Sembunyi. Apa alasan orang bersembunyi? Menurut saya minimal ada dua alasan. Pertama, bermain. Ya, waktu kecil kita suka bermain petak umpet. Rasanya paling bangga kalau dalam permainan petak umpet keberadaan kita sulit ditemukan. Permainan petak umpet bisa berlanjut sampai dewasa. Kita senang membuat kejutan, bersembunyi lalu tiba-tiba muncul dan mengejutkan orang yang kita cintai.
Alasan kedua kita bersembunyi, takut! Bukankah ketika kita merasa terancam, ketakutan maka kita mencari tempat yang aman. Sembunyi serapat mungkin. Kita bersembunyi menghindari kerusuhan, huru-hara. Kita sembunyi dari penagih utang, sembunyi dari persoalan hidup dan akhirnya melarikan diri dari kenyataan yang tidak kita sukai.
Jelas, ketika para murid bersembunyi dalam sebuah kamar dengan pintu terkunci, ini bukan sedang main petak umpet atau mereka ingin membuat kejutan. Mereka bersembunyi oleh karena merasa terancam. Guru dan Tuhan mereka baru saja dieksekusi dengan cara kejam dan biadab. Tentu saja mereka yang membenci-Nya akan berusaha menumpas para pengikut-Nya. Para serdadu, petinggi dan penjaga Bait Allah pastinya mengerahkan kekuatan, intel, dan apa saja yang mereka punya untuk membasmi gerakan Yesus yang dicap menodai agama Yahudi.
Sangat logis kalau para murid ini mencari tempat sembunyi yang dipandang aman. Mereka berkumpul di suatu tempat dengan pintu-pintu yang terkunci. Disebut “pintu-pintu” berarti lebih dari satu pintu. Bisa saja tempat itu berupa sebuah ruangan, ada beberapa pintu untuk bisa masuk ruangan itu, agar merasa aman mereka mengunci semua pintu-pintu yang menghubungkan ke ruangan mereka. Atau, bisa juga ruangan itu punya akses jalan keluar masuk satu saja namun, disekat dengan beberapa pintu, dan semua pintu-pintu itu mereka kunci. Apa pun yang dapat kita bayangkan, ini menunjukkan bahwa para murid bersembunyi dengan rapi dan dalam ruangan yang terkunci rapat.
Pintu-pintu yang terkunci secara tidak langsung mencerminkan kedalaman hati. Hati yang terkunci, hati yang tidak merasa aman, hati yang tidak damai sejahtera akan terkunci rapat-rapat. Coba saja periksa diri kita. Di mana hati kita diliputi ketakutan, ketidaksukaan, tidak ada damai sejahtera, maka akan tercermin dari sikap kita yang menutup diri. Kita sembunyi bahkan melarikan diri dari persoalan yang seharusnya kita tangani.
Petang hari pada hari pertama kebangkitan-Nya, Yesus menampakkan diri kepada para murid-Nya yang sedang dibelenggu oleh ketakutan. Ia menerobos pintu-pintu yang terkunci itu. Ia hadir di tengah-tengah pesimisme dan ketakutan, lalu mengatakan, “Damai sejahtera bagi kamu!” Tentu saja para murid terkejut. Sangat mungkin mereka menyangka yang ada di hadapannya adalah hantu. Yesus mengerti ketakutan mereka. Lalu, Ia membuktikan kepada para murid-Nya itu bahwa benar-benar diri-Nya yang berdiri di hadapan mereka, Ia menunjukkan tangan dan kaki-Nya, serta luka yang menganga pada lambung-Nya.
Mengapa Maria dari Magdala dan para murid ini tidak langsung mengenali Yesus? Bukankah Yesus ini yang begitu dekat dengan mereka? Bukankah baru tadi pagi mereka dihebohkan dengan kabar Yesus bangkit? Rasanya belum begitu lama mereka mengenal Yesus dari dekat dan mustahil sesingkat itu mereka lupa akan wajah dan penampilan Yesus!
Pagi tadi, Maria mengenali Yesus, baru pada waktu Yesus memanggil dengan namanya. Dan para murid ini baru mengenali-Nya ketika Ia menunjukkan luka-luka-Nya. Mereka menjadi asing dan buta terhadap kehadiran Yesus oleh karena harapan-harapan mereka yang tidak terpenuhi. Mereka menjadi buta oleh karena perasaan kehilangan yang begitu mendalam dan putus asa. Dengan cara yang sama, kita pun dapat menjadi buta oleh karena ketakutan, kesedihan, kehilangan dan kesusahan kita. Kita menjadi buta dan tidak lagi dapat melihat harapan, janji, dan kasih setia Tuhan. Kita menjadi orang yang terbelenggu dengan urusan-urusan yang berpusat pada diri sendiri.
“Damai sejahtera bagi kamu!”
Inilah yang mampu mendobrak pintu-pintu hati yang terkunci. Damai sejahtera yang diberikan Yesus tidaklah sama dengan damai yang diberikan oleh dunia ini. Damai ini adalah damai sejahtera batin yang mengalir dari kehadiran-Nya. Yesus hadir, ada di tengah-tengah mereka dan memberikan diri bagi mereka. Ia menyatakan kasih-Nya yang mengampuni kepada mereka satu per satu. Yesus yang hadir dan menyapa itu tidak mencela dan menghakimi mereka yang ketakutan dan tidak setia. Ia tidak menyampaikan celaan apa pun kepada Petrus yang menyangkal-Nya tiga kali. Ia tidak membuat satu orang pun merasa bersalah. Kehadiran-Nya menegaskan kepada diri mereka: mereka adalah murid-murid yang Ia cintai, dan Ia berada di situ untuk mereka masing-masing.
Dalam perjumpaan singkat ini, Yesus mengubah kelompok orang-orang yang ketakutan, kebingungan, putus asa menjadi komunitas yang dipenuhi cinta kasih. Dalam komunitas itu, para murid dihimpun bersama, dikuatkan. Mereka diteguhkan untuk menjadi seperti diri-Nya yang bersedia meneruskan misi Bapa-Nya: untuk menyatakan wajah Allah yang berbelas kasih. Allah yang berbela rasa dan mengampuni; dan untuk memberikan hidup, hidup abadi kepada semua orang yang menerima Dia. Yesus menunjukkan kepada para murid-Nya tanggung jawab yang harus mereka pikul. Kalau para murid menjadi seperti Yesus dan tinggal di dalam-Nya, maka mereka akan membebaskan orang dari kekerasan dan kebencian serta belenggu dosa.
Sama seperti para murid, bisa saja saat ini hati kita terkunci. Kita terbelenggu dengan kesedihan dan kesusahan kita. Kita menutup rapat pintu hati ini untuk melihat secercah harapan. Yakinlah, bahwa Yesus sanggup menembus dinding dan pintu hati kita yang terkunci. Ia mampu menyapa dan memberikan pengharapan, Ia pun menyatakan hal yang sama, “Damai sejahtera bagi kamu!”
Yesus menyatakan bahwa Ia mencintai kita dan mengampuni segala kesalahan kita. Sama seperti kepada para murid, Ia tidak mencela dan menghakimi kita atas kedegilan dan kekerasan hati kita. Ia tidak menuding kita sebagai penghianat, meski benar kerap kali kita menjadi penghianat dengan mengingkari kebenaran yang diajarkan-Nya. Di mata-Nya, kita adalah istimewa dan berharga, oleh karena itu Ia rela mati untuk kita. Kita adalah anak-anak Allah yang terkasih yang tidak dibiarkan-Nya satu pun terhilang.
Ketika Dia telah menembus pintu-pintu hati yang terkunci, merangkul dan menyapa kita dengan damai sejahtera-Nya, lalu apakah yang harus kita lakukan? Diam dan menolaknya? Ataukah kita menyambut-Nya dengan sukacita dan menyediakan diri untuk dipulihkan. Kita memberi diri dan membuka hati untuk dipulihkan dari luka-luka kita.
Kita tidak diminta-Nya memperlihatkan kehebatan kita untuk dapat menerima damai sejahtera-Nya, melainkan bersedia membuka luka-luka kita. Luka-luka batin yang terpendam begitu lama. Luka-luka ini yang membuat kita curiga, berpandangan negatif, sulit mengampuni dan memendam dendam kesumat. Sehingga hidup kita diwarnai oleh ketakutan, kuatir, dan tidak ada damai sejahtera. Jadilah orang yang pantas menerima damai sejahtera dari Tuhan Yesus. Caranya? Sangat mudah dan sederhana: jangan keraskan hati, bukalah dan sambut damai sejahtera itu karena ia sudah ada dalam kuasa kebangkitan-Nya!
Jakarta, Paskah II 2021
Tidak ada komentar:
Posting Komentar