Memberi dan mencuri adalah dua kata kontradiksi: berlawanan. Ya, meski bisa juga orang memberi dari hasil mencuri dan merampok sebagaimana kisah-kisah legendaris pembela kaum miskin. Memberi adalah sebuah tindakan luhur. Mengapa? Sebab seorang pemberi mau menyerahkan hak atau hartanya untuk kepentingan orang lain. Sebaliknya, mencuri adalah suatu tindakan tercela karena mengambil milik atau hak orang lain untuk kepentingannya.
Memberi dan mencuri menjadi tema besar dari ajaran agama-agama. Memberi adalah tindakan yang dianjurkan bahkan diwajibkan. Sedangkan mencuri merupakan tindakan yang harus dihindari atau dilarang. Meski demikian, tidak dapat dipungkiri di ranah yang dihormati, yakni institusi yang terkait dengan agama, kita menemukan justru banyak tindakan korup yang setara dengan mencuri. Tentu saja untuk menutupi tidak segan menggunakan hukum-hukum Tuhan yang mereka poles menjadi dalil. Ironis!
Lembaga keagamaan dibentuk untuk mengurus berbagai hal “yang mulia” seperti: iman, relasi umat dengan Tuhan, peribadahan, etika dan moralitas, dan yang lainnya yang berkaitan dengan kehidupan rohani. Para pejabatnya pun dipilih dari orang-orang yang dikenal memahami ajaran agama. Namun, Lembaga Survei Indonesia (2018), sebagaimana dikutip “Dian Penuntun”, edisi 32 menemukan fakta bahwa responden yang menjadi anggota organisasi keagamaan justru lebih pro-korupsi dibandingkan dengan anggota organisasi sekuler. Ironis!
Kemunafikan, itulah barangkali kata yang tepat untuk menggambarkan perilaku agamis yang tampak saleh tetapi sesungguhnya bobrok moral.
Ironis dan kontradiksi. Baru saja Yesus memuji seorang ahli Taurat yang menyetujui ajaran-Nya tentang perintah utama (Markus 12:28--34). Namun, sejurus kemudian Yesus memberi peringatan keras terhadap perilaku buruk ahli-ahli Taurat. Apakah Yesus plin-plan? Tentu saja tidak demikian. Ini setidaknya menggambarkan ada ahli Taurat yang baik. Namun, Sebagian besar berperilaku munafik.
Kebanyakan orang Yahudi percaya bahwa Allah telah menyatakan kehendak-Nya di dalam Hukum Taurat. Para ahli Taurat dipandang terhormat dalam masyarakat Yahudi karena diyakini sebagai orang-orang yang dekat dengan Allah dan memahami kehendak-Nya. Oleh karenanya ahli-ahli Taurat ini dipandang sebagai orang-orang suci dan memiliki kedudukan yang tinggi baik dalam urusan religius maupun strata sosial masyarakat Yahudi. Ucapan mereka memiliki otoritas sehingga orang harus mendengarkannya. Keagungan status sosial mereka terlihat dari pakaian yang mereka kenakan: para ahli Taurat mengenakan jubah yang panjang ketika sedang berjalan-jalan dan bertemu dengan banyak orang. Mereka “menikmati” penghormatan yang diberikan oleh orang banyak di tempat-tempat umum, seperti: pasar atau sinagoge. Dalam sinagoge, ahli Taurat akan menduduki takhta kehormatan, duduk di tempat yang terbaik. Mereka dipandang sebagai orang-orang yang paling tahu dan menjadi orang yang paling dihormati!
Memang mereka tidak memasang tarif untuk sebuah ceramah atau ajaran tentang Taurat yang disampaikan. Kehidupan mereka bergantung pada derma atau persembahan umat. Sangat saleh bukan? Memberi subsidi atau persembahan kepada para ahli Taurat dianggap sebagai bentuk kesalehan. Ya, bagaimana tidak? Mereka memberikan pada hamba-hamba Allah yang mengerti kehendak-Nya lalu mengajarkannya kepada umat. Sampai di sini tidak ada yang salah!
Namun, kebanyakan para ahli Taurat pada zaman Yesus ini mempergunakan status istimewanya untuk menindas umat dalam kesederhanaannya itu demi memperkaya diri mereka sendiri. Mereka bahkan sampai hati menelan rumah janda-janda. Menelan rumah? Ya, artinya mengambil alih rumah para janda, menjualnya dan menikmatinya dalam waktu yang singkat: sama seperti menelan makanan, hanya sebentar dalam mulut lalu sampai ke perut.
Para janda termasuk kelompok orang miskin yang sebenarnya dilindungi Hukum Taurat (Ulangan 24:17, 21), para nabi mengecam perlakuan semena-mena terhadap para janda (Yesaya 10:1-2; Yeremia 7:6; Yehezkiel 22:7). Namun justru para ahli Taurat dengan kelihayan, mereka memperdaya orang miskin khususnya para janda. Atas nama kesalehan, mereka mengajarkan agar orang-orang miskin ini merelakan harta milik mereka untuk menyokong kehidupan dan kesejahteraan para pemimpin agama itu.
Para ahli Taurat menyembunyikan kejahatan mereka di balik sandiwara kesalehan yang mereka pentaskan. Kepandaian mereka gunakan untuk mengelabui mata orang-orang sederhana dengan mengucapkan doa yang panjang-panjang. Panjangnya doa yang mereka ucapkan seolah-olah menunjukkan kedekatan mereka dengan Allah. Orang-orang sederhana itu memandang mereka dengan kagum dan hormat. Di hadapan para ahli Taurat orang lain akan merasa kecil dan berdosa. Sayangnya, mereka berdoa bukan untuk bertemu dengan Allah, melainkan untuk mencari penghormatan, keuntungan, dan akhirnya mencuri dari orang-orang sederhana!
Doa-doa mereka sudah kehilangan makna dan mereka tidak lagi perlu mengharapkan ganjaran dari Allah karena mereka telah menerima upah, yakni penghormatan dari manusia. Yesus mengecam dan mengingatkan penghukuman terhadap mereka karena mereka telah memahami hukum Taurat, tetapi tindakan mereka bertentangan dengan hukum yang mereka pahami dan yang mereka ajarkan itu.
Dari apa yang diperingatkan Yesus, kita dapat belajar bahwa orang mencuri bukan hanya dengan cara kasar: memanfaatkan kelengahan orang sehingga hartanya dapat diambil alih atau merampas dan merampoknya. Tindakan mencuri dapat dilakukan dengan cara “terhormat”, yakni dengan jalan mengelabui, membuat orang terpesona, kagum dan menghormatinya sehingga menjadi sungkan dan kemudian memberikan apa saja yang mereka miliki demi kesalehan yang telah dimanipulasi. Tujuannya jelas: mendapatkan keuntungan baik kekayaan maupun kehormatan. Di sinilah kita mengerti mengapa Yesus begitu geram dengan tindakan ahli agama yang memakai kapasitasnya untuk keuntungan diri sendiri. Di sini pula, selain kita harus hati-hati terhadap orang yang mengajarkan pengetahuan agama dan memanfaatkannya untuk kepentingan sendiri, juga kita harus berhati-hati dalam mempergunakan ajaran agama yang kita pahami. Jangan sampai pengetahuan itu menjadi modal buat kita untuk menjerat orang-orang sederhana. Sebab, Tuhan telah mengingatkan dengan sebuah penghukuman berat. Celaka!
Kontras dari ahli-ahli Taurat yang dikecam Yesus. Yesus memperhatikan janda miskin. Yesus duduk menghadap peti persembahan sambil memperhatikan bagaimana orang-orang memasukkan uang ke dalam peti itu. Banyak orang kaya memasukkan sejumlah uang ke dalam peti itu. Namun, ada seorang janda miskin - mungkin sekali Yesus melihat dari penampilannya. Janda itu memasukkan dua keping uang tembaga (uang receh terkecil pada zaman itu). Kepada para murid-Nya, Yesus menyatakan bahwa pemberian janda itu lebih banyak ketimbang pemberian semua orang pada hari itu. Koq bisa?
Menurut perhitungan jumlah, Yesus keliru. Orang-orang kaya itu jelas memasukkan uang lebih banyak ke dalam peti persembahan daripada uang yang dimasukkan oleh si janda miskin itu. Tetapi rupanya Yesus tidak sedang berhitung matematis. Ia mengatakan bahwa janda itu memberi lebih banyak dari semua orang lain karena ia memberi dari semua yang ada pada diri. Artinya, selesai ia memberikan dua peser uang itu, ia tidak lagi punya uang. Habis!
Janda itu memberikan semua nafkah hidupnya. Ia tidak lagi punya apa pun untuk sekedar mengisi perut atau membeli minum, sedangkan orang-orang kaya itu masih banyak tersedia uang dan harta yang melimpah. Jadi memang benar, tampaknya mereka memberi banyak, namun, jika dibandingkan dengan kekayaan yang masih ada pada mereka, apa yang mereka berikan itu merupakan Sebagian kecil saja!
Pada pihak lain, bukan perhitungan matematis pula yang dipakai janda miskin itu dalam memberikan persembahan. Jika memakai perhitungan matematis, ia tentu tidak akan memasukkan uangnya yang hanya ada dua peser itu, karena uang itu adalah seluruh nafkahnya pada hari itu. Yang dipakai oleh janda miskin ini dalam memberi persembahan adalah perhitungan iman: percaya bahwa Tuhan akan memelihara hidupnya sekalipun ia memberikan seluruh miliknya, seluruh nafkahnya. Namun, jangan juga dipahami bahwa dua peser uang persembahan itu sebagai alat untuk menyuap Tuhan. Sehingga setelah itu Tuhan akan menyingkapkan tingkap-tingkap berkat dan memberikan kembali rezeki beratus kali lipat. Bukan! Iman bukan demikian, iman tidak pernah memaksakan Tuhan tetapi mengenal dan punya relasi baik dengan-Nya sehingga hidupnya tetap damai dan yakin bahwa Tuhan memeliharanya!
Ayo memberi! Tema ini bukan ajakan emosional yang terkadang menipu, memperdaya untuk kita memberikan semua yang ada pada kita. Ayo memberi mengajak kita beriman secara realistis: tidak mudah diperdaya oleh orang-orang yang pandai memakai doktrin agama, pada saat yang sama kita yakin akan pemeliharaan Allah, Bapa kita yang Maha baik!
Jakarta, 4 November 2021