Jumat, 09 April 2021

PERTOBATAN DAN PENGAMPUNAN BUKAN HANYA WACANA

Setahun lebih pandemi Covid-19 menyapa dunia kita. Banyak hal telah berubah. Bahkan perubahan itu sangat kontras. Dulu jika Lebaran orang tidak pulang kampung dianggap telah lupa diri. Silahturahmi, berkumpul bersama keluarga merupakan salah satu bentuk bakti. Kini, mudik dilarang, silaturahmi cukup melalui telepon genggam atau media sosial. Dulu, yang namanya ibadah, pelayanan, persekutuan dan kesaksian itu pusatnya di gereja. Covid-19 telah mengubahnya menjadi kebaktian online, live streaming, zoom meeting, video call, dan lain sebagainya. Ibadah melalui dunia maya!

 

Covid-19 mengubah Sebagian besar perjumpaan fisik menjadi perjumpaan di dunia maya. Perjumpaan kita menjadi disembodied (tak bertubuh). Benar, kita harus mensyukuri kemajuan teknologi digital. Saya sulit membayangkan jika kemajuan teknologi digital itu belum sampai seperti yang sekarang kita nikmati. Pasti kita mengalami kesulitan yang semakin parah. Namun, tidak bisa dipungkiri juga bahwa betapa pun canggihnya teknologi yang dapat kita gunakan, tetap saja ada elemen-elemen yang hilang dalam perjumpaan kita di dunia maya, yakni aspek ragawi yang hadir secara langsung. Kita dapat mendengar suara, kita dapat melihat gambar yang bergerak, namun tidak dapat menyentuhnya. Ada aspek ragawi yang hilang dan kita sadar betul bahwa hal itu tidak dapat digantikan. Saya, dan banyak teman-teman pengkhotbah sangat merasakan ada perbedaan yang sangat mendasar antara berbicara dan menatap umat Tuhan yang beribadah, merasakan reaksi - entah itu antusias, atau masa bodoh, bahkan tertidur - secara langsung, ini sangat berbeda dengan berbicara dan menyapa di hadapan kamera. Walau bagaimana pun saya harus membayangkan lensa kamera ini adalah kehadiran saudara-saudara sekalian. Percayalah bukan perkara mudah!

 

Jelaslah, pengalaman-pengalaman ibadah kita, dengan cara seperti ini selama setahun lebih mengingatkan kepada kita bahwa betapa penting dan tidak tergantikannya perjumpaan ragawi itu. Salah satu kontribusi positif dari Covid-19 ini adalah: menyadarkan kepada kita bahwa perjumpaan ragawi itu adalah sesuatu yang sangat berharga. Perjumpaan ragawi itu adalah sebuah anugerah. Dulu, kita sering menyia-nyiakannya. Banyak alasan untuk kita tidak berjumpa. Namun kini, minimal setiap saya menyapa anggota jemaat, selalu saja ada kalimat, “Pak, kapan kita bisa beribadah lagi di gereja? Saya sudah kangen!”

 

Manusia adalah makhluk sosial, salah satu cirinya adalah kita rindu berjumpa tidak hanya sebatas melalui media sosial. Kita memerlukan interaksi konkret. Kita tidak cukup berinteraksi hanya melalui pesan teks dan suara serta gambar. Kita memerlukan kehadiran dan tindakan yang nyata.

 

Barangkali sama seperti kita, para murid Yesus juga membutuhkan perjumpaan konkret. Berita-berita kebangkitan sudah banyak mereka dengar. Bahkan kesaksian itu berasal dari orang-orang yang telah berjumpa secara langsung dengan Yesus. Tidak ketinggalan Kleopas dan temannya yang baru kembali dari Emaus juga sedang antusias menyampaikan kesaksian mereka tentang perjumpaan dengan Yesus yang bangkit. Mereka sedang bercakap-cakap tentang hal-hal itu (peristiwa perjumpaan dengan Yesus yang bangkit), tiba-tiba Yesus yang sedang mereka bicarakan itu hadir berdiri di tengah-tengah mereka (Lukas 24:36).

 

“Eh, panjang umur. Ini orangnya datang!” Biasanya kalimat semacam itu yang spontan muncul ketika orang yang kita bicarakan tiba-tiba saja muncul. Namun, bagaimana respon para murid itu? Mereka terkejut dan takut dan menyangka bahwa mereka melihat hantu (Lukas 24:37). Jelaslah di sini kita menemukan kesenjangan. Ada hal yang sama sekali berbeda: ada jurang pemisah antara yang menjadi pembicaraan dengan kenyataan sesungguhnya. Ada perbedaan antara wacana dan kehadiran ragawi itu.

 

Bukannya gembira, mereka terkejut dan takut karena mengira bahwa sosok yang hadir di depan mereka itu adalah hantu. Bahasa Yunani untuk menggambarkan ketakutan mereka di sini adalah emphobos. Gabungan dua kata “en” (dalam, di dalam), dan phobos (takut). Kata ini menggambarkan rasa takut yang dalam. Bahkan kata ini dapat diterjemahkan “dihempaskan dalam ketakutan.” Jika sebelumnya Yesus dikira orang asing oleh Kleopas dan temannya, kini Ia dikira hantu!

 

Bukan hanya kebangkitan Yesus yang menjadi pertanyaan bagi para murid, melainkan dalam keadaan seperti apakah Yesus bangkit. Apakah kebangkitan-Nya hanya secara spiritual? Ataukah Yesus memang bangkit dengan tubuh yang nyata? Sejak peristiwa pagi itu di kubur Yesus dan peristiwa di Emaus, hal ini yang belum jelas. Para murid perempuan mendengar kabar kebangkitan Yesus dari dua orang yang mengenakan jubah berkilau. Mereka belum melihat secara langsung tubuh Yesus yang bangkit itu. Demikian juga dengan Petrus yang bergegas menuju kubur Yesus setelah mendapat informasi dari murid perempuan. Hanya kain kafan saja yang dia lihat. Barangkali Kleopas dan temannya saja yang sedikit beruntung bahwa mereka akhirnya berjumpa dengan Yesus yang bangkit itu.

 

Yesus sangat mengerti keterbatasan sekaligus kebutuhan para murid dan barangkali kita semua: kebutuhan perjumpaan secara fisik itu. Yesus hadir di tengah-tengah mereka yang sedang mendiskusikan kebangkitan-Nya itu dengan menujukkan luka-luka-Nya. Yesus menjawab kebutuhan itu, “rabalah Aku dan lihatlah karena hantu tidak ada daging dan tulangnya.” Untuk lebih meyakinkan, Yesus meminta sepotong ikan goreng. Tak pelak lagi, ikan itu mengingatkan kita pada beberapa murid yang berprofesi sebagai nelayan di Galilea sebelum mereka menjadi murid Yesus. Ikan juga mengingatkan pada mukjizat yang pernah dibuat Yesus untuk memberi makan ribuan orang.

 

Yesus tidak menggunakan cara yang rumit agar murid-murid-Nya tahu bahwa Ia telah bangkit dengan tubuh yang konkret, melainkan dengan menunjukkan bekas luka dan makan ikan goreng. Dengan demikian murid-murid-Nya mengerti bahwa yang ada di hadapan mereka sungguh-sungguh Yesus yang hadir secara ragawi. Yang dapat merasakan lapar. Perjumpaan mereka dengan Yesus bukan perjumpaan yang maya, melainkan perjumpaan nyata. Injil Lukas mau menegaskan bahwa kebangkitan Yesus bukan hanya kebangkitan spiritual, melainkan juga kebangkitan ragawi.

 

Setelah mengulang kembali apa yang sebelumnya disampaikan kepada Kleopas dan temannya, Yesus memberikan tugas kepada mereka untuk memberitakan dalam nama-Nya pertobatan dan pengampunan dosa (Lukas 24:47) kepada segala bangsa. Tentu saja Yesus mengutus mereka bukan dengan “tangan hampa”, melainkan nantinya dilengkapi oleh kekuasaan dari tempat tinggi.

 

Yesus, tentu saja menginginkan berita pertobatan dan pengampunan dosa itu disampaikan bukan dalam bentuk yang absur, maya dan sekedar wacana. Sebagaimana, mereka harus menyadari bahwa Yesus pun hadir di antara mereka secara nyata, konkret dan ragawi, maka seperti itulah mereka juga harus menghadirkan berita pertobatan dan pengampunan dosa.

 

Perubahan nyata ditunjukkan oleh para murid. Pesimis, takut, dan mengunci diri kini berubah menjadi optimis, antusias, membuka diri dan memberitakan Injil Yesus Kristus. Petrus yang sebelumnya tiga kali menyangkal, kini dalam bacaan pertama, tampil di Serambi Salomo. Ia berkhotbah tentang penderitaan, kematian dan kebangkitan Yesus. Dalam khotbahnya, Petrus mendorong supaya orang-orang yang mendengarnya bertobat. Pertobatan selalu dimulai dari pengakuan dosa. Setelah itu diikuti oleh perubahan yang nyata baik dalam pola pikir, perkataan, terlebih dalam perbuatan.

 

Pertobatan dan pengampunan bukan sekedar di dunia maya, mengawang-awang atau wacana. Banyak orang gemar membicarakannya, berdebat dan mengumpulkan banyak definisi, namun dalam praktiknya tidak pernah terjadi. Di gereja atau dalam ibadah online kita suka salam damai, “damai Kristus besertamu!” Seolah kita saling mengampuni, tetapi kenyataannya tidak. Kita terus membicarakan kesalahan orang lain, diri kitalah yang paling benar. Kita sulit mengakui kesalahan, sulit untuk mengampuni. Jelaslah, kondisi seperti ini tidak akan menjadi kesaksian yang baik. Tidak mencerminkan murid Yesus yang sejati.

 

Murid-murid Yesus yang dipulihkan, akan menunjukkan pemulihan itu. Ini tepat seperti para murid Yesus. Gereja akan terus bertumbuh bukan hanya sibuk dengan wacana, melainkan sibuk mempraktikkan apa yang dipelajarinya dari Yesus, Sang Guru Agung dan Tuhan yang bangkit itu!

 

Jakarta, Paskah III 2021

 

 

Jumat, 02 April 2021

PENERIMA DAMAI SEJAHTERA

Sembunyi. Apa alasan orang bersembunyi? Menurut saya minimal ada dua alasan. Pertama, bermain. Ya, waktu kecil kita suka bermain petak umpet. Rasanya paling bangga kalau dalam permainan petak umpet keberadaan kita sulit ditemukan. Permainan petak umpet bisa berlanjut sampai dewasa. Kita senang membuat kejutan, bersembunyi lalu tiba-tiba muncul dan mengejutkan orang yang kita cintai.

 

Alasan kedua kita bersembunyi, takut! Bukankah ketika kita merasa terancam, ketakutan maka kita mencari tempat yang aman. Sembunyi serapat mungkin. Kita bersembunyi menghindari kerusuhan, huru-hara. Kita sembunyi dari penagih utang, sembunyi dari persoalan hidup dan akhirnya melarikan diri dari kenyataan yang tidak kita sukai.

 

Jelas, ketika para murid bersembunyi dalam sebuah kamar dengan pintu terkunci, ini bukan sedang main petak umpet atau mereka ingin membuat kejutan. Mereka bersembunyi oleh karena merasa terancam. Guru dan Tuhan mereka baru saja dieksekusi dengan cara kejam dan biadab. Tentu saja mereka yang membenci-Nya akan berusaha menumpas para pengikut-Nya. Para serdadu, petinggi dan penjaga Bait Allah pastinya mengerahkan kekuatan, intel, dan apa saja yang mereka punya untuk membasmi gerakan Yesus yang dicap menodai agama Yahudi.

 

Sangat logis kalau para murid ini mencari tempat sembunyi yang dipandang aman. Mereka berkumpul di suatu tempat dengan pintu-pintu yang terkunci. Disebut “pintu-pintu” berarti lebih dari satu pintu. Bisa saja tempat itu berupa sebuah ruangan, ada beberapa pintu untuk bisa masuk ruangan itu, agar merasa aman mereka mengunci semua pintu-pintu yang menghubungkan ke ruangan mereka. Atau, bisa juga ruangan itu punya akses jalan keluar masuk satu saja namun, disekat dengan beberapa pintu, dan semua pintu-pintu itu mereka kunci. Apa pun yang dapat kita bayangkan, ini menunjukkan bahwa para murid bersembunyi dengan rapi dan dalam ruangan yang terkunci rapat.

 

Pintu-pintu yang terkunci secara tidak langsung mencerminkan kedalaman hati. Hati yang terkunci, hati yang tidak merasa aman, hati yang tidak damai sejahtera akan terkunci rapat-rapat. Coba saja periksa diri kita. Di mana hati kita diliputi ketakutan, ketidaksukaan, tidak ada damai sejahtera, maka akan tercermin dari sikap kita yang menutup diri. Kita sembunyi bahkan melarikan diri dari persoalan yang seharusnya kita tangani.

 

Petang hari pada hari pertama kebangkitan-Nya, Yesus menampakkan diri kepada para murid-Nya yang sedang dibelenggu oleh ketakutan. Ia menerobos pintu-pintu yang terkunci itu. Ia hadir di tengah-tengah pesimisme dan ketakutan, lalu mengatakan, “Damai sejahtera bagi kamu!” Tentu saja para murid terkejut. Sangat mungkin mereka menyangka yang ada di hadapannya adalah hantu. Yesus mengerti ketakutan mereka. Lalu, Ia membuktikan kepada para murid-Nya itu bahwa benar-benar diri-Nya yang berdiri di hadapan mereka, Ia menunjukkan tangan dan kaki-Nya, serta luka yang menganga pada lambung-Nya.

 

Mengapa Maria dari Magdala dan para murid ini tidak langsung mengenali Yesus? Bukankah Yesus ini yang begitu dekat dengan mereka? Bukankah baru tadi pagi mereka dihebohkan dengan kabar Yesus bangkit? Rasanya belum begitu lama mereka mengenal Yesus dari dekat dan mustahil sesingkat itu mereka lupa akan wajah dan penampilan Yesus!

 

Pagi tadi, Maria mengenali Yesus, baru pada waktu Yesus memanggil dengan namanya. Dan para murid ini baru mengenali-Nya ketika Ia menunjukkan luka-luka-Nya. Mereka menjadi asing dan buta terhadap kehadiran Yesus oleh karena harapan-harapan mereka yang tidak terpenuhi. Mereka menjadi buta oleh karena perasaan kehilangan yang begitu mendalam dan putus asa. Dengan cara yang sama, kita pun dapat menjadi buta oleh karena ketakutan, kesedihan, kehilangan dan kesusahan kita. Kita menjadi buta dan tidak lagi dapat melihat harapan, janji, dan kasih setia Tuhan. Kita menjadi orang yang terbelenggu dengan urusan-urusan yang berpusat pada diri sendiri.

 

“Damai sejahtera bagi kamu!”

Inilah yang mampu mendobrak pintu-pintu hati yang terkunci. Damai sejahtera yang diberikan Yesus tidaklah sama dengan damai yang diberikan oleh dunia ini. Damai ini adalah damai sejahtera batin yang mengalir dari kehadiran-Nya. Yesus hadir, ada di tengah-tengah mereka dan memberikan diri bagi mereka. Ia menyatakan kasih-Nya yang mengampuni kepada mereka satu per satu. Yesus yang hadir dan menyapa itu tidak mencela dan menghakimi mereka yang ketakutan dan tidak setia. Ia tidak menyampaikan celaan apa pun kepada Petrus yang menyangkal-Nya tiga kali. Ia tidak membuat satu orang pun merasa bersalah. Kehadiran-Nya menegaskan kepada diri mereka: mereka adalah murid-murid yang Ia cintai, dan Ia berada di situ untuk mereka masing-masing.

 

Dalam perjumpaan singkat ini, Yesus mengubah kelompok orang-orang yang ketakutan, kebingungan, putus asa menjadi komunitas yang dipenuhi cinta kasih. Dalam komunitas itu, para murid dihimpun bersama, dikuatkan. Mereka diteguhkan untuk menjadi seperti diri-Nya yang bersedia meneruskan misi Bapa-Nya: untuk menyatakan wajah Allah yang berbelas kasih. Allah yang berbela rasa dan mengampuni; dan untuk memberikan hidup, hidup abadi kepada semua orang yang menerima Dia. Yesus menunjukkan kepada para murid-Nya tanggung jawab yang harus mereka pikul. Kalau para murid menjadi seperti Yesus dan tinggal di dalam-Nya, maka mereka akan membebaskan orang dari kekerasan dan kebencian serta belenggu dosa.

 

Sama seperti para murid, bisa saja saat ini hati kita terkunci. Kita terbelenggu dengan kesedihan dan kesusahan kita. Kita menutup rapat pintu hati ini untuk melihat secercah harapan. Yakinlah, bahwa Yesus sanggup menembus dinding dan pintu hati kita yang terkunci. Ia mampu menyapa dan memberikan pengharapan, Ia pun menyatakan hal yang sama, “Damai sejahtera bagi kamu!”

 

Yesus menyatakan bahwa Ia mencintai kita dan mengampuni segala kesalahan kita. Sama seperti kepada para murid, Ia tidak mencela dan menghakimi kita atas kedegilan dan kekerasan hati kita. Ia tidak menuding kita sebagai penghianat, meski benar kerap kali kita menjadi penghianat dengan mengingkari kebenaran yang diajarkan-Nya. Di mata-Nya, kita adalah istimewa dan berharga, oleh karena itu Ia rela mati untuk kita. Kita adalah anak-anak Allah yang terkasih yang tidak dibiarkan-Nya satu pun terhilang.

 

Ketika Dia telah menembus pintu-pintu hati yang terkunci, merangkul dan menyapa kita dengan damai sejahtera-Nya, lalu apakah yang harus kita lakukan? Diam dan menolaknya? Ataukah kita menyambut-Nya dengan sukacita dan menyediakan diri untuk dipulihkan. Kita memberi diri dan membuka hati untuk dipulihkan dari luka-luka kita.

 

Kita tidak diminta-Nya memperlihatkan kehebatan kita untuk dapat menerima damai sejahtera-Nya, melainkan bersedia membuka luka-luka kita. Luka-luka batin yang terpendam begitu lama. Luka-luka ini yang membuat kita curiga, berpandangan negatif, sulit mengampuni dan memendam dendam kesumat. Sehingga hidup kita diwarnai oleh ketakutan, kuatir, dan tidak ada damai sejahtera. Jadilah orang yang pantas menerima damai sejahtera dari Tuhan Yesus. Caranya? Sangat mudah dan sederhana: jangan keraskan hati, bukalah dan sambut damai sejahtera itu karena ia sudah ada dalam kuasa kebangkitan-Nya!

 

 

Jakarta, Paskah II 2021