai Israel! Bersukacitalah dan beria-rialah dengan segenap hati, hai puteri Yerusalem!” (Zefanya 3:14)
Gaudate! Sukacita. Ya, di tengah penantian ada sukacita! Mana mungkin? Biasanya orang akan jemu, penat dan kehilangan pengharapan dalam menanti-nantikan apa yang diharapkan. Kecewa, marah, bahkan putus asa itu pemandangan yang biasa kita lihat dalam masa-masa penantian. Tetapi bukankah ada fenomena lain: orang justru menggunakan kesempatan menunggu ini dengan sukacita. Ibarat seorang gadis menantikan kekasihnya. Menanti baginya adalah kesempatan bersolek agar ia dapat menyambut sang kekasih dengan paras yang elok, tentu saja dengan sukacita. Atau sepasang suami-istri dalam menantikan kelahiran buah cinta mereka. Ada harap-harap cemas, namun mereka terus mempersiapkannya agar kelak sang bayi dapat lahir dengan baik. Persiapan itu dilakukan dengan rutin pemeriksaan kehamilan. Tentu saja ada kesulitan, biaya dan kerepotan bolak-balik klinik kandungan. Namun, semuanya mereka lakukan dengan sukacita.
Gaudate, sukacita yang diserukan oleh Zefanya dalam bacaan pertama hari ini bukan tanpa alasan. Sebelum umat bersukacita, ada peringatan mengerikan dari sang nabi. Pewartaan Zefanya dimulai dengan berita penghukuman bahkan pemusnahan, “Aku akan menyapu bersih segala-galanya dari atas muka bumi, demikian firman TUHAN.” (Zafanya 1:2). Mengerikan! Suara itu sangat keras diucapkan karena Israel adalah bangsa yang keras kepala. Kemerosotan moral berada pada titik nadir pada zaman Nabi Zefanya, di mana Manasye, anak Hizkia mulai mendirikan mezbah-mezbah bagi Baal yang dulu telah dimusnahkan oleh Hizkia. Penyembahan berhala marak, diiringi penindasan penguasa atas yang lemah dan moralitas bobrok merupakan pemandangan keseharian. Benar, walau di penghujung hidupnya Manasye bertobat tetapi penyembahan berhala diteruskan oleh anaknya, Amon. Maka tidaklah mengherankan Allah murka atas umat-Nya itu.
Tidak seorang pun dapat menghindar dari murka Allah. Mereka yang menyatakan diri sebagai keturunan Abraham pun tidak akan luput dari murka itu. Apakah Allah sedemikian murkanya? Tidakkah ada cara untuk terbebas dari murka Allah itu?
“Bersemangatlah dan berkumpullah, hai bangsa yang acuh tak acuh, sebelum kamu dihalau seperti sekam yang tertiup, sebelum datang ke atasmu murka TUHAN yang bernyala-nyala itu, sebelum datang ke atasmu hari kemurkaan TUHAN. Carilah TUHAN, hai semua orang yang rendah hati di negeri, yang melakukan hukum-Nya; carilah keadilan, carilah kerendahan hati; mungkin kamu akan terlindung pada hari kemurkaan TUHAN.” (Zefanya 2:1-3)
Walau bangsa Israel adalah bangsa yang sedemikian bebal, namun Allah tetap memberikan kesempatan. Bertobat! Kasih-Nya yang tidak menghendaki manusia binasa dalam murka-Nya. Namun, tampaknya seruan sang nabi ini tidak banyak didengar dan diindahkan orang. Enam ratus tahun berlalu setelah Zefanya menyerukan agar umat Israel mencari TUHAN; berbalik dan bertobat, Yohanes Pembaptis menyerukan hal yang sama: “Kapak sudah tersedia pada akar pohon dan setiap pohon yang tidak menghasilkan buah yang baik, akan ditebang dan dibuang ke dalam api.” (Lukas 3:9). Lagi-lagi ini mengingatkan kita bahwa umat itu benar-benar keras kepala. Bebal!
Menghadapi situasi kritis: murka Allah, tidak ada jalan lain kecuali bertobat! Yohanes menyerukan pertobatan bukan hanya kepada kelompok Farisi dan Saduki. Semua orang harus bertobat sebab berdosa. Rupanya seruan Yohanes ditanggapi positif. Mereka yang mendengarnya bertanya, “Jika demikian, apakah yang harus kami perbuat?” Yohanes menjawab: bertobat! Bagi Yohanes pertobatan itu nyata. Pertobatan itu terlihat dari perubahan perilaku sehari-hari. Pertobatan itu bukan hanya kesalehan pribadi, melainkan hidup yang berdampak bagi orang-orang di sekitar mereka.
Yohanes tidak menuntut yang bukan-bukan atau yang sulit dikerjakan oleh mereka yang mendengarnya. Tidak! Ia tidak menyuruh orang memberi persembahan atau berpuasa empat puluh hari empat puluh malam. Tidak! Namun, ia menyampaikan pesan Ilahi agar rakyat yang sudah miskin itu tetap peduli dengan mereka yang lebih miskin. Mayoritas pendengar seruan Yohanes adalah mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan. Kemiskinan bukan alasan untuk tidak memerhatikan mereka yang lebih sengsara. Mereka yang mempunyai baju (khiton) - yang dimaksudkan adalah baju yang biasa dipakai di dalam, sedangkan di luarnya semacam jubah (himation). Mereka yang mempunyai dua helai baju hendaklah berbagi dengan yang tidak punya. Supaya orang yang tidak punya baju itu tidak mati kedinginan terutama ketika mereka berada dalam perjalanan.
Bukan hanya baju, tetapi mereka juga harus berbagi makan. Yohanes pasti tahu bahwa sebagian besar dari orang-orang yang datang kepadanya adalah mereka yang miskin, sulit mendapat makanan. Lagi-lagi, bukan alasan untuk tidak dapat berbagi. Dalam teks Yunani, kata “makanan” ditulis dalam bentuk jamak, sehingga dapat diartikan “makanan apa saja”. Ini berarti bahwa pertobatan itu adalah tidak membiarkan saudaramu atau orang yang berada di dekatmu mati karena tidak mempunyai apa yang dapat dimakan! Baik pakaian atau makanan dalam seruan Yohanes ini hanyalah sebagai contoh. Yang penting maknanya ialah: kasihilah sesamamu secara nyata, sebab itulah tandanya bahwa kamu bertobat. Itulah tandanya bahwa kamu tidak hanya mementingkan dirimu sendiri namun mempunyai hati seperti hati Tuhan! Gaudate: bersukacita bagi mereka yang lapar dan telanjang dan tentu lebih bersukacita bagi orang yang dapat memberi!
Selanjutnya seruan Yohanes ditujukan kepada para pemungut cukai dan prajurit. Para pemungut cukai yang dimaksud di sini adalah orang-orang Yahudi yang bekerja sebagai pegawai administrasi pemerintahan Romawi. Mereka kaki tangan penjajah dan pada umumnya mereka menggunakan jabatan untuk memeras. Menurut pendapat umum orang Yahudi, mereka itu adalah pendosa tulen, sebab terus-menerus berurusan dengan uang bangsa kafir yang menaziskan mereka dan yang menindas sesama anak Abraham.
Sistem penagihan pajak yang dipakai penguasa Romawi sangat memberatkan rakyat. Pemerasan dan korupsi terjadi di mana-mana dan ujung-ujungnya rakyat yang sudah menderita semakin menderita. Ditambah dengan perilaku prajurit yang sering digunakan sebagai pengawal dari para pemungut pajak. Para prajurit ini sebenarnya adalah orang-orang Yahudi juga yang dipekerjakan oleh Herodes Antipas untuk menjaga ketertiban dan mengawasi orang-orang Yahudi agar tidak memberontak. Bagi Yohanes, pertobatan adalah tidak menyalahgunakan wewenang. Pertobatan adalah tidak menindas dan memeras sesama demi kenyamanan diri sendiri. Pertobatan adalah mencukupkan dengan gaji yang diterima. Pertobatan adalah bersyukur atas apa yang wajar diterima. Gaudate! Bersukacitalah dengan apa yang ada padamu, sebab keserakahan hanya membuahkan derita!
Menarik, Yohanes mengartikan pertobatan tidak ekstrim. Ia tidak menyerukan agar pemungut cukai dan para prajurit itu berhenti bekerja pada pemerintahan kolonial. Meski pandangan umum Yahudi bahwa mereka itu berdosa sebab mereka bekerja sama dengan penjajah. Yohanes tidak memerintahkan mereka untuk menjadi pengabdi-pengabdi imam besar atau menghasut mereka agar memberontak terhadap kaisar. Tidak! Yohanes hanya meminta mereka bekerja sesuai dengan ketentuan yang ada. Tidak memeras dan mencukupkan dengan gaji yang mereka terima.
Jelas, pertobatan adalah membagi pakaian dengan yang telanjang. Membagi makanan dengan mereka yang kelaparan. Tidak mengambil lebih banyak dari apa yang seharusnya. Tidak merampas dan memeras, serta mencukupkan diri dengan upah yang diterima. Sederhana!
Penantian seperti inilah yang mendatangkan sukacita, yakni: kesempatan untuk peduli dan bersyukur.
Gaudate, Adven 3 Tahun C 2021
Tidak ada komentar:
Posting Komentar