Kamis, 26 Agustus 2021

HIDUP BERIMAN YANG BENAR

Dunia yang diciptakan Tuhan dengan sungguh amat baik dibagi dua oleh para ahli agama; oleh ahli Taurat dan orang Farisi. Sebagian makhluk Tuhan dinilai tahir dan sebagiannya haram, najis dan harus dijauhi. Pembelahan dunia semacam ini menimbulkan masalah bagi jemaat perdana, umpamanya terekam dalam Galatia 2:11-14. Orang Kristen - Yahudi yang taat hukum Taurat tidak akan boleh duduk semeja atau beribadat bersama dengan orang Kristen yang bukan keturunan Yahudi, selama mereka ini belum disunat.

 

Satu keyakinan ahli Taurat dan orang-orang Farisi ibadah itu bagian terpenting dalam kehidupan mereka selaku umat pilihan Allah. Ibadah - tentu saja dalam hal harus diartikan ibadah ritual formal - merupakan unsur hakiki umat Allah. Setiap orang harus mengambil bagian dalam ibadah untuk dapat terhubung dengan TUHAN, Allah mereka. Pada hakikatnya, ibadah itu ditetapkan oleh Allah sendiri, dan karena itu dipandang sebagai karunia Allah yang dianugerahkan kepada umat-Nya. Berkat ibadah yang suci ini, umat dapat mendekati Allah untuk menyembah-Nya dan bersekutu dengan Dia. Supaya layak mengambil bagian dalam ibadah, umat harus menjaga diri agar tetap menjadi bersih.

 

Mengapa mereka harus menjaga agar tetap bersih? Ya, sebab Allah yang kepada-Nya mereka menghadap adalah Allah yang kudus. Karena itu hanya orang-orang yang bersih sajalah yang layak menghampiri kekudusan-Nya. Sebaliknya, setiap orang yang tidak bersih atau tidak tahir, tidak layak untuk menghadap Allah dalam ibadah itu. Mereka yang layak disebut tahir dan yang dipandang kotor itu disebut najis!

 

Lalu apa kriteria seseorang disebut tahir dan yang lain disebut najis? Hukum Taurat memuat hukum kenajisan, yang di dalamnya diuraikan hal apa saja yang membuat seseorang najis sehingga tidak boleh disentuh. Seseorang disebut najis bila bersentuhan dengan mayat atau kotoran yang berasal dari salah satu cairan yang keluar dari dalam tubuh manusia. Seseorang disebut dalam keadaan najis juga apabila memakan makanan yang diharamkan, dan karena penyakit kusta. Para petugas ibadat, yakni para imam, memiliki wewenang untuk menetapkan kapan seseorang menjadi najis dan untuk menyelanggarakan upacara pentahiran.

 

Ketika tahir- najis sebegitu rupa menjadi “hitam-putih”, justru Yesus tampil terkesan melonggarkan bahkan tidak menjauhi orang-orang yang dalam Hukum Taurat dipandang najis. Bagi-Nya tidak ada makhluk yang najis dari dirinya sendiri. Makanan pun tidak najis dan tidak dapat menajiskan orang sebab tidak menyentuh hati orang, melainkan hanya melewat perut. Menjauhi makanan, barang, dan orang tertentu karena dipandang najis dan menajiskan, termasuk ibadat lahiriah yang tidak melibatkan hati, praktik tersebut merupakan buatan manusia dan bukan kehendak Allah. 

 

Karuan saja sepak terjang Yesus terhadap hukum yang selama ini dijunjung tinggi oleh orang Farisi dan ahli Taurat menjadi geger. Yesus menjadi buah bibir di kalangan para pemimpin agama Yahudi di Yerusalem. Beberapa orang dari mereka, yakni orang-orang Farisi dan ahli Taurat, sengaja datang dari Yerusalem untuk menemui Yesus.

 

Pada kesempatan itu mereka menyaksikan murid-murid Yesus makan dengan tangan najis. Mereka makan tanpa mencuci tangan terlebih dahulu - memang ini bahaya jika dilakukan pada masa pandemi. Tampaknya ini sepele, tetapi bagi para pemimpin agama Yahudi, itu merupakan persoalan serius. Lalu, apa hubungannya cuci tangan dengan syariat agama atau kenajisan? Ya, sebab setiap saat ada kemungkinan bahwa tangan seseorang dapat menyentuh makanan yang haram, menyentuh binatang najiz (seperti daging babi dan anjing), menyentuh perempuan yang sedang haid, dan sebagainya. Selanjutnya, tangan yang najis itu akan menjadi najis pula dan ketika makanan itu masuk ke dalam mulut mereka, orang yang memakannya pun akan turut menjadi najis. Orang najis tidak layak ambil bagian dalam ibadat mereka karena secara aturan rohani, mereka kotor di hadapan Tuhan. Jadi soal cuci tangan sebelum makan bukanlah persoalan tentang kesehatan, melainkan soal layak tidaknya seseorang datang di hadapan Allah!

 

Soal cuci tangan bukan soal kesehatan di sini, melainkan soal ibadah. Andaikan saja, dihubungkan dengan higenitas atau kesihat, sudah barang tentu Yesus pun sepakat bahwa kita harus menjaga kesehatan. Cuci tangan adalah antisipasi melindungi tubuh dari kemungkinan kuman yang masuk.

 

Melihat murid-murid Yesus makan tanpa cuci tangan, orang Farisi dan ahli Taurat itu mengajukan pertanyaan gugatan kepada Yesus, “Mengapa murid-murid-Mu tidak hidup menurut aturan adat-istiadat nenek moyang kita, tetapi makan dengan tangan najis?” Yang dimaksud dengan adat-istiadat di sini adalah aturan dan ketentuan yang ditambahkan oleh para ahli Taurat pada hukum Musa yang kemudian dianggap berasal dari Musa.

 

Alih-alih Yesus menjawab tuduhan mereka, ia balik melancarkan tuduhan yang lebih keras dan lebih serius kepada mereka dengan mengutip nubuat Yesaya (Yes.29:13), “Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya padahal hatinya jauh daripada-Ku. Percuma saja mereka beribadah kepada-Ku sedangkan ajaran yang mereka ajarkan adalah perintah manusia.”

 

Yesus menyebut mereka orang-orang munafik, yang menekankan ibadah dan kesucian yang lahiriah. Asalkan mereka melakukan peraturan, mereka pantas disebut orang baik. Saleh! Sebaliknya, menurut Yesus mereka mengabaikan ibadah dan kesucian batiniah, padahal yang dikehendaki Tuhan bukanlah kesucian lahiriah yang mudah dipoles, yang merupakan peraturan buatan manusia. Orang-orang Farisi dan ahli Taurat itu justru mengabaikan perintah Allah hanya karena ingin terlihat berpegang teguh pada peraturan, dan justru peraturan itu buatan mereka sendiri!

 

Kemudian Yesus memanggil orang banyak dan berseru kepada mereka, “Apa pun dari luar yang masuk ke dalam diri seseorang tidak dapat menajiskannya.” Dengan kata lain, kalimat Yesus itu berarti, “Kamu boleh makan apa saja tanpa khawatir, karena semua yang masuk ke dalam mulut tidak dapat menajiskan.” Yesus tidak memberi penjelasan sesudah Ia mengatakan hal itu. Barulah ketika para murid bertanya kepada-Nya, Ia menjelaskannya. Dalam agama Yahudi dikenal pembedaan makanan yang halal dan haram. Makanan haram akan membuat orang yang memakannya menjadi najis, kotor secara ritual sehingga tidak diperbolehkan mengikuti ritual ibadah. Para pemimpin agama Yahudi mempertegas aturan mengenai makanan itu. Makanan halal jika disentuh oleh tangan yang najis akan menjadi haram dan menajiskan orang yang memakannya.

 

Bagi Yesus, konsep yang demikian itu salah! Makanan apa pun yang masuk ke dalam perut seseorang tidak akan membuat orang itu najis. Mengapa? Segala sesuatu dari luar yang masuk ke mulut, tidak masuk ke hati (maksudnya hati adalah dalam arti spiritualitas), tetapi masuk ke dalam alat pencernaan dalam hal ini perut, lalu di buang ke jamban. Hal ini berarti, semua makanan itu halal dan tidak membuat orang najis.

 

Yesus mengatakan bahwa yang menajiskan orang itu justru yang keluar “dari diri seseorang”. Dalam hal ini, Yesus tidak menunjuk kepada hal fisik atau material, tetapi pada pikiran, sikap dan perbuatan yang timbul dari hati seseorang: pikiran jahat, percabulan, pencurian, pembunuhan, perzinahan, keserakahan, kejahatan, kelicikan, perbuatan tidak senonoh, iri hati, hujat, sombong, kebebalan. Kalau pun seseorang makan makanan yang haram, tetapi tindakannya baik, hal ini tidak menjadi masalah. Sebaliknya, walaupun seseorang tidak makan daging anjing atau daging babi, tidak pernah menyentuh mayat, dan sebagainya, tetapi ia iri kepada tetangganya, bertindak licik, bersikap sombong, yang demikian itu menurut Yesus adalah orang yang najis sesungguhnya.

 

Tampak di sini kontras pandangan Yesus dan para pemuka agama Yahudi itu. Menurut pemuka agama Yahudi, yang membuat seseorang najis itu adalah makanan dan benda-benda kategori haram. Sedangkan menurut Yesus, yang membuat orang itu najis adalah tindakan jahat yang keluar dari hatinya. 

 

Iman yang benar bukan iman yang dijaga dari pelbagai makanan dan barang kategori najis. Melainkan iman yang bersumber dari hati nurani yang bersih yang tulus mengasihi Allah dan sesama manusia.

 

Jakarta, 26 Agustus 2021  

Jumat, 20 Agustus 2021

BERDERAP DALAM PERSEKUTUAN KASIH DAN KARYA

Membaca kalimat tema Minggu ini dalam kaitannya dengan HUT Penyatuan GKI ke-33 mengingatkan kita pada nyanyian himne GKI ciptaan H. Abdi Widhyadi yang terekam dalam NKB 230, “Berderaplah Satu!” Himne ini mengajak kita semua, warga GKI untuk bersatu padu bukan mengangkat senjata, melainkan bahu-membahu memperjuangkan kasih Allah dalam konteks Indonesia.

 

            Kristus adalah Kepala G’reja-Nya

            Roh-Nya pun tetap membimbing umat-Nya.

            Berbarislah utuh, bersatulah teguh,

            hai seluruh Gereja Kristen Indonesia!

 

Berderap adalah kata kerja yang berasal dari kata derap. Berderap dapat menyatakan suatu tindakan, keberadaan yang bukan statis, melainkan dinamis penuh antusias. Berderap dalam persekutuan menandakan bahwa gerak dinamis itu bukan asal-asalan atau mau-maunya sendiri, namun dalam kebersamaan. Kebersamaan yang dimaksud tentu saja bukan dalam arti keseragaman yang mengharuskan segala sesuatunya mesti sama. Bukan! Berderap dalam persekutuan justru mengingatkan kita akan adanya banyak karunia, talenta, ekspresi, latar belakang, suku, budaya dan lain sebagainya menyatu dalam persekutuan indah untuk menghasilkan kasih dan karya nyata dalam konteks keindonesiaan. Persekutuan yang kreatif ini seperti persekutuan Bapa, Yesus Kristus, dan Roh Kudus. Ketiga-Nya satu namun punya keunikan, ekspresi dan karya yang berbeda. Ketiga-Nya saling berbagi memberi ruang dan mengisi ruang demi menyatakan kasih-Nya kepada dunia ini.

 

Yesus memasukkan kita ke dalam suatu misteri, rahasia yang akan menjadi jelas ketika kita sudah masuk di dalamnya. Yesus menyatakan kepada kita, bahwa hubungan kita dengan diri-Nya adalah relasi yang saling tinggal “Aku di dalam kamu dan kamu di dalam Aku”. Relasi ini ibarat pokok dan ranting pohon anggur. Ranting hanya dapat berbuah kalau ia tinggal atau menempel terus-menerus dengan pokoknya. Ketika terlepas, ia akan mati lalu dibuang dan dibakar. Yesus memasukkan kita kepada relasi saling tinggal sama seperti diri-Nya dengan Sang Bapa dan Roh Kudus. Hubungan-Nya dengan Bapa akan menjadi sumber hubungan kita dengan Dia, yang satu mengalir dari yang lain. “Sama seperti Bapa yang hidup mengutus Aku dan Aku hidup oleh Bapa, demikian juga barang siapa yang memakan Aku, akan hidup oleh Aku.” (Yohanes 6:57).

 

Kita dipanggil untuk menjadi seperti Yesus, menjadi sahabat-sahabat-Nya yang terkasih dan dengan demikian menjadi anak-anak Bapa yang terkasih. Makanan yang dimaksudkan oleh Yesus adalah kehadiran-Nya yang nyata dalam diri kita. Di mana ketika Ia menjadi nyata dalam hati kita, maka kita akan sungguh-sungguh menghidupi karya kasih Kristus: cinta-Nya bagi dunia ini! 

 

Ia mengajak kita untuk merasakan lapar dan haus akan kehadiran kasih-Nya yang nyata. Tidak mengherankan kalau orang-orang kemudian bereaksi terhadap Yesus dan berkata, “Ini tidak mungkin! Perkataan ini keras! Ini ide gila! Dan lihatlah sebagian besar dari mereka, termasuk murid-murid-Nya mulai mengundurkan diri.

 

Sekelompok orang yang disebut “banyak dari murid-murid-Nya” ini dibedakan dari kelompok lebih besar, yakni orang-orang Yahudi. Namun, ada juga kelompok kecil, yakni dua belas murid. Jadi yang dimaksud banyak dari murid-murid-Nya mulai mengundurkan diri adalah kelompok yang bukan dua belas murid inti. Banyak dari murid-murid-Nya ini adalah mereka yang telah melihat tanda pemberian roti dan penyataan diri Yesus di atas danau dan mendengar pengajaran-Nya, tetapi mereka tidak lagi dapat menahan perkataan-Nya.

 

Perkataan manakah yang dimaksud? Sungut-sungut kelompok para murid itu muncul seketika setelah mendengar perkataan Yesus tentang perlunya makan daging diri-Nya untuk memperoleh hidup yang kekal (Yohanes 6:51-58). Namun, kalau perkataan itu yang dimaksud, maka ada kejanggalan dalam jawaban Yesus dalam ayat 63, “Daging sama sekali tidak berguna” ini tidak sejalan dengan perkataan-Nya tentang “makan daging-Ku”.

 

Sebetulnya gerutu murid-murid yang kemudian meninggalkan Yesus sesungguhnya menyangkut perkataan Yesus dalam ayat 48-50 yang menyatakan bahwa Ia adalah roti dari surga. Gerutu mereka mungkin mencerminkan gerutu sejumlah anggota jemaat Yohanes yang sulit menerima ajaran Yesus. Ajaran Yesus dalam Injil Yohanes dengan klaim-Nya yang sangat tinggi bahwa Ia adalah roti dari surga yang memberi hidup kekal, tidak hanya sulit diterima oleh orang Yahudi yang berpegang pada Taurat dan manna yang diberi oleh Musa, tetapi juga oleh sebagian murid Yesus. Mereka ini - dari dulu sampai sekarang - mudah menerima keistimewaan Yesus sebagai Guru, Nabi, dan tokoh Mesianik tetapi lebih sulit mengimani bahwa Ia berasal dari Allah, peran-Nya sebagai Juruselamat dunia, dan keunikan ajaran-Nya yang memberikan hidup kekal. Apalagi bila diminta untuk percaya bahwa Yesus adalah roti hidup dan memberikan semuanya itu melalui kematian-Nya di kayu salib.

 

Hal ini serupa, bagi kebanyakan orang, mereka menginginkan Yesus melakukan hal-hal yang baik bagi dunia: menyembuhkan yang sakit, mengusir setan, dan membuat pelbagai mukjizat. Namun justru sebaliknya, Yesus menghendaki agar para murid-Nyalah yang kelak diutus untuk melakukan karya kasih dalam tindakan konkrit bagi dunia. Yesus mengutus para murid-Nya dengan kekuatan Roh Kudus untuk memberi makan kepada mereka yang miskin dan lapar, berjuang bagi keadilan dan perdamaian, untuk hadir bagi mereka yang kesepian, tertindas dan menderita, untuk menyatakan kepada mereka yang berduka suatu kabar suka cita, mewartakan kepada mereka bahwa mereka dikasihi Allah. Yesus rupanya begitu sedih, karena banyak orang kemudian meninggalkan Dia dan menolak rahasia kasih-Nya.

 

Yesus yang melihat kebingungan kedua belas murid itu berkata, “Apakah kamu tidak mau pergi juga?”

 

Simon menjawab dengan antusias, “Tuhan, kepada siapakah kami akan pergi? Perkataan-Mu adalah perkataan hidup yang kekal; dan kami percaya dan tahu, bahwa Engkau adalah Yang Kudus dari Allah.”

 

Inilah pertama kalinya kita mendengar dari kedua belas rasul yang telah dipilih Yesus, mendirikan yang sekarang kita sebut Gereja. Mungkin karena mereka telah mengalami mukjizat yang dilakukan Yesus untuk mereka sendiri di danau itu, sehingga mereka menemukan kekuatan untuk berderap mengayunkan langkah dan percaya pada kata-kata Yesus.

Pasal 6 dari Injil Yohanes ini sangat menarik. Pasal ini diawali dengan banyak orang berbondong-bondong mengikuti Yesus dan pada penghujung pasal ini berakhir dengan sedih: mulai saat itu, banyak orang mengundurkan diri. Mereka yang mengundurkan diri adalah mereka yang ingin mengikuti Yesus yang berkuasa, Sang pembuat mukjizat, yang akan memperbaiki keadaan. Bukan Yesus yang ingin mengasihi kita dan menjadi sahabat kita, dengan tinggal dalam diri kita. Mereka yang meninggalkan Yesus adalah orang-orang yang tidak mau diberdayakan untuk suatu karya cinta kasih bagi sesama dan dunia ini. Mereka yang mengundurkan diri adalah orang-orang yang tidak mau berderap dalam persekutuan cinta kasih dengan-Nya lalu memberikan diri mereka untuk mencintai dunia ini.

 

Pada saat ini, sebagai gereja, marilah kita berefleksi: Apakah kita merupakan bagian dari kelompok yang berbondong-bondong dan kemudian mengundurkan diri? Ataukah kita bagian dari pernyataan Simon, yakni yang sungguh-sungguh percaya bahwa Yesus Kristus adalah yang kudus dari Allah dan siap diutus dalam derap yang sama untuk menyatakan cinta kasih dalam karya nyata?

 

Selamat Ulang Tahun GKI ke-33

 

Jakarta, 20 Agustus 2021