Kamis, 04 November 2021

AYO MEMBERI, JANGAN MENCURI

Memberi dan mencuri adalah dua kata kontradiksi: berlawanan. Ya, meski bisa juga orang memberi dari hasil mencuri dan merampok sebagaimana kisah-kisah legendaris pembela kaum miskin. Memberi adalah sebuah tindakan luhur. Mengapa? Sebab seorang pemberi mau menyerahkan hak atau hartanya untuk kepentingan orang lain. Sebaliknya, mencuri adalah suatu tindakan tercela karena mengambil milik atau hak orang lain untuk kepentingannya.

 

Memberi dan mencuri menjadi tema besar dari ajaran agama-agama. Memberi adalah tindakan yang dianjurkan bahkan diwajibkan. Sedangkan mencuri merupakan tindakan yang harus dihindari atau dilarang. Meski demikian, tidak dapat dipungkiri di ranah yang dihormati, yakni institusi yang terkait dengan agama, kita menemukan justru banyak tindakan korup yang setara dengan mencuri. Tentu saja untuk menutupi tidak segan menggunakan hukum-hukum Tuhan yang mereka poles menjadi dalil. Ironis!

 

Lembaga keagamaan dibentuk untuk mengurus berbagai hal “yang mulia” seperti: iman, relasi umat dengan Tuhan, peribadahan, etika dan moralitas, dan yang lainnya yang berkaitan dengan kehidupan rohani. Para pejabatnya pun dipilih dari orang-orang yang dikenal memahami ajaran agama. Namun, Lembaga Survei Indonesia (2018), sebagaimana dikutip “Dian Penuntun”, edisi 32 menemukan fakta bahwa responden yang menjadi anggota organisasi keagamaan justru lebih pro-korupsi dibandingkan dengan anggota organisasi sekuler. Ironis!

 

Kemunafikan, itulah barangkali kata yang tepat untuk menggambarkan perilaku agamis yang tampak saleh tetapi sesungguhnya bobrok moral. 

 

Ironis dan kontradiksi. Baru saja Yesus memuji seorang ahli Taurat yang menyetujui ajaran-Nya tentang perintah utama (Markus 12:28--34). Namun, sejurus kemudian Yesus memberi peringatan keras terhadap perilaku buruk ahli-ahli Taurat. Apakah Yesus plin-plan? Tentu saja tidak demikian. Ini setidaknya menggambarkan ada ahli Taurat yang baik. Namun, Sebagian besar berperilaku munafik. 

 

Kebanyakan orang Yahudi percaya bahwa Allah telah menyatakan kehendak-Nya di dalam Hukum Taurat. Para ahli Taurat dipandang terhormat dalam masyarakat Yahudi karena diyakini sebagai orang-orang yang dekat dengan Allah dan memahami kehendak-Nya. Oleh karenanya ahli-ahli Taurat ini dipandang sebagai orang-orang suci dan memiliki kedudukan yang tinggi baik dalam urusan religius maupun strata sosial masyarakat Yahudi. Ucapan mereka memiliki otoritas sehingga orang harus mendengarkannya. Keagungan status sosial mereka terlihat dari pakaian yang mereka kenakan: para ahli Taurat mengenakan jubah yang panjang ketika sedang berjalan-jalan dan bertemu dengan banyak orang. Mereka “menikmati” penghormatan yang diberikan oleh orang banyak di tempat-tempat umum, seperti: pasar atau sinagoge. Dalam sinagoge, ahli Taurat akan menduduki takhta kehormatan, duduk di tempat yang terbaik. Mereka dipandang sebagai orang-orang yang paling tahu dan menjadi orang yang paling dihormati!

 

Memang mereka tidak memasang tarif untuk sebuah ceramah atau ajaran tentang Taurat yang disampaikan. Kehidupan mereka bergantung pada derma atau persembahan umat. Sangat saleh bukan? Memberi subsidi atau persembahan kepada para ahli Taurat dianggap sebagai bentuk kesalehan. Ya, bagaimana tidak? Mereka memberikan pada hamba-hamba Allah yang mengerti kehendak-Nya lalu mengajarkannya kepada umat. Sampai di sini tidak ada yang salah!

 

Namun, kebanyakan para ahli Taurat pada zaman Yesus ini mempergunakan status istimewanya untuk menindas umat dalam kesederhanaannya itu demi memperkaya diri mereka sendiri. Mereka bahkan sampai hati menelan rumah janda-janda. Menelan rumah? Ya, artinya mengambil alih rumah para janda, menjualnya dan menikmatinya dalam waktu yang singkat: sama seperti menelan makanan, hanya sebentar dalam mulut lalu sampai ke perut.

 

Para janda termasuk kelompok orang miskin yang sebenarnya dilindungi Hukum Taurat (Ulangan 24:17, 21), para nabi mengecam perlakuan semena-mena terhadap para janda (Yesaya 10:1-2; Yeremia 7:6; Yehezkiel 22:7). Namun justru para ahli Taurat dengan kelihayan, mereka memperdaya orang miskin khususnya para janda. Atas nama kesalehan, mereka mengajarkan agar orang-orang miskin ini merelakan harta milik mereka untuk menyokong kehidupan dan kesejahteraan para pemimpin agama itu.

 

Para ahli Taurat menyembunyikan kejahatan mereka di balik sandiwara kesalehan yang mereka pentaskan. Kepandaian mereka gunakan untuk mengelabui mata orang-orang sederhana dengan mengucapkan doa yang panjang-panjang. Panjangnya doa yang mereka ucapkan seolah-olah menunjukkan kedekatan mereka dengan Allah. Orang-orang sederhana itu memandang mereka dengan kagum dan hormat. Di hadapan para ahli Taurat orang lain akan merasa kecil dan berdosa. Sayangnya, mereka berdoa bukan untuk bertemu dengan Allah, melainkan untuk mencari penghormatan, keuntungan, dan akhirnya mencuri dari orang-orang sederhana!

 

Doa-doa mereka sudah kehilangan makna dan mereka tidak lagi perlu mengharapkan ganjaran dari Allah karena mereka telah menerima upah, yakni penghormatan dari manusia. Yesus mengecam dan mengingatkan penghukuman terhadap mereka karena mereka telah memahami hukum Taurat, tetapi tindakan mereka bertentangan dengan hukum yang mereka pahami dan yang mereka ajarkan itu.

 

Dari apa yang diperingatkan Yesus, kita dapat belajar bahwa orang mencuri bukan hanya dengan cara kasar: memanfaatkan kelengahan orang sehingga hartanya dapat diambil alih atau merampas dan merampoknya. Tindakan mencuri dapat dilakukan dengan cara “terhormat”, yakni dengan jalan mengelabui, membuat orang terpesona, kagum dan menghormatinya sehingga menjadi sungkan dan kemudian memberikan apa saja yang mereka miliki demi kesalehan yang telah dimanipulasi. Tujuannya jelas: mendapatkan keuntungan baik kekayaan maupun kehormatan. Di sinilah kita mengerti mengapa Yesus begitu geram dengan tindakan ahli agama yang memakai kapasitasnya untuk keuntungan diri sendiri. Di sini pula, selain kita harus hati-hati terhadap orang yang mengajarkan pengetahuan agama dan memanfaatkannya untuk kepentingan sendiri, juga kita harus berhati-hati dalam mempergunakan ajaran agama yang kita pahami. Jangan sampai pengetahuan itu menjadi modal buat kita untuk menjerat orang-orang sederhana. Sebab, Tuhan telah mengingatkan dengan sebuah penghukuman berat. Celaka!

 

Kontras dari ahli-ahli Taurat yang dikecam Yesus. Yesus memperhatikan janda miskin. Yesus duduk menghadap peti persembahan sambil memperhatikan bagaimana orang-orang memasukkan uang ke dalam peti itu. Banyak orang kaya memasukkan sejumlah uang ke dalam peti itu. Namun, ada seorang janda miskin - mungkin sekali Yesus melihat dari penampilannya. Janda itu memasukkan dua keping uang tembaga (uang receh terkecil pada zaman itu). Kepada para murid-Nya, Yesus menyatakan bahwa pemberian janda itu lebih banyak ketimbang pemberian semua orang pada hari itu. Koq bisa?

 

Menurut perhitungan jumlah, Yesus keliru. Orang-orang kaya itu jelas memasukkan uang lebih banyak ke dalam peti persembahan daripada  uang yang dimasukkan oleh si janda miskin itu. Tetapi rupanya Yesus tidak sedang berhitung matematis. Ia mengatakan bahwa janda itu memberi lebih banyak dari semua orang lain karena ia memberi dari semua yang ada pada diri. Artinya, selesai ia memberikan dua peser uang itu, ia tidak lagi punya uang. Habis!

 

Janda itu memberikan semua nafkah hidupnya. Ia tidak lagi punya apa pun untuk sekedar mengisi perut atau membeli minum, sedangkan orang-orang kaya itu masih banyak tersedia uang dan harta yang melimpah. Jadi memang benar, tampaknya mereka memberi banyak, namun, jika dibandingkan dengan kekayaan yang masih ada pada mereka, apa yang mereka berikan itu merupakan Sebagian kecil saja!

 

Pada pihak lain, bukan perhitungan matematis pula yang dipakai janda miskin itu dalam memberikan persembahan. Jika memakai perhitungan matematis, ia tentu tidak akan memasukkan uangnya yang hanya ada dua peser itu, karena uang itu adalah seluruh nafkahnya pada hari itu. Yang dipakai oleh janda miskin ini dalam memberi persembahan adalah perhitungan iman: percaya bahwa Tuhan akan memelihara hidupnya sekalipun ia memberikan seluruh miliknya, seluruh nafkahnya. Namun, jangan juga dipahami bahwa dua peser uang persembahan itu sebagai alat untuk menyuap Tuhan. Sehingga setelah itu Tuhan akan menyingkapkan tingkap-tingkap berkat dan memberikan kembali rezeki beratus kali lipat. Bukan! Iman bukan demikian, iman tidak pernah memaksakan Tuhan tetapi mengenal dan punya relasi baik dengan-Nya sehingga hidupnya tetap damai dan yakin bahwa Tuhan memeliharanya!

 

Ayo memberi! Tema ini bukan ajakan emosional yang terkadang menipu, memperdaya untuk kita memberikan semua yang ada pada kita. Ayo memberi mengajak kita beriman secara realistis: tidak mudah diperdaya oleh orang-orang yang pandai memakai doktrin agama, pada saat yang sama kita yakin akan pemeliharaan Allah, Bapa kita yang Maha baik!

 

Jakarta, 4 November 2021

Jumat, 29 Oktober 2021

KELUARGA YANG BERPUSAT PADA KITAB SUCI

Tentu kita sepakat, sebuah kitab disebut suci bukan karena kitab itu memancarkan pamor kesaktiannya atau ia bertuah sehingga tidak mempan dibakar dan tidak hanyut oleh banjir. Bukan begitu! Sebuah kitab disebut suci oleh karena ia memberikan petunjuk yang benar. Ada nilai-nilai luhur yang menolong manusia menapaki kehidupan agar mengalami damai sejahtera lahir dan batin, serta menemukan hidup yang kekal. Itu pun kalau dijalani dalam keseharian.

 

Ada banyak orang menjunjung tinggi nilai kesakralan kitab suci: tidak boleh diletakkan di bawah, harus selalu bersih, kalau mau membacanya harus berdoa terlebih dahulu dan mereka tekun membaca serta menjaganya supaya jangan dihina orang. Itu baik, bahkan sangat baik! Namun sayang, banyak orang hanya berhenti di situ. Nilai-nilai luhur tentang kehidupan dan petunjuk berharga untuk memperoleh kehidupan yang kekal itu tidak menjelma menjadi tingkah laku yang baik dan benar.

 

Belajar dari perintah utama bagi kalangan Yahudi yang terekam dalam Ulangan 6:1-9 - ini bagian yang teramat penting bagi komunitas Yahudi, yang dikenal dengan “Syema Yisrrael” (dengarlah hai orang Israel) - Allah menginginkan bahwa apa yang diperdengarkan-Nya itu bukan hanya didengar, dipahami, dan dibicarakan, melainkan dilakukan dalam kehidupan nyata, bukan dengan terpaksa tetapi dilandasi oleh semangat mengasihi Allah. “Syema” itu merupakan sebuah paket mendengarkan/menyimak dan melakukannya! Seseorang disebut mendengar ketika ia menyediakan diri untuk serius memahami dan sekaligus melakukan apa yang didengarnya!

 

Dalam Injil kita banyak menemukan perjumpaan Yesus dengan kelompok-kelompok dalam Yudaisme yang tahu bahkan ahli dalam pengetahuan kitab suci. Sayangnya, pengetahuan yang dipelajari itu hanya untuk berdebat dan kalau pun dilakukan hanya sebatas kewajiban yang harus dikerjakan sebagai alat konfirmasi identitas bahwa mereka adalah umat Allah yang istimewa!

 

Bacaan Injil hari ini menceritakan Yesus berjumpa dengan dua klompok Yahudi. Kelompok pertama Saduki dan yang lain Farisi. Kelompok Saduki terdiri dari para imam bangsawan yang termasuk dalam kelas atas kaum Yahudi. Mereka mempertahankan kekuasaan dan kekayaannya dengan cara menjalin kerja sama dengan pemerintahan Roma. Walaupun dari segi jumlah orang Saduki ini tidak banyak, namun mereka menduduki Sebagian besar kursi Mahkamah Agama Yahudi (Sanhedrin) yang merupakan lembaga pemegang otoritas tertinggi Yahudi.

 

Walau ada perbedaan pandangan dengan kaum Farisi, kelompok Saduki kerap bekerja sama melawan Yesus. Mengapa? Karena kedua kelompok ini sama-sama melihat Yesus sebagai ancaman. Yesus buat mereka adalah musuh bersama yang harus disingkirkan!

 

Perbedaan mendasar antara Farisi dan Saduki adalah: Orang Farisi menerima dan menjadikan Kitab Suci dan tradisi sebagai sumber wahyu dan dengan demikian sebagai pegangan hidup mereka, sedangkan orang Saduki menolak tradisi dan hanya mau menerima Kitab Suci. Tidak seperti orang Farisi yang percaya adanya kebangkitan badan, orang Saduki hanya peduli pada kehidupan di dunia ini dan menolak ajaran tentang kebangkitan sesudah kematian. Menurut mereka, jiwa manusia akan mati selama-lamanya seiring dengan kematian raganya.

 

Ketika Yesus berdebat dengan orang Saduki perihal kebangkitan, hal ini menarik perhatian orang Farisi. Orang Farisi percaya pada kebangkitan. Ia mengamati Yesus yang memiliki keyakinan yang sama dengan orang Farisi. Ahli Taurat itu mengetahui bahwa Yesus memberi jawab yang tepat terhadap orang Saduki. Ia sepakat dengan jawaban Yesus. Lalu ia tertarik untuk berdiskusi dengan-Nya.

 

Suasana pembicaraan kali ini sangat berbeda dari percakapan dengan orang Saduki. Suasana teduh, tidak ada usaha untuk menjebak atau menjatuhkan Yesus. Tidak ada juga kalimat keras atau sindiran yang diucapkan Yesus. Mengapa? Karena ahli Taurat itu datang dengan niat baik. Ahli Taurat itu datang dengan ramah dan Yesus membenarkan ucapannya, bahkan memujinya.

 

Ahli Taurat itu bertanya kepada Yesus, “Perintah manakah yang paling utama?” Para rabbi Yahudi merinci banyak sekali perintah yang bersumber pada Hukum Taurat. Mereka merinci ada 613 perintah dan larangan. Sudah menjadi hal yang biasa bila para rabbi mendiskusikan prinsip dasar yang menjiwai seluruh hukum yang paling utama dari seluruh perintah dan larangan yang bersumber dari Hukum Taurat itu. Menanggapi pertanyaan ini, Yesus menjawab bahwa ada dua perintah utama.

 

Pertama, “Dengarlah, hai orang Israel, Tuhanlah Allah kita, Tuhan itu esa. Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu” Yesus merujuk pada “syema Isrrael”. Orang Yahudi percaya bahwa TUHAN adalah Allah mereka. TUHAN adalah satu-satunya yang menciptakan dan memelihara semesta alam. TUHAN adalah Allah yang menuntun mereka keluar dari dunia perbudakan dan memberikan tanah perjanjian. Karena itu mereka harus mengasihi Dia dan berusaha untuk hidup berkenan kepada-Nya. 

 

Hati (cardia) adalah bagian terdalam dari pribadi manusia dan dari hatilah mengalir semua keputusan tindakan manusia: entah baik atau jahat. Jiwa (psyche), merupakan keseluruhan diri sebagai pribadi yang hidup. Yesus pernah menyatakan bahwa kita harus memberikan psyche demi Dia dan Yesus sendiri pun memberikan psyche-Nya demi kepentingan kita, manusia yang berdosa. Bahkan pemikiran, akal budi kita harus digerakkan dan dihidupi oleh kasih kepada Allah. Kasih kepada Allah bukan soal perasaan yang muncul secara spontan, tetapi merupakan komitmen yang terwujud dalam semua tindakan. Karena itu orang harus mengasihi Allah dengan segala kekuatannya.

 

Kedua, “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” Walau pada mulanya kata “sesama” hanya menunjuk pada orang Yahudi, Yesus menunjukkan bahwa “sesama” itu adalah semua orang  tanpa dibatasi sekat kebangsaan dan derajat sosial. Ungkapan “seperti dirimu sendiri” mau menunjukkan bahwa apkita harus memperlakukan orang lain sebaik kita memperlakukan diri sendiri.

 

Kedua hukum inilah yang “membagi” sepuluh perintah Allah menjadi dua: Perintah vertikal, mengasihi Allah dan horizontal, mengasihi sesama. Kedua perintah ini tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Yesus menegaskan “Tidak ada perintah lain , lebih utama dari pada perintah ini.” Tidak ada perintah yang lebih besar dari kedua perintah utama itu. Hukum atau perintah yang lain hanyalah turunan dan pejelasan tentang bagaimana mengasihi Allah dan sesama. Kalau orang sudah melakukan kedua hukum yang utama ini, ia sudah memenuhi semua Hukum Taurat.

 

Ahli Taurat itu membenarkan dan memuji Yesus. Mengasihi Allah dan sesama tidak dapat dibandingkan dengan semua kurban. Kasih kepada Allah dan kepada sesama jauh lebih bernilai dari pada kurban bakaran. Kasih itu tidak dapat digantikan dengan hewan kurban seberapa pun banyaknya. Yesus melihat bahwa orang Farisi ini menjawab dengan bijak karena ia memahami apa yang dikehendaki Allah, karena itu Yesus menyatakan kepada-Nya bahwa ia “tidak jauh dari Kerajaan Allah!” Orang itu sudah memahami apa yang dikatakan Yesus dan hanya perlu percaya kepada-Nya!

 

Hari ini tepat 31 Oktober kita semua mengingat peristiwa besar dalam perjalanan kehidupan gereja. Pada tanggal yang sama tahun 1517 Martin Luther menyampaikan 95 dalil yang mengubah wajah gereja. Tindakan Luther didasari agar kehidupan gereja tidak terlena dengan Kitab Suci dan Tradisi yang membeku. Kitab Suci dan Tradisi yang dipakai untuk kepentingan para elit klerus dan tidak  menjawab kebutuhan manusia dalam konteks zamannya. Peristiwa inilah yang kemudian kita kenal sebagai Hari Reformasi Gereja yang melahirkan gereja-gereja Protestan.

 

Salah satu semboyan reformasi adalah “sola scriptura” (Hanya Alkitab: Kitab Suci satu-satunya sumber otoritas yang terutama) tidak berarti memberlakukan Kitab Suci hanya sebagai bahan pengetahuan dan perdebatan seperti yang sering kita jumpai dalam cerita-cerita diskusi Yesus dengan kelompok elit Yahudi. Bukan! Melainkan menjadikannya sebagai sumber kebenaran, moral dan etis yang harus terus-menerus diperjuangkan dalam kehidupan kita. 

 

Ketika hari ini kita merenungkan tema tentang “Keluarga yang berpusat pada Kitab Suci” ini mau mengajak kita untuk menerjemahkan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya menjadi hidup di tengah-tengah keluarga kita. Keluarga yang berpusat pada Kitab Suci pada dasarnya bukan menjadikan Kitab Suci sebagai sebuah jimat. Kitab Suci itulah yang menunjukkan jalan, kebenaran dan hidup yang kekal, dan secara khusus petunjuk itu mengarah kepada Yesus Kristus sendiri. Sebagaimana ajakan Yesus kepada orang Farisi yang berdialog dengan-Nya, maka Ia pun mengajak kita semua untuk mengikuti-Nya. Mengikuti-Nya berarti bersedia ada di belakang: meniru, mencontoh dan melakukan apa yang dilakukan-Nya. Mendengar ajaran-Nya dan menghidupi-Nya. Jika saja setiap keluarga melakukannya niscaya Kristus hadir di tengah keluarga kita. Ia mewarnai keluarga kita dan orang akan merasakan Kerajaan Allah dalam keluarga kita!

 

Jakarta, 19 Oktober 2021