Dunia yang diciptakan Tuhan dengan sungguh amat baik dibagi dua oleh para ahli agama; oleh ahli Taurat dan orang Farisi. Sebagian makhluk Tuhan dinilai tahir dan sebagiannya haram, najis dan harus dijauhi. Pembelahan dunia semacam ini menimbulkan masalah bagi jemaat perdana, umpamanya terekam dalam Galatia 2:11-14. Orang Kristen - Yahudi yang taat hukum Taurat tidak akan boleh duduk semeja atau beribadat bersama dengan orang Kristen yang bukan keturunan Yahudi, selama mereka ini belum disunat.
Satu keyakinan ahli Taurat dan orang-orang Farisi ibadah itu bagian terpenting dalam kehidupan mereka selaku umat pilihan Allah. Ibadah - tentu saja dalam hal harus diartikan ibadah ritual formal - merupakan unsur hakiki umat Allah. Setiap orang harus mengambil bagian dalam ibadah untuk dapat terhubung dengan TUHAN, Allah mereka. Pada hakikatnya, ibadah itu ditetapkan oleh Allah sendiri, dan karena itu dipandang sebagai karunia Allah yang dianugerahkan kepada umat-Nya. Berkat ibadah yang suci ini, umat dapat mendekati Allah untuk menyembah-Nya dan bersekutu dengan Dia. Supaya layak mengambil bagian dalam ibadah, umat harus menjaga diri agar tetap menjadi bersih.
Mengapa mereka harus menjaga agar tetap bersih? Ya, sebab Allah yang kepada-Nya mereka menghadap adalah Allah yang kudus. Karena itu hanya orang-orang yang bersih sajalah yang layak menghampiri kekudusan-Nya. Sebaliknya, setiap orang yang tidak bersih atau tidak tahir, tidak layak untuk menghadap Allah dalam ibadah itu. Mereka yang layak disebut tahir dan yang dipandang kotor itu disebut najis!
Lalu apa kriteria seseorang disebut tahir dan yang lain disebut najis? Hukum Taurat memuat hukum kenajisan, yang di dalamnya diuraikan hal apa saja yang membuat seseorang najis sehingga tidak boleh disentuh. Seseorang disebut najis bila bersentuhan dengan mayat atau kotoran yang berasal dari salah satu cairan yang keluar dari dalam tubuh manusia. Seseorang disebut dalam keadaan najis juga apabila memakan makanan yang diharamkan, dan karena penyakit kusta. Para petugas ibadat, yakni para imam, memiliki wewenang untuk menetapkan kapan seseorang menjadi najis dan untuk menyelanggarakan upacara pentahiran.
Ketika tahir- najis sebegitu rupa menjadi “hitam-putih”, justru Yesus tampil terkesan melonggarkan bahkan tidak menjauhi orang-orang yang dalam Hukum Taurat dipandang najis. Bagi-Nya tidak ada makhluk yang najis dari dirinya sendiri. Makanan pun tidak najis dan tidak dapat menajiskan orang sebab tidak menyentuh hati orang, melainkan hanya melewat perut. Menjauhi makanan, barang, dan orang tertentu karena dipandang najis dan menajiskan, termasuk ibadat lahiriah yang tidak melibatkan hati, praktik tersebut merupakan buatan manusia dan bukan kehendak Allah.
Karuan saja sepak terjang Yesus terhadap hukum yang selama ini dijunjung tinggi oleh orang Farisi dan ahli Taurat menjadi geger. Yesus menjadi buah bibir di kalangan para pemimpin agama Yahudi di Yerusalem. Beberapa orang dari mereka, yakni orang-orang Farisi dan ahli Taurat, sengaja datang dari Yerusalem untuk menemui Yesus.
Pada kesempatan itu mereka menyaksikan murid-murid Yesus makan dengan tangan najis. Mereka makan tanpa mencuci tangan terlebih dahulu - memang ini bahaya jika dilakukan pada masa pandemi. Tampaknya ini sepele, tetapi bagi para pemimpin agama Yahudi, itu merupakan persoalan serius. Lalu, apa hubungannya cuci tangan dengan syariat agama atau kenajisan? Ya, sebab setiap saat ada kemungkinan bahwa tangan seseorang dapat menyentuh makanan yang haram, menyentuh binatang najiz (seperti daging babi dan anjing), menyentuh perempuan yang sedang haid, dan sebagainya. Selanjutnya, tangan yang najis itu akan menjadi najis pula dan ketika makanan itu masuk ke dalam mulut mereka, orang yang memakannya pun akan turut menjadi najis. Orang najis tidak layak ambil bagian dalam ibadat mereka karena secara aturan rohani, mereka kotor di hadapan Tuhan. Jadi soal cuci tangan sebelum makan bukanlah persoalan tentang kesehatan, melainkan soal layak tidaknya seseorang datang di hadapan Allah!
Soal cuci tangan bukan soal kesehatan di sini, melainkan soal ibadah. Andaikan saja, dihubungkan dengan higenitas atau kesihat, sudah barang tentu Yesus pun sepakat bahwa kita harus menjaga kesehatan. Cuci tangan adalah antisipasi melindungi tubuh dari kemungkinan kuman yang masuk.
Melihat murid-murid Yesus makan tanpa cuci tangan, orang Farisi dan ahli Taurat itu mengajukan pertanyaan gugatan kepada Yesus, “Mengapa murid-murid-Mu tidak hidup menurut aturan adat-istiadat nenek moyang kita, tetapi makan dengan tangan najis?” Yang dimaksud dengan adat-istiadat di sini adalah aturan dan ketentuan yang ditambahkan oleh para ahli Taurat pada hukum Musa yang kemudian dianggap berasal dari Musa.
Alih-alih Yesus menjawab tuduhan mereka, ia balik melancarkan tuduhan yang lebih keras dan lebih serius kepada mereka dengan mengutip nubuat Yesaya (Yes.29:13), “Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya padahal hatinya jauh daripada-Ku. Percuma saja mereka beribadah kepada-Ku sedangkan ajaran yang mereka ajarkan adalah perintah manusia.”
Yesus menyebut mereka orang-orang munafik, yang menekankan ibadah dan kesucian yang lahiriah. Asalkan mereka melakukan peraturan, mereka pantas disebut orang baik. Saleh! Sebaliknya, menurut Yesus mereka mengabaikan ibadah dan kesucian batiniah, padahal yang dikehendaki Tuhan bukanlah kesucian lahiriah yang mudah dipoles, yang merupakan peraturan buatan manusia. Orang-orang Farisi dan ahli Taurat itu justru mengabaikan perintah Allah hanya karena ingin terlihat berpegang teguh pada peraturan, dan justru peraturan itu buatan mereka sendiri!
Kemudian Yesus memanggil orang banyak dan berseru kepada mereka, “Apa pun dari luar yang masuk ke dalam diri seseorang tidak dapat menajiskannya.” Dengan kata lain, kalimat Yesus itu berarti, “Kamu boleh makan apa saja tanpa khawatir, karena semua yang masuk ke dalam mulut tidak dapat menajiskan.” Yesus tidak memberi penjelasan sesudah Ia mengatakan hal itu. Barulah ketika para murid bertanya kepada-Nya, Ia menjelaskannya. Dalam agama Yahudi dikenal pembedaan makanan yang halal dan haram. Makanan haram akan membuat orang yang memakannya menjadi najis, kotor secara ritual sehingga tidak diperbolehkan mengikuti ritual ibadah. Para pemimpin agama Yahudi mempertegas aturan mengenai makanan itu. Makanan halal jika disentuh oleh tangan yang najis akan menjadi haram dan menajiskan orang yang memakannya.
Bagi Yesus, konsep yang demikian itu salah! Makanan apa pun yang masuk ke dalam perut seseorang tidak akan membuat orang itu najis. Mengapa? Segala sesuatu dari luar yang masuk ke mulut, tidak masuk ke hati (maksudnya hati adalah dalam arti spiritualitas), tetapi masuk ke dalam alat pencernaan dalam hal ini perut, lalu di buang ke jamban. Hal ini berarti, semua makanan itu halal dan tidak membuat orang najis.
Yesus mengatakan bahwa yang menajiskan orang itu justru yang keluar “dari diri seseorang”. Dalam hal ini, Yesus tidak menunjuk kepada hal fisik atau material, tetapi pada pikiran, sikap dan perbuatan yang timbul dari hati seseorang: pikiran jahat, percabulan, pencurian, pembunuhan, perzinahan, keserakahan, kejahatan, kelicikan, perbuatan tidak senonoh, iri hati, hujat, sombong, kebebalan. Kalau pun seseorang makan makanan yang haram, tetapi tindakannya baik, hal ini tidak menjadi masalah. Sebaliknya, walaupun seseorang tidak makan daging anjing atau daging babi, tidak pernah menyentuh mayat, dan sebagainya, tetapi ia iri kepada tetangganya, bertindak licik, bersikap sombong, yang demikian itu menurut Yesus adalah orang yang najis sesungguhnya.
Tampak di sini kontras pandangan Yesus dan para pemuka agama Yahudi itu. Menurut pemuka agama Yahudi, yang membuat seseorang najis itu adalah makanan dan benda-benda kategori haram. Sedangkan menurut Yesus, yang membuat orang itu najis adalah tindakan jahat yang keluar dari hatinya.
Iman yang benar bukan iman yang dijaga dari pelbagai makanan dan barang kategori najis. Melainkan iman yang bersumber dari hati nurani yang bersih yang tulus mengasihi Allah dan sesama manusia.
Jakarta, 26 Agustus 2021
Tidak ada komentar:
Posting Komentar