Jumat, 29 Oktober 2021

KELUARGA YANG BERPUSAT PADA KITAB SUCI

Tentu kita sepakat, sebuah kitab disebut suci bukan karena kitab itu memancarkan pamor kesaktiannya atau ia bertuah sehingga tidak mempan dibakar dan tidak hanyut oleh banjir. Bukan begitu! Sebuah kitab disebut suci oleh karena ia memberikan petunjuk yang benar. Ada nilai-nilai luhur yang menolong manusia menapaki kehidupan agar mengalami damai sejahtera lahir dan batin, serta menemukan hidup yang kekal. Itu pun kalau dijalani dalam keseharian.

 

Ada banyak orang menjunjung tinggi nilai kesakralan kitab suci: tidak boleh diletakkan di bawah, harus selalu bersih, kalau mau membacanya harus berdoa terlebih dahulu dan mereka tekun membaca serta menjaganya supaya jangan dihina orang. Itu baik, bahkan sangat baik! Namun sayang, banyak orang hanya berhenti di situ. Nilai-nilai luhur tentang kehidupan dan petunjuk berharga untuk memperoleh kehidupan yang kekal itu tidak menjelma menjadi tingkah laku yang baik dan benar.

 

Belajar dari perintah utama bagi kalangan Yahudi yang terekam dalam Ulangan 6:1-9 - ini bagian yang teramat penting bagi komunitas Yahudi, yang dikenal dengan “Syema Yisrrael” (dengarlah hai orang Israel) - Allah menginginkan bahwa apa yang diperdengarkan-Nya itu bukan hanya didengar, dipahami, dan dibicarakan, melainkan dilakukan dalam kehidupan nyata, bukan dengan terpaksa tetapi dilandasi oleh semangat mengasihi Allah. “Syema” itu merupakan sebuah paket mendengarkan/menyimak dan melakukannya! Seseorang disebut mendengar ketika ia menyediakan diri untuk serius memahami dan sekaligus melakukan apa yang didengarnya!

 

Dalam Injil kita banyak menemukan perjumpaan Yesus dengan kelompok-kelompok dalam Yudaisme yang tahu bahkan ahli dalam pengetahuan kitab suci. Sayangnya, pengetahuan yang dipelajari itu hanya untuk berdebat dan kalau pun dilakukan hanya sebatas kewajiban yang harus dikerjakan sebagai alat konfirmasi identitas bahwa mereka adalah umat Allah yang istimewa!

 

Bacaan Injil hari ini menceritakan Yesus berjumpa dengan dua klompok Yahudi. Kelompok pertama Saduki dan yang lain Farisi. Kelompok Saduki terdiri dari para imam bangsawan yang termasuk dalam kelas atas kaum Yahudi. Mereka mempertahankan kekuasaan dan kekayaannya dengan cara menjalin kerja sama dengan pemerintahan Roma. Walaupun dari segi jumlah orang Saduki ini tidak banyak, namun mereka menduduki Sebagian besar kursi Mahkamah Agama Yahudi (Sanhedrin) yang merupakan lembaga pemegang otoritas tertinggi Yahudi.

 

Walau ada perbedaan pandangan dengan kaum Farisi, kelompok Saduki kerap bekerja sama melawan Yesus. Mengapa? Karena kedua kelompok ini sama-sama melihat Yesus sebagai ancaman. Yesus buat mereka adalah musuh bersama yang harus disingkirkan!

 

Perbedaan mendasar antara Farisi dan Saduki adalah: Orang Farisi menerima dan menjadikan Kitab Suci dan tradisi sebagai sumber wahyu dan dengan demikian sebagai pegangan hidup mereka, sedangkan orang Saduki menolak tradisi dan hanya mau menerima Kitab Suci. Tidak seperti orang Farisi yang percaya adanya kebangkitan badan, orang Saduki hanya peduli pada kehidupan di dunia ini dan menolak ajaran tentang kebangkitan sesudah kematian. Menurut mereka, jiwa manusia akan mati selama-lamanya seiring dengan kematian raganya.

 

Ketika Yesus berdebat dengan orang Saduki perihal kebangkitan, hal ini menarik perhatian orang Farisi. Orang Farisi percaya pada kebangkitan. Ia mengamati Yesus yang memiliki keyakinan yang sama dengan orang Farisi. Ahli Taurat itu mengetahui bahwa Yesus memberi jawab yang tepat terhadap orang Saduki. Ia sepakat dengan jawaban Yesus. Lalu ia tertarik untuk berdiskusi dengan-Nya.

 

Suasana pembicaraan kali ini sangat berbeda dari percakapan dengan orang Saduki. Suasana teduh, tidak ada usaha untuk menjebak atau menjatuhkan Yesus. Tidak ada juga kalimat keras atau sindiran yang diucapkan Yesus. Mengapa? Karena ahli Taurat itu datang dengan niat baik. Ahli Taurat itu datang dengan ramah dan Yesus membenarkan ucapannya, bahkan memujinya.

 

Ahli Taurat itu bertanya kepada Yesus, “Perintah manakah yang paling utama?” Para rabbi Yahudi merinci banyak sekali perintah yang bersumber pada Hukum Taurat. Mereka merinci ada 613 perintah dan larangan. Sudah menjadi hal yang biasa bila para rabbi mendiskusikan prinsip dasar yang menjiwai seluruh hukum yang paling utama dari seluruh perintah dan larangan yang bersumber dari Hukum Taurat itu. Menanggapi pertanyaan ini, Yesus menjawab bahwa ada dua perintah utama.

 

Pertama, “Dengarlah, hai orang Israel, Tuhanlah Allah kita, Tuhan itu esa. Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu” Yesus merujuk pada “syema Isrrael”. Orang Yahudi percaya bahwa TUHAN adalah Allah mereka. TUHAN adalah satu-satunya yang menciptakan dan memelihara semesta alam. TUHAN adalah Allah yang menuntun mereka keluar dari dunia perbudakan dan memberikan tanah perjanjian. Karena itu mereka harus mengasihi Dia dan berusaha untuk hidup berkenan kepada-Nya. 

 

Hati (cardia) adalah bagian terdalam dari pribadi manusia dan dari hatilah mengalir semua keputusan tindakan manusia: entah baik atau jahat. Jiwa (psyche), merupakan keseluruhan diri sebagai pribadi yang hidup. Yesus pernah menyatakan bahwa kita harus memberikan psyche demi Dia dan Yesus sendiri pun memberikan psyche-Nya demi kepentingan kita, manusia yang berdosa. Bahkan pemikiran, akal budi kita harus digerakkan dan dihidupi oleh kasih kepada Allah. Kasih kepada Allah bukan soal perasaan yang muncul secara spontan, tetapi merupakan komitmen yang terwujud dalam semua tindakan. Karena itu orang harus mengasihi Allah dengan segala kekuatannya.

 

Kedua, “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” Walau pada mulanya kata “sesama” hanya menunjuk pada orang Yahudi, Yesus menunjukkan bahwa “sesama” itu adalah semua orang  tanpa dibatasi sekat kebangsaan dan derajat sosial. Ungkapan “seperti dirimu sendiri” mau menunjukkan bahwa apkita harus memperlakukan orang lain sebaik kita memperlakukan diri sendiri.

 

Kedua hukum inilah yang “membagi” sepuluh perintah Allah menjadi dua: Perintah vertikal, mengasihi Allah dan horizontal, mengasihi sesama. Kedua perintah ini tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Yesus menegaskan “Tidak ada perintah lain , lebih utama dari pada perintah ini.” Tidak ada perintah yang lebih besar dari kedua perintah utama itu. Hukum atau perintah yang lain hanyalah turunan dan pejelasan tentang bagaimana mengasihi Allah dan sesama. Kalau orang sudah melakukan kedua hukum yang utama ini, ia sudah memenuhi semua Hukum Taurat.

 

Ahli Taurat itu membenarkan dan memuji Yesus. Mengasihi Allah dan sesama tidak dapat dibandingkan dengan semua kurban. Kasih kepada Allah dan kepada sesama jauh lebih bernilai dari pada kurban bakaran. Kasih itu tidak dapat digantikan dengan hewan kurban seberapa pun banyaknya. Yesus melihat bahwa orang Farisi ini menjawab dengan bijak karena ia memahami apa yang dikehendaki Allah, karena itu Yesus menyatakan kepada-Nya bahwa ia “tidak jauh dari Kerajaan Allah!” Orang itu sudah memahami apa yang dikatakan Yesus dan hanya perlu percaya kepada-Nya!

 

Hari ini tepat 31 Oktober kita semua mengingat peristiwa besar dalam perjalanan kehidupan gereja. Pada tanggal yang sama tahun 1517 Martin Luther menyampaikan 95 dalil yang mengubah wajah gereja. Tindakan Luther didasari agar kehidupan gereja tidak terlena dengan Kitab Suci dan Tradisi yang membeku. Kitab Suci dan Tradisi yang dipakai untuk kepentingan para elit klerus dan tidak  menjawab kebutuhan manusia dalam konteks zamannya. Peristiwa inilah yang kemudian kita kenal sebagai Hari Reformasi Gereja yang melahirkan gereja-gereja Protestan.

 

Salah satu semboyan reformasi adalah “sola scriptura” (Hanya Alkitab: Kitab Suci satu-satunya sumber otoritas yang terutama) tidak berarti memberlakukan Kitab Suci hanya sebagai bahan pengetahuan dan perdebatan seperti yang sering kita jumpai dalam cerita-cerita diskusi Yesus dengan kelompok elit Yahudi. Bukan! Melainkan menjadikannya sebagai sumber kebenaran, moral dan etis yang harus terus-menerus diperjuangkan dalam kehidupan kita. 

 

Ketika hari ini kita merenungkan tema tentang “Keluarga yang berpusat pada Kitab Suci” ini mau mengajak kita untuk menerjemahkan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya menjadi hidup di tengah-tengah keluarga kita. Keluarga yang berpusat pada Kitab Suci pada dasarnya bukan menjadikan Kitab Suci sebagai sebuah jimat. Kitab Suci itulah yang menunjukkan jalan, kebenaran dan hidup yang kekal, dan secara khusus petunjuk itu mengarah kepada Yesus Kristus sendiri. Sebagaimana ajakan Yesus kepada orang Farisi yang berdialog dengan-Nya, maka Ia pun mengajak kita semua untuk mengikuti-Nya. Mengikuti-Nya berarti bersedia ada di belakang: meniru, mencontoh dan melakukan apa yang dilakukan-Nya. Mendengar ajaran-Nya dan menghidupi-Nya. Jika saja setiap keluarga melakukannya niscaya Kristus hadir di tengah keluarga kita. Ia mewarnai keluarga kita dan orang akan merasakan Kerajaan Allah dalam keluarga kita!

 

Jakarta, 19 Oktober 2021  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar