Jumat, 23 April 2021

MENJADI SAKSI DALAM HIKMAT-NYA

Menjadi saksi! Bukan sekali, dua kali kita mendengar kalimat ini dalam konteks pelayanan gerejawi. Namun, apakah sebenarnya yang disebut-sebut dengan kesaksian itu? Bersaksi artinya menyatakan kesaksian, atau memberikan keterangan dengan sejujurnya. Jika kesaksian itu berkaitan dengan kehidupan iman, itu artinya memberikan keterangan, penjelasan tentang karya keselamatan Allah di dalam Yesus Kristus. Jelaslah bahwa subyek utamanya bukan orang yang memberi kesaksian itu, melainkan Yesus Kristus.

 

Sebuah kesaksian dapat menyentuh hati orang yang mendengarnya. Kata-kata indah disertai bahasa tubuh bisa memesona orang lain. Namun, sejauh mana kesaksian tersebut sungguh-sungguh  memberitakan kebenaran sejati seperti yang Tuhan kehendaki? Tidak mudah untuk membedakan kesaksian yang benar tentang karya kasih Tuhan dengan kesaksian yang sekedar memamerkan berkat yang kita terima. Tidak salah berkat berupa materi, kesehatan, kenaikan jabatan, kesuksesan studi, kita ceritakan. Namun, jelas subyek utamanya bukan itu. Kita sering terjebak dengan kesaksian-kesaksian yang pada akhirnya menjadi cerita dan kisah indah tanpa menyatakan karya penyelamatan Kristus bagi manusia. Godaan untuk mendapatkan apresiasi dari sesama manusia biasanya membuat kita lupa bahwa sosok yang sedang kita nyatakan hanyalah satu, yakni Tuhan!

 

Lebih jauh kita lupa dan cenderung mendiskon bahwa yang namanya kesaksian adalah cerita. Padahal makna hakikinya adalah meneruskan karya Yesus Kristus di dunia ini. Yesus Kristus telah paripurna menunaikan mandat Bapa-Nya untuk menyatakan kasih dan keselamatan. Ditandai peristiwa kenaikan Yesus ke Surga, adalah momentum bahwa Ia sudah selesai meletakkan dasar-dasar kesaksian. 

 

Kenaikan-Nya ke Surga bukan berarti Ia meninggalkan murid-murid-Nya sebagai “yatim-piatu”, tanpa penyertaan-Nya lagi. Bukan! Melainkan sebagai peristiwa di mana Yesus memberikan kepercayaan kepada para murid-Nya untuk melanjutkan karya-Nya. Jadi, kesaksian bukan sekedar cerita menerima berkat, melainkan lebih luas dan dalam. Tepatnya melakukan seperti apa yang Tuhan Yesus lakukan! 

 

Kalau begitu berat benar tugas menjadi seorang murid atau seorang Kristen? Ya, betul! Tugas ini bukan tugas sembarangan atau sambil lalu saja. Yesus pun menyadari bahwa apa yang Ia percayakan kepada para murid itu bukanlah perkara mudah. Maka Ia berjanji mengirim atau mengutus Roh Kudus untuk menyertai kiprah para murid. Roh Kudus yang dulu dijanjikan tidak lama lagi akan dicurahkan kepada mereka, agar mereka mampu menjalankan tugas kesaksian itu menurut hikmat-Nya, bukan semau-maunya sendiri. Syaratnya mereka harus sungguh-sungguh menantikannya di Yerusalem.

 

Kenaikan Yesus Kristus ke surga bukan akhir dari kisah penyelamatan manusia, namun justru sebuah pintu yang  menghantar para murid ke gerbang pelayanan sebagai utusan dari saksi-Nya. Kenaikan Yesus ke dalam kemuliaan itu sendiri dilukiskan oleh Lukas secara audiovisual, artinya bisa dilihat dan didengar. Pada waktu itu, para murid melongo memandang ke langit, ke arah kepergian Yesus. Pada saat itulah hadir tokoh yang berpakaian kemilauan memberi arti pada peristiwa itu. Ia menyadarkan para murid (orang-orang Galilea) untuk tidak melongo terus memandangi langit. Mereka harus berani hidup sambil memperhatikan arah kepergian Yesus. Mereka harus berani hidup menyongsong kedatangan-Nya kembali mengajak kita semua menuju kemuliaan.

 

Peristiwa kenaikan Yesus Kristus kemudian mempunyai arti bagi arah perjalanan hidup yang hendak diperjuangkan oleh para murid. Para murid Yesus ditantang untuk menjalani kehidupan secara nyata, tanpa kehilangan arah menuju kemuliaan, sebagaimana menjadi arah kehidupan Yesus, Junjungan mereka.

 

Peristiwa kenaikan Yesus Kristus dalam kemuliaan bukan hanya soal Yesus yang mulia, melainkan juga menjadi persoalan jemaat beriman atau Gereja semesta, ini soal bagaimana Gereja menatap masa depan bersama Yesus yang mulia, dengan penuh kesadaran bahwa arah hidup itu adalah menyongsong Dia yang sudah dimuliakan.

 

Suara langit dari surga yang mereka dengar dari malaikat menyadarkan mereka akan tugas kesaksian yang harus mereka emban setelah peristiwa itu. Mereka tidak cukup hanya sekedar tertegun memandang langit. Mereka harus kembali kepada kenyataan hidup, menjalani kehidupan dengan arah ke mana Yesus menuju kepada kemuliaan-Nya. Gereja perlu terus-menerus mengingatkan keyakinan bahwa seluruh anggotanya ditantang untuk mengembangkan hidup ini sepenuhnya dalam peziarahan menuju Yesus Kristus yang mulia. Dalam peziarahan itu pelbagai macam kegelisahan masih akan memberikan warnanya, tetapi semua bermakna untuk mewarnai usaha bertemu dengan Tuhan yang telah dimuliakan, sampai akhirnya bisa bertemu muka dalam kemuliaan-Nya.

 

Inilah yang kini juga menjadi tantangan semua orang beriman yang mengalami Yesus mulia dalam kebangkitan. Semua orang beriman yang telah dibaptis dalam kematian-Nya, akhirnya iktu bangkit bersama-Nya, untuk mengembangkan hidup dalam kemuliaan sebagaimana dikatakan dalam kenaikan-Nya ke surga. Mengisi masa depan dalam kemuliaan sebagaimana pantas bagi semua orang percaya kepada Yesus Kristus itu menjadi suatu keharusan. Bukan karena sekedar wajib, melainkan karena itulah arah kehidupan yang dinyatakan bagi kita.

 

Jadi, peristiwa kenaikan Yesus Kristus merupakan era baru bagi para murid termasuk kita pada masa kini. Era di mana Yesus tidak lagi hadir secara fisik melainkan melalui Roh Kudus, Ia menyertai setiap orang percaya untuk mampu menyatakan hidup kesaksian. Kesaksian yang mengarahkan setiap orang untuk memandang ke arah Yesus yang menuju kepada kemuliaan-Nya. Sikap hidup kesaksian menurut hikmat-Nya adalah mengerahkan segala daya agar kehidupan kita mengerjakan standar yang diharapkan oleh Yesus. Itu artinya, tidak cukup sekedar membicarakan, melainkan menghidupinya. Sehingga kehidupan murid-murid itu menampakkan kualitas yang bermutu, kualitas anak-anak Tuhan!

 

Di setiap aspek kehidupan kita, harus mencerminkan citra Kristus. Hidup kita ibarat kitab yang terbuka dan dapat dibaca oleh setiap orang. Kita bisa mengevaluasi apakah lewat lidah bibir kita orang mendengar kata-kata Kristus. Kita harus terus berupaya agar panca indera kita punya kualitas yang menyerupai Yesus: Mata yang melihat seperti mata Yesus, telinga yang mendengar seperti telinga Yesus, kaki dan tangan seperti kaki dan tangan Yesus. Dalam tataran inilah kesaksian itu tampak. Dunia memerlukan banyak “Yesus” yang hadir, menyapa, memeluk, berbela rasa. Anda dan saya dipercayakan Yesus untuk menjadi “Yesus-Yesus” masa kini.

 

Jakarta, Hari Kenaikan Yesus Kristus ke Surga 2021 

 

DIPERSATUKAN DALAM SANG POKOK ANGGUR

Dalam karyanya, Il Principe (Sang Penguasa) Nicolo Machiavelli mengajukan pertanya penting, “Apakah lebih baik dicintai atau ditakuti?” Setiap orang tentunya ingin kedua-duanya: dicintai sekaligus ditakuti. Namun jika tidak boleh keduanya, jauh lebih baik mana di cintai atau ditakuti? Machiavelli menjawab, “Alangkah lebih baik ditakuti ketimbang dicintai. Mengapa demikian? Machiavelli berpendapat bahwa  manusia itu mudah berubah sikap, plin-plan, penipu, pembohong, penakut dan rakus. Ia juga tidak percaya kepada kekuatan cinta, katanya: “Cinta itu ikatan yang mudah putus, maklum manusia itu lemah, yang akan memutuskan ikatan cinta kalau menguntungkan dirinya, tetapi rasa takut yang diperkuat dengan hukuman selalu efektif.

 

Machiavelli yakin rasa takut itu paralel dengan tidak adanya rasa benci. Kebencian bisa membunuh rasa takut dan melahirkan pemberontakan. Pernyataan Machiavelli ini didasarkan pada observasinya bahwa, “raja-raja yang melakukan hal-hal besar adalah mereka yang tahu bagaimana memberdaya orang lain dengan lihai, dan yang akhirnya menang terhadap mereka yang memegang teguh prinsip-prinsip kejujuran.” Machiavelli lupa, ada banyak penguasa yang jujur dan sukses.

 

Berbeda dengan Machiavelli, yang memilih ditakuti ketimbang dicintai, Yesus justru menghidupi cinta. Tepatnya cinta yang sesungguhnya. Benar, manusia itu makhluk lemah yang mudah berubah, plin-plan, tidak jujur, mudah ingkar janji ketika menemukan hal yang lebih menarik, mudah berkhianat dan menyangkal. Namun, Yesus dapat membuktikan cinta di atas segalanya. Cinta itu justru memulihkan, meneguhkan, memberdayakan dan membuat orang bebas mencintai. Yesus tidak hanya mengajarkan cinta kasih itu. Ia menghidupinya. Karena cinta-Nya, Ia memulihkan Petrus yang tiga kali menyangkal-Nya, karena cinta di hadapan-Nya tidak ada orang yang merasa dihakimi dan dipersalahkan. Alih-alih memohon ampun untuk mereka yang menganiaya-Nya.

 

Cinta yang mengalir dalam diri Yesus itu berasal dari sumber segala cinta, yakni Bapa-Nya sendiri. Dari cinta kepada Bapa-Nya lahirlah ketaatan. Taat bukan karena takut seperti bayangan Machiavelli, yang melakukan segala sesuatu karena bayang-bayang takut dan hukuman. Orang yang takut juga akan mengerjakan perintah, namun jelas tidak dilakukan dengan sukacita. Sebaliknya, cinta akan mengerjakan apa pun bahkan rela menderita namun tetap bersukacita.

 

Hubungan cinta mutual seperti inilah yang ingin Yesus teruskan kepada para murid-Nya. Yesus yang sebelumnya berbicara tentang pokok anggur. Yang menginginkan para murid untuk tetap tinggal dengan-Nya supaya berbuah, kini Ia juga meneruskan untuk tinggal di dalam-Nya. Semula Yesus mengatakan, “Tinggallah di dalam Aku”, kini perintah itu diperjelas menjadi, “Tinggallah di dalam kasih-Ku”. Kesatuan yang digambarkan dengan kesatuan pokok anggur dan ranting-rantingnya dalam Yohanes 15:1-8 kini disebut sebagai kesatuan kasih. Para murid diminta untuk tinggal dalam kasih-Nya.

 

Sama seperti Bapa telah mengasihi Yesus, Yesus pun tinggal di dalam Bapa-Nya, demikianlah kasih di dalam Yesus itu mengalir kepada para murid-Nya. Para murid diundang untuk masuk dalam arus pusaran kasih yang terbangun antara Bapa dan Anak. Di sini, sekali lagi kasih Yesus nyata. Yesus tidak egois namun Ia mengundang, melibatkan dengan sengaja para murid untuk mengalami kasih yang dialami-Nya. Mengalami kasih Bapa! Lalu, bagaimana caranya? Caranya ialah dengan tinggal di dalam kasih Yesus itu sendiri. Tinggal dalam pokok anggur yang benar!

 

Kasih akan Yesus itu dikaitkan dengan melaksanakan perintah Yesus. Perintah Yesus dalam kerangka cinta kasih ini bukanlah seperti yang dibayangkan Machiavelli. Bukan karena tekanan takut, tapi justru energi atau nutrisi cinta yang mengalir dari pokok anggur itulah yang menghasilkan buah. Sebagaimana pokok anggur menghasilkan buah, ini adalah keniscayaan atau dampak. Ya, dampak karena ranting itu dialiri nutrisi, maka ia berbuah. Begitu juga kehidupan para murid yang dialiri oleh nutrisi, energi cinta dari Kristus, maka dampaknya akan menghasilkan buah. Dalam hal ini, melaksanakan tugas atau perintah Yesus. Melaksanakan tugas atau perintah atas dasar dorongan cinta akan sangat berbeda dengan melaksanakan tugas karena takut.

 

Di dalam ketaatan untuk menyelesaikan tugas-Nya pada kehendak Allah itu, kasih Yesus kepada Allah itu menjadi amat jelas. Kasih para murid kepada Yesus juga akan menjadi nyata kalau mereka setia melakukan tugas-tugas yang dipercayakan Yesus kepada mereka. 

 

Yesus yang sebentar lagi akan kembali kepada Bapa mengatakan supaya sukacita-Nya tinggal di dalam para murid dan sukacita para murid menjadi penuh. Apa artinya? Kesatuan kasih yang terbangun antara Bapa - Anak - para murid tidak hanya membawa sukacita bagi para murid, tetapi juga bagi Yesus. Sukacita itu berangkat karena cinta kasih. Cinta kasih itu memunculkan ketaatan pada firman yang sedang dibicarakan oleh Yesus. Kasih yang mengalir dari Bapa itulah yang diterima Yesus dan sekarang dialirkan kepada para murid. Yesus yang adalah pokok anggur yang benar, mengalirkan nutrisi, energi cinta kasih Bapa. Murid-murid yang adalah ranting, tumbuh dan dipersatukan dalam pokok anggur yang sama, yakni Yesus Kristus!

 

Para murid masuk dalam kesatuan dengan Bapa dan Anak bukan karena jasa mereka sendiri. Kesatuan mereka dengan Bapa terjadi oleh karena Pokok Anggur itu, Yesus memasukkan mereka ke dalamnya. Dengan demikian, inisiatif datang dari Yesus sendiri. “Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu.” Kalau tidak dipanggil oleh Yesus, para murid tidak akan datang kepada Yesus, dan tidak terhubung pula dengan kasih Bapa. Mereka dipanggil Yesus untuk pergi dan menghasilkan buah. Buah inilah yang akan menjadi tanda bahwa mereka adalah murid-murid Yesus. Kesatuan dengan Yesus, bukanlah kesatuan yang statis, melainkan kesatuan yang dinamis yang membuat para murid bukan seperti robot, melainkan dengan kreativitasnya mereka bergiat melakukan apa yang difirmankan Yesus.

 

Kasih Yesus yang dinamis dan besar itu menjadi contoh atau roll model kasih yang harus tumbuh di antara para murid. Kasih Yesus yang menyerahkan nyawa-Nya itu adalah dasar bagi kasih mereka satu terhadap yang lain. Hanya karena mereka hidup dalam kasih Yesuslah mereka dapat melakukan apa yang tampaknya oleh dunia dinilai mustahil: mengasihi tanpa syarat dan setulus-tulusnya, bahkan rela kehilangan nyawa!

 

Kita yang terhubung oleh pemberitaan para murid dan kemudian menjadi percaya kepada-Nya, adalah juga ranting-ranting-Nya. Kita semua dari pelbagai bangsa, suku bangsa, ras dan beragam suku bangsa telah dipersatukan dalam Sang Pokok Anggur, oleh karenanya seharusnya kita merasakan aliran-aliran cinta kasih Allah itu, yang kemudian berbuah pada waktunya.

 

 

Jakarta, Minggu Paskah VI 2021