Hari Minggu ini kita memasuki Minggu Adven. Ya, Minggu Adven pertama! Adven berasal dari kata adventus(Bahasa Latin), yang berarti “kedatangan”. Ketika kata dan selanjutnya perayaan ini masuk dalam liturgi gereja, Adven dihubungkan dengan masa penantian kedatangan Kristus ke dunia. Ada satu hal penting yang tidak boleh kita lupakan dalam penantian. Hal penting itu adalah kesabaran.
Masa Adven yang dirayakan gereja mempunyai dua dimensi. Pertama, penantian akan kedatangan Kristus yang pertama melalui kelahiran-Nya. Dalam gereja, masa penantian kelahiran Yesus dipergunakan untuk mematangkan acara-acara yang sudah disusun oleh panitia Natal. Di sini kita dihebohkan dengan ornamen-ornamen Natal. Tidak ada salahnya, kita menyiapkan pelbagai acara untuk menyambut perayaan Natal. Natal seharusnya menolong kita, menyiapkan hati agar kelahiran Kristus tidak hanya dirayakan dalam ritual dan pesta. Melainkan, kita terpanggil untuk membenahi hati kita agar di sanalah Yesus benar-benar lahir atau hadir di hati kita: Itulah hakikat Natal yang sesungguhnya.
Dimensi kedua dari Adven adalah menyiapkan kita untuk menyambut kedatangan-Nya kembali pada akhir zaman. Jadi Adven adalah masa di mana masa lalu (peringatan) dan masa depan (pengharapan) menyatu. Pada Minggu Adven pertama dan kedua, fokus gereja mengarahkan umat pada eskatologis, yakni penantian akan kedatangan Tuhan pada akhir zaman. Sementar itu Adven ketiga dan keempat fokusnya pada peringatan dan penantian akan kelahiran Yesus Kristus yang kemudian dirayakan pada hari Natal.
Dalam tradisi, kebanyakan gereja merayakan Adven pertama dengan menyebutnya Minggu Pengharapan. Mengapa? Sebab dalam Minggu ini menekankan pada pengharapan akan kedatangan Tuhan Yesus Kristus pada akhir zaman. Sayangnya, tidak banyak orang yang suka dengan “akhir zaman”. Akhir zaman sering dipahami sebagai masa berakhirnya dunia, masa siksaan mengerikan, dan segala sesuatunya hancur lebur!
Bagaimana dampak dari pewartaan dan pemahaman bahwa akhir zaman adalah sebuah hari penghukuman yang mengerikan? Wacana seputar akhir zaman yang dipenuhi oleh spekulasi-spekulasi menakutkan tentang banyak peristiwa mengerikan justru pada akhirnya mengalihkan fokus iman dari Kristus yang akan datang itu. Akibatnya, kita menyambut kedatangan itu berangkat dari jiwa ketakutan: takut dihukum. Kita kehilangan makna, yang seharusnya menyiapkan menyambut Tuhan Yesus itu dengan sikap berjaga-jaga. Banyak perumpamaan yang disampaikan Yesus supaya kita berjaga-jaga, yakni dengan melakukan firman-Nya. Jelas sikap berjaga-jaga itu bukan dalam keadaan seperti orang yang ketakutan. Melainkan seperti mempelai wanita menyiapkan diri menyambut kedatangan mempelai laki-laki. Ia akan berdandan, menyiapkan segala sesuatunya dengan gembira. Nah, perpekstif akhir zaman yang mengerikan dapat mengalihkan sambutan kita tidak lagi tulus, gembira, bersukacita, melainkan berangkat dari ketakutan.
Ketika ketakutan menjadi motivasi kita dalam menyambut kedatangan Yesus, jelaslah hal ini tidak relevan dan tidak konsisten dengan kesaksian Alkitab. Alkitab menyaksikan bahwa Allah adalah sosok yang mengasihi dunia ini. Kasihnya itu dibuktikan dengan karya cipta, pemeliharaan, penyelamatan, dan pembaruan-Nya. Sehingga tidak mungkin Allah akan memusnahkan dunia ini. Pada pihak lain, tentu saja bahwa kedatangan Tuhan bukan dipahami melulu pada sisi yang memberikan mahkota kemuliaan bagi semua pengikut Tuhan. Ada penghakiman, ya itu sangat jelas. Namun, kita tidak boleh menghilangkan sisi pengharapan dari kedatangan-Nya itu. Pengharapan akan Allah yang datang membawa damai sejahtera dan membarui segala sesuatu.
Menurut buku-buku apokaliptik Yahudi, semesta menjadi gonjang-ganjing terjadi pada waktu Allah membentuk, atau tepatnya menata alam raya ini, akan terulang pada akhir zaman. Tampaknya, Yesus memahami apa perspektif Yahudi tentang akhir zaman yang menubuatkan bahwa akhir zaman itu adalah kedatangan Tuhan yang akan menjatuhkan vonis hukuman atas umat manusia karena kejahatan mereka.
Meminjam pemahaman Yahudi ini, Yesus mengungkapkan tema keguncangan kosmos yang cocok sekali dengan perspektif hukuman yang dasyat! Namun meskipun demikian kalau kita telaah lebih lanjut, apa yang diungkapkan Yesus dalam teks Injil Markus yang hari ini kita baca, sama sekali tidak disebutkan penghakiman, hukuman dan yang sejenisnya. Keseluruhan wejangan Yesus ini tidak bermaksud menakut-nakuti, melainkan justru: menghibur, menguatkan dan memberikan pengharapan. Tentu saja semua cobaan yang dibicarakan sebelumnya harus dipahami oleh umat beriman, namun semuanya itu menghantarkan mereka kepada kedatangan Anak Manusia yang akan membawa keselamatan.
Alih-alih mengikuti tradisi para ahli Taurat yang memberitakan bencana agar orang takut, Yesus menampilkan sebuah harapan. Harapan itu ia katakan dalam sebuah tanda "tunas pohon ara". Pohon ara punya makna unik bagi orang Yahudi. Pohon itu sering dipakai untuk tempat merenung dan berdoa. Gambaran tentang pohon ara yang bertunas - di satu sisi benar seperti yang disampaikan Yesus bahwa itu pertanda pergantian musim. Semua orang di sana sangat mengerti bahwa tunas itu pertanda dari dingin membeku, seperti dicengkeram kematian, kini akan beralih ke pengharapan kehidupan. Tunas baru!
Para pendengar Yesus tidak dibuai dengan harapan palsu tentang akhir zaman, namun diajak untuk memerhatikan tunas pohon ara itu. Bukan kematian atau kehancuran yang mereka harus terus nantikan, melainkan pengharapan untuk kehidupan yang lebih baik: damai sejahtera di bumi! Masa penantian kedatangan Anak Manusia bukanlah fokus pada gempa bumi, perang, atau nabi-nabi palsu. Dengan begitu, umat Tuhan akan menatap masa depan dengan pengharapan bahwa di sana ada "tunas Daud", Tunas yang muncul memberi keteduhan dan kedamaian. Dengan demikian berita hari Tuhan bukanlah tentang kehancuran melainkan kesetiaan, pembebasan dan kehidupan yang baru di tengah dunia yang penuh kecenderungan untuk menghancurkan.
Itulah sebabnya setiap umat Tuhan diminta-Nya untuk senantiasa berjaga-jaga.Kata berjaga-jaga setara artinya dengan kiasan :bersiap-siap agar jangan kaget pada saat kedatangan yang tak terduga. Selalu siap sedia artinya semakin mengakarkan diri pada Kristus, semakin merangkul karunia keselamatan dan semakin melepaskan diri dari kuasa-kuasa kegelapan yang dapat menghancurkan dunia. Kuasa-kuasa itu sangat nyata dalam keserakahan, kesombongan, iri hati dan pemuasan nafsu duniawi.
Berjaga-jaga yang sebenarnya searti dengan menjadi "merdeka". Manusia yang merdeka, tidak membiarkan dirinya terpengaruh oleh "nasib hidupnya" yang terus-menerus berubah. Di tengah "matahari dan bulan yang tak bersinar", "bintang-bintang" berjatuhan, gunjang-ganjing kemelut dunia, sakit dan penderitaan...hatinya tetap tenang. Pengharapan itu selalu ada! Damai itu datang dari Kristus. Lihatlah pertanda itu di tengah kekacauan, "Pada waktu itu orang akan melihat Anak Manusia datang dalam awan-awan dengan segala kekuasaan dan kemuliaan-Nya."(Markus 13:26). Mungkinkah kita akan dapat melihat Anak Manusia dengan segala kekuasaan-Nya itu, sementara hati kita terpaut dan bahkan sedang menjadi bagian dari kuasa kekacauan itu?
Jakarta, Adven 1 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar