Kamis, 07 Oktober 2021

KELUARGA YANG HIDUP DALAM PEMULIHAN

Pulih adalah sebuah kata yang menandakan segala sesuatu menjadi baik kembali. Saya sakit, setelah mendapatkan perawatan, terapi dan tentunya doa, maka setelah beberapa hari saya sehat kembali, tubuh menjadi enak dan nyaman. Itulah pulih! Sedangkan “pemulihan” mempunyai makna: sebuah proses, cara, atau perbuatan yang dilakukan agar keadaan kembali menjadi baik; seperti sedia kala. Pemulihan adalah tindakan pengembalian agar keadaan yang buruk menjadi baik lagi.

 

Ada beberapa hal yang memudahkan proses pemulihan itu. Antara lain: 

1.   Sadar diri bahwa ada sesuatu yang tidak beres dalam diri kita.

Banyak orang merasa hidupnya baik-baik saja. Tidak ada masalah! Padahal, orang lain melihat dirinya sebagai sumber masalah baik dalam keluarga, pelayanan, pekerjaan, maupun masyarakat. Banyak orang, mungkin juga termasuk kita memandang bahwa orang lainlah yang bermasalah, merekalah yang tidak mengerti dan memahami diri kita. Dalam keluarga kita sering kesal, kecewa dan marah. Lalu menganggap biang keroknya adalah sikap pasangan, anak, atau orang tua yang tidak mau mengerti diri kita. Padahal, jika ditelisik bisa jadi justru kitalah yang kelewat egois dan tidak mau mengerti orang lain. 

 

Kalau kesadaran diri tidak ada; kalau kita merasa diri baik-baik saja atau bahkan paling baik, jelas selamanya kita akan begitu. Apa yang diperlukan dalam kondisi seperti ini: introspeksi diri dan belajar untuk rendah hati. Belajar untuk memahami orang lain. Berhenti sejenak lalu lihat kembali segala ambisi, idealisme, tutur kata, dan sikap kita. Coba bayangkan jika kondisinya di balik. Apakah kita juga nyaman dengan perilaku yang selama ini kita lakukan.

  

2.   Menemukan akar masalah dari ketidak-beresan itu.

Dalam perenungan dan introspeksi diri, berdoa mohon Tuhan menolong untuk menemukan akar permasalahan yang terjadi. Jika saja kita temukan akar masalahnya adalah diri kita sendiri, yakni keegoisan dan keangkuhan kita maka jangan keraskan hati kita. Benar, biasanya faktor gengsi yang membuat kita tidak ingin berubah. “Iya, memang saya seperti ini, terus mengapa?”, biasanya ungkapan-ungkapan seperti ini menandakan bahwa kita nyaman dengan ketidak-nyamanan kita. Kita tahu akar masalahnya - meski dengan itu dapat merusak hubungan kita dengan anggota keluarga lainnya - kita memilih bergeming. Artinya, kita “menikmati” ketidak-nyamanan itu. Padahal, kita tahu keadaan itu bisa berubah, asalkan kita mau rendah hati!

 

3.   Adanya kemauan untuk dipulihkan.

Tidak semua orang, meski tahu keadaan ideal itu namun enggan membayar harga. Artinya memilih untuk bergeming dan tidak mau dipulihkan. Ada beberapa hal yang dapat kita lakukan untuk beranjak dari kondisi nyaman dengan ketidak-nyamanan. Pertama, lihatlah kondisi sekarang. Apakah harus berlangsung terus seperti ini? Apakah komunikasi yang buruk, hubungan yang tidak harmonis, dan dampaknya bagi seisi rumah merasa tidak betah, harus dipertahankan?

 

Kedua, lihatlah masa depan yang cerah, yang lebih baik di mana kasih mesra dapat dirasakan oleh seluruh anggota keluarga apabila kita mau menanggalkan sikap egois dan mau menang sediri! Lihatlah, bagaimana kehidupan yang manis itu akan mewarnai rumah kita, anak-anak akan betah berada di rumah, senda-gurau akan mewarnai kehidupan keluarga kita meski mungkin secara materi hidup kita pas-pasan. Bukankah ini jauh lebih indah dan membahagiakan?

 

4.   Obat dan terapi yang tepat untuk pemulihan itu.

Firman Tuhan menyediakan banyak obat dan terapi untuk pemulihan. Tinggal kita mau belajar menerapkannya atau tidak. Ada banyak orang tahu bahkan bukan hanya tahu tetapi mengerti firman, namun enggan untuk menerapkan dalam kehidupannya oleh karena mereka berpikir bahwa dengan melakukan firman itu ada kerugian yang bisa tanggung. 

 

Hal ini seumpama orang yang mengeluh karena sakit yang dideritanya. Kemudian ia pergi ke dokter untuk dapat diperiksa dan diobati. Dokter memeriksanya dengan cermat lalu ia memberikan resep obat untuk ditebus di apotek. Si pasien kembali ke rumah, ia menyuruh anaknya membelikan obat sesuai dengan resep itu. Obatnya sudah tersedia, tetapi kemudian si pasien mempunyai pertimbangan lain dan memilih untuk tidak memakan obat itu.

 

Bacaan Injil hari ini: Yesus memberikan resep kepada seorang yang hartanya banyak. Resep untuk mendapatkan hidup yang kekal. Namun, orang ini menolak. Ia kecewa dan sedih, lalu pergi meninggalkan Yesus. Mengapa? Karena hartanya banyak! (Markus 10:22) Berhadapan dengan firman Tuhan, maka sebenarnya kita sedang diperhadapkan dengan egoisme diri.

 

Orang kaya yang datang menghadap Yesus ini sebenarnya menyadari ada sesuatu yang belum beres yang harus dipulihkan dalam hidupnya. Ia merasa bahwa seluruh upaya ibadah dalam hidupnya masih ada yang kurang untuk mendapatkan hidup yang kekal. Maka dengan kesadaran itu ia ingin mencari tahu dan datang kepada Yesus, “Guru yang baik, apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?”

 

Bak seorang dokter yang sedang mendiagnosa pasiennya, Yesus memeriksa dengan bertanya sesuai dengan kaidah Taurat: “Engkau tentu mengetahui segala perintah Allah: jangan membunuh, jangan berzinah, jangan mencuri, jangan mengucapkan saksi dusta, jangan mengurangi hak orang, hormatilah ayah dan ibumu!” (Markus 10:19). CT-Scan ini ternyata lolos: “Guru, semuanya itu telah kuturuti sejak masa mudaku!” (Markus 10:20). Orang ini bersih dan telah melakukan segala tuntutan Hukum Taurat. Luar biasa!

 

Namun, Tabib di atas segala tabib ini berhasil menemukan akar masalah, “sakit” yang diderita oleh orang kaya yang datang kepada-Nya. Dan to the point Ia menyampaikan resepnya: “Hanya satu kekuranganmu: pergilah, juallah apa yang kau miliki dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di surga, kemudian datanglah kemari dan ikutlah Aku.” (Markus 10:21) Resep itu jelas. Resep itu menjawab apa yang menjadi kegelisahannya, namun tampaknya ia lebih memilih hartanya!

 

Percakapan antara Yesus dan seorang yang kaya ini menghadapkan kita pada dua pilihan. Pertama, berusaha hidup dalam tuntutan syareat Taurat. Kedua, menyerahkan diri pada penyelenggaraan ilahi dan bimbingan Yesus, pada saat yang sama melepaskan keegoisan diri yang dapat menghalangi relasi dengan Tuhan, khususnya harta kekayaan. Cara hidup berserah kepada Tuhan ini akan membuka relasi baru dengan sesama manusia: Bukan hanya tidak melanggar hak mereka (seperti diperingatkan Tuhan melalui Nabi Amos dalam bacaan pertama). Tetapi juga mengembangkan sikap berbelas kasih, berbelarasa dan solider terhadap sesama.

 

Benar, pola hidup seperti ini sulit, pun jika diterapkan dalam kehidupan keluarga. Pola hidup seperti ini mustahil bagi manusia yang cenderung mempertahankan nyawanya sendiri (mempertahankan nyawa = memperjuangkan keinginan, ambisi dan egosentrisme). Mustahil sama seperti unta masuk lubang jarum. Harta kekayaan bila menjadi andalan orang, ia akan menjadi penghalang untuk mengikut Yesus dan menyambut Kerajaan Allah. Bukan hanya kekayaan yang dapat menjadi penghalang. Bisa juga kekuasaan, kedudukan, gengsi, hobi, ambisi dan yang semacamnya. Kita hanya bisa mengharapkan rahmat Allah yang mampu mengerjakan dalam diri kita apa yang mustahil itu sehingga dapat kita lakukan.

 

Tentu saja kita menginginkan keluarga kita mengalami pemulihan. Resepnya sudah Tuhan berikan kepada kita. Maksud saya bukan berarti pulang dari kebaktian ini Anda menjual seluruh harta Anda. Bukan begitu, tapi tanggalkanlah keegoisan diri. Buanglah segala yang melekat pada diri kita yang berpotensi menjauhkan relasi kita dari Tuhan dan sesama. Jangan bicara tidak mungkin atau mustahil, sebab bagi Tuhan tidak ada yang mustahil. Masalahnya sekarang tinggal mau atau tidak?

 

Jakarta, 7 Oktober 2021

Tidak ada komentar:

Posting Komentar