Stefan Leks dalam karyanya Tafsir Injil Matius memberi judul reflektif Matius 25:31-46 dengan “Mari! atau Enyahlah!”. Ya, mungkin kalimat itulah yang mewakili apa yang terjadi dalam penghakiman terakhir. Hanya ada dua kemungkinan, kita disambut dalam kemuliaan atau kita ditolak-Nya.
Wejangan Yesus tentang akhir zaman ditutup dengan sebuah adegan pengadilan. Sebelumnya, Yesus telah mengingatkan dalam bahasa apokaliptik tentang kedatangan Anak Manusia (Matius 24:29-31). Kini, Ia menyatakan pengadilan dan kaidah-kaidah yang akan dijalankan oleh Anak Manusia pada saat kedatangan-Nya. Yesus menyampaikannya dalam kisah ilustrasi dialog pengadilan yang meninggalkan pesan kuat karena banyak menggunakan pengulangan, kesejajaran dan kontras.
Adegan pengadilan itu dibuka dengan gambaran kedatangan Anak Manusia dalam kemuliaan. Orang-orang yang dikumpulkan itu bukan hanya satu umat atau satu bangsa saja, melainkan semua bangsa. Di sinilah kemuliaan Anak Manusia dinyatakan sebagai kemuliaan Raja. Kristus Raja! Takhta kemuliaan dalam lukisan apokaliptik lazimnya diduduki oleh Allah sendiri (Daniel 7, Wahyu 4), tetapi dalam Injil Matius 25 menjadi takhta Anak Manusia. Bukan Allah, melainkan Kristus Raja adalah tokoh sentral dalam peristiwa penghakiman ini. Kehadiran para malaikat sebagai pelayan istana meningkatkan gambaran Raja yang mulia itu.
Yang dikumpulkan ke hadapan takhta Anak Manusia itu bukan hanya umat pilihan melainkan semua bangsa. Yang dipisahkan bukan manusia berdasarkan umat atau bangsa, tetapi seorang dari seorang. Perbandingan pemisahan ini sama seperti gembala memisahkan domba dari kambing. Bisa jadi gambaran ini berangkat dari para gembala yang memang memisahkan domba yang umumnya punya karakter lembut dari kambing yang sedikit beringasan. Maksud kiasan ini mau menggambarkan bahwa orang-orang yang lemah lembut seperti domba yang jinak dipisahkan dan diberi tempat yang lebih baik daripada orang-orang yang nakal seperti kambing yang putus tali. Sebelumnya kerap kali Yesus memberi gambaran tentang pemisahan seperti ini: gandum dan ilalang, ikan yang baik dan yang buruk akan dipisahkan pada akhir zaman. Ya, intinya ada pemisahan orang yang nantinya akan disambut “Marilah!” dengan orang yang akan ditolak, “Enyahlah!”
Dalam adegan pengadilan ini Anak Manusia berperan sebagai Raja Hakim yang menjalankan rencana Allah. Anugerah Kerajaan diberikan-Nya kepada orang-orang benar. Anugerah itu telah dipersiapkan Allah sejak awal. Dalam takhta pengadilan ini, masing-masing orang diadili menurut tindakannya sendiri. Ukuran penghakiman bukanlah pelbagai syareat agama yang pernah dilakukan atau dilanggar, tetapi hanya satu hal saja, yakni: pelayanan kasih, yang dikonkritkan secara berulang-ulang dalam daftar enam tindakan belas kasihan. Daftar ini konsisten dengan pengertian Yesus terhadap Taurat: Apa yang dikehandaki Allah bukanlah kurban persembahan, melainkan belas kasihan (Matius 9:13; 12:7; 23:23).
Di sini bukan berarti Yesus mengabaikan perkara ritual yang termasuk di dalamnya memberlakukan hukum-hukum agama. Bukan itu, melainkan harus kita pahami bahwa semua muara dari ritual dan menaati hukum-hukum itu harusnya bermuara pada tindakan belas kasihan atau belarasa; itu adalah ibadah yang sesungguhnya! Bukankah Yesus pun mengingatkan bahwa barangsiapa mengasihi-Nya, ia akan menuruti kehendak-Nya. Jadi, fokus kehendak-Nya itu adalah kasih; maka kasih jugalah yang menjadi batu uji pada hari penghakiman itu.
Sang Raja yang telah menyebut diri-Nya sebagai penerima tindakan-tindakan belas kasihan itu, menimbulkan keheranan dari orang-orang benar. Betapa tidak, mereka tidak pernah menyangka bahwa yang mereka layani: orang lapar, haus, telanjang, sakit, asing dan terpenjara adalah tidak lain dari Raja itu sendiri. Oleh karena itu, mereka juga tidak pernah berpikir dan mencanangkan jika tindakan-tindakan kasih itu akan membuahkan imbalan Kerajaan. Ketidaksadaran inilah yang menegaskan bahwa mereka melakukan tindakan kasih itu atas dorongan hati yang murni dan bukan karena pamrih!
Tiga pertanyaan ganda yang mengungkapkan keheranan orang-orang benar itu dijawab Raja dengan mengingatkan mereka aka napa yang telah mereka lakukan terhadap salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini” Yesus mengidentikan diri-Nya sebagai “orang yang paling hina” (adelphon mou ton elakhiston) “Elakhiston” berarti “yang paling kecil” atau “yang paling terakhir”, artinya “Aku” adalah mereka yang terlupakan, mereka yang tidak diingat karena memiliki status diri yang rendah, baik secara sosial maupun ekonomi.
Jika Raja itu menempatkan diri-Nya sebagai yang hina, kecil dan terlupakan, ini berarti bahwa Sang Raja itu berempati dengan mencitai keadilan. Ia bagaikan apa yang terungkap dalam bacaan pertama (Yehezkiel 34). Raja yang berempati bagaikan gembala yang baik yang menggembalakan semua domba-domba-Nya dengan keadilan. Tentu saja, berangkat dari ilustrasi penghakiman, Sang Raja ingin keadilan dan cinta kasih itu terwujud dalam kehidupan sebelum penghakiman itu tiba. Manusia saling mempedulikan terlebih mereka yang sering dilupakan dan dipolitisasi.
Kontras, Raja menyapa yang di sebelah kiri sebagai orang-orang terkutuk, yang dibuang-Nya dalam siksaan neraka yang telah disediakan Allah untuk iblis dan kawan-kawannya. Keputusan Anak Manusia, Sang Raja tidaklah sewenang-wenang, dan tidak menimpa manusia tanpa persiapan. Tolok ukurnya sejak awal sudah diperdengarkan, bukan hanya oleh Yesus dan para murid-Nya, melainkan oleh para nabi-Nya juga. Keputusan Tuhan tidak dijatuhkan menurut keistimewaan suku, bangsa atau agama, tetapi menurut tindakan belas kasihan masing-masing orang.
Ketika Yesus memberitakan dekatnya Kerajaan Allah, manusia yang menderita menjadi perhatian-Nya. Pada akhir pelayanan-Nya di bumi, Ia sendiri mengenakan penderitaan mereka. Setelah bangkit Ia tetap menyamakan diri dengan mereka. Merekalah gambar-Nya yang paling nyata di bumi ini. Maka melayani mereka dan mengabdi kepada Kristus tidak dapat dipisahkan, ingat hukum kasih yang diajarkan-Nya: Mengasihi Allah dan sesama manusia tidak dapat dipisahkan. Orang yang melayani kebutuhan manusia yang paling lemah, melayani Kristus, juga ketika tidak menyadari kehadiran-Nya di situ.
Banyak hal yang kita anggap penting, seperti melakukan pembinaan dan pelatihan, pada akhirnya – seperti yang dikatakan Paulus – jika tidak ada cinta kasih semuanya itu akan menjadi mubajir. Sia-sia! Sebab, tanpa kasih kita akan dihalau, “Enyahlah kamu, hai orang-orang yang terkutuk!
Selagi ada waktu, manfaatkanlah dengan sungguh-sungguh untuk mewujudkan belaras kepada sesama, khususnya mereka yang terlupakan.
Jakarta, 13 November 2020