Kamis, 25 November 2021

BERJAGA-JAGA DAN BERDOALAH

Tanpa terasa waktu terus bergulir. Minggu kemarin satu tahun gerejawi telah berlalu di akhiri dengan Minggu Kristus Raja. Seluruh rangkaian tahun liturgi berujung pada pengakuan Yesus Raja! Kini kita mengawali tahun baru. Ya, tahun baru gerejawi yang diawali dengan masa Adven. Penantian!

 

Tahun baru gerejawi kali ini adalah tahun C, hal ini menandakan bawa bacaan Injil sepanjang tahun ke depan akan banyak diwarnai dengan Injil Lukas dan tentunya di sana-sini akan diselingi oleh Injil Yohanes, karena dalam tahun gereja tidak dikenal tahun D. 

 

Adven dikenal sebagai masa penantian. Ya, bukan hanya penantian menyiapkan Natal; kelahiran Tuhan Yesus itu di mana gereja membentuk panitia Natal dan mulai menyibukkan diri dengan pelbagai persiapan acara-acara Natal yang terkadang menyisakan ketidak-puasan dan perselisihan lantaran banyaknya ide yang tidak tertampung. Adven mestinya menyadarkan kita bahwa melalui momen persiapan Natal ini kita diajak untuk menantikan kedatangan-Nya kembali. Peristiwa kedatangan-Nya kembali itu sering kali dikaitkan dengan akhir zaman!

 

Dalam masa penantian kedatangan-Nya kembali, kita diajak untuk tidak berdiam diri, atau meratapi tentang penderitaan, ketidak-adilan, dan mencocok-cocokkan situasi zaman lalu mengambil kesimpulan tentang kapan peristiwa itu terjadi. Bukan itu yang seharusnya dilakukan oleh orang percaya! Dalam masa-masa penantian ini, kita justru diajak untuk berjaga-jaga dan berdoa. Atau tepatnya berjaga-jaga dengan tekun berdoa!

 

Siapa pun tergelitik untuk mencari tahu kapan terjadinya dan apa tanda-tanda akhir zaman itu. Injil memberi ruang untuk keingintahuan manusia tentang yang satu ini. Bahkan Yesus sendiri berbicara tentang tanda-tanda zaman itu. Yesus mengatakan, “Dan akan ada tanda-tanda pada matahari dan bulan dan bintang-bintang, dan di bumi bangsa-bangsa akan takut dan bingung menghadapi deru dan gelora laut.” (Lukas 21:25). Lukas mencatat peringatan Yesus tentang tanda-tanda dahsyat di langit: matahari, bulan, dan bintang-bintang. Tidak hanya itu, di bumi juga akan ada tanda-tanda kedahsyatan bencana, yaitu perang, gempa bumi, kelaparan dan peristiwa-peristiwa yang mengerikan. 

 

Dalam sastra apokaliptik, tanda-tanda kosmis dan pelbagai malapetaka menjadi semacam “dekorasi klasik” gambaran penghakiman terakhir. Tanda-tanda itu sering kali disampaikan oleh para nabi yang memikirkan kemenangan kuasa Allah atas bala tentara dewa-dewa yang disembah oleh bangsa Asyur dan Babel. Ilustrasi ini dipergunakan untuk menggambarkan intervensi definitif Allah dalam dunia ini demi menghancurkan kejahatan secara tuntas (bandingkan Roma 8:19-22 dan Wahyu 21:1-8).

 

Jika Injil Markus dan Matius lebih suka merinci malapetaka-malapetaka kosmis seturut dengan gaya bahasa apokaliptik. Tampaknya penulis Injil Lukas lebih suka menyoroti reaksi umat manusia terhadap malapetaka kosmis dan bencana dahsyat itu. Dengan demikian, kita dapat memahami pola pikir Kitab Suci dan khususnya sikap Yesus sendiri : Drama akhir zaman itu bukan berbicara tentang drama alam atau semesta kosmik, melainkan tentang drama manusia; tentang sikap manusia dalam menghadapinya. Injil Lukas lebih suka menggambarkan reaksi manusia terhadap malapetaka ketimbang gambaran malapetaka itu sendiri.

 

Lukas mengaitkan malapetaka di bumi dengan malapetaka kosmik. Malapetaka itu menimpa semua umat manusia, semua bangsa yang menghuni bumi, bukan hanya orang Israel, bukan hanya umat Allah. Maka semua peristiwa itu dapat diartikan sebagai “penggenapan zaman bangsa-bangsa” (Lukas 21:24). Kepanikan akan menghinggapi semua umat manusia. Bangsa-bangsa akan sadar tentang tibanya saat akhir sejarah. Bangsa-bangsa akan sadar bahwa sesudah semuanya itu akan “terbalik”. Orang-orang benar yang selama ini teraniaya dan sangat menderita, akan diselamatkan Allah.

 

Kedatangan Anak Manusia menjadi peristiwa puncak. Tetapi dalam teks Injil Lukas ini, kedatangan-Nya itu hanya disebut sepintas saja. Berbeda dengan Injil Markus, Lukas bicara tentang “sebuah awan” saja. Ia tidak berbicara tentang “segala” kuasa. Dan yang paling penting, Lukas tidak bicara tentang malaikat-malaikat yang menghimpunkan orang-orang benar. Mengapa? Sebab, bagi Lukas yang penting adalah tanda-tanda yang mendahului kedatangan Anak Manusia itu dan makna yang terkandung dalam peristiwa kedatangan itu, dan sikap manusia dalam menyambut kedatangan itu, yakni: “Apabila semuanya itu terjadi, bangkitlah dan angkatlah kepalamu, sebab pembebasmu telah dekat.” (Lukas 21:28)

 

Menurut catatan Lukas, para pengikut Kristus tidak akan luput dari malapetaka yang mengerikan yang disebut dalam Lukas 21:25-26. Sebab malapetaka itu akan menimpa semua orang. Namun, di tengah-tengah malapetaka dan kepanikan universal itu para pengikut Kristus justru harus bersikap lain. Berbeda! Mengapa? Sebab, semua malapetaka itu seharusnya mereka artikan sebagai tanda-tanda datangnya Sang Pembebas! Pada saat orang-orang mati ketakutan, orang-orang percaya seharusnya penuh pengharapan. Bersukacita!

 

Sebelumnya Lukas mencatat dalam ayat 19, “Kalau kamu tetap bertahan, kamu akan memperoleh hidupmu.”Orang dapat bertahan kalau ia tidak gampang menyerah terhadap kesulitan demi kesulitan yang menimpa dirinya. Seseorang tidak gampang menyerah kalau di dalam dirinya mempunyai iman, dalam hal ini pengharapan! Nyatanya, ada banyak orang yang sebelum bertubi-tubi mengalami kesulitan justru telah menyerah lebih dahulu. Dalam kesulitan yang bertubi-tubi itu, manusia biasanya menunduk. Ya, menunduk bukan menyembah Allah, tetapi menunduk kalah!

 

Kini, masa “bertahan” itu harus sampai pada kesudahannya. Umat Kristen, pengikut-pengikut Yesus harus mencontoh dan meneladani yang diikutinya. Tidak gampang menyerah. Umat Kristiani dalam kesulitan yang bertubi-tubi harus bertahan: berdiri tegak dan mengangkat kepala. Bukan sombong apalagi congkak, melainkan sebagai tanda tidak menyerah pada keadaan. 

 

Apakah Lukas mengarahkan kata-kata Yesus ini hanya kepada mereka yang kelak akan mengalami saat-saat terakhir; akhir zaman? Jelas tidak! Sebab, sikap bertahan dalam kesengsaraan harus menjadi sikap keseharian dari semua pengikut Kristus. Sikap itu lahir karena pengharapan. Dan sikap itulah yang hendak ditanamkan Lukas dalam hati setiap umat Kristiani ketika ia menegaskan ucapan Yesus, “Tidak sehelai pun dari rambut kepalamu akan hilang” (Lukas 21:18).

Lukas memang tidak mau berbicara kapan sejarah akan berakhir. Tetapi ia dengan penuh keyakinan berbicara tentang perhatian dan perlindungan Allah terhadap umat-Nya. Dan Ia yakin bahwa suatu saat Kerajaan Allah yang sempurna itu datang. Dalam konteks inilah umat Kristiani akan mampu bertahan bila selalu hidup dalam pengharapan. Maka semua cobaan dan penderitaan yang dialami umat Kristiani seharusnya dihadapi dengan sikap “berdiri tegak” dan “mengangkat kepala”.

 

Untuk dapat bertahan dalam pengharapan, di sinilah kita perlu berjaga-jaga. “Jagalah dirimu, supaya jangan dibebani oleh pesta pora dan kemabukan…” (Lukas 21:34). “Beban” yang dimaksud ayat ini adalah terlena atau tidur dalam kenikmatan semu. Penyebab adanya beban itu adalah kelebihan makanan dan minuman, hedonisme serta kecemasan-kecemasan. Kita masih mengingat tentang kisah orang kaya yang bodoh, yang setelah mengumpulkan harta, berkata kepada dirinya, “Ayo, bersantailah, makanlah, minumlah!”, atau perumpamaan tentang orang kaya yang lainnya yang, “tiap-tiap hari berpesta secara mewah” (Lukas 16:19). Atau bisa juga dikaitkan dengan perumpamaan tentang nasib benih yang terhimpit oleh kekhawatiran dan kekayaan dan kenikmatan hidup (Lukas 8:14).

 

Jelas, beban yang dimaksud adalah sesuatu yang secara khusus mengancam orang-orang kaya dan semua orang yang melekat pada harta benda. Inilah salah satu pokok perhatian Injil Lukas bahwa kekayaan dapat menutup mata manusia terhadap nasib kaum miskin. 

 

Berjaga-jagalah! Artinya, jangan tidur; jangan terlena! Berjaga-jaga searti dengan “Sambil berdoa”. Maksudnya, doitu bukan sambilan. Orang Kristen tidak tidur; tidak terlena sebab sejatinya orang Kristen tidak pernah berhenti berdoa (ingat: doa adalah nafas orang percaya. Berhenti berdoa searti berhenti bernafas dan tentunya mati!). Jadi, berjaga secara Kristiani sejajar atau setara dengan berdoa. 

 

Sikap berjaga dengan berdoa akan menghasilkan dua hal yang luar biasa: Pertama, kemampuan untuk luput dari segala yang akan terjadi. Benar, orang Kristen tidak steril dengan bencana dan malapetaka di bumi ini. Namun, sambil melibatkan diri di dalam kedahsyatan bencana itu, orang Kristen seharusnya mampu menguasai kepanikan dan tidak mati ketakutan. Kedua, kemampuan berdiri di hadapan Anak Manusia. Semua bencana harus dapat diartikan oleh umat Tuhan sebagai undangan untuk “mengangkat kepala (ay.28), yakni mengisi diri dengan kekuatan baru. Kekuatan itu satu saja, yaitu pengharapan bahwa Anak Manusia datang bukan sebagai penghukum, melainkan justru sebagai Dia yang melepaskan secara definitif dari kesengsaraan.

 

Jika berkaca pada Injil Matius 25:31-36, Anak manusia datang untuk menghakimi semua bangsa yang terkumpul di hadapan-Nya, Ia akan memisahkan orang-orang benar dari orang-orang jahat. Dengan demikian semua orang sepenuh-penuhnya tergantung dari keputusan Anak Manusia. Lukas justru menegaskan perkataan Yesus bahwa mereka yang dapat berdiri di hadapan Anak Manusia, tidak usah takut apa-apa lagi. Jelaslah satu pesan utama dalam eskatologi Lukas bahwa setiap pengikut Yesus Kristus harus hidup dalam pengharapan dan karenanya tidak perlu takut berhadapan dengan situasi akhir zaman!

 

Jakarta, Adven 1 tahun C 2021

Kamis, 18 November 2021

YESUS RAJA YANG SEJATI

Hari-hari belakangan ini dunia peradilan kita heboh dengan viralnya video-video yang mengungkapkan logika peradilan jungkir balik. Korban malah dijadikan tersangka; ayah dipenjara, anak gadisnya dipaksa melayani nafsu bejad anggota kepolisian, seorang istri yang memarahi suami lantaran pulang mabuk malah dilaporkan dengan dugaan KDRT dan sang istri malah dituntut pidana. Tentu saja catatan seperti ini kalau ditelusuri pasti akan sangat panjang. Ya, mulanya viral di media sosial, lalu menjadi buah bibir dan akhirnya ditindaklanjuti. Apa jadinya, jika kasus-kasus itu tidak viral di medsos? Hampir pasti orang-orang yang tidak berdaya itu semakin terpuruk dan benar-benar menjadi korban entah ke berapa kali!

 

Medsos meski sering dikecam sebagai media penyebar hoax, namun pada sisi lain bagai “dewa penolong” bagi orang-orang yang tidak tahu harus ke mana mendapatkan keadilan. Viralkan saja, setelah heboh pasti akan ditanggapi oleh yang berwenang. Idealnya orang di hadapan hukum punya hak dan kewajiban sama. Idealnya bukan medsos sebagai tempat mencari dan mendapatkan keadilan. Dan, idealnya di gedung pengadilanlah hukum ditegakkan seadil-adilnya. Sehingga siapa pun mendapat perlindungan jika ia benar dan sebaliknya, siapa pun mendapat hukuman jika ia melakukan tindakan kejahatan.

 

Praetorium adalah rumah pejabat tinggi Romawi, biasanya digunakan sebagai gedung pengadilan. Rumah pejabat semula dibangun bukan sekedar fasilitas seorang pejabat, melainkan juga tempat di mana anggota masyarakat mendapatkan perlakuan manusiawi. Keadilan! 

 

Benarkah di praetorium orang mendapatkan keadilan? Tidak selalu! Bahkan lebih tepat tergantung siapa yang akan dihukum. Hukum itu tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Mungkin itu gambaran yang tepat mengenai proses hukum yang sering kita jumpai. Ya, tentu saja tanpa mengesampingkan ada juga penegak hukum yang benar-benar kredibel, jujur, berintegritas dan tidak pandang bulu.  

 

Yesus dibawa ke praetorium menghadap Pilatus untuk diadili. Siapa Pilatus? Ia adalah gubernur provinsi Palestina sekitar tahun 26 - 35M. Pilatus diangkat dan digaji oleh pemerintah Romawi dan bertanggung jawab langsung kepada Kaisar. Tidak mudah menjadi gubernur kolonial, selalu ada gejolak dan pemberontakan. Tidak mudah bagi Pilatus untuk terus mempertahankan daerah jajahan Romawi itu tenang tanpa gejolak. Pilatus berkewajiban meredam setiap gejolak yang muncul. Kadang memakai tekanan dan kekerasan. Tetapi juga bisa menggunakan cara-cara persuasif di mana gejolak itu tidak seimbang dengan kekuatan pertahanan yang dimilikinya.

 

Pilatus sadar orang-orang Yahudi yang membawa Yesus ke hadapannya itu berpotensi menimbulkan gejolak politik besar yang membahayakan posisinya. Jelas, ia tidak mungkin menghadapi kemarahan orang-orang Yahudi itu dengan mengerahkan kekuatan tentara yang dimilikinya. Persuasif atau tepatnya kompromi yang dipilih Pilatus untuk menyelesaikan masalah yang dibawa kepadanya. Setelah ia bercakap-cakap dengan para imam kepala di luar praetorium, ia kembali masuk ke dalam gedung itu dan memerintahkan supaya Yesus dibawa masuk. Cara ini sebenarnya baik, Pilatus tidak mau terganggu oleh kegaduhan orang-orang yang telah tersulut emosi. Namun ternyata orang-orang Yahudi punya cara untuk menekan Pilatus agar ia memutuskan Yesus bersalah dan dihukum mati. Mereka akan mengadukan Pilatus kepada Kaisar (Yohanes 19:8).

 

Sepintas Pilatus punya kekuasaan untuk menjatuhkan hukuman secara mandiri. Nyatanya ia tidak berdaya pada tekanan. Pilatus tidak bebas, ia menyerah pada tuntutan orang-orang Yahudi meski hati nuraninya menyadari kebenaran dan keadilan itu. Sebaliknya, Yesus seorang pesakitan tak berdaya. Ia terpidana dan segera akan menghadapi eksekusi hukuman mati namun Ia menghadapinya dengan tegar. Ia tidak menggadaikan kebenaran dengan kepura-puraan! Dalam keadaan tekanan menghadapi kematian itu, Yesus justru berusaha menyadarkan Pilatus ketika Pilatus menanyakan, “Engkau inikah raja orang Yahudi?”(Yohanes 18:33), Yesus balik bertanya, “Apakah engkau katakan itu dari hatimu sendiri…?” (Yohanes 18:34). Melalui pertanyaan ini, Yesus mengajak Pilatus untuk memeriksa nuraninya sendiri. Yesus mengajak Pilatus memisahkan kebenaran itu dari tekanan orang banyak.

 

Dengan perkataan lain, Yesus mau mengatakan, “Jelaslah bahwa engkau tidak mempunyai alasan untuk mengatakan bahwa hal ini berasal dari hatimu sendiri, engkau mengatakan itu karena tekanan. Dan engkau bertanya seperti itu agar dapat poin untuk menjatuhkan hukuman sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Pikirkanlah, apakah mereka menuduh Aku sebagai musuh Kaisar justru mereka sendirilah yang sesungguhnya merupakan musuh Kaisar dan menggunakan kesempatan ini hanya untuk menutupi kejahatan mereka. Ya, kejahatan yang dibungkus menjadi legal karena diputuskan di gedung pengadilan. Oleh karena itu tanyalah kepada nuranimu sendiri apakah engkau benar-benar seorang hakim yang baik yang sedang memutuskan perkara dengan seadil-adilnya?”

 

Jelas, Pilatus membungkam nuraninya. Ia bahkan merasa tersinggung dengan pertanyaan Yesus. Kembali Pilatus menjadi terpojok. Dalam posisi itu Pilatus menjawab, “Apakah aku seorang Yahudi? Bangsa-Mu sendiri dan imam-imam kepala yang telah menyerahkan Engkau kepadaku; apakah yang telah Engkau perbuat?”Pilatus membela diri, seakan ia menegaskan bahwa dirinya merasa rendah bersekongkol dengan orang-orang Yahudi untuk menyingkirkan Yesus. Pilatus mencoba menutupi ketidak-berdayaannya terhadap tekanan orang-orang Yahudi di hadapan Yesus.

 

Dalam kesempatan inilah, Yesus menyatakan hukum dasar kerajaan-Nya: “Kerajaan-Ku bukan dari dunia ini; jika Kerajaan-Ku dari dunia ini, pasti hamba-hamba-Ku telah melawan, supaya Aku jangan diserahkan kepada orang Yahudi, akan tetapi Kerajaan-Ku bukan dari sini… Engkau mengatakan Aku adalah raja. Untuk itulah Aku datang ke dalam dunia ini, supaya AKu memberi kesaksian tentang kebenaran; setiap orang yang berasal dari kebenaran mendengarkan suara-Ku” (Yohanes 18:36-37). 

 

Kerajaan Kristus bukan dari dunia ini. Itu berarti bahwa kerajaan Yesus bukan karena pewarisan, pemilihanumum, atau penaklukan, melainkan dari Allah sendiri. Kerajaan-Nya bukan bersifat duniawi sehingga harus memperkuat dengan tentara dan amunisi. Namun Kerajaan-Nya ada di antara manusia, di bangun di dalam hati dan nurani manusia. Kekayaan Kerajaan itu bukan dari harta benda, melainkan bersifat rohani. Rohani atau spiritualitas yang menggerakkan seluruh badani untuk mengerjakan apa yang baik, benar dan adil! Kekayaan Kerajaan-Nya akan membuat orang tidak berdaya menjadi berdaya. Kekayaan Kerajaan-Nya akan membuat siapa pun berharga dan merasakan dicintai. Kekayaan Kerajaan-Nya itu tidak bisa dicuri dan dirampok; Ia akan ada untuk selama-lamanya.

 

Sepintas drama pengadilan yang menghadirkan Yesus sebagai terdakwa, Pilatuslah yang menjadi “raja berkuasa yang menentukan nasib hidup-matinya Yesus”. Namun, justru dalam pengadilan rekayasa penuh tekanan ini, memunculkan siapa Raja yang sebenarnya. Siapa yang berdaulat penuh dan tidak gentar terhadap tekanan. Ya, Yesuslah Sang Raja Sejati itu! Lalu, apa dampaknya buat kita sebagai pengikut Kristus Sang Raja Sejati itu? Tidak adcara lain: Mengikuti apa yang telah diteladankan Yesus. Jangan gentar berhadapan dengan tekanan. Nyatakan kebenaran, teruskan karya Sang Raja itu hingga setiap orang tersentuh oleh Kekayaan Kerajaan-Nya dan merasakan damai yang sesungguhnya yang tidak sanggup diberi oleh dunia dan kekayaannya. Selamat merayakan Minggu Kristus Raja!

 

Salatiga, Minggu Kristus Raja, 18 November 2021