Senin, 28 Desember 2020

SANG TERANG MEMBERI PENGHARAPAN BARU

Masih relevankah kita berbicara tentang pengharapan baru? Ya, untuk sebagian besar orang selesainya tahap tiga uji beberapa vaksin Covid-19 mulai melihat titik terang. Ketika vaksin-vaksin itu mulai didistribusikan ke pelbagai negara dan mulai disuntikan kepada manusia, di sana terletak pengharapan. Pengharapan akan berakhirnya masa-masa sulit. Kehidupan ekonomi akan menggeliat kembali, roda bisnis segera akan berputar. Kita akan bisa menikmati kebiasaan-kebiasaan semula. Bisa ke mall, nonton bioskop, pergi ke restoran, tamasya, bertemu dan ngobrol kembali di café. Pokoknya, segala macam yang terpendam selama hampir satu tahun ini, kini akan segera kembali. Itulah secercah harapan!

 

Oop, tunggu dulu! Belum juga keampuhan vaksin-vaksin itu teruji, kini media asing maupun lokal kembali sarat dengan berita yang menyurutkan pengharapan itu! Betapa tidak, virus yang berusaha diberangus dengan vaksin kini telah bermutasi, dan penularannya lebih dasyat. Sepuluh kali lipat lebih cepat disbanding dengan mula-mula virus itu menyebar. Sehingga kini negara-negara di Eropa, Afrika, Asia dan termasuk kita, Indonesia harus menutup perbatasan antar negara. Ini menandakan betapa seriusnya ancaman yang sedang merasuk dunia kita. Situasi ini seolah membawa kita kembali kepada lorong yang gelap. Kita kembali berjalan dalam gua gelap gulita yang entah berujung di mana? 

 

Lalu apakah yang bisa kita andalkan? Ya, jelas kita tidak boleh menyerah, tidak boleh membiarkan diri dikuasai oleh ketakutan. Benar, itu bagus! Namun, bagaimana caranya? Sedangkan para ilmuwan saja sudah begitu rupa mengerahkan kemampuan mereka, namun toh ancaman itu tetap ada bahkan kian menjadi-jadi!

 

Barangkali inilah juga yang dialami dan dirasakan umat Israel pada masa pembuangan. Setelah sekian puluh tahun lamanya mereka terbuang, tanpa identitas dan pengharapan, mereka hanya tersisa sedikit saja dan terdiri dari orang-orang yang lemah, di antaranya buta, lumpuh dan perempuan yang sedang mengandung. Menyedihkan! 

 

Sangat mungkin dalam situasi seperti ini, mereka sudah hilang asa. Tidak ada lagi hari depan, mimpi-mimpi mereka sudah hilang lenyap! Namun, tunggu dulu. Allah tidak membiarkan umat-Nya itu larut dalam kemelut dan air mata. Yeremia diutus untuk membangkitkan pengharapan itu, “Sebab beginilah firman TUHAN: Bersorak-sorailah bagi Yakub dengan sukacita, bersukarialah  … Kabarkanlah, pujilah dan katakanlah: TUHAN telah menyelamatkan umat-Nya, yakni sisa-sisa Israel! Sesungguhnya, Aku akan membawa mereka dari tanah utara dan akan mengumpulkan mereka dari ujung bumi; di antara mereka ada orang buta dan lumpuh, ada perempuan yang mengandung bersama-sama dengan perhimpunan yang melahirkan; … Dengan menangis mereka akan datang, dengan hiburan Aku akan membawa mereka;…” (Yeremia 31:7-9). Bayangkan, ketika umat itu sudah lelah, putus asa dan hanya tinggal sisa-sisanya saja, TUHAN sendiri berprakarsa, Ia memberikan pengharapan, dan pengharapan itu nyata! 

 

Jelas, kita belum seberapa jika dibandingkan dengan Israel yang tertinggal hanya sisa-sisanya saja. Tuhan masih mengizinkan kita untuk mempunyai kebebasan dan berupaya dalam menghadapi pelbagai kesulitan ini. Dan, tentunya kita masih mengingat pesan Natal yang begitu kuat, “Jangan takut! Hari ini telah lahir bagimu Kristus, Tuhan di kota Daud..” Dia adalah Sang Immanuel, Allah yang beserta dengan kita. Allah yang tidak hanya tinggal diam di takhta-Nya, melainkan menjadi “daging”, menjadi manusia dan diam di antara kita! Firman itu Terang kehidupan, Terang itu telah ada di dalam dunia, tetapi sayangnya dunia tidak mengenal-Nya. Tiga kali penulis Injil Yohanes menggunakan kata kosmos (dunia) dalam Yohanes 1:10. Pertama, “dunia dijadikan oleh-Nya”, kata “dunia” yang dimaksudkan di sini menunjuk pada alam semesta yang diciptakan oleh-Nya. Kedua, “dunia tidak mengenal-Nya”, tentu saja “dunia” yang dimaksudkan di sini bukanlah semesta alam raya, melainkan menunjuk pada orang-orang yang menolak Yesus; orang-orang yang memilih kegelapan dari pada terang. Ketiga, “dunia tidak mengenal-Nya”dekat dengan pernyataan dalam ayat 11, “Ia datang kepada milik kepunyaan-Nya, tetapi orang-orang kepunyaan-Nya itu tidak menerima-Nya”. Siapakah orang-orang kepunyaan-Nya ini? Mereka ini bukan hanya orang-orang Yahudi, tetapi semua orang yang diciptakan di dalam Firman. 

 

Meski demikian, Firman itu tetap berinkarnasi menjadi “daging”, menjadi manusia. Firman yang sedari awal dikatakan bersama dengan Allah dan bahkan Allah sendiri, kini Firman itu ada bersama dengan kita. Yohanes tidak mengatakan bahwa Firman itu menjadi manusia, tetapi lebih tepat menjadi daging. Sangat mungkin pilihan kata ini sengaja ditulis oleh Yohanes di mana kemanusiaan Yesus telah menjadi obyek perdebatan. Yohanes ingin segalanya menjadi jelas dan tanpa keraguan bahwa Firman itu menjadi daging. Dengan menjadi daging, firman itu tidak berhenti menjadi Allah. Dia tetap Allah yang tinggal di antara kita

 

Kata “tinggal” (skēnō) merupakan konsep penting Perjanjian Lama, misalnya dalam Keluaran 25:8,9 yang mengisahkan Israel yang diminta untuk mendirikan tenda (Tabernakel, skēnē) sehingga Allah bisa tinggal di antara umat-Nya; kehadiran-Nya benar-benar dialami dan dirasakan.

 

Firman itu tinggal di antara kita! Siapakah “kita” yang dimaksudkan di sini? Baru pada ayat 14 muncul kata “kita”. Yang muncul sebelumnya adalah dunia, orang-orang kepunyaan-Nya, orang-orang yang menerima-Nya, yang percaya kepada-Nya. R.E Brown melihat bahwa di sinilah Injil ini mulai melibatkan “komunitas”. Firman itu tinggal di tengah-tengah komunitas. Karena Firman itu tinggal di tengah-tengah komunitas, komunitas itu dapat melihat Terang, komunitas itu dimampukan untuk melihat kemuliaan yang diberikan Allah. Sekali lagi, kata “kemuliaan” (doksa) mengiang kembali dari gagasan pendirian tenda tempat bersemayam Allah di tengah-tengah umat-Nya. Ketika tenda itu didirikan, “Kemuliaan Allah memenuhi Kemah Suci” (Keluaran 40:34). Di dalam komunitas, tenda tempat tinggal Allah itu adalah Yesus sendiri, Firman yang menjadi daging!

 

Cob akita terawang kembali sejarah umat Allah. Kehadiran Allah di tengah-tengah umat-Nya memampukan mereka menghadapi pelbagai tantangan, dari zaman Musa, Daud, para nabi bahkan sampai pembuangan umat Allah di Babel. Kehadiran Allah kini pun dapat terjadi di tengah-tengah komunitas yang siap sedia hidup dalam Terang Firman-Nya. Ya, di sinilah, dalam Gereja, dalam komunitas orang percaya mestinya pertama-tama Terang itu terpancar. Betapa pun kelam pekatnya kehidupan, namun ketika ada Sang Terang, maka pekatnya gelap itu akan sirna!

 

Masalahnya sekarang, mampukah kita sebagai komunitas orang percaya menerima dan menyambut Sang Terang itu?

 

Jakarta, Epifani 2021

Jumat, 04 Desember 2020

SESUNGGUHNYA AKU INI HAMBA TUHAN

Setiap orang pada umumnya punya cita-cita atau mimpi. Tentu saja tidak salah, bahkan harus agar hidup menjadi bermakna, punya gairah dan arah yang jelas. Bayangkan kalau Anda dan saya tidak punya mimpi atau cita-cita, hidup asal hidup saja lalu menjadi monoton. Cita-cita atau mimpi akan mengarahkan kita melakukan tahap demi tahap kehidupan. Anda bermimpi punya rumah, maka Anda akan bekerja dengan optimal, menabung, mengesampingkan hal-hal yang tidak perlu dan menahan keinginan-keinginan lainnya. Anda membuat prioritas!

 

Begitu pula setiap orang yang punya mimpi membangun rumah tangga, maka sepasang calon mempelai ini akan menyiapkannya dengan serius. Ya, memang ada juga orang yang mau menikah tidak merencanakannya. Itu tidak umum! Dalam gereja kita, pernikahan merupakan satu tahap kehidupan manusia yang sangat serius: Di dalamnya bukan hanya rancangan manusia tetapi juga rencana Allah. Keseriusan itu diwujudkan dalam bina pranikah, percakapan gerejawi dan pewartaan kepada jemaat agar jemaat ikut serta mendoakannya. Setiap mempelai pasti mempunyai mimpi. Keluarganya akan harmonis, berkecukupan, sejahtera dan tentu saja bahagia!

 

Maria bersama Yusuf, seperti calon-calon mempelai lainnya tentu saja punya mimpi-mimpi indah dalam membangun keluarga kecil mereka. Mari kita telusuri dari sudut Maria, karena bacaan Injil hari ini dalam Minggu Adven IV berkisah tentang pergumulan Maria (Lukas 1:26-38). Maria, sebagaimana layaknya banyak perempuan lain yang memasuki tahap pertunangan – pertunangan dalam budaya mereka hampir seperti orang yang sudah menikah hanya saja mereka belum boleh tinggal satu rumah dan belum boleh berhubungan suamai-istri, masyarakat sudah memandang mereka sebagai pasangan yang khusus. Maria punya mimpi-mimpi indah bersama Yusuf. Mungkin saja ia ingin membangun keluarga kecil. Yusuf, sang suami akan bekerja sebagai tukang kayu dan ia menjadi ibu rumah tangga yang mengurusi anak-anak hingga tumbuh dengan baik. Ia akan menjadi istri penolong dan pendamping yang setia bagi suami tetapi juga pelindung dan pengasuh bagi anak-anaknya.

 

Namun, betapa terkejutnya dia ketika tiba-tiba malaikat Gabriel datang kepadanya dan menyapa dengan sebuah salam, “khaire, kekharitomene!” Yang kurang lebih berarti, “Salam, hai engkau yang dikaruniai!” (Lukas 1:28). “Khaire!” adalah kata sapaan atau ucapan salam biasa seperti “selamat – pagi, siang, malam –“. Namun, yang biasa ini menjadi tidak biasa dan membingungkan Maria ketika kata salam khaire itu disambung dengan kekharitomene (yang berarti “yang dikaruniai”). Kebingungan Maria dapat dipahami oleh karena ia merasa bukan apa-apa atau tepatnya bukan siapa-siapa. Ia merasa dirinya gadis kampung, dari kota atau desa kecil Nazaret. Ia layaknya gadis-gadis lainnya yang biasa mengambil air, membereskan pekerjaan rumah, dan yang semacamnya. Maria menyadari dirinya seorang sederhana dari kelas masyarakat bawah.

 

Keterkejutan itu bisa dipahami ketika kita mengerti apa artinya kekharitomene. Kekharitomene berarti “dikaruniai” Allah, yang bermakna menjadi manusia pilihan Allah sehingga diberi peran istimewa dalam sejarah penyelamatan. Kunjungan malaikat Gabriel sendiri sudah mengindikasikan tentang pemilihan itu. Melalui salam itu, Gabriel menyatakan bahwa Maria sangat diperkenan Allah. Ia diistimewakan menjadi calon ibu dari Mesias yang menyelamatkan dunia dari dosa. Ia adalah calon ibu dari Anak Allah Yang Mahatinggi.

Lalu, apa reaksi Maria? Apakah ia langsung melompat dan mengatakan, “Haleluyah, puji Tuhan,”? Maria adalah seorang perempuan sederhana, ia tidak pura-pura sederhana, kerendahan hatinya tidak dibuat-buat. Ia sungguh bingung dan terkejut. Lalu bertanya-tanya dalam hatinya karena ucapa Malaikat Gabriel itu sama sekali tidak masuk akal baginya. Namun, sama seperti terhadap Zakharia, malaikat itu menenangkan Maria dengan perkataan, “Jangan takut!” (Lukas 1:30). Tampaknya, Gabriel mengerti ketakutan dan kebingungan Maria.

 

Selanjutnya, Gabrielmenjelaskan alasan untuk Maria tidak takut dan bingung, “Sebab engkau beroleh anugerah di hadapan Allah.” Apa yang sudah dikatakan dalam ayat 28, diulangi lagi. Pengulangan itu dimaksudkan untuk menguatkan mental spiritualitas Maria, karena Maria akan diminta kesediaannya untuk memberikan mimpi dan yang paling berharga dalam hidupnya pada saat itu, yakni: rahimnya! Maria akan diminta memberikan rahimnya untuk mengandung seorang anak laki-laki. Bukan anak dari buah cintanya dengan kekasihnya, Yusuf.

 

Dijelaskan Gabriel bahwa Maria akan mengandung dan ketika lahir kelak akan diberi nama Yesus, yang berarti TUHAN Penyelamat. Yesus akan menjadi besar, Ia lebih besar dari Yohanes Pembaptis. Ia akan menjadi Mesias!

 

Dalam keluguannya, Maria bertanya kepada Gabriel, “Bagaimana hal itu mungkin terjadi, karena aku belum bersuami?” (Lukas 1:34). “Aku belum bersuami”, harfiah : “Aku belum mengenal laki-laki”. Kata “mengenal” dalam ayat ini menyangkut hubungan seksual. Seolah Maria mau mengatakan, “Benar, aku sudah bertunangan dengan Yusuf. Namun, bagaimana mungkin aku mengandung, sebab berhubungan seksual saja dengan tunanganku, Yusuf, aku belum pernah melakukannya?”

 

Pertanyaan Maria ini seolah menjadi jembatan untuk Gabriel menjelaskan jawaban berikutnya, “Roh Kudus akan turun atasmu, dan kuasa Allah yang Mahatinggi akan menaungungi engkau,…”. Roh Kudus adalah kuasa Allah yang menciptakan. Ia akan bekerja melalui rahim Maria. Dengan menegaskan bahwa Roh Kudus akan datang atas diri Maria, penulis Injil Lukas hendak mengatakan bahwa terkandungnya Yesus dalam Rahim Maria adalah peristiwa yang tidak ada duanya dalam sejarah dunia. Anak yang nantinya lahir dari rahim Maria bukan hasil hubungan seksual, melainkan karunia Allah semata-mata. Maria hanya diminta kesediaan mempersembahkan rahimnya.

 

Mari kita sejenak berada pada posisi Maria. Tentu saja berita ini adalah berita gembira dan harus disambut dengan sukacita. Namun, bukankah dalam posisinya sekarang, Maria sudah bertunangan? Bagaimana ia nanti harus menjelaskan kepada Yusuf bahwa dirinya hamil. Dan kehamilan itu bukan oleh Yusuf? Apa kata orang nanti ketika mereka tahu bahwa dirinya hamil padahal baru memasuki tahap pertunangan? Bagaimana pula dengan keluarga kecil bahagia yang diimpikannya selama ini dapat terwujud? Saya kira ketakutan-ketakutan seperti inilah yang memenuhi benak Maria.

 

Namun, dalam tuntunan Tuhan melalui Malaikat Gabriel, Maria ditolong. Ia diarahkan untuk dapat melihat visi besar. Visi yang jauh lebih besar ketimbang mimpi kecilnya Maria. Kepada Maria diperlihatkan rencana Allah yang akan menghadirkan Mesias melalui persembahan mimpi dan rahim Maria dalam menghadirkan damai sejahtera di bumi kepada seluruh umat manusia. Di sinilah Maria bergumul hebat. Ia bergumul dan kemudian memilih agar rancangan Allah yang melibatkan dirinya itu terjadi. Ia mengatakan, “Sesungguhnya aku ini hamba Tuhan, jadilah kepadaku menurut perkataanmu itu.” (Lukas 1:38). Maria menerima rencana dan kehendak Allah itu terjadi dalam dirinya meski ia harus memberikan apa yang paling berharga dalam diri seorang perempuan, yakni “rahim”. Rahim itu ia persembahkan bukan untuk Yusuf, sang tunangan yang ia cintai, melainkan dipersembahkan untuk rencana Allah agar kehadiran Anak Allah Yang Mahatinggi di bumi ini terwujud!

 

Setiap orang punya mimpi; keinginan untuk kehidupan yang lebih baik dan indah. Untuk itulah kita bekerja dan berjerih lelah. Namun, ketika suatu saat Tuhan memperlihatkan visi dan kehendaknya yang lebih luas, dapatkah kita meneladani Maria? Kalau saja Maria mau memberikan apa yang paling berharga dalam dirinya : rahim dan juga mimpi-mimpi indahnya untuk membangun keluarga kecil bahagia, lalu apa yang terbaik yang dapat kita berikan kepada-Nya?

 

Jakarta, Adven 2020