Meski pemilihan umum presiden dan wakilnya masih dua tahun lebih, namun aroma untuk menjadi orang nomor satu di negeri ini sudah mulai terendus. Survei-survei eletabilitas atau peluang tokoh-tokoh tertentu sudah mulai bertebaran dan menjadi ajang perdebatan. Ada yang malu-malu sambil menunggu dilamar oleh partai tertentu, ada yang terang-terangan ingin mencalonkan diri. Ya, bagaimana pun menjadi orang nomor satu merupakan impian banyak orang, mengenai bagaimana cara mendapatkannya adalah persoalan lain. Yang penting puncak kekuasaan itulah yang harus diraih!
Tujuan kebanyakan orang adalah sukses. Sukses ditandai dengan banyaknya harta, berkuasa memerintah banyak orang, pengakuan dan reputasi dalam kalangan masyarakat. Itulah kerinduan terdalam dari banyak anak manusia. Tanpa kecuali, para pengikut Yesus juga merindukan ini!
Kedua anak Zebedeus: Yakobus dan Yohanes mulai mengetes kerelaan Yesus, lalu baru meminta. Entah karena kakak-beradik ini berasal dari keluarga nelayan yang cukup berada (Markus 1:19-20) atau karena mereka sering tampil dalam kelompok ini murid-murid, bahkan tradisi menyiratkan bahwa ada hubungan kerabat dengan Yesus sendiri, lalu mendorong mereka untuk merasa berhak diberi kedudukan tertinggi di samping Yesus. Mereka mengira bahwa perjalanan Yesus yang sebentar lagi sampai di Yerusalem adalah untuk mewujudkan kembali kerajaan Daud atau Salomo yang megah itu. Kedudukan di sebelah raja tidak hanya soal tempat kehormatan, tetapi juga posisi kekuasaan (Matius 19:28), posisi Menteri besar yang mengambil bagian dari kuasa raja dan membawahi semua orang yang lain. Tentu saja permintaan ini menimbulkan ketidak-senangan dari murid-murid yang lain. Tak seorang pun suka berada di bawah kuasa orang lain, meski itu teman dekat!
Kemarahan murid-murid yang lain seolah menandakan bahwa mereka juga menginginkan kekuasaan yang sama. Mereka marah sekaligus juga menampakkan bahwa mereka tidak menangkap maksud dan tujuan Yesus ke Yerusalem. Bentuk kepemimpinan yang sedang dilakoni dan diajarkan Yesus bukanlah seperti yang menjadi Hasrat manusia dalam kehidupan berpolitik untuk merebut kekuasaan dan sebuah negara. Pembesar dan penguasa sering kita saksikan meraih dan memerkokoh kuasanya untuk menjamin posisi dan kepentingannya sendiri: untuk dilayani!
Yesus menjawab persaingan di antara murid-Nya itu dengan mengajari mereka tentang hal “menjadi yang terbesar”. Sosok seorang pembesar dipertentangkan dengan model pemerintahan bangsa-bangsa, sosok para pejabat yang bertindak sebagai tuan besar yang harus dilayani rakyatnya. Kata kerja “bertindak sebagai tua… bertindak sewenang-wenang..” (Markus 10:42) menunjukkan kuasa otoriter yang digunakan oleh para pembesar untuk memerkokoh kekuasaan mereka dengan maksud agar rakyat terus melayani kepentingan mereka.
Cara para pengikut Yesus menjadi pembesar dalam jemaat mestinya berbanding terbalik dengan model pemerintahan bangsa-bangsa itu, yakni dengan cara menjadi pelayan. Seorang hamba atau pelayan “dimiliki” oleh jemaat, dan bukanlah mereka yang memiliki jemaat. Seorang pelayan akan memperhatikan kebutuhan orang-orang yang dilayaninya, tentunya dengan sadar dan rela mengorbankan kepentingannya sendiri. Seorang dapat mengerjakan tugasnya apabila dilandasi oleh karakter rendah hati. Masalahnya bagi kebanyakan orang tidak yakin bahwa kerendahan hati dapat menolong kita menjadi “orang besar”. Seperti yang dikatakan oleh Pdt. Sam Wells, “Kita takut jika kita rendah hati, kita akan diperalat, diinjak, dipermalukan, dan tidak diperhitungkan!” Kita takut dengan melayani orang lain, kita dipandang sebagai orang rendahaan!
Yesus tidak hanya sekedar memberi konsep dan pengajaran. Ia menghidupi apa yang diajarkan-Nya itu, “Karena Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang.” (Markus 10:45). Yesus, Anak Manusia yang berada dalam perjalanan menuju Yerusalem, menempuh jalan itu untuk menyerahkan hidup-Nya menjadi tebusan bagi semua orang. Yesus bukan hanya contoh bagi murid-murid-Nya tetapi juga tebusan bagi mereka dan bagi semua orang. Tebusan (Lutron) adalah apa yang perlu dibayar orang untuk membebaskan saudaranya yang menjadi tawanan atau budak dan tidak mampu membayar uang pembebasan itu sendiri (Keluaran 21:8).
Lutron, dalam Perjanjian Baru beberapa puluh kali digunakan untuk mengungkapkan pembebasan kita karena darah Kristus. Anak Manusia itu menjadi tebusan bagi banyak orang. Artinya Yesus membebaskan semua manusia yang tidak mampu untuk membebaskan dirinya sendiri dari belenggu dosa dan murka Allah (Mazmur 49:8-9). Nyawa Yesus yang diserahkan atau darah-Nya yang dicurahkan menjadi seperti “uang tebusan” yang sudah dibayarkan bagi pembebasan kita semua. Di dalam Yesus telah digenapi nubuat tentang Hamba Tuhan yan mati bagi banyak orang (Yesaya 53:10-12).
Yesus tidak hanya memenuhi nubuat Nabi Yesaya tentang Hamba Tuhan yang menderita itu. Tebusan, korban dan darah adalah istilah-istilah yang tidak asing dalam kalangan orang Yahudi. Para imamlah begitu dekat dengan ritual yang berhubungan dengan kurban, darah dan tebusan. Sehingga dengan leluasa penulis Surat Ibrani menghubungkan dan membandingkan keimamam dalam tradisi Yahudi dengan Yesus.
Ibrani 5:1-10 berisi perbandingan antara imam besar dengan Kristus. Imam besar adalam pemimpin dari kelompok elit agama yang disebut para imam. Imam besar bukanlah orang sembarangan. Ia dipilih di antara manusia, ditetapkan bagi manusia dalam hubungan mereka dengan Allah: menjadi pengantara supaya ia mempersembahkan persembahan dan korban penebusan dosa. Ia memberikan korban penghapusan dosa bukan hanya untuk umat yang dipimpinnya melainkan juga untuk dirinya sendiri.
Seorang imam besar mempunyai tugas suci, yakni: menjadi pengantara antara umat dengan Allah. Seorang imam besar akan melakukan tugasnya terus berulang, minimal satu tahun sekali membawa korban penghapus dosa dan pendamaian berupa hewan korban yang disembelih. Berangkat dari pemahaman inilah penulis Ibrani menampilkan Yesus sebagai Imam Besar dengan cara baru. Cara keimamam baru dalam Yesus Kristus, Sang Imam Besar itu berlaku untuk selama-lamanya. Jika tradisi lama, umat datang memohon belas kasihan Allah, melalui ritus yang mengorbankan hewan dan dipimpin oleh imam besar. Kini, Allah sendiri hadir dalam diri Imam Besar Agung Yesus Kristus yang tidak membawa hewan korban, melainkan diri-Nya sendiri menjadi korban penebusan dosa dan pendamaian bagi umat manusia.
Apa yang diajarkan, dicontohkan dan diperagakan Yesus Kristus sebagai Imam Besar Agung itu seharusnya dimengerti, diikuti oleh Yohanes dan Yakobus serta murid-murid yang lain. Apa yang menjadi jalan Yesus untuk menjadi “yang besar” itu seharusnya dicontoh oleh kita sebagai pengikut dan umat tebusan-Nya. Bukan mengikuti cara dunia ini dalam meraih kekuasaan dan kehormatan!
Seorang Imam Besar menjadi pengantara, Ia menjadi wakil umat dan juga perwujudan Allah. Ia ada di ujung paling depan dan oleh karena itu sebagai umat, kita harus mengikuti-Nya. Imam Besar ada di depan dan kita di belakang bukan hanya sebagai pengikut, melainkan murid dan umat tebusan-Nya. Apa yang diajarkan dan diperagakan mestinya menjadi jalan baru dari kehidupan kita.
Yesus, Sang Imam Besar Keluargaku! Tema ini saya kira bukan slogan atau untuk gagah-gagahan saja. Melainkan sebuah komitmen bahwa dalam keluarga kita semua kiblat harus diarahkan kepada-Nya. Sehingga dalam keluarga akan tercermin sikap dan karakter rendah hati, suka melayani dan rela berkorban. Tidak ada lagi ruang untuk ngebosi, sok memerintah, ingin selalu menjadi prioritas, dan yang semacamnya. Jika saja keluarga-keluarga menjadikan apa yang diajarkan dan dicontohkan Sang Imam Besar Agung itu, besar harapan kita bahwa kekuasaan dunia ini akan berubah. Bukankah sebuah tatanan dunia ini pada awalnya bersumber dari keluarga?
Jakarta, 15 Oktober 2021