Kamis, 02 September 2021

KETABAHAN DALAM BERHARAP

Pernahkah Anda bertanya, “Mengapa orang yang punya bakat alami sering kali gagal mencapai potensi mereka, sementara orang lain yang tidak terlalu berbakat - biasa-biasa saja - justru bisa menggapai hal-hal yang menakjubkan?”

 

Angela Duckworth - seorang psikolog perintis - dalam bukunya setebal 400 halam lebih, GRIT: The Power of Passion and Perseverance, menunjukkan bahwa rahasia untuk pencapaian yang luar biasa bukanlah bakat, tetapi perpaduan istimewa antara Hasrat (passion) dan kegigihan (perseverance) yang ia sebut sebagai “ketabahan” (grit).

 

Berdasarkan penelitiannya melalui pelbagai metode, wawancara dengan orang-orang yang berprestasi tinggi, serta pengalamannya sendiri, Duckworth menunjukkan bahwa kecenderungan kita terpaku hanya pada bakat alam, itu salah: dari segi pencapaian, yang lebih penting adalah usaha yang kita lakukan dan reaksi kita terhadap hambatan yang terjadi dalam mencapai sesuatu. Kemudian Duckworth menjelaskan bahwa ketabahan itu bisa dipelajari sekaligus menawarkan rumusan baru bagi keberhasilan baik individu atau pun kesuksesan kolektif.

 

Tingkat ketabahan seseorang akan terlihat ketika ia berhadapan dengan tantangan atau kesulitan. Apakah ia cukup bertahan dan sanggup menghadapinya atau bertekuk lutut sambil mengeluh dan menyalahkan pihak atau orang lain? Paul G Stoltz menyebut daya tahan menghadapi tantangan itu dengan Adversity Quotient (AQ). Menurutnya ada tiga tingkatan kecerdasan seseorang dalam menghadapi kesulitan. Tingkat pertama, Quiter adalah orang yang berhenti mencapai tujuan ketika kesulitan datang menghampirinya. Dia memutuskan berhenti dan menyerah. 

 

Kelompok kedua, Campers (sifat orang yang berkemah). Kelompok ini punya daya tahan yang sedang-sedang saja. Mereka puas dengan pencapaian yang selama ini diperolehnya. Kelompok ini tidak menyukai tantangan. Ibarat pendaki yang di tengah perjalanan enggan meneruskan mencapai puncak karena mereka lihat ada banyak kesulitan yang harus dilalui. Mereka memilih memasang tenda dan cukup berkemah di lereng gungung.

 

Kelompok terakhir adalah Climbers, sifat seorang pendaki gunung sejati. Climbers  adalah orang-orang yang memiliki AQ tinggi dengan kemampuan dan kecerdasannya untuk dapat menghadapi kesulitan. Mereka menjadikan kesulitan itu sebagai kesempatan merahi sesuatu yang bernilai tinggi.

 

Jika kita amati apa yang dikemukakan oleh Duckworth dan Stoltz bukan hanya terjadi di dunia science, bisnis, pendidikan, entrepreuner dan sejenisnya. Namun, bisa kita jumpai dalam kehidupan iman atau spiritualitas kita. Ada kelompok orang yang mulanya antusias menyambut mendengar firman Tuhan. Ia yakin sekali dengan imannya bahwa Tuhan mengasihi dan memanggilnya dalam ladang pelayanan. Namun, ketika tantangan menghadangnya, ada orang mempertanyakan dan mengkritik pelayanannya atau keinginan dalam doanya tidak terjawab, ia memilih untuk berhenti. Ya, bukan hanya berhenti dari pelayanan tetapi juga dari keanggotaan gereja bahkan memilih meninggalkan Tuhan! 

 

Ketabahan dan pengharapan adalah hal yang penting dalam kehidupan iman, bahkan ia merupakan ekspresi iman itu sendiri. Dalam bacaan pertama minggu ini, kita melihat sang nabi harus terus mengingatkan Israel untuk tidak berhenti dalam ketabahan dan berharap. Pembuangan memang menyakitkan namun ketika mereka mampu bertahan, mereka akan melihat pemulihan itu bakal terjadi. Sebentar lagi mereka akan melihat pemulihan itu terjadi. Yang diminta Sang Nabi hanya satu, bahwa umat TUHAN itu jangan tawar hati (Yes.35:4). Hal ini sangat berbeda kalau dibandingkan dengan perempuan Siro-Fenesia (bacaan ketiga). Kita dapat menemukan gambar ketabahan yang begitu baik ketika ia memerjuangkan pemulihan bagi anaknya. 

 

Tradisi teologi kita menyimpulkan bahwa pembuangan Israel ke Babel adalah bagian hukuman dari Allah. Padahal tidak serta-merta Allah menjatuhkan penghukuman. Pasti ada sebabnya. Dan, sebelum memberikan penghukuman itu, Allah melalui para nabi-Nya memberikan peringatan. Berulang kali peringatan itu tidak digubris dan akhirnya malapetaka itu tiba. Penghukuman Allah berlangsung, mereka hidup dalam pembuangan. Meski demikian, melalui para nabi-Nya – termasuk Yesaya – tidak hanya menyampaikan kabar duka; penghukuman. Tetapi juga kabar baik, yakni pemulihan. Hanya saja umat diajak untuk terus tabah menantikan zaman pemulihan itu.

 

Yesaya 35: 4-7 berada dalam konteks berita pemulihan. Sang Nabi berseru kepada mereka yang tidak hanya cemas dan tawar hati, melainkan juga putus asa bahkan lemah, lesu tiada pengharapan! Jika kita baca, ayat 5-10 merupakan puncak berita kenabian yang memandang ke masa depan orang-orang beriman. Pesan ini jelas-jelas memberikan penghiburan, harapan dan kesukaan yang unik dan luar biasa. Oleh karena itu sering para pakar menyimpulkan bahwa bagian ini merupakan penutup dari Yesaya I, yang pada intinya berita kabar baik (Injil) yang dapat membangkitkan iman dan harapan yang gemilang bagi umat yang sedang dalam penderitaan dalam konteks zamannya. Dari pihak umat hanya diminta adanya iman yang teguh, jangan bimbang dan takut serta terus tabah menanti pembebasan dan pelepasan dari belenggu penderitaan itu.

 

Tanda-tanda dari pemulihan itu menunjuk pada pemulihan yang nyata. Pertama-tama disebutkan kelepasan bagi golongan orang-orang dengan kelemahan fisik permanen dan tidak mungkin dapat disembuhkan lagi secara normal. Mereka diwakili oleh orang-orang buta, tuli, lumpuh dan bisu. Kelemahan-kelemahan fisik seperti itu menunjukkan keadaan manusia yang tidak berdaya sama sekali, selain hanya merindukan belas kasihan orang atau pihak lain. Kelepasan dari kelemahan fisik ini dipandang penting sekali. Mengapa? Ya, tentu saja karena mereka tidak bisa bergerak dengan leluasa. Pastilah untuk pemulihan itu Israel menanti dan berharap. Namun, seberapa tabah mereka hidup dalam pengharapan itu jelaslah ini merupakan perkara yang lain.

 

Relatif lama kurun waktu yang dijalani Israel kalau kita menghubungkan pewartaan Sang Nabi dengan penggenapannya melalui apa yang dilakukan oleh Yesus. Ada rentang waktu sekitar tujuh abad antara zaman Raja Ahas atau Hizkia di mana Sang Nabi bernubuat sampai kepada Yesus. Ya, tentu saja dalam kurun waktu yang panjang itu, Allah dengan pelbagai cara menghibur dan menguatkan.

 

Penggenapan pemulihan itu terjadi dalam karya Yesus. Mengapa kita yakin bahwa nubuat Nabi Yesaya ini sepenuhnya dinyatakan di dalam Yesus? Ya, karena kita melihat Yesus mengerjakan pemulihan itu dengan detil. Ia menyembuhkan banyak orang dengan kelemahan fisik yang pada zaman-Nya sulit untuk dikembalikan pada kondisi normal: buta dicelikkan, orang lumpuh berjalan, bisu dan tuli dibebaskan. Lengkap! Maka tidaklah mengherankan kalau karya-Nya dinanti banyak orang. Namun, meski demikian ada kelompok-kelompok Yahudi tidak bisa menerima-Nya. Alih-alih bersyukur atas penggenapan zaman baru yang sedang terjadi, mereka sibuk mencari celah untuk menolak dan menyingkirkan-Nya.

 

Yesus pergi ke daerah Tirus tepat setelah terjadi perdebatan sengit dengan sekelompok orang Farisi tentang adat istiadat Yahudi. Hengkangnya Yesus ke Tirus yang notabene daerah non-Yahudi dan di sana Ia menemukan seorang perempuan dengan keteguhan iman yang luar biasa.  Momen ini seolah mau mengkonfirmasi kebenaran ajaran-Nya bahwa bukan dengan menaati sejumlah peraturan seseorang itu disebut lebih saleh atau lebih beriman dan bisa mengatur keberpihakan Allah. Tidak! Melainkan seberapa teguhnya dia percaya dan mewujudkannya dalam sebuah tindakan. Hal ini ditampilkan dalam drama perjumpaan Yesus dengan seorang ibu yang berjuang agar anaknya yang kerasukan setan dapat dipulihkan oleh Yesus.

 

Semula Yesus berharap bahwa kedatangan-Nya ke Tirus tidak diketahui oleh banyak orang. Namun ternyata keberadaan-nya di sana tidak dapat dirahasiakan. Yesus menjadi seorang Guru dan penyembuh yang terkenal, bahkan sampai ke negeri “asing”. Berita kedatangan itu segera tersebar ke seluruh penjuru kota.  Di antara orang yang mendengar kedatangan-Nya, ada seorang perempuan Yunani keturunan Siro-Fenesia. Ini artinya, si perempuan itu tidak berkebangsaan Yunani, tetapi berkebudayaan Yunani. Anak perempuannya menderita akibat kerasukan roh jahat. 

 

Begitu mendengar kedatangan Yesus, Sang Ibu bergegas menemui-Nya. Sudah dapat diduga, ia telah banyak mendengar “kehebatan” Yesus sebagai seorang penyembuh. Tentu saja ia datang dengan penuh pengharapan bahwa Yesus akan menyembuhkan anaknya dengan mengusir roh jahat itu.

 

Apa yang terjadi ketika Sang Ibu ini menyampaikan pengharapannya? Yesus justru menjawabnya, “Biarlah anak-anak kenyang dahulu, sebab tidak patut mengambil roti yang disediakan bagi anak-anak dan melemparkannya kepada anjing.” Terdengar kasar dan cenderung menolak. Apa arti sebenarnya dari ungkapan ini? Apakah Yesus benar-benar menghina perempuan itu dengan menyebutnya anjing? Apakah Dia benar-benar seperti kebanyakan orang-orang Yehudi yang memilah bahwa orang-orang di luar komunitas mereka sebagai orang-orang yang najis?

 

Bagi orang Yahudi, anjing termasuk binatang najis. Mereka tidakakan membiarkan anjing masuk ke rumahnya dan berbaring di bawah meja makan, sementara ia dan anak-anaknya sedang makan. Kalimat jawaban yang dilontarkan Yesus jelas tidak diambil dari konteks apalagi kebiasaan orang Yahudi, sebab pastilah mereka tidak akan makan sementara di dekatnya ada seekor anjing. Yesus seringkali menggunakan pengalaman atau tepatnya konteks budaya dari orang yang sedang diajak bicara dengan-Nya. 

 

Perempuan ini seorang Yunani berkebangsaan Siro-Fenisia. Perumpamaan yang diucapkan Yesus itu diambil dari kebiasaan orang Yunani – bukan Yahudi – yang menganggap anjing bukanlah binatang yang najis, melainkan peliharaan yang biasa ada di dalam rumah. Jadi, perempuan ini tentu saja tidak merasa terhina dan Yesus tidak bermaksud menghinanya.

 

Yesus pernah mengatakan bahwa Ia diutus untuk menyelamatkan domba-domba yang hilang di antara orang Israel (Matius 15:24). Ia datang pertama-tama untuk orang Israel. Hal ini juga yang menjadi alasan bagi Paulus dalam pewartaannya mencari rumah ibadat orang Yahudi lebih dahulu. Kalau diterima ia mengajar di situ, kalau tidak ia pergi dan mengajar kepada orang-orang bukan Yahudi. Maksud perumpamaan yang Yesus sampaikan kepada Sang Ibu itu ialah: biarlah orang-orang Yahudi dahulu mengalami semua yang diwartakan Yesus, setelah itu barulah bangsa-bangsa yang lain. Masalahnya, apakah perempuan ini memahami soal bahwa Yesus harus datang untuk orang Israel lebih dahulu? Kemungkinan besar tidak! Tetapi kalau bicara soal rumah tangga dan keprihatinan terhadap anak, para ibu adalah ahlinya.

 

Perempuan itu menanggapi perumpamaan Yesus dalam arti praktis, bukan teologis. Ia menjawabnya, “Benar, Tuhan. Tetapi anjing yang di bawah meja juga makan remah-remah yang dijatuhkan anak-anak” (ay.30). Ia memang menyampaikan apa yang terjadi dalam kehidupan nyata. Benar bahwa orang tidak akan mengambil makanan yang disediakan untuk anak-anak dan memberikannya kepada anjing. Jika demikian, anak-anak tidakakan bisa makan, tetapi anjinglah yang akan makan dan kenyang. Hal seperti ini tidak pantas dilakukan; anak-anak yang harus didahulukan ketimbang anjing. Baru setelah mereka kenyang, sisa makanan bisa diberikan kepada anjing-anjing itu. Tetapi anjing di bawah meja memakan remah-remah yang dijatuhkan anak-anak.

 

Walaupun perempuan ini kemungkinan besar tidak memahami perumpamaan Yesus dalam konteks Yahudi, tetapi jelaslah ia menempatkan diri pada posisi “anjing”, dan dalam posisi seperti itu ia tidak merasa terhina. Ia menantikan dengan aktif kalau-kalau ada remah yang dijatuhkan oleh “anak-anak tuannya”. Ia sudah cukup puas menerima remah-remah itu. Remah-remah itu lebih dari cukup untuk memulihkan anaknya yang sedang menderita. Sang Ibu ini menunjukkan bukan hanya ia punya keyakinan dan pengharapan bahwa Yesus sangat mampu memulihkan kondisi anaknya, tetapi juga ia punya daya tahan atau dalam bahasa Paul G Stoltz sebagai Adversity Quotient  yang tinggi. Dampaknya, tidak lekas menyerah!

 

Bagi Yesus perkataan perempuan itu menunjukkan kepercayaan atau iman. Iman yang dinyatakan dalam tindakan yang tidak mudah menyerah. Iman yang menurut Yakobus terlihat dalam tindakan atau perbuatan, karena iman tanpa perbuatan pada hakikatnya adalah mati. Dampaknya, luar biasa. Dasyat! Yesus mengatakan kepadanya bahwa setan telah keluar dari anaknya. Mendengar perkataan Yesus, perempuan itu segera pulang. Ia mendapati anaknya berbaring di tempat tidur dan tidak ada lagi setan yang merasukinya.

 

Bagaimana dengan iman kita? Setangguh ap akita tetap berharap kepada Tuhan khususnya dalam masa pandemik yang belum juga kunjung reda? Tabah, berserah dan terus berharap itulah yang memungkinkan kita dapat melihat secercah cahaya dalam kegelapan atau kehidupan di balik bayang-bayang kematian.



Jakarta, 2 September 2021

 

 

 

Kamis, 26 Agustus 2021

HIDUP BERIMAN YANG BENAR

Dunia yang diciptakan Tuhan dengan sungguh amat baik dibagi dua oleh para ahli agama; oleh ahli Taurat dan orang Farisi. Sebagian makhluk Tuhan dinilai tahir dan sebagiannya haram, najis dan harus dijauhi. Pembelahan dunia semacam ini menimbulkan masalah bagi jemaat perdana, umpamanya terekam dalam Galatia 2:11-14. Orang Kristen - Yahudi yang taat hukum Taurat tidak akan boleh duduk semeja atau beribadat bersama dengan orang Kristen yang bukan keturunan Yahudi, selama mereka ini belum disunat.

 

Satu keyakinan ahli Taurat dan orang-orang Farisi ibadah itu bagian terpenting dalam kehidupan mereka selaku umat pilihan Allah. Ibadah - tentu saja dalam hal harus diartikan ibadah ritual formal - merupakan unsur hakiki umat Allah. Setiap orang harus mengambil bagian dalam ibadah untuk dapat terhubung dengan TUHAN, Allah mereka. Pada hakikatnya, ibadah itu ditetapkan oleh Allah sendiri, dan karena itu dipandang sebagai karunia Allah yang dianugerahkan kepada umat-Nya. Berkat ibadah yang suci ini, umat dapat mendekati Allah untuk menyembah-Nya dan bersekutu dengan Dia. Supaya layak mengambil bagian dalam ibadah, umat harus menjaga diri agar tetap menjadi bersih.

 

Mengapa mereka harus menjaga agar tetap bersih? Ya, sebab Allah yang kepada-Nya mereka menghadap adalah Allah yang kudus. Karena itu hanya orang-orang yang bersih sajalah yang layak menghampiri kekudusan-Nya. Sebaliknya, setiap orang yang tidak bersih atau tidak tahir, tidak layak untuk menghadap Allah dalam ibadah itu. Mereka yang layak disebut tahir dan yang dipandang kotor itu disebut najis!

 

Lalu apa kriteria seseorang disebut tahir dan yang lain disebut najis? Hukum Taurat memuat hukum kenajisan, yang di dalamnya diuraikan hal apa saja yang membuat seseorang najis sehingga tidak boleh disentuh. Seseorang disebut najis bila bersentuhan dengan mayat atau kotoran yang berasal dari salah satu cairan yang keluar dari dalam tubuh manusia. Seseorang disebut dalam keadaan najis juga apabila memakan makanan yang diharamkan, dan karena penyakit kusta. Para petugas ibadat, yakni para imam, memiliki wewenang untuk menetapkan kapan seseorang menjadi najis dan untuk menyelanggarakan upacara pentahiran.

 

Ketika tahir- najis sebegitu rupa menjadi “hitam-putih”, justru Yesus tampil terkesan melonggarkan bahkan tidak menjauhi orang-orang yang dalam Hukum Taurat dipandang najis. Bagi-Nya tidak ada makhluk yang najis dari dirinya sendiri. Makanan pun tidak najis dan tidak dapat menajiskan orang sebab tidak menyentuh hati orang, melainkan hanya melewat perut. Menjauhi makanan, barang, dan orang tertentu karena dipandang najis dan menajiskan, termasuk ibadat lahiriah yang tidak melibatkan hati, praktik tersebut merupakan buatan manusia dan bukan kehendak Allah. 

 

Karuan saja sepak terjang Yesus terhadap hukum yang selama ini dijunjung tinggi oleh orang Farisi dan ahli Taurat menjadi geger. Yesus menjadi buah bibir di kalangan para pemimpin agama Yahudi di Yerusalem. Beberapa orang dari mereka, yakni orang-orang Farisi dan ahli Taurat, sengaja datang dari Yerusalem untuk menemui Yesus.

 

Pada kesempatan itu mereka menyaksikan murid-murid Yesus makan dengan tangan najis. Mereka makan tanpa mencuci tangan terlebih dahulu - memang ini bahaya jika dilakukan pada masa pandemi. Tampaknya ini sepele, tetapi bagi para pemimpin agama Yahudi, itu merupakan persoalan serius. Lalu, apa hubungannya cuci tangan dengan syariat agama atau kenajisan? Ya, sebab setiap saat ada kemungkinan bahwa tangan seseorang dapat menyentuh makanan yang haram, menyentuh binatang najiz (seperti daging babi dan anjing), menyentuh perempuan yang sedang haid, dan sebagainya. Selanjutnya, tangan yang najis itu akan menjadi najis pula dan ketika makanan itu masuk ke dalam mulut mereka, orang yang memakannya pun akan turut menjadi najis. Orang najis tidak layak ambil bagian dalam ibadat mereka karena secara aturan rohani, mereka kotor di hadapan Tuhan. Jadi soal cuci tangan sebelum makan bukanlah persoalan tentang kesehatan, melainkan soal layak tidaknya seseorang datang di hadapan Allah!

 

Soal cuci tangan bukan soal kesehatan di sini, melainkan soal ibadah. Andaikan saja, dihubungkan dengan higenitas atau kesihat, sudah barang tentu Yesus pun sepakat bahwa kita harus menjaga kesehatan. Cuci tangan adalah antisipasi melindungi tubuh dari kemungkinan kuman yang masuk.

 

Melihat murid-murid Yesus makan tanpa cuci tangan, orang Farisi dan ahli Taurat itu mengajukan pertanyaan gugatan kepada Yesus, “Mengapa murid-murid-Mu tidak hidup menurut aturan adat-istiadat nenek moyang kita, tetapi makan dengan tangan najis?” Yang dimaksud dengan adat-istiadat di sini adalah aturan dan ketentuan yang ditambahkan oleh para ahli Taurat pada hukum Musa yang kemudian dianggap berasal dari Musa.

 

Alih-alih Yesus menjawab tuduhan mereka, ia balik melancarkan tuduhan yang lebih keras dan lebih serius kepada mereka dengan mengutip nubuat Yesaya (Yes.29:13), “Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya padahal hatinya jauh daripada-Ku. Percuma saja mereka beribadah kepada-Ku sedangkan ajaran yang mereka ajarkan adalah perintah manusia.”

 

Yesus menyebut mereka orang-orang munafik, yang menekankan ibadah dan kesucian yang lahiriah. Asalkan mereka melakukan peraturan, mereka pantas disebut orang baik. Saleh! Sebaliknya, menurut Yesus mereka mengabaikan ibadah dan kesucian batiniah, padahal yang dikehendaki Tuhan bukanlah kesucian lahiriah yang mudah dipoles, yang merupakan peraturan buatan manusia. Orang-orang Farisi dan ahli Taurat itu justru mengabaikan perintah Allah hanya karena ingin terlihat berpegang teguh pada peraturan, dan justru peraturan itu buatan mereka sendiri!

 

Kemudian Yesus memanggil orang banyak dan berseru kepada mereka, “Apa pun dari luar yang masuk ke dalam diri seseorang tidak dapat menajiskannya.” Dengan kata lain, kalimat Yesus itu berarti, “Kamu boleh makan apa saja tanpa khawatir, karena semua yang masuk ke dalam mulut tidak dapat menajiskan.” Yesus tidak memberi penjelasan sesudah Ia mengatakan hal itu. Barulah ketika para murid bertanya kepada-Nya, Ia menjelaskannya. Dalam agama Yahudi dikenal pembedaan makanan yang halal dan haram. Makanan haram akan membuat orang yang memakannya menjadi najis, kotor secara ritual sehingga tidak diperbolehkan mengikuti ritual ibadah. Para pemimpin agama Yahudi mempertegas aturan mengenai makanan itu. Makanan halal jika disentuh oleh tangan yang najis akan menjadi haram dan menajiskan orang yang memakannya.

 

Bagi Yesus, konsep yang demikian itu salah! Makanan apa pun yang masuk ke dalam perut seseorang tidak akan membuat orang itu najis. Mengapa? Segala sesuatu dari luar yang masuk ke mulut, tidak masuk ke hati (maksudnya hati adalah dalam arti spiritualitas), tetapi masuk ke dalam alat pencernaan dalam hal ini perut, lalu di buang ke jamban. Hal ini berarti, semua makanan itu halal dan tidak membuat orang najis.

 

Yesus mengatakan bahwa yang menajiskan orang itu justru yang keluar “dari diri seseorang”. Dalam hal ini, Yesus tidak menunjuk kepada hal fisik atau material, tetapi pada pikiran, sikap dan perbuatan yang timbul dari hati seseorang: pikiran jahat, percabulan, pencurian, pembunuhan, perzinahan, keserakahan, kejahatan, kelicikan, perbuatan tidak senonoh, iri hati, hujat, sombong, kebebalan. Kalau pun seseorang makan makanan yang haram, tetapi tindakannya baik, hal ini tidak menjadi masalah. Sebaliknya, walaupun seseorang tidak makan daging anjing atau daging babi, tidak pernah menyentuh mayat, dan sebagainya, tetapi ia iri kepada tetangganya, bertindak licik, bersikap sombong, yang demikian itu menurut Yesus adalah orang yang najis sesungguhnya.

 

Tampak di sini kontras pandangan Yesus dan para pemuka agama Yahudi itu. Menurut pemuka agama Yahudi, yang membuat seseorang najis itu adalah makanan dan benda-benda kategori haram. Sedangkan menurut Yesus, yang membuat orang itu najis adalah tindakan jahat yang keluar dari hatinya. 

 

Iman yang benar bukan iman yang dijaga dari pelbagai makanan dan barang kategori najis. Melainkan iman yang bersumber dari hati nurani yang bersih yang tulus mengasihi Allah dan sesama manusia.

 

Jakarta, 26 Agustus 2021