Jumat, 15 Oktober 2021

KRISTUS, IMAM BESAR KELUARGAKU

Meski pemilihan umum presiden dan wakilnya masih dua tahun lebih, namun aroma untuk menjadi orang nomor satu di negeri ini sudah mulai terendus. Survei-survei eletabilitas atau peluang tokoh-tokoh tertentu sudah mulai bertebaran dan menjadi ajang perdebatan. Ada yang malu-malu sambil menunggu dilamar oleh partai tertentu, ada yang terang-terangan ingin mencalonkan diri. Ya, bagaimana pun menjadi orang nomor satu merupakan impian banyak orang, mengenai bagaimana cara mendapatkannya adalah persoalan lain. Yang penting puncak kekuasaan itulah yang harus diraih!

 

Tujuan kebanyakan orang adalah sukses. Sukses ditandai dengan banyaknya harta, berkuasa memerintah banyak orang, pengakuan dan reputasi dalam kalangan masyarakat. Itulah kerinduan terdalam dari banyak anak manusia. Tanpa kecuali, para pengikut Yesus juga merindukan ini! 

 

Kedua anak Zebedeus: Yakobus dan Yohanes mulai mengetes kerelaan Yesus, lalu baru meminta. Entah karena kakak-beradik ini berasal dari keluarga nelayan yang cukup berada (Markus 1:19-20) atau karena mereka sering tampil dalam kelompok ini murid-murid, bahkan tradisi menyiratkan bahwa ada hubungan kerabat dengan Yesus sendiri, lalu mendorong mereka untuk merasa berhak diberi kedudukan tertinggi di samping Yesus. Mereka mengira bahwa perjalanan Yesus yang sebentar lagi sampai di Yerusalem adalah untuk mewujudkan kembali kerajaan Daud atau Salomo yang megah itu. Kedudukan di sebelah raja tidak hanya soal tempat kehormatan, tetapi juga posisi kekuasaan (Matius 19:28), posisi Menteri besar yang mengambil bagian dari kuasa raja dan membawahi semua orang yang lain. Tentu saja permintaan ini menimbulkan ketidak-senangan dari murid-murid yang lain. Tak seorang pun suka berada di bawah kuasa orang lain, meski itu teman dekat!

 

Kemarahan murid-murid yang lain seolah menandakan bahwa mereka juga menginginkan kekuasaan yang sama. Mereka marah sekaligus juga menampakkan bahwa mereka tidak menangkap maksud dan tujuan Yesus ke Yerusalem. Bentuk kepemimpinan yang sedang dilakoni dan diajarkan Yesus bukanlah seperti yang menjadi Hasrat manusia dalam kehidupan berpolitik untuk merebut kekuasaan dan sebuah negara. Pembesar dan penguasa sering kita saksikan meraih dan memerkokoh kuasanya untuk menjamin posisi dan kepentingannya sendiri: untuk dilayani!

 

Yesus menjawab persaingan di antara murid-Nya itu dengan mengajari mereka tentang hal “menjadi yang terbesar”. Sosok seorang pembesar dipertentangkan dengan model pemerintahan bangsa-bangsa, sosok para pejabat yang bertindak sebagai tuan besar yang harus dilayani rakyatnya. Kata kerja “bertindak sebagai tua… bertindak sewenang-wenang..” (Markus 10:42) menunjukkan kuasa otoriter yang digunakan oleh para pembesar untuk memerkokoh kekuasaan mereka dengan maksud agar rakyat terus melayani kepentingan mereka.

 

Cara para pengikut Yesus menjadi pembesar dalam jemaat mestinya berbanding terbalik dengan model pemerintahan bangsa-bangsa itu, yakni dengan cara menjadi pelayan. Seorang hamba atau pelayan “dimiliki” oleh jemaat, dan bukanlah mereka yang memiliki jemaat. Seorang pelayan akan memperhatikan kebutuhan orang-orang yang dilayaninya, tentunya dengan sadar dan rela mengorbankan kepentingannya sendiri. Seorang dapat mengerjakan tugasnya apabila dilandasi oleh karakter rendah hati. Masalahnya bagi kebanyakan orang tidak yakin bahwa kerendahan hati dapat menolong kita menjadi “orang besar”. Seperti yang dikatakan oleh Pdt. Sam Wells, “Kita takut jika kita rendah hati, kita akan diperalat, diinjak, dipermalukan, dan tidak diperhitungkan!” Kita takut dengan melayani orang lain, kita dipandang sebagai orang rendahaan!

 

Yesus tidak hanya sekedar memberi konsep dan pengajaran. Ia menghidupi apa yang diajarkan-Nya itu, “Karena Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang.” (Markus 10:45). Yesus, Anak Manusia yang berada dalam perjalanan menuju Yerusalem, menempuh jalan itu untuk menyerahkan hidup-Nya menjadi tebusan bagi semua orang. Yesus bukan hanya contoh bagi murid-murid-Nya tetapi juga tebusan bagi mereka dan bagi semua orang. Tebusan (Lutron) adalah apa yang perlu dibayar orang untuk membebaskan saudaranya yang menjadi tawanan atau budak dan tidak mampu membayar uang pembebasan itu sendiri (Keluaran 21:8). 

 

Lutron, dalam Perjanjian Baru beberapa puluh kali digunakan untuk mengungkapkan pembebasan kita karena darah Kristus. Anak Manusia itu menjadi tebusan bagi banyak orang. Artinya Yesus membebaskan semua manusia yang tidak mampu untuk membebaskan dirinya sendiri dari belenggu dosa dan murka Allah (Mazmur 49:8-9). Nyawa Yesus yang diserahkan atau darah-Nya yang dicurahkan menjadi seperti “uang tebusan” yang sudah dibayarkan bagi pembebasan kita semua. Di dalam Yesus telah digenapi nubuat tentang Hamba Tuhan yan mati bagi banyak orang (Yesaya 53:10-12).

 

Yesus tidak hanya memenuhi nubuat Nabi Yesaya tentang Hamba Tuhan yang menderita itu. Tebusan, korban dan darah adalah istilah-istilah yang tidak asing dalam kalangan orang Yahudi. Para imamlah begitu dekat dengan ritual yang berhubungan dengan kurban, darah dan tebusan. Sehingga dengan leluasa penulis Surat Ibrani menghubungkan dan membandingkan keimamam dalam tradisi Yahudi dengan Yesus.

 

Ibrani 5:1-10 berisi perbandingan antara imam besar dengan Kristus. Imam besar adalam pemimpin dari kelompok elit agama yang disebut para imam. Imam besar bukanlah orang sembarangan. Ia dipilih di antara manusia, ditetapkan bagi manusia dalam hubungan mereka dengan Allah: menjadi pengantara supaya ia mempersembahkan persembahan dan korban penebusan dosa. Ia memberikan korban penghapusan dosa bukan hanya untuk umat yang dipimpinnya melainkan juga untuk dirinya sendiri.

 

Seorang imam besar mempunyai tugas suci, yakni: menjadi pengantara antara umat dengan Allah. Seorang imam besar akan melakukan tugasnya terus berulang, minimal satu tahun sekali membawa korban penghapus dosa dan pendamaian berupa hewan korban yang disembelih. Berangkat dari pemahaman inilah penulis Ibrani menampilkan Yesus sebagai Imam Besar dengan cara baru. Cara keimamam baru dalam Yesus Kristus, Sang Imam Besar itu berlaku untuk selama-lamanya. Jika tradisi lama, umat datang memohon belas kasihan Allah, melalui ritus yang mengorbankan hewan dan dipimpin oleh imam besar. Kini, Allah sendiri hadir dalam diri Imam Besar Agung Yesus Kristus yang tidak membawa hewan korban, melainkan diri-Nya sendiri menjadi korban penebusan dosa dan pendamaian bagi umat manusia.

 

Apa yang diajarkan, dicontohkan dan diperagakan Yesus Kristus sebagai Imam Besar Agung itu seharusnya dimengerti, diikuti oleh Yohanes dan Yakobus serta murid-murid yang lain. Apa yang menjadi jalan Yesus untuk menjadi “yang besar” itu seharusnya dicontoh oleh kita sebagai pengikut dan umat tebusan-Nya. Bukan mengikuti cara dunia ini dalam meraih kekuasaan dan kehormatan!

 

Seorang Imam Besar menjadi pengantara, Ia menjadi wakil umat dan juga perwujudan Allah. Ia ada di ujung paling depan dan oleh karena itu sebagai umat, kita harus mengikuti-Nya. Imam Besar ada di depan dan kita di belakang bukan hanya sebagai pengikut, melainkan murid dan umat tebusan-Nya. Apa yang diajarkan dan diperagakan mestinya menjadi jalan baru dari kehidupan kita. 

 

Yesus, Sang Imam Besar Keluargaku! Tema ini saya kira bukan slogan atau untuk gagah-gagahan saja. Melainkan sebuah komitmen bahwa dalam keluarga kita semua kiblat harus diarahkan kepada-Nya. Sehingga dalam keluarga akan tercermin sikap dan karakter rendah hati, suka melayani dan rela berkorban. Tidak ada lagi ruang untuk ngebosi, sok memerintah, ingin selalu menjadi prioritas, dan yang semacamnya. Jika saja keluarga-keluarga menjadikan apa yang diajarkan dan dicontohkan Sang Imam Besar Agung itu, besar harapan kita bahwa kekuasaan dunia ini akan berubah. Bukankah sebuah tatanan dunia ini pada awalnya bersumber dari keluarga?

 

Jakarta, 15 Oktober 2021 

 

 

Kamis, 07 Oktober 2021

KELUARGA YANG HIDUP DALAM PEMULIHAN

Pulih adalah sebuah kata yang menandakan segala sesuatu menjadi baik kembali. Saya sakit, setelah mendapatkan perawatan, terapi dan tentunya doa, maka setelah beberapa hari saya sehat kembali, tubuh menjadi enak dan nyaman. Itulah pulih! Sedangkan “pemulihan” mempunyai makna: sebuah proses, cara, atau perbuatan yang dilakukan agar keadaan kembali menjadi baik; seperti sedia kala. Pemulihan adalah tindakan pengembalian agar keadaan yang buruk menjadi baik lagi.

 

Ada beberapa hal yang memudahkan proses pemulihan itu. Antara lain: 

1.   Sadar diri bahwa ada sesuatu yang tidak beres dalam diri kita.

Banyak orang merasa hidupnya baik-baik saja. Tidak ada masalah! Padahal, orang lain melihat dirinya sebagai sumber masalah baik dalam keluarga, pelayanan, pekerjaan, maupun masyarakat. Banyak orang, mungkin juga termasuk kita memandang bahwa orang lainlah yang bermasalah, merekalah yang tidak mengerti dan memahami diri kita. Dalam keluarga kita sering kesal, kecewa dan marah. Lalu menganggap biang keroknya adalah sikap pasangan, anak, atau orang tua yang tidak mau mengerti diri kita. Padahal, jika ditelisik bisa jadi justru kitalah yang kelewat egois dan tidak mau mengerti orang lain. 

 

Kalau kesadaran diri tidak ada; kalau kita merasa diri baik-baik saja atau bahkan paling baik, jelas selamanya kita akan begitu. Apa yang diperlukan dalam kondisi seperti ini: introspeksi diri dan belajar untuk rendah hati. Belajar untuk memahami orang lain. Berhenti sejenak lalu lihat kembali segala ambisi, idealisme, tutur kata, dan sikap kita. Coba bayangkan jika kondisinya di balik. Apakah kita juga nyaman dengan perilaku yang selama ini kita lakukan.

  

2.   Menemukan akar masalah dari ketidak-beresan itu.

Dalam perenungan dan introspeksi diri, berdoa mohon Tuhan menolong untuk menemukan akar permasalahan yang terjadi. Jika saja kita temukan akar masalahnya adalah diri kita sendiri, yakni keegoisan dan keangkuhan kita maka jangan keraskan hati kita. Benar, biasanya faktor gengsi yang membuat kita tidak ingin berubah. “Iya, memang saya seperti ini, terus mengapa?”, biasanya ungkapan-ungkapan seperti ini menandakan bahwa kita nyaman dengan ketidak-nyamanan kita. Kita tahu akar masalahnya - meski dengan itu dapat merusak hubungan kita dengan anggota keluarga lainnya - kita memilih bergeming. Artinya, kita “menikmati” ketidak-nyamanan itu. Padahal, kita tahu keadaan itu bisa berubah, asalkan kita mau rendah hati!

 

3.   Adanya kemauan untuk dipulihkan.

Tidak semua orang, meski tahu keadaan ideal itu namun enggan membayar harga. Artinya memilih untuk bergeming dan tidak mau dipulihkan. Ada beberapa hal yang dapat kita lakukan untuk beranjak dari kondisi nyaman dengan ketidak-nyamanan. Pertama, lihatlah kondisi sekarang. Apakah harus berlangsung terus seperti ini? Apakah komunikasi yang buruk, hubungan yang tidak harmonis, dan dampaknya bagi seisi rumah merasa tidak betah, harus dipertahankan?

 

Kedua, lihatlah masa depan yang cerah, yang lebih baik di mana kasih mesra dapat dirasakan oleh seluruh anggota keluarga apabila kita mau menanggalkan sikap egois dan mau menang sediri! Lihatlah, bagaimana kehidupan yang manis itu akan mewarnai rumah kita, anak-anak akan betah berada di rumah, senda-gurau akan mewarnai kehidupan keluarga kita meski mungkin secara materi hidup kita pas-pasan. Bukankah ini jauh lebih indah dan membahagiakan?

 

4.   Obat dan terapi yang tepat untuk pemulihan itu.

Firman Tuhan menyediakan banyak obat dan terapi untuk pemulihan. Tinggal kita mau belajar menerapkannya atau tidak. Ada banyak orang tahu bahkan bukan hanya tahu tetapi mengerti firman, namun enggan untuk menerapkan dalam kehidupannya oleh karena mereka berpikir bahwa dengan melakukan firman itu ada kerugian yang bisa tanggung. 

 

Hal ini seumpama orang yang mengeluh karena sakit yang dideritanya. Kemudian ia pergi ke dokter untuk dapat diperiksa dan diobati. Dokter memeriksanya dengan cermat lalu ia memberikan resep obat untuk ditebus di apotek. Si pasien kembali ke rumah, ia menyuruh anaknya membelikan obat sesuai dengan resep itu. Obatnya sudah tersedia, tetapi kemudian si pasien mempunyai pertimbangan lain dan memilih untuk tidak memakan obat itu.

 

Bacaan Injil hari ini: Yesus memberikan resep kepada seorang yang hartanya banyak. Resep untuk mendapatkan hidup yang kekal. Namun, orang ini menolak. Ia kecewa dan sedih, lalu pergi meninggalkan Yesus. Mengapa? Karena hartanya banyak! (Markus 10:22) Berhadapan dengan firman Tuhan, maka sebenarnya kita sedang diperhadapkan dengan egoisme diri.

 

Orang kaya yang datang menghadap Yesus ini sebenarnya menyadari ada sesuatu yang belum beres yang harus dipulihkan dalam hidupnya. Ia merasa bahwa seluruh upaya ibadah dalam hidupnya masih ada yang kurang untuk mendapatkan hidup yang kekal. Maka dengan kesadaran itu ia ingin mencari tahu dan datang kepada Yesus, “Guru yang baik, apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?”

 

Bak seorang dokter yang sedang mendiagnosa pasiennya, Yesus memeriksa dengan bertanya sesuai dengan kaidah Taurat: “Engkau tentu mengetahui segala perintah Allah: jangan membunuh, jangan berzinah, jangan mencuri, jangan mengucapkan saksi dusta, jangan mengurangi hak orang, hormatilah ayah dan ibumu!” (Markus 10:19). CT-Scan ini ternyata lolos: “Guru, semuanya itu telah kuturuti sejak masa mudaku!” (Markus 10:20). Orang ini bersih dan telah melakukan segala tuntutan Hukum Taurat. Luar biasa!

 

Namun, Tabib di atas segala tabib ini berhasil menemukan akar masalah, “sakit” yang diderita oleh orang kaya yang datang kepada-Nya. Dan to the point Ia menyampaikan resepnya: “Hanya satu kekuranganmu: pergilah, juallah apa yang kau miliki dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di surga, kemudian datanglah kemari dan ikutlah Aku.” (Markus 10:21) Resep itu jelas. Resep itu menjawab apa yang menjadi kegelisahannya, namun tampaknya ia lebih memilih hartanya!

 

Percakapan antara Yesus dan seorang yang kaya ini menghadapkan kita pada dua pilihan. Pertama, berusaha hidup dalam tuntutan syareat Taurat. Kedua, menyerahkan diri pada penyelenggaraan ilahi dan bimbingan Yesus, pada saat yang sama melepaskan keegoisan diri yang dapat menghalangi relasi dengan Tuhan, khususnya harta kekayaan. Cara hidup berserah kepada Tuhan ini akan membuka relasi baru dengan sesama manusia: Bukan hanya tidak melanggar hak mereka (seperti diperingatkan Tuhan melalui Nabi Amos dalam bacaan pertama). Tetapi juga mengembangkan sikap berbelas kasih, berbelarasa dan solider terhadap sesama.

 

Benar, pola hidup seperti ini sulit, pun jika diterapkan dalam kehidupan keluarga. Pola hidup seperti ini mustahil bagi manusia yang cenderung mempertahankan nyawanya sendiri (mempertahankan nyawa = memperjuangkan keinginan, ambisi dan egosentrisme). Mustahil sama seperti unta masuk lubang jarum. Harta kekayaan bila menjadi andalan orang, ia akan menjadi penghalang untuk mengikut Yesus dan menyambut Kerajaan Allah. Bukan hanya kekayaan yang dapat menjadi penghalang. Bisa juga kekuasaan, kedudukan, gengsi, hobi, ambisi dan yang semacamnya. Kita hanya bisa mengharapkan rahmat Allah yang mampu mengerjakan dalam diri kita apa yang mustahil itu sehingga dapat kita lakukan.

 

Tentu saja kita menginginkan keluarga kita mengalami pemulihan. Resepnya sudah Tuhan berikan kepada kita. Maksud saya bukan berarti pulang dari kebaktian ini Anda menjual seluruh harta Anda. Bukan begitu, tapi tanggalkanlah keegoisan diri. Buanglah segala yang melekat pada diri kita yang berpotensi menjauhkan relasi kita dari Tuhan dan sesama. Jangan bicara tidak mungkin atau mustahil, sebab bagi Tuhan tidak ada yang mustahil. Masalahnya sekarang tinggal mau atau tidak?

 

Jakarta, 7 Oktober 2021