Jumat, 02 April 2021

PENERIMA DAMAI SEJAHTERA

Sembunyi. Apa alasan orang bersembunyi? Menurut saya minimal ada dua alasan. Pertama, bermain. Ya, waktu kecil kita suka bermain petak umpet. Rasanya paling bangga kalau dalam permainan petak umpet keberadaan kita sulit ditemukan. Permainan petak umpet bisa berlanjut sampai dewasa. Kita senang membuat kejutan, bersembunyi lalu tiba-tiba muncul dan mengejutkan orang yang kita cintai.

 

Alasan kedua kita bersembunyi, takut! Bukankah ketika kita merasa terancam, ketakutan maka kita mencari tempat yang aman. Sembunyi serapat mungkin. Kita bersembunyi menghindari kerusuhan, huru-hara. Kita sembunyi dari penagih utang, sembunyi dari persoalan hidup dan akhirnya melarikan diri dari kenyataan yang tidak kita sukai.

 

Jelas, ketika para murid bersembunyi dalam sebuah kamar dengan pintu terkunci, ini bukan sedang main petak umpet atau mereka ingin membuat kejutan. Mereka bersembunyi oleh karena merasa terancam. Guru dan Tuhan mereka baru saja dieksekusi dengan cara kejam dan biadab. Tentu saja mereka yang membenci-Nya akan berusaha menumpas para pengikut-Nya. Para serdadu, petinggi dan penjaga Bait Allah pastinya mengerahkan kekuatan, intel, dan apa saja yang mereka punya untuk membasmi gerakan Yesus yang dicap menodai agama Yahudi.

 

Sangat logis kalau para murid ini mencari tempat sembunyi yang dipandang aman. Mereka berkumpul di suatu tempat dengan pintu-pintu yang terkunci. Disebut “pintu-pintu” berarti lebih dari satu pintu. Bisa saja tempat itu berupa sebuah ruangan, ada beberapa pintu untuk bisa masuk ruangan itu, agar merasa aman mereka mengunci semua pintu-pintu yang menghubungkan ke ruangan mereka. Atau, bisa juga ruangan itu punya akses jalan keluar masuk satu saja namun, disekat dengan beberapa pintu, dan semua pintu-pintu itu mereka kunci. Apa pun yang dapat kita bayangkan, ini menunjukkan bahwa para murid bersembunyi dengan rapi dan dalam ruangan yang terkunci rapat.

 

Pintu-pintu yang terkunci secara tidak langsung mencerminkan kedalaman hati. Hati yang terkunci, hati yang tidak merasa aman, hati yang tidak damai sejahtera akan terkunci rapat-rapat. Coba saja periksa diri kita. Di mana hati kita diliputi ketakutan, ketidaksukaan, tidak ada damai sejahtera, maka akan tercermin dari sikap kita yang menutup diri. Kita sembunyi bahkan melarikan diri dari persoalan yang seharusnya kita tangani.

 

Petang hari pada hari pertama kebangkitan-Nya, Yesus menampakkan diri kepada para murid-Nya yang sedang dibelenggu oleh ketakutan. Ia menerobos pintu-pintu yang terkunci itu. Ia hadir di tengah-tengah pesimisme dan ketakutan, lalu mengatakan, “Damai sejahtera bagi kamu!” Tentu saja para murid terkejut. Sangat mungkin mereka menyangka yang ada di hadapannya adalah hantu. Yesus mengerti ketakutan mereka. Lalu, Ia membuktikan kepada para murid-Nya itu bahwa benar-benar diri-Nya yang berdiri di hadapan mereka, Ia menunjukkan tangan dan kaki-Nya, serta luka yang menganga pada lambung-Nya.

 

Mengapa Maria dari Magdala dan para murid ini tidak langsung mengenali Yesus? Bukankah Yesus ini yang begitu dekat dengan mereka? Bukankah baru tadi pagi mereka dihebohkan dengan kabar Yesus bangkit? Rasanya belum begitu lama mereka mengenal Yesus dari dekat dan mustahil sesingkat itu mereka lupa akan wajah dan penampilan Yesus!

 

Pagi tadi, Maria mengenali Yesus, baru pada waktu Yesus memanggil dengan namanya. Dan para murid ini baru mengenali-Nya ketika Ia menunjukkan luka-luka-Nya. Mereka menjadi asing dan buta terhadap kehadiran Yesus oleh karena harapan-harapan mereka yang tidak terpenuhi. Mereka menjadi buta oleh karena perasaan kehilangan yang begitu mendalam dan putus asa. Dengan cara yang sama, kita pun dapat menjadi buta oleh karena ketakutan, kesedihan, kehilangan dan kesusahan kita. Kita menjadi buta dan tidak lagi dapat melihat harapan, janji, dan kasih setia Tuhan. Kita menjadi orang yang terbelenggu dengan urusan-urusan yang berpusat pada diri sendiri.

 

“Damai sejahtera bagi kamu!”

Inilah yang mampu mendobrak pintu-pintu hati yang terkunci. Damai sejahtera yang diberikan Yesus tidaklah sama dengan damai yang diberikan oleh dunia ini. Damai ini adalah damai sejahtera batin yang mengalir dari kehadiran-Nya. Yesus hadir, ada di tengah-tengah mereka dan memberikan diri bagi mereka. Ia menyatakan kasih-Nya yang mengampuni kepada mereka satu per satu. Yesus yang hadir dan menyapa itu tidak mencela dan menghakimi mereka yang ketakutan dan tidak setia. Ia tidak menyampaikan celaan apa pun kepada Petrus yang menyangkal-Nya tiga kali. Ia tidak membuat satu orang pun merasa bersalah. Kehadiran-Nya menegaskan kepada diri mereka: mereka adalah murid-murid yang Ia cintai, dan Ia berada di situ untuk mereka masing-masing.

 

Dalam perjumpaan singkat ini, Yesus mengubah kelompok orang-orang yang ketakutan, kebingungan, putus asa menjadi komunitas yang dipenuhi cinta kasih. Dalam komunitas itu, para murid dihimpun bersama, dikuatkan. Mereka diteguhkan untuk menjadi seperti diri-Nya yang bersedia meneruskan misi Bapa-Nya: untuk menyatakan wajah Allah yang berbelas kasih. Allah yang berbela rasa dan mengampuni; dan untuk memberikan hidup, hidup abadi kepada semua orang yang menerima Dia. Yesus menunjukkan kepada para murid-Nya tanggung jawab yang harus mereka pikul. Kalau para murid menjadi seperti Yesus dan tinggal di dalam-Nya, maka mereka akan membebaskan orang dari kekerasan dan kebencian serta belenggu dosa.

 

Sama seperti para murid, bisa saja saat ini hati kita terkunci. Kita terbelenggu dengan kesedihan dan kesusahan kita. Kita menutup rapat pintu hati ini untuk melihat secercah harapan. Yakinlah, bahwa Yesus sanggup menembus dinding dan pintu hati kita yang terkunci. Ia mampu menyapa dan memberikan pengharapan, Ia pun menyatakan hal yang sama, “Damai sejahtera bagi kamu!”

 

Yesus menyatakan bahwa Ia mencintai kita dan mengampuni segala kesalahan kita. Sama seperti kepada para murid, Ia tidak mencela dan menghakimi kita atas kedegilan dan kekerasan hati kita. Ia tidak menuding kita sebagai penghianat, meski benar kerap kali kita menjadi penghianat dengan mengingkari kebenaran yang diajarkan-Nya. Di mata-Nya, kita adalah istimewa dan berharga, oleh karena itu Ia rela mati untuk kita. Kita adalah anak-anak Allah yang terkasih yang tidak dibiarkan-Nya satu pun terhilang.

 

Ketika Dia telah menembus pintu-pintu hati yang terkunci, merangkul dan menyapa kita dengan damai sejahtera-Nya, lalu apakah yang harus kita lakukan? Diam dan menolaknya? Ataukah kita menyambut-Nya dengan sukacita dan menyediakan diri untuk dipulihkan. Kita memberi diri dan membuka hati untuk dipulihkan dari luka-luka kita.

 

Kita tidak diminta-Nya memperlihatkan kehebatan kita untuk dapat menerima damai sejahtera-Nya, melainkan bersedia membuka luka-luka kita. Luka-luka batin yang terpendam begitu lama. Luka-luka ini yang membuat kita curiga, berpandangan negatif, sulit mengampuni dan memendam dendam kesumat. Sehingga hidup kita diwarnai oleh ketakutan, kuatir, dan tidak ada damai sejahtera. Jadilah orang yang pantas menerima damai sejahtera dari Tuhan Yesus. Caranya? Sangat mudah dan sederhana: jangan keraskan hati, bukalah dan sambut damai sejahtera itu karena ia sudah ada dalam kuasa kebangkitan-Nya!

 

 

Jakarta, Paskah II 2021

Rabu, 31 Maret 2021

KOMUNITAS KASIH

Konon tokoh besar India, Mahatma Gandhi sangat dipengaruhi oleh hidup dan pesan Yesus, meskipun ia tidak menyatakan diri sebagai orang Kristen. Adalah tema-tema Khotbah di Bukit dan pembasuhan kaki yang begitu kuat merasuk jiwanya sehingga muncul dalam karakter, tingkah laku dan gerakan yang dipimpinnya. Salah satu contoh pengaruh itu ketika ia mempunyai kekuasaan besar sebagai pemimpin negerinya, ia memilih mengambil tempat yang teramat sederhana: tinggal bukan di istana tetapi di ashram. Tugasnya setiap hari adalah membersihkan toilet, tanda yang amat jelas bahwa ia ingin melayani orang lain.

 

Tak dapat disangkal, melayani adalah manifestasi cinta yang paling otentik dan kasat mata. Sulit dibayangkan jika kita mengatakan bahwa, “aku mencintaimu, aku mengasihimu”, lalu tidak pernah muncul dalam tindakan, yakni melayani dan memberikan apa yang dibutuhkan kepada orang yang kita nyatakan cinta kasih kita itu.

 

Sudah teramat umum kata melayani itu ada dalam komunitas Kristen. Kelompok yang menyatakan diri anak-anak Tuhan. Namun, benarkah komunitas Kristiani ini diwarnai atau dijiwai oleh kasih? Ataukah tema kasih hanya seperti flatform atau semboyan sebuah partai politik untuk mencari simpatik kalayak yang pada kenyataannya jauh panggang dari pada api. Boleh dan lumrah dilanggar untuk kepentingan sesaat. Toh nanti ada segudang teori dan dalil untuk membenarkan tindakannya yang sama sekali jauh dari semboyan itu.

 

Jelas, Yesus tidak ingin para pengikut-Nya hanya pandai membuat semboyan indah namun gagal dibuktikan dalam kenyataan yang sesungguhnya. Ia sangat ingin dan serius agar apa yang diajarkan, dilakukan dan diteladankan itu benar-benar dipahami, dijiwai dan dilakukan dengan sungguh-sungguh oleh pengikut-Nya. Maka dalam perjamuan malam terakhir itu, “… Ia menanggalkan jubah-Nya, mengambil sehelai kain lenan dan mengikatkannya pada pinggang-Nya, kemudian Ia menuangkan air ke dalam sebuah basi, dan mulai membasuh kaki murid-murid-Nya, lalu menyekanya dengan kain yang terikat pada pingang-Nya.” (Yoh.13:4,5).  

 

Dalam budaya Yahudi, membasuh kaki orang lain adalah pekerjaan budak: yang lebih rendah membasuh kaki orang yang lebih tinggi kedudukannya. Murid membasuh kaki gurunya, rakyat jelata membasuh kaki rajanya. Tidak akan pernah terjadi sebaliknya: raja berlutut di depan kaki rakyatnya. Yesus jelas mempunyai kekuatan, kedudukan dan kuasa. Bukankah Dia itu Mesias, Anak Allah Yang Mahatinggi? 

 

Yesus sama sekali tidak membangun relasi dalam komunitas-Nya berdasarkan hierarki kuasa otoriter. Namun, Ia ingin membangunnya dalam relasi cinta kasih di mana melayani adalah tanda paling utamanya. Yesus ingin membangun komunitas yang berbeda. Semua kelompok, semua komunitas, semua masyarakat dibangun dengan model piramida: Yang berada di puncak adalah yang berkuasa, yang kaya, yang pandai. Mereka adalah orang yang menguasai dan memimpin, mereka adalah yang dilayani! Sedangkan yang berada di bagian paling bawah adalah si jelata, miskin, papa dan hina. Mereka dipinggirkan dan tidak diperhitungkan.

 

Pembasuhan kaki adalah pernyataan simbolik tetapi juga keberpihakan tegas. Dia menempatkan diri pada tempat yang paling rendah, tempat paling akhir, tempat para budak. Bagi Petrus, murid-murid Yesus dan kita, ini tidak mungkin! Menjadi tidak mungkin oleh karena, kita pun enggan melakukan hal itu ketika kita harus melayani orang yang statusnya lebih rendah! Petrus, murid-murid-Nya dan kita tidak sadar bahwa Yesus datang untuk mengubah model komunitas, dari model piramid menjadi model tubuh. Menurut model tubuh, setiap dan semua orang mempunyai tempat, entah mereka itu “normal” atau difabel; entah mereka kaya atau miskin, berpendidikan atau tidak, tua atau muda, laki maupun perempuan, sebagai tubuh masing-masing saling terkait, saling tergantung dan membutuhkan. Masing-masing dipanggil untuk mengemban tugas perutusan. Tidak ada yang disebut “tempat terakhir”!

 

Dengan menyatakan diri sebagai yang paling kecil dalam komunitas, sebagai orang yang melakukan tugas kotor, tugas budak; membasuh kaki dan berada di posisi yang terakhir, Yesus mengajak para murid-Nya untuk menanggalkan keegoisan dan memberi perhatian kepada yang paling kecil dalam masyarakat.

 

Kita bisa membayangkan betapa dengan lembut Yesus menyentuh kaki para murid, mata-Nya memandang mereka satu per satu, memanggil masing-masing dengan namanya dan mengatakan sesuatu yang khusus kepada mereka. Kalau dalam perjamuan, Ia berbicara kepada mereka semua; Ia tidak berkontak secara pribadi dengan mereka masing-masing. Namun, ketika dengan rendah hati Ia berlutut di hadapan mereka masing-masing dan membasuh kaki mereka, kontak pribadi itu terjadi! 

 

Ia menyatakan kasih-Nya kepada pribadi demi pribadi. Setiap pribadi murid itu punya sentuhan khusus dan waktu yang khusus pula. Yesus menyatakan kasih-Nya kepada setiap pribadi murid-murid itu tetapi juga sekaligus menguatkan dan menantang. Ia melihat dalam diri mereka masing-masing kehadiran Bapa-Nya, yang Ia kasihi dan layani. Tentu saja apa yang dilakukan-Nya itu untuk menyatakan bahwa para murid itu dan kita adalah penting. Kita adalah pribadi yang berharga dan layak dicintai-Nya.

 

Kasih Yesus menyatakan bahwa kita ini penting, bahwa kita merupakan kehadiran Allah, dipanggil untuk melakukan pekerjaan Allah; untuk mencintai orang lain seperti Allah di dalam Yesus mencintai mereka, untuk melayani orang lain dan membasuh kaki mereka. Dengan membasuh kaki para murid, Yesus tidak kehilangan kuasa-Nya. Ia mengatakan bahwa Dia adalah “Tuhan dan Guru”. Namun, Ia ingin menyatakan kuasa-Nya dengan cara baru, yakni dengan sikap rendah hati, pelayanan yang sesungguhnya, dan dengan cinta kasih yang tulus. Dengan cara yang menyiratkan kedekatan, persahabatan, keterbukaan dan kasih sayang. Jelas cara seperti ini tidak membuat seseorang kehilangan martabat. Melayani tidak akan membuat Anda dan saya turun derajat!

 

Ketika Yesus meminta para murid dan tentunya juga meminta kita untuk saling membasuh kaki Ia mengajak kita untuk saling mencintai, saling melayani dan saling mengampuni. Ini tidak berarti bahwa kita saat ini harus benar-benar mengambil baskom berisi air dan membasuh kaki semua orang. Percuma kalau hanya berhenti pada simbolik tetapi kenyataannya makna sesungguhnya malah kita abaikan. 

 

Budaya yang selalu ingin di depan, dihormati, menguasai, pelan-pelan masuk dalam kehidupan gereja. Mereka yang mempunyai kuasa, menjadi “orang penting” dan diagungkan. Melihat pemuliaan itu, tentu orang berlomba berebut posisi itu. Di sinilah kita bertanya, “apakah teladan Yesus membasuh para murid hanya berhenti pada ranah simbolik, agar orang yang melihat adegan itu berdecak kagum?”

 

Jakarta, Kamis Putih 2021