Kamis, 26 November 2020

BUKAN AKU, MELAINKAN DIA

Banyak cara orang “menjual diri”, maksudnya mempopulerkan diri agar menjadi terkenal. Tenar! Ya, dengan begitu jelas, banyak keuntungan yang bakal diraih. Banyak pengikut itu berarti aset, modal untuk mendapatkan banyak keuntungan. Keuntungan itu bisa kekuasaan, contohnya: popularitas dapat mendongkrak seseorang untuk meraih kekuasaan. Keuntungan lain dapat berupa materi. Lihatlah, berapa pendapatan orang-orang yang menjadi bintang iklan, youtuber, dan media-media sosial lainnya. Menjadi populer dan banyak pengikut ternyata menjanjikan, menggiurkan. Akibatnya, orang berlomba untuk mencari banyak pengikut dan populer.

 

Namun, hal ini tidak terjadi dalam diri Yohanes Pembaptis. Andaikan saja pada saat itu, ia mencari keuntungan untuk diri sendiri, sesungguhnya sangat mudah. Betapa tidak, begitu banyak orang yang mengaguminya. Kini, bukan lagi Yerusalem yang dituju orang untuk mencari Allah, melainkan padang gurun di mana suara Yohanes itu diperdengarkan. Yohanes Pembaptis tidak tergoda untuk membelokkan tugas maha penting yang dimandatkan kepadanya sesuai dengan yang dinubuatkan Yesaya, ia hanya alat. Ia setia! Maka tema kita kali ini jelas mewakili apa yang dikatakan Yohanes, “Bukan aku, melainkan Dia!”

 

Dalam prolog atau pembukaan Injil Yohanes, kita diajak memahami bahwa Sang Firman – yakni Allah sendiri – menjadi daging (manusia) untuk misi membawa kita masuk dalam persekutuan dengan Allah. Artinya, mengenal, memahami, merasakan dan mengalami cinta kasih Allah. Firman itu menjelma menjadi manusia, agar yang abstrak menjadi nyata; yang jauh menjadi dekat; yang tak tersentuh bukan hanya dapat disentuh, melainkan dipeluk dan dirangkul!

 

Yohanes Pembaptis diutus untuk menyiapkan jalan, dalam hal ini menyiapkan orang-orang untuk siap sedia menerima Sang Firman yang kasat mata itu, yang tampil sebagai “Anak Domba” yang lembut. Yohanes datang untuk menyiapkan jalan bagi Yesus. Seruannya untuk bertobat dan membaptis orang di sungai Yordan. Ia menuangkan air ke atas diri setiap orang sebagai tanda bahwa ia membersihkan mereka dan mengundang mereka untuk bertobat dari segala bentuk korupsi, kekerasan, penindasan, dan semua yang jahat dalam diri mereka.

 

Untuk memahami apa yang dilakukan Yohanes, kita harus ingat bahwa Israel pada waktu itu adalah umat yang direndahkan. Selama ratusan tahun mereka dijajah oleh penguasa Asiria, Babilonia, Yunani, lalu kekaisaran Romawi. Di sinilah mereka menantikan zaman baru, ya menantikan Sang Mesias. Mesias yang kuat dan tampil sebagai pemenang. Dia akan mempersatukan umat dan mengusir orang-orang Romawi. Ia akan menyatakan kuasa kemuliaan Allah. Itulah pengharapan Mesianik!

 

Dalam pengharapan seperti ini, tampilnya Yohanes menimbulkan kegemparan. Orang menduga; apakah di aini Mesias itu? Sangat wajarlah kalau para petinggi agama mengirim utusan yang terdiri dari para imam dan Lewi untuk memeriksa, apakah Yohanes adalah Mesias yang mereka nantikan itu. 

 

Yohanes berterus terang, dan Injil menegaskan:

Ia mengaku dan tidak berdusta, ‘Aku bukan Mesias’!

Tampaknya, para imam dan kaum Lewi tidak puas dengan jawaban itu. Mereka mempertanyakan mengapa ia membaptis orang dan dengan mandate dari manakah ia melakukan semuanya itu? Mereka harus mendapatkan jawaban yang jelas karena mereka harus melaporkannya kepada orang-orang yang mengutus mereka. Lalu, Yohanes menjawab dengan mengutip Yesaya 40:3, “Akulah suara orang yang berseru-seru di padang gurun, ‘Luruskanlah jalan Tuhan!’”

 

Yohanes tahu dan menyadari bahwa ia bukan Mesias melainkan orang yang menyiapkan kedatangan-Nya. Dia yang akan datang, sedang datang dan sekarang datang! Dia datang seperti seorang gembala yang lembut dan penuh kasih sayang. Perutusan atau tugas semua nabi adalah untuk menyadarkan umat akan kedatangan Mesias. Untuk menyiapkan hati mereka agar menerima-Nya, untuk mengajak mereka setia kepada Allah dan hukum-hukum-Nya. Untuk menolong mereka agar berbelarasa dengan yang lemah, miskin, terbuang dan dilupakan. Untuk menyadarkan mereka agar tidak jatuh pada penyembahan berhala.

 

Yohanes Pembaptis adalah yang terakhir dari antara nabi-nabi besar Israel. Tetapi mengapa Firman yang menjadi Manusia itu membutuhkan seseorang untuk menyiapkan jalan-Nya? Bukankah karena Ia tidak ingin pertama-tama dilihat sebagai orang yang berkuasa, yang menimbulkan rasa takut dan kagum dalam diri orang, sebagai penakluk? 

 

Ia tidak datang dalam kekuasaan dan keagungan, tetapi sebagai Anak Domba yang rendah hati dan kecil. Yesus tidak tampil hebat. Ia berpakaian sederhana, layaknya rakyat jelata. Ia sedang berada bersama-sama dengan orang miskin, sakit dan teraniaya. Ia menjadi sahabat mereka untuk menyatakan kabar baik, kelepasan dan pembebasan dari TUHAN, serta berita tentang tahun rahmat TUHAN seperti yang disebutkan dalam Yesaya 61, bacaan pertama minggu Adven ke-3 ini.

 

Ya, inilah kabar baik. Injil sukacita, Gaudete. Maka bukanlah kebetulan dalam masa penantian ini kita bersuka cita. Lilin yang kita nyalakan pada Minggu Adven ke-3 ini berbeda warnanya. Merah jambu, lambang sukacita di tengah penantian dan pertobatan. Gereja, kita semua sudah setengah jalan dalam penantian (Adven) dan karenanya ada sukacita dan pengharapan yang lebih besar yang akan kita rasakan dengan kedatangan Kristus.

 

Memang benar pada Minggu Adven ke-3 kita bersukacita, tetapi kita tetap ada pada masa Adven. Oleh sebab itu, sukacita ini sebaiknya tetap dimaknai dalam kerangka penantian, sehingga sukacita tidak menjadi eforia, kebablasan. Dengan demikian kita tetap bertekun dalam pengharapan sambil terus menyiapkan diri dengan hidup dalam pertobatan. Menjauhkan diri dari pementingan dan ego. 

 

Marilah kita menempatkan diri seperti Yohanes Pembaptis. Ia tahu benar apa yang harus dilakukannya. Ia konsisten dan tidak peduli ketika ada kesempatan di depan mata yang bisa ia raih. Bisakah dalam masa penantian ini, kita dengan suka cita mengesampingkan egoisme dan ambisi kita? Kita turut dalam arus Yohanes Pembaptis dan Yesus Kristus yang menyuarakan dan menghadirkan kepedulian dan kasih Allah bagi dunia ini; khususnya bagi mereka yang miskin, menderita, terbuang dan dilupakan?

 

Jakarta, Minggu Adven III, 2020

Jumat, 20 November 2020

KETIKA POHON ARA BERTUNAS

Hari Minggu ini kita memasuki Minggu Adven. Ya, Minggu Adven pertama! Adven berasal dari kata adventus(Bahasa Latin), yang berarti “kedatangan”. Ketika kata dan selanjutnya perayaan ini masuk dalam liturgi gereja, Adven dihubungkan dengan masa penantian kedatangan Kristus ke dunia. Ada satu hal penting yang tidak boleh kita lupakan dalam penantian. Hal penting itu adalah kesabaran.

 

Masa Adven yang dirayakan gereja mempunyai dua dimensi. Pertama, penantian akan kedatangan Kristus yang pertama melalui kelahiran-Nya. Dalam gereja, masa penantian kelahiran Yesus dipergunakan untuk mematangkan acara-acara yang sudah disusun oleh panitia Natal. Di sini kita dihebohkan dengan ornamen-ornamen Natal. Tidak ada salahnya, kita menyiapkan pelbagai acara untuk menyambut perayaan Natal. Natal seharusnya menolong kita, menyiapkan hati agar kelahiran Kristus tidak hanya dirayakan dalam ritual dan pesta. Melainkan, kita terpanggil untuk membenahi hati kita agar di sanalah Yesus benar-benar lahir atau hadir di hati kita: Itulah hakikat Natal yang sesungguhnya.

 

Dimensi kedua dari Adven adalah menyiapkan kita untuk menyambut kedatangan-Nya kembali pada akhir zaman. Jadi Adven adalah masa di mana masa lalu (peringatan) dan masa depan (pengharapan) menyatu. Pada Minggu Adven pertama dan kedua, fokus gereja mengarahkan umat pada eskatologis, yakni penantian akan kedatangan Tuhan pada akhir zaman. Sementar itu Adven ketiga dan keempat fokusnya pada peringatan dan penantian akan kelahiran Yesus Kristus yang kemudian dirayakan pada hari Natal.

 

Dalam tradisi, kebanyakan gereja merayakan Adven pertama dengan menyebutnya Minggu Pengharapan. Mengapa? Sebab dalam Minggu ini menekankan pada pengharapan akan kedatangan Tuhan Yesus Kristus pada akhir zaman. Sayangnya, tidak banyak orang yang suka dengan “akhir zaman”. Akhir zaman sering dipahami sebagai masa berakhirnya dunia, masa siksaan mengerikan, dan segala sesuatunya hancur lebur!

 

Bagaimana dampak dari pewartaan dan pemahaman bahwa akhir zaman adalah sebuah hari penghukuman yang mengerikan? Wacana seputar akhir zaman yang dipenuhi oleh spekulasi-spekulasi menakutkan tentang banyak peristiwa mengerikan justru pada akhirnya mengalihkan fokus iman dari Kristus yang akan datang itu. Akibatnya, kita menyambut kedatangan itu berangkat dari jiwa ketakutan: takut dihukum. Kita kehilangan makna, yang seharusnya menyiapkan menyambut Tuhan Yesus itu dengan sikap berjaga-jaga. Banyak perumpamaan yang disampaikan Yesus supaya kita berjaga-jaga, yakni dengan melakukan firman-Nya. Jelas sikap berjaga-jaga itu bukan dalam keadaan seperti orang yang ketakutan. Melainkan seperti mempelai wanita menyiapkan diri menyambut kedatangan mempelai laki-laki. Ia akan berdandan, menyiapkan segala sesuatunya dengan gembira. Nah, perpekstif akhir zaman yang mengerikan dapat mengalihkan sambutan kita tidak lagi tulus, gembira, bersukacita, melainkan berangkat dari ketakutan.

 

Ketika ketakutan menjadi motivasi kita dalam menyambut kedatangan Yesus, jelaslah hal ini tidak relevan dan tidak konsisten dengan kesaksian Alkitab. Alkitab menyaksikan bahwa Allah adalah sosok yang mengasihi dunia ini. Kasihnya itu dibuktikan dengan karya cipta, pemeliharaan, penyelamatan, dan pembaruan-Nya. Sehingga tidak mungkin Allah akan memusnahkan dunia ini. Pada pihak lain, tentu saja bahwa kedatangan Tuhan bukan dipahami melulu pada sisi yang memberikan mahkota kemuliaan bagi semua pengikut Tuhan. Ada penghakiman, ya itu sangat jelas. Namun, kita tidak boleh menghilangkan sisi pengharapan dari kedatangan-Nya itu. Pengharapan akan Allah yang datang membawa damai sejahtera dan membarui segala sesuatu.

 

Menurut buku-buku apokaliptik Yahudi, semesta menjadi gonjang-ganjing terjadi pada waktu Allah membentuk, atau tepatnya menata alam raya ini, akan terulang pada akhir zaman. Tampaknya, Yesus memahami apa perspektif Yahudi tentang akhir zaman yang menubuatkan bahwa akhir zaman itu adalah kedatangan Tuhan yang akan menjatuhkan vonis hukuman atas umat manusia karena kejahatan mereka.

 

Meminjam pemahaman Yahudi ini, Yesus mengungkapkan tema keguncangan kosmos yang cocok sekali dengan perspektif hukuman yang dasyat! Namun meskipun demikian kalau kita telaah lebih lanjut, apa yang diungkapkan Yesus dalam teks Injil Markus yang hari ini kita baca, sama sekali tidak disebutkan penghakiman, hukuman dan yang sejenisnya. Keseluruhan wejangan Yesus ini tidak bermaksud menakut-nakuti, melainkan justru: menghibur, menguatkan dan memberikan pengharapan. Tentu saja semua cobaan yang dibicarakan sebelumnya harus dipahami oleh umat beriman, namun semuanya itu menghantarkan mereka kepada kedatangan Anak Manusia yang akan membawa keselamatan.

 

Alih-alih mengikuti tradisi para ahli Taurat yang memberitakan bencana agar orang takut, Yesus menampilkan sebuah harapan. Harapan itu ia katakan dalam sebuah tanda "tunas pohon ara". Pohon ara punya makna unik bagi orang Yahudi. Pohon itu sering dipakai untuk tempat merenung dan berdoa. Gambaran tentang pohon ara yang bertunas - di satu sisi benar seperti yang disampaikan Yesus bahwa itu pertanda pergantian musim. Semua orang di sana sangat mengerti bahwa tunas itu pertanda dari dingin membeku, seperti dicengkeram kematian, kini akan beralih ke pengharapan kehidupan. Tunas baru!

 

Para pendengar Yesus tidak dibuai dengan harapan palsu tentang akhir zaman, namun diajak untuk memerhatikan tunas pohon ara itu. Bukan kematian atau kehancuran yang mereka harus terus nantikan, melainkan pengharapan untuk kehidupan yang lebih baik: damai sejahtera di bumi! Masa penantian kedatangan Anak Manusia bukanlah fokus pada gempa bumi, perang, atau nabi-nabi palsu. Dengan begitu, umat Tuhan akan menatap masa depan dengan pengharapan bahwa di sana ada "tunas Daud", Tunas yang muncul memberi keteduhan dan kedamaian. Dengan demikian berita hari Tuhan bukanlah tentang kehancuran melainkan kesetiaan, pembebasan dan kehidupan yang baru di tengah dunia yang penuh kecenderungan untuk menghancurkan.

 

Itulah sebabnya setiap umat Tuhan diminta-Nya untuk senantiasa berjaga-jaga.Kata berjaga-jaga setara artinya dengan kiasan :bersiap-siap agar jangan kaget pada saat kedatangan yang tak terduga. Selalu siap sedia artinya semakin mengakarkan diri pada Kristus, semakin merangkul karunia keselamatan dan semakin melepaskan diri dari kuasa-kuasa kegelapan yang dapat menghancurkan dunia. Kuasa-kuasa itu sangat nyata dalam keserakahan, kesombongan, iri hati dan pemuasan nafsu duniawi.  

 

Berjaga-jaga yang sebenarnya searti dengan menjadi "merdeka". Manusia yang merdeka, tidak membiarkan dirinya terpengaruh oleh "nasib hidupnya" yang terus-menerus berubah. Di tengah "matahari dan bulan yang tak bersinar", "bintang-bintang" berjatuhan, gunjang-ganjing kemelut dunia, sakit dan penderitaan...hatinya tetap tenang. Pengharapan itu selalu ada! Damai itu datang dari Kristus. Lihatlah pertanda itu di tengah kekacauan, "Pada waktu itu orang akan melihat Anak Manusia datang dalam awan-awan dengan segala kekuasaan dan kemuliaan-Nya."(Markus 13:26). Mungkinkah kita akan dapat melihat Anak Manusia dengan segala kekuasaan-Nya itu, sementara hati kita terpaut dan bahkan sedang menjadi bagian dari kuasa kekacauan itu?

 

Jakarta, Adven 1 2020