Sabtu, 27 Maret 2021

SALIB LAMBANG KEMULIAAN

“Yesus tidak melarikan diri dari rasa sakit; Ia menerimanya dan menempuh jalan perutusan-Nya sampai akhir; menyatakan kebenaran Allah Sang Kasih.

 

Banyak orang menolak Dia dan pesan kasih-Nya, karena mereka tidak ingin mengubah atau diubah. Karena ingin mempertahankan kekuasaan dan previleg mereka, mereka ingin menyingkirkan Dia.

 

Namun dengan luka-luka dan sakit-Nya, Yesus membawa kehidupan dan harapan bagi semua orang. Ia membuka pintu kasih bagi hati dan dunia kita yang hancur.”

(Jean Vanier)

 

Apa salah yang dilakukan-Nya? Dia yang penuh kasih dan kebaikan terhadap masing-masing pribadi ditangkap, diadili dengan peradilan culas, dilecehkan, dihina dan kemudian dijatuhi hukuman mati. Salib! 

 

Barangkali benar karena seluruh keberadaan diri-Nya menjadi ancaman bagi mereka yang memegang kekuasaan. Apa yang dilakukan-Nya mengancam kesewenangan yang sedang terjadi. Kemunafikan enggan ditelanjangi! Penyalahgunaan kekuasaan terus berlanjut sampai sekarang. Ada begitu banyak orang yang tak bersalah, lemah, hidup tanpa perlindungan: anak-anak, orang yang berusia lanjut, pengungsi, kelompok minoritas, perempuan, orang-orang difabel, dipinggirkan, diperlakukan secara buruk. Tidak jarang secara fisik dan seksualitas dilecehkan. Tengoklah Myanmar, kekuasaan militer terus membungkam dan menembaki siapa saja yang menuntut keadilan. Sampai hari ini lebih dari dua ratus orang meninggal tertembus timah panas. Penguasa tidak lagi mencintai rakyaknya.

 

Mereka berseru dan berharap untuk dihargai dan dimengerti, untuk dilindungi dan disayang. Seruan untuk menuntut hak-hak mereka sering kali tidak diperhatikan oleh yang berkuasa. Kekuasaan tidak akan mempunyai kata akhir. Sejarah menunjukkan bahwa mereka yang hidup dengan pedang akan binasa juga dengan pedang. Sedangkan mereka yang hidup demi kebenaran dan keadilan, akan bangkit dalam kebenaran dan keadilan juga.

 

Yesus, Sang Anak Domba, dihancurkan oleh kekuasaan biadab. Kekuasaan biadab yang berawal dari benih-benih liar yang dibiarkan tumbuh. Benih-benih yang ada dalam diri Yudas, mengejar kekuasaan dan membenci kasih. Benih-benih yang ada dalam diri Petrus, tidak mau menerima kelemahan Sang Mesias. Benih-benih yang ada dalam diri sejumlah pemimpin agama yang tidak dapat menerima kehadiran Allah yang tersembunyi dalam hal yang baru. Benih-benih yang ada dalam diri Pilatus, takut akan konflik dan dipecat oleh penguasa Romawi. Semua benih-benih ini bukankah ada di dalam diri kita semua? Kita semua dapat menyakiti orang-orang lemah dan tidak bersalah yang mengancam dan mengganggu kita.

 

Yesus tidak mau membela diri dengan menggunakan cara-cara dunia. Kebenaran bersinar dalam keindahan dan kerentanannya yang tersembunyi. Yesus sepenuhnya taat dan berserah kepada Sang Bapa. 

 

Para serdadu dan polisi Bait Suci menangkap Yesus, mengikat-Nya dengan tali. Laksana pesakitan mereka membawa-Nya kepada Hanas, mertua Kayafas, untuk diadili. Kayafas adalah Imam Besar yang beberapa hari sebelumnya secara profetis menyatakan bahwa Yesus akan mati untuk seluruh bangsa. Yohanes menceritakan pengadilan ini hanya sepintas saja. Seolah-olah ia menganggapnya sebagai bukan pengadilan, suatu pengadilan palsu. Bukankah Sanhedrin sudah berketetapan untuk menyingkirkan Dia?

 

Dalam pengadilan itu, Petrus yang oleh Yesus disebut Kefas: Batu Karang, ditanya apakah dia salah seorang dari murid-murid Yesus. Tiga kali ia menjawab yang isinya penyangkalan: “ouk eime” (“aku bukan salah seorang dari murid-murid-Nya”). Apa yang terjadi dengan Petrus? Ia telah mengikuti Yesus selama hampir tiga tahun. Tentunya selama itu ia melihat, mendengar dan mengalami apa yang dikatakan dan dilakukan Yesus. Petrus melihat mukjizat, menyaksikan kasih-Nya yang menyembuhkan. Petrus yang dikuasai oleh kekaguman ketika menyaksikan Yesus berubah rupa di Gunung Tabor, sekarang mengatakan bahwa ia bukan murid Yesus!

 

Petrus semula sangat yakin bahwa Mesias yang ia ikuti adalah orang yang berkuasa, yang akan membebaskan Israel, memaksa pasukan Romawi mundur, dan mengembalikan harga diri bangsanya. Bukankah Yesus telah membangkitkan Lazarus yang mati? Bukankah Ia adalah Raja pemenang, Yang Agung, “Dia yang harus datang?” Itulah pikiran Petrus mengenai Mesias, ideologinya. Itulah yang dikehendaki dan ia nantikan untuk dirinya sendiri, karena Yesus telah mmilih dia untuk menyertai-Nya dan ikut ambil bagian dalam kekuasaan yang hebat. 

 

Sekarang Yesus sudah kehilangan seluruh kekuasaan-Nya. Ia terbelenggu, diseret, untuk diadili sebagai penjahat. Ia pasrah saja menjadi orang yang tidak berdaya. Ia diam, menolak untuk berbicara membela diri! Mengapa Yesus tidak membela diri? Petrus tidak tahan dengan semua itu. Bagaimana mungkin Mesias itu lemah? Petrus bisa jadi merasa ditipu, marah dan jengkel. Ia jatuh ke dalam kekecewaan yang amat dalam dan perasaan putus asa. Ia tidak bisa menerima Yesus yang tidak berdaya, yang membasuh kakinya. Ia tidak mau menjadi murid Yesus yang lemah ini, Mesias yang lemah! Petrus tidak hanya menyangkal Yesus, tetapi juga menyangkal semua yang telah ia lihat, dengar, dan alami selama bertahun-tahun bersama-Nya.

 

Petrus - meski sudah diingatkan Yesus - tidak bisa melihat bahwa salib itu adalah lambang kemuliaan. Padahal di atas salib itulah kemuliaan penuh yang diterima Yesus. Petrus silau dengan kemuliaan yang ditawarkan dunia: bahwa kemuliaan itu sejajar dengan kekuasaan, semakin besar kekuasaan penaklukan itu maka semakin besar pula kemuliaan yang tampak dari seseorang. Bukankah dalam batas-batas tertentu kita juga mirip dengan Petrus yang silau akan kekuasaan lalu memandang rendah salib dan penderitaan?

 

Pesan kuat Injil Yohanes, meski tampaknya Yesus diam dan mengikuti alur skenario penangkapan orang-orang yang membenci-Nya. Namun, semua ada dalam kendali-Nya. Tidak ada gambaran ketakutan dan pergumulan yang hebat di taman Getsemani ketika Ia ditangkap. Bahkan tepatnya bukan ditangkap melainkan menyerahkan diri-Nya. 

 

Sesudah dijatuhi hukuman mati melalui peradilan abal-abal oleh Pilatus. Yesus berjalan sendirian sambil memanggul salib yang berat. Ia berjalan menuju kematiaan-Nya dengan tenang, dengan bermartabat dan bebas. Ia melaksanakan mandat Bapa-Nya untuk menghapuskan dosa dunia, untuk meruntuhkan tembok-tembok yang memisahkan orang satu dengan yang lainnya: terutama memisahkan Allah dari batinnya sendiri.

 

Pilatus memerintahkan untuk memasang tulisan yang diletakkan di atas kepala Yesus yang bermahkota duri: “Yesus, orang Nazaret, Raja orang Yahudi.” Kata-kata itu tertulis dalam bahasa Ibrani, Latin, dan Yunani menyatakan kepada seluruh dunia bahwa Yesus adalah Raja. Raja bukan dengan kuasa yang menindas, melainkan Raja yang menunjukkan jalan menuju kasih dan damai universal. Kata-kata Pilatus adalah profetis, seperti halnya kata-kata Imam Besar Kayafas ketika ia mengatakan bahwa Yesus harus mati untuk keselamatan seluruh bangsa (Yoh. 11:50). 

 

Rangkaian kisah sengsara Yesus adalah benar menggambarkan kekejian dari sebuah peradaban yang menolak cinta kasih demi mempertahankan kemuliaan semu. Namun, pada akhirnya seluruh bangsa mengerti bahwa salib yang dihindari semua orang, tetapi yang dirangkul Yesus ini merupakan lambang kemuliaan. Sebab, melalui salib-Nya kasih Allah dinyatakan; Allah mendamaikan manusia dengan diri-Nya dan dengan sesamanya. Salib itu mulia oleh karena ia melambangkan cinta kasih paling agung, kasih yang dibuktikan bukan dengan kata-kata. 

 

Hari ini, ketika kita mengingat dan diingatkan oleh peristiwa salib, apakah kita bersedia mengikuti teladan Yesus? Tidak mencari kekuasaan dan kenyamanan dengan mengabaikan dan merugikan orang lain. Namun, bersedia keluar dari zona nyaman, tidak mempertahankan kepentingan dan hak sendiri tetapi dengan sukacita menolong dan menjadi alat bagi jawaban doa untuk orang-orang yang sedang dalam kesusahan.

 

 

Jakarta, Jumat Agung tahun B 2021

Jumat, 12 Maret 2021

PENGUASAAN DIRI DI TENGAH PUJIAN DAN PENOLAKKAN

Pujian jika diberikan kepada orang yang tepat, kadar yang pas, alasan yang jelas, dan dalam waktu yang tepat merupakan hal yang baik. Tidak ada yang salah! Bukankah sedari kecil kita diajar untuk menghargai orang lain, berterima kasih jika dibantu dan ketika kita dapat melakukan sesuatu, orang tua kita bertepuk tangan sambil mengatakan, “Anak mami hebat!” Pujian yang positif dapat memicu orang untuk mengulangi bahkan meningkatkan apa yang baik yang dikerjakannya.

 

Namun kita juga tidak menampikkan hal negatif dari sebuah pujian. Pujian dapat dipakai untuk meluluhkan hati orang. Lewat pujian, orang berupaya agar keinginannya bisa tercapai. Inilah pujian yang tidak tulus. Bagi orang yang dipuji, menimbulkan efek ketagihan. Telinganya hanya mau mendengar pujian tentang dirinya. Matanya hanya mau melihat like atau jempol dalam status sosmednya. Ia akan melihat jempol yang teracung ke bawah sebagai ancaman. Ada seribu orang yang memberi like dan satu dislike, hatinya akan terus memikirkan dan mencari tahu, siapa orangnya dan apa alasannya dia memberikan ikon dislike.

 

Berlawanan dengan pujian, penolakan dalam pelbagai penelitian psikologis merupakan salah satu pukulan terberat dalam kehidupan manusia di samping kehilangan. Perasaan dan pengalaman tertolak menimbulkan luka mendalam. Trauma penolakan tidak mudah untuk dipulihkan.

 

Hari ini, Minggu Pra-Paskah VI, tradisi gereja menyebutnya sebagai Minggu Palem sekaligus Minggu Sengsara. Minggu yang menggambarkan paradoks antara pujian dan penolakan. Dua bagian Injil : Markus 11:1-11 dan Markus 15:1-20 mengisahkan itu. Dalam Markus 11:1-11, Yesus disambut, dielu-elukan, segala puja dan puji diberikan kepada-Nya. Kedatangan-Nya di Yerusalem disambut bagaikan pahlawan yang siap melibas musuh umat Allah seperti yang dilakukan dulu oleh Simon saudara Yudas Makabeus. Dulu Simon disambut meriah oleh karena ia berhasil mengalahkan pasukan Seleukus Antiokhus IV Epifanes, penguasa penjajah Yunani yang melarang praktik ibadah umat Israel. Kini, ketika mereka melihat mukjizat-mukzijat dan pengajaran luar biasa yang dilakukan oleh Yesus maka harapan itu timbul kembali. Yesus yang memasuki Yerusalem ini pasti lebih jagoan ketimbang Simon Makabeus itu. Jika Simon disambut sebagai pahlawan, Yesus dipuja-puji sebagai Mesias.

 

Mereka mendeklarasikan Yesus sebagai Mesias yang akan menghadirkan Kerajaan Allah di bumi, maka sikap umat itu menyerukan, “Hosana! diberkatilah Dia yang datang di dalam nama Tuhan, diberkatilah Kerajaan yang datang, Kerajaan bapak kita Daud, hosana di tempat yang maha tinggi!” (Markus 11:9-10). Apa arti kata “hosanna”? Kata itu berarti: “Oh, selamatkanlah kami sekarang!” atau “Sudilah menyelamatkan kami.” Penduduk Yerusalem memohon agar Yesus, Sang Mesias Allah berkenan menyelamatkan mereka sekarang dari penjajahan bangsa Romawi lalu memulihkan kejayaan Israel seperti pada zaman nenek moyang mereka, Daud. Ternyata pujian itu berbanding lurus dengan angan yang mereka harapkan. 

 

Bagaimana tanggapan Yesus terhadap pujian yang dilontarkan oleh penduduk Yerusalem itu? Injil tidak mencatat reaksi Yesus. Tidak ada satu ayat pun yang mencatat bahwa Yesus menyambut pujian itu dengan sikap antusias atau gembira alih-alih sedih karena mereka tidak memahami apa sebenarnya yang sedang la kerjakan. Yesus tidak memanfaatkan pujian itu untuk menguntungkan diri-Nya. Ia tidak takabur atau pongah. Yesus dapat mengendalikan diri-Nya untuk fokus pada tujuan yang diamanatkan Bapa-Nya, meski kesempatan untuk tenar dan tentunya Ia sangat mampu melakukan perlawanan melebihi apa yang dulu pernah dilakukan oleh Simon dan Yudas Makabeus.

 

Yesus tidak antusias dan gembira menyambut pujian mereka oleh karena Ia menyadari bahwa mereka yang melakukan itu belum sepenuhnya mengerti bahwa makna kemesiasan-Nya itu bukanlah sebagai Mesias yang membebaskan mereka dari kungkungan penjajah Romawi, melainkan membebaskan mereka dari penindasan kuasa dosa. Selanjutnya, penduduk Yerusalem menjadi sangat kecewa saat Yesus sama sekali tidak memberikan perlawanan ketika Ia ditangkap. Saat dianiaya, Yesus sama sekali tidak menunjukkan kuasa-Nya yang menakjubkan di hadapan Pontius Pilatus. Yesus diam saja ketika Ia dihina dan dilecehkan. Ditambah hasutan dari petinggi Yahudi, sikap yang awalnya menyanjung-nyanjung Yesus kini berubah menjadi kemarahan dan kebencian. Dari teriakan pujian “hosana” berubah menjadi hujatan “salibkan Dia!”

 

Manusia cepat sekali berubah. Pokok perubahan itu sebenarnya adalah ambisi, keinginan kuat untuk memuaskan nafsu mereka. Penduduk Yerusalem bisa menggambarkan diri kita. Bisa saja hari ini kita memuji dan menyanjung Yesus. Kita melakukan-Nya dengan harapan Yesus melakukan apa yang kita ingini: Ia menggunakan kuasa-Nya untuk membuat keinginan kita tercapai. Ketika tidak, kita juga berteriak, “salibkan Dia!”, tentu saja dalam bentuk yang lain. Kita mempertanyakan kasih, kuasa dan kemesiasan-Nya. Lalu, kita balik kanan meninggalkan-Nya dan mencari solusi alternatif.

 

Dalam penolakkan yang tercermin melalui peradilan rekayasa yang dipimpin Pontius Pilatus, Yesus memilih berdiam diri. Sama seperti ketika Ia menerima sanjungan, Ia diam. Yesus tidak memberi jawab apa pun dari tuduhan yang dilontarkan oleh Pilatus, kecuali pertanyaan, “Engkaukah raja orang Yahudi?” Yesus menjawab, “Engkau sendiri mengatakannya.” Yesus tidak terpancing menjadi emosional atau melakukan pembelaan. Tidak. Sepenuhnya Ia dapat mengendalikan diri menghadapi apa yang memang harus dihadapi.

 

Diamnya Yesus ketika Ia disanjung dan ketika Ia ditolak menunjukkan kematangan spiritualitas yang memahami benar apa yang harus dilakukan-Nya. Ia tidak tergoda untuk memanfaatkan pujian, apalagi menjadi ketagihan pujian. Tidak! Ia juga tidak tenggelam dalam duka nestapa akibat penolakan dan perlakuan keji yang diprakarsai oleh para pembesar Yahudi. Kedua paradoks, yakni pujian dan penolakan berpotensi menjatuhkan-Nya. Namun paradoks itu dapat diatasi dengan resep yang sama, yakni: penguasaan diri.

 

Dalam kehidupan kita paradoks itu tidak dapat dihindari. Kadang kita mendapat penghargaan atau pujian. Pada saat seperti ini kita mudah lengah. Kita menjadi orang yang merasa hebat, akibatnya kita menjadi orang yang tinggi hati, pongah dan takabur. Di sinilah situasi rawan yang membuat kita mudah jatuh. Kita lupa bahwa di atas langit ada langit lagi. Pengendalian diri akan menolong kita untuk tahu diri dan tetap merendah. Merendah tidak sama dengan rendah diri. Merendah hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang punya kebesaran jiwa dan tahu diri.

 

Pada kutub yang lain paradoks itu adalah penolakan. Ketika kita ditolak bukan berarti akhir dari segalanya. Bisa saja orang yang kita percayai suatu saat berkhianat, penguasaan diri akan menolong kita untuk tidak melakukan kecerobohan: emosi membakar diri kita dan akhirnya bertindak di luar kendali. Ada kalanya berdiam diri merupakan sikap terbaik. Memberi kesempatan Tuhan menunjukkan kasih dan pemeliharaan-Nya. Biarlah di tengah-tengah paradoks kehidupan ini, Tuhan memberi pertolongan agar kita bisa mengendalikan diri dan melihat indah rencana-Nya.

 

Jakarta, Minggu Palem - Minggu Sengsara 2021