Jumat, 11 Juni 2021

IA BERSAMAMU DI BURITAN

“Guru, Engkau tidak peduli kalau kita binasa!” Itu reaksi murid-murid Yesus ketika dicengkram ketakutan luar biasa ketika berhadapan. Padahal, bukankah mereka para nelayan yang terbiasa berhadapan dengan perubahan-perubahan cuaca mendadak, gelombang bahkan badai, sedangkan Yesus, Guru mereka hanyalah anak seorang tukang kayu. Ya, bisa saja gelombang dan badai itu bukan badai biasa. Dahsyat!

 

Protes, gugatan atau apa pun namanya, bukankah juga sering kali kita lontarkan kepada Tuhan mana kala badai kehidupan itu menerjang kita. Badai itu bisa berupa usaha yang bangkrut, pemutusan hubungan kerja, anggota keluarga yang sakit parah atau bahkan meninggal, teman baik menipu dan berkhianat, kebakaran yang menghabiskan rumah tempat tinggal , “Tuhan Engkau tidak peduli lagi kalau aku binasa!”, atau “Tuhan sudah tidak sayang, kini aku berhadapan dengan badai kehidupan yang mencekam. Aku sendirian, Tuhan!” Atau dalam versi halusnya, “Ya Tuhan, bukankah Engkau Allah Mahakuasa, mengapa ini semua menimpa saya?”

 

Benarkah ketika kemalangan tiba, Tuhan diam saja? Benarkah ketika situasi tidak terkendali, kita dibiarkannya sendirian? 

 

Mari kembali ke kisah para murid bersama Yesus dalam perahu yang ditimpa badai. Yesus bukan tidak ada. Ia ada di buritan sedang tidur! Apakah Ia kelelahan setelah sepanjang hari melayani orang banyak yang berbondong-bondong sehingga tidak ada waktu untuk istirahat dan di buritan itu Ia “tepar” kelelahan? Ataukah Ia memang sengaja membiarkan para murid-Nya berjuang dengan skill mereka sendiri karena mereka berlatar belakang nelayan? Ataukah…? 

 

Faktanya, di tengah goncangan badai itu, Yesus sedang tertidur di buritan. Buritan, sesuai namanya berasal dari kata bahasa Jawa, buri yang artinya “belakang”. Buritan letaknya dibagian belakang kapal atau perahu. Berbeda dari mobil yang kendali kemudinya berada di depan, kapal atau perahu berada di belakang. Pada bagian buritan perlu diberikan penguatan-penguatan karena bagian buritanlah yang mengalami pukulan ombak atau gelombang yang paling berat. Yesus berada di buritan, tempat di mana kendali kapal diletakkan dan tempat di mana beban pukulan ombak terberat ada di situ. Posisi-Nya yang berada di buritan seolah mengisyaratkan bahwa Dialah sebenarnya yang mengendalikan pergerakan kapal. Ia yang menjadi pengendali kapal mereka. Yesus tetap tertidur ketika badai kencang itu menerpa kapal mereka. Sebuah pertanda bahwa badai apa pun tidak bisa menyentuh keberadaan-Nya, karena Dialah yang mengendalikan segala sesuatu. Namun, sayang ini tidak disadari oleh para murid.

 

“Guru, Engkau tidak peduli kalau kita binasa!” Protes ini tidak ditanggapi Yesus. Bagi Dia tidak perlu ada tanda S.O.S (save our soul). Mengapa tidak? Karena bagaimana pun juga Dia berkuasa atas badai itu dan akan meredakan pada akhirnya. Yesus tertidur, kemudian mereka bangunkan. Yesus menegur mereka karena seharusnya mereka tidak perlu takut. Yesus telah memberi mereka perintah untuk berlayar ke seberang. Perintah itu tidak mungkin bisa dihalangi oleh apa pun juga termasuk badai sekali pun. Apa yang diperintahkan-Nya harus terjadi. Yesus membuktikan dengan menunjukkan diri-Nya dapat menghalau badai. Selanjutnya, badai itu reda. Danau itu menjadi teduh dan tenang. Kini, murid-murid-Nya menyadari siapa gerangan yang berada bersama dengan mereka yang tertidur di buritan itu. Dia melakukan perbuatan yang hanya dapat dilakukan oleh Allah sendiri, yakni perintah penciptaan yang hanya dilakukan dengan ucapan saja seperti yang digubah oleh pemazmur yang hari ini kita daraskan bersama (Mazmur 107).

 

Melalui kuasa yang dinyatakan-Nya, Yesus memperkenalkan diri-Nya sebagai Allah sendiri. Itu juga yang dinyatakan oleh catatan mengenai rasa takut yang menimpa semua orang yang menyaksikan peristiwa itu: “Siapa gerangan orang ini, sehingga angin dan danau pun taat kepada-Nya.” (Markus 4:41) Seharusnya, para murid sejak awal tidak perlu merasa takut, andai kata pun badai itu punya kuasa, maka kuasanya tidak melebih Dia yang tidur di buritan itu!

 

Lalu, apakah seharusnya para murid itu tidak membangunkan Yesus, dan dalam keadaan bagaimana pun mereka harus fokus untuk tetap berlayar? Kesimpulan ini bertentangan dengan kenyataan bahwa Yesus tidak hanya menegur mereka, tetapi juga Ia meredakan badai. Di pihak lain, sepertinya mukzijat itu tidak diperlukan untuk kelanjutan perjalanan itu, tetapi diperlukan untuk memperkuat iman para murid. Di sinilah kita bisa mengerti bahwa mukjizat itu terjadi dengan disertai teguran (Markus 4:40). Teguran itu langsung Yesus sampaikan begitu Ia dibangunkan dan dikukuhkannya di hadapan semua orang setelah badai itu reda.

 

Apakah salah membangunkan Yesus yang tertidur untuk memohon pertolongan kepada-Nya? Apakah salah kalau doa-doa kita juga seperti “membangunkan” Yesus untuk menghentikan badai kehidupan kita? Teks Injil yang kita baca tidak secara eksplisit menyatakan jawaban atas pertanyaan itu. Kita hanya menyimak bahwa Yesus menegur para murid dan teguran itu berisi ketidakpercayaan para murid atas kehadiran-Nya bersama-sama dengan mereka. Namun, bagaimana pun tidak boleh membangunkan Yesus karena takut (Markus 4:40: “Mengapa kamu begitu takut? Mengapa kamu tidak percaya?”)

 

Rasa takut dan tidak percaya itu diredakan oleh tanda dan mukjizat, dengan maksud supaya untuk seterusnya bila melaksanakan perintah Yesus mereka lebih yakin akan kuat kuasa-Nya. Padahal sehari sebelumnya, Yesus telah menyampaikan perumpamaan yang mengandung peringatan mengenai merosotnya iman pada masa penindasan atau penganiayaan (Markus 4:16-17). Melalui mukjizat ini, Yesus kembali membangun iman mereka yang goyah.

 

Badai reda dan danau tenang kembali. Mereka melanjutkan perjalanan untuk pemberitaan Injil. Mereka berlayar terus ke seberang sesuai dengan perintah-Nya. Hati mereka bukannya lega karena bahaya sudah tersingkirkan, tetapi mereka merasa malu karena dalam bahaya itu mereka tidak yakin akan sampai pada tempat tujuan sesuai dengan apa yang dimaksud Yesus.

 

Dari kisah ini, mestinya kita belajar untuk tidak “membangunkan” Yesus, menggugat, mengklaim, bahkan meprotes-Nya hanya karena kita sedang berhadapan dengan ancaman dan kesulitan hidup. Badai itu! Bisa jadi, Yesus juga akan menegur kita sama seperti yang dilakukan-Nya terhadap para murid-murid-Nya. Benar hal ini tidak mudah. Kita sudah terbiasa dengan pernyataan-pernyataan, “Buat apa punya Tuhan yang berkuasa, kalau kita tidak bisa membuktikan keperkasaan-Nya dalam menaklukkan badai kehidupan yang sedang melanda kita?” Atau pernyataan bahwa, “Kita adalah anak-anak-Nya, anak Raja yang selalu harus dilindungi dan dijaga sedemikian rupa hingga tidak tersentuh oleh badai kehidupan!”

 

Dalam konteks ini Yesus menginginkan agar para murid belajar percaya bahkan dalam situasi yang kristis sekalipun. Badai! Ia menghendaki para murid itu menyadari bahwa Yesus ada dalam bahtera mereka, bahkan di tempat yang paling strategis: buritan yang dalam posisi itu terdapat kendali. Yesus sang Jurumudi yang mengendalikan segala sesuatu. 

 

Jika kapal atau bahtera itu sering dihubungkan dengan kehidupan, keluarga, gereja, atau apa pun juga dalam aspek kehidupan kita, maka yakinlah bahwa Yesus, Sang Jurumudi itu ada di buritan. Ia mengendalikan segala sesuatu. Tinggal kini sikap kita: mematuhi perintah-Nya dan percayalah!

 

 

Jakarta, 11 Juni 2021

Jumat, 28 Mei 2021

TUNDUK DI BAWAH KEDAULATAN ALLAH

Berbicara tentang kedaulatan, mengingatkan saya pada seorang filsuf Stoa, Epictetus. Epictetus lahir dalam situasi yang tidak menyenangkan. Ia dilahirkan sebagai seorang budak di Kota Hierapolis, kini Turki pada tahun 55 M. Namanya berarti “diperoleh”. Beberapa catatan tentang dirinya menyatakan bahwa ia dipukuli dan disiksa majikan pertamanya, dan kakinya patah sangat parah sehingga dia pincang seumur hidupnya. Namun, dia cukup beruntung mendapatkan majikan kedua yang bijaksana, bernama Epaphroditus, yang membolehkannya belajar di bawah bimbingan filsuf Stoik terbesar pada zamannya, Musonius Rufus.

 

Berangkat dari masa lalu kehidupannya yang penuh traumatis, alih-alih menjadikannya beban, ia memaknainya. Sebagai seorang budak, ia bisa diperlakukan apa saja: dipukuli, disiksa, atau dihukum mati. Sama sekali kehilangan hak! Epictetus berusaha mengatasinya. Tetap tenang dan memiliki jiwa yang kuat itulah kuncinya. Maka di tengah ketidakpastian dan tekanan yang begitu besar, ketika kemampuan diri untuk mengendalikan situasi tidak lagi mencukupi, ia tetap bisa mengendalikan diri, menguasai jiwa sendiri.

 

Epictetus berbagi bahwa mengingatkan diri sendiri secara terus-menerus tentang apa yang dapat dikendalikan dan apa yang tidak akan menolong seseorang melewati fase krisis atau kehidupan yang tidak menyenangkan. Epictetus membagi dua zona tentang kedaulatan. Zona pertama adalah apa yang dapat dikendalikan oleh diri kita sendiri. Di zona ini, kita adalah “raja”, zona ini adalah pemikiran dan prinsip kita. Itulah wilayah kedaulatan kita. Kita selalu bisa memilih apa yang perlu kita pikirkan dan kita percaya. 

 

Zona kedua adalah hal-hal yang di luar kendali atau kedaulatan kita. Apa yang ada di zona kedua ini? Tubuh, harta, reputasi, pekerjaan, orang tua, teman-teman, cuaca, ekonomi, masa lalu, masa depan kita ini semua di luar kedaulatan kita.

 

Epictetus berpendapat, banyak penderitaan timbul karena dua kesalahan kita: Pertama,  kita berusaha berdaulat penuh atas segala sesuatu yang berada di zona dua, di luar kedaulatan kita. Kemudian ketika gagal mengendalikannya, kita merasa tidak berdaya, lemah, marah, bersalah, cemas, atau depresi. Kedua, kita tidak bertanggung jawab di zona pertama: pikiran dan prinsif kita, yang semestinya dapat kita kendalikan. Malah kita menyalahkan pikiran sendiri terkait dunia luar, orang tua, kekasih, teman-teman, bos, ekonomi, lingkungan, dan lain sebagainya, kemudian kembali kita merasa getir, tak berkutik, dan menjadi seorang korban. Belajar dari Epictetus, segala sesuatu dalam hidup dan kehidupan kita justru di luar kedaulatan kita. Hanya satu saja kita berdaulat, yakni atas pikiran dan prinsip hidup kita.

 

Dalam fase awal pelayanan-Nya, Yesus telah menarik banyak orang. Mereka mengikuti untuk melihat dan mendengar-Nya. Pada pihak lain, keluarganya: ibu dan saudara-saudara-Nya (Markus 3:31) juga para murid-Nya meragukan apa yang dilakukan Yesus khususnya tentang Kerajaan Allah. Dengan perumpamaan tentang penabur dan biji sesawi Yesus menjawab keraguan mereka. Melalui perumpamaan-perumpamaan ini, kita belajar tentang cara memandang Kerajaan Allah. 

 

Kerajaan Allah ibarat perkembangan benih yang ditabur oleh petani, yang kemudian pada akhirnya menghasilkan panen yang berlimpah. Sang penabur punya apa yang dapat dikendalikannya, yang ada dalam kedaulatannya, yakni pikiran optimis bahwa di ujungnya nanti akan memetik hasil panen yang berlimpah. Sang penabur jelas tidak punya kendali atau kedaulatan atas pertumbuhan benih itu hingga saat panen tiba. “…lalu pada malam hari ia tidur dan pada siang hari ia bangun, dan benih itu bertunas dan bertumbuh bagaimana terjadinya, tidak diketahui orang itu.” (Markus 4:27). 

 

Dalam proses pertumbuhan itu ada banyak kemungkinan bisa terjadi: serangan hama, kekeringan, kebanjiran, di rusak oleh hewan, dan lain sebagainya yang bisa menggagalkan hasil panen itu. Atau sebaliknya, tanaman itu terpelihara, bebas dari pelbagai serangan hama dan akhirnya bisa memanen. Sang penabur menjalankan tugasnya sesuai dengan kendali yang ada padanya, selebihnya ia mempercayakan kepada kedaulatan Allah Sang Pencipta dan pemilik kehidupan.

 

Seperti itulah hal Kerajaan Allah yang “ditabur” oleh pemberitaan Yesus Kristus dan terus kita wartakan, akan bertumbuh dan berkembang terus, juga pada waktu kita tidak tahu bagaimana cara bekerjanya dan kita tidak dapat mempercepatnya. Di sinilah kita mempercayakan pada kedaulatan Allah. Kita percaya dan menantikan hari yang tidak kita ketahui, ketika Kerajaan Allah ditegakkan sepenuhnya. Kita pun diajak percaya bahwa Kerajaan Allah yang diwartakan oleh Yesus Kristus dan kini oleh Gereja-Nya, jemaat-jemaat yang tetap kecil dan minoritas, sebenarnya memiliki potensi besar, ibarat biji sesawi yang amat kecil yang akhirnya menjadi tanaman yang sangat besar. Kerajaan Allah mampu meluas ke segala bangsa dan akan memberi naungan kepada umat manusia yang universal.

 

Kini tugas kita, layaknya seperti si penabur itu. Kita belajar untuk mengoptimalkan apa yang mampu kita lakukan. Seperti apa yang dikatakan Epictetus, kita punya ruang kedaulatan, yakni pikiran dan prinsip kita. Jangan biarkan dikuasai oleh pesimisme dan hal-hal yang merugikan kita. Jangan pernah kita izinkan bimbang dan ragu menggantikan keyakinan iman kita. Kedaulatan kita, yang pada dasarnya adalah Allah sendiri yang memberikannya kepada kita adalah melakukan, mengerjakan tugas seperti penabur itu.  

 

Mulailah dengan hal-hal yang kecil namun dengan cinta dan ketulusan yang besar. Mulailah menabur sekarang, itu yang dapat kita kerjakan. Jangan pernah bermimpi dapat “memetik buah” apabila kita tidak pernah menabur apa pun. Selanjutnya, kita percayakan kepada kedaulatan Allah. Allahlah yang akan memberi pertumbuhan. 

 

Menyerahkan segala sesuatu dalam kedaulatan Allah itu tidak berarti bahwa kita hanya berpangku tangan, menyaksikan Allah bekerja. Tidak! Melainkan, terlibat dalam upaya pembumian Kerajaan Allah. Allah ingin Anda dan saya menjadi teman sekerja-Nya. Bekerja di ladang Tuhan dalam kedaulatan Allah bukanlah berada dalam posisi tertekan karena kita kehilangan kebebasan. Tidak demikian! Allah memakai pelbagai talenta, ekspresi dan daya kreativitas kita yang selanjutnya menjadi persembahan yang harum bagi-Nya.

 

Menyerahkan segala sesuatu dalam kedaulatan Allah, akan menolong kita untuk tidak patah arang mana kala pertumbuhan itu tidak sesuai dengan harapan kita. Sebab, dalam kedaulatan-Nya selalu saja ada maksud di balik semua pertumbuhan yang terjadi. Sekali lagi kita hanya dimintanya “menabur”. Sebaliknya, mana kala kita melihat hasil pertumbuhan yang luar biasa, kita tidak menjadi sombong atau tinggi hati. Semua itu hanya dapat terjadi dalam kedaulatan-Nya. Tidak atas kendali diri sendiri.

 

 

Jakarta, 28 Mei 2021