Hari-hari belakangan ini dunia peradilan kita heboh dengan viralnya video-video yang mengungkapkan logika peradilan jungkir balik. Korban malah dijadikan tersangka; ayah dipenjara, anak gadisnya dipaksa melayani nafsu bejad anggota kepolisian, seorang istri yang memarahi suami lantaran pulang mabuk malah dilaporkan dengan dugaan KDRT dan sang istri malah dituntut pidana. Tentu saja catatan seperti ini kalau ditelusuri pasti akan sangat panjang. Ya, mulanya viral di media sosial, lalu menjadi buah bibir dan akhirnya ditindaklanjuti. Apa jadinya, jika kasus-kasus itu tidak viral di medsos? Hampir pasti orang-orang yang tidak berdaya itu semakin terpuruk dan benar-benar menjadi korban entah ke berapa kali!
Medsos meski sering dikecam sebagai media penyebar hoax, namun pada sisi lain bagai “dewa penolong” bagi orang-orang yang tidak tahu harus ke mana mendapatkan keadilan. Viralkan saja, setelah heboh pasti akan ditanggapi oleh yang berwenang. Idealnya orang di hadapan hukum punya hak dan kewajiban sama. Idealnya bukan medsos sebagai tempat mencari dan mendapatkan keadilan. Dan, idealnya di gedung pengadilanlah hukum ditegakkan seadil-adilnya. Sehingga siapa pun mendapat perlindungan jika ia benar dan sebaliknya, siapa pun mendapat hukuman jika ia melakukan tindakan kejahatan.
Praetorium adalah rumah pejabat tinggi Romawi, biasanya digunakan sebagai gedung pengadilan. Rumah pejabat semula dibangun bukan sekedar fasilitas seorang pejabat, melainkan juga tempat di mana anggota masyarakat mendapatkan perlakuan manusiawi. Keadilan!
Benarkah di praetorium orang mendapatkan keadilan? Tidak selalu! Bahkan lebih tepat tergantung siapa yang akan dihukum. Hukum itu tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Mungkin itu gambaran yang tepat mengenai proses hukum yang sering kita jumpai. Ya, tentu saja tanpa mengesampingkan ada juga penegak hukum yang benar-benar kredibel, jujur, berintegritas dan tidak pandang bulu.
Yesus dibawa ke praetorium menghadap Pilatus untuk diadili. Siapa Pilatus? Ia adalah gubernur provinsi Palestina sekitar tahun 26 - 35M. Pilatus diangkat dan digaji oleh pemerintah Romawi dan bertanggung jawab langsung kepada Kaisar. Tidak mudah menjadi gubernur kolonial, selalu ada gejolak dan pemberontakan. Tidak mudah bagi Pilatus untuk terus mempertahankan daerah jajahan Romawi itu tenang tanpa gejolak. Pilatus berkewajiban meredam setiap gejolak yang muncul. Kadang memakai tekanan dan kekerasan. Tetapi juga bisa menggunakan cara-cara persuasif di mana gejolak itu tidak seimbang dengan kekuatan pertahanan yang dimilikinya.
Pilatus sadar orang-orang Yahudi yang membawa Yesus ke hadapannya itu berpotensi menimbulkan gejolak politik besar yang membahayakan posisinya. Jelas, ia tidak mungkin menghadapi kemarahan orang-orang Yahudi itu dengan mengerahkan kekuatan tentara yang dimilikinya. Persuasif atau tepatnya kompromi yang dipilih Pilatus untuk menyelesaikan masalah yang dibawa kepadanya. Setelah ia bercakap-cakap dengan para imam kepala di luar praetorium, ia kembali masuk ke dalam gedung itu dan memerintahkan supaya Yesus dibawa masuk. Cara ini sebenarnya baik, Pilatus tidak mau terganggu oleh kegaduhan orang-orang yang telah tersulut emosi. Namun ternyata orang-orang Yahudi punya cara untuk menekan Pilatus agar ia memutuskan Yesus bersalah dan dihukum mati. Mereka akan mengadukan Pilatus kepada Kaisar (Yohanes 19:8).
Sepintas Pilatus punya kekuasaan untuk menjatuhkan hukuman secara mandiri. Nyatanya ia tidak berdaya pada tekanan. Pilatus tidak bebas, ia menyerah pada tuntutan orang-orang Yahudi meski hati nuraninya menyadari kebenaran dan keadilan itu. Sebaliknya, Yesus seorang pesakitan tak berdaya. Ia terpidana dan segera akan menghadapi eksekusi hukuman mati namun Ia menghadapinya dengan tegar. Ia tidak menggadaikan kebenaran dengan kepura-puraan! Dalam keadaan tekanan menghadapi kematian itu, Yesus justru berusaha menyadarkan Pilatus ketika Pilatus menanyakan, “Engkau inikah raja orang Yahudi?”(Yohanes 18:33), Yesus balik bertanya, “Apakah engkau katakan itu dari hatimu sendiri…?” (Yohanes 18:34). Melalui pertanyaan ini, Yesus mengajak Pilatus untuk memeriksa nuraninya sendiri. Yesus mengajak Pilatus memisahkan kebenaran itu dari tekanan orang banyak.
Dengan perkataan lain, Yesus mau mengatakan, “Jelaslah bahwa engkau tidak mempunyai alasan untuk mengatakan bahwa hal ini berasal dari hatimu sendiri, engkau mengatakan itu karena tekanan. Dan engkau bertanya seperti itu agar dapat poin untuk menjatuhkan hukuman sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Pikirkanlah, apakah mereka menuduh Aku sebagai musuh Kaisar justru mereka sendirilah yang sesungguhnya merupakan musuh Kaisar dan menggunakan kesempatan ini hanya untuk menutupi kejahatan mereka. Ya, kejahatan yang dibungkus menjadi legal karena diputuskan di gedung pengadilan. Oleh karena itu tanyalah kepada nuranimu sendiri apakah engkau benar-benar seorang hakim yang baik yang sedang memutuskan perkara dengan seadil-adilnya?”
Jelas, Pilatus membungkam nuraninya. Ia bahkan merasa tersinggung dengan pertanyaan Yesus. Kembali Pilatus menjadi terpojok. Dalam posisi itu Pilatus menjawab, “Apakah aku seorang Yahudi? Bangsa-Mu sendiri dan imam-imam kepala yang telah menyerahkan Engkau kepadaku; apakah yang telah Engkau perbuat?”Pilatus membela diri, seakan ia menegaskan bahwa dirinya merasa rendah bersekongkol dengan orang-orang Yahudi untuk menyingkirkan Yesus. Pilatus mencoba menutupi ketidak-berdayaannya terhadap tekanan orang-orang Yahudi di hadapan Yesus.
Dalam kesempatan inilah, Yesus menyatakan hukum dasar kerajaan-Nya: “Kerajaan-Ku bukan dari dunia ini; jika Kerajaan-Ku dari dunia ini, pasti hamba-hamba-Ku telah melawan, supaya Aku jangan diserahkan kepada orang Yahudi, akan tetapi Kerajaan-Ku bukan dari sini… Engkau mengatakan Aku adalah raja. Untuk itulah Aku datang ke dalam dunia ini, supaya AKu memberi kesaksian tentang kebenaran; setiap orang yang berasal dari kebenaran mendengarkan suara-Ku” (Yohanes 18:36-37).
Kerajaan Kristus bukan dari dunia ini. Itu berarti bahwa kerajaan Yesus bukan karena pewarisan, pemilihanumum, atau penaklukan, melainkan dari Allah sendiri. Kerajaan-Nya bukan bersifat duniawi sehingga harus memperkuat dengan tentara dan amunisi. Namun Kerajaan-Nya ada di antara manusia, di bangun di dalam hati dan nurani manusia. Kekayaan Kerajaan itu bukan dari harta benda, melainkan bersifat rohani. Rohani atau spiritualitas yang menggerakkan seluruh badani untuk mengerjakan apa yang baik, benar dan adil! Kekayaan Kerajaan-Nya akan membuat orang tidak berdaya menjadi berdaya. Kekayaan Kerajaan-Nya akan membuat siapa pun berharga dan merasakan dicintai. Kekayaan Kerajaan-Nya itu tidak bisa dicuri dan dirampok; Ia akan ada untuk selama-lamanya.
Sepintas drama pengadilan yang menghadirkan Yesus sebagai terdakwa, Pilatuslah yang menjadi “raja berkuasa yang menentukan nasib hidup-matinya Yesus”. Namun, justru dalam pengadilan rekayasa penuh tekanan ini, memunculkan siapa Raja yang sebenarnya. Siapa yang berdaulat penuh dan tidak gentar terhadap tekanan. Ya, Yesuslah Sang Raja Sejati itu! Lalu, apa dampaknya buat kita sebagai pengikut Kristus Sang Raja Sejati itu? Tidak ada cara lain: Mengikuti apa yang telah diteladankan Yesus. Jangan gentar berhadapan dengan tekanan. Nyatakan kebenaran, teruskan karya Sang Raja itu hingga setiap orang tersentuh oleh Kekayaan Kerajaan-Nya dan merasakan damai yang sesungguhnya yang tidak sanggup diberi oleh dunia dan kekayaannya. Selamat merayakan Minggu Kristus Raja!
Salatiga, Minggu Kristus Raja, 18 November 2021
Tidak ada komentar:
Posting Komentar