Jumat, 13 November 2020

RAJA YANG MENGGEMBALAKAN

Stefan Leks dalam karyanya Tafsir Injil Matius memberi judul reflektif Matius 25:31-46 dengan “Mari! atau Enyahlah!”. Ya, mungkin kalimat itulah yang mewakili apa yang terjadi dalam penghakiman terakhir. Hanya ada dua kemungkinan, kita disambut dalam kemuliaan atau kita ditolak-Nya.

 

Wejangan Yesus tentang akhir zaman ditutup dengan sebuah adegan pengadilan. Sebelumnya, Yesus telah mengingatkan dalam bahasa apokaliptik tentang kedatangan Anak Manusia (Matius 24:29-31). Kini, Ia menyatakan pengadilan dan kaidah-kaidah yang akan dijalankan oleh Anak Manusia pada saat kedatangan-Nya. Yesus menyampaikannya dalam kisah ilustrasi dialog pengadilan yang meninggalkan pesan kuat karena banyak menggunakan pengulangan, kesejajaran dan kontras.

 

Adegan pengadilan itu dibuka dengan gambaran kedatangan Anak Manusia dalam kemuliaan. Orang-orang yang dikumpulkan itu bukan hanya satu umat atau satu bangsa saja, melainkan semua bangsa. Di sinilah kemuliaan Anak Manusia dinyatakan sebagai kemuliaan Raja. Kristus Raja! Takhta kemuliaan dalam lukisan apokaliptik lazimnya diduduki oleh Allah sendiri (Daniel 7, Wahyu 4), tetapi dalam Injil Matius 25 menjadi takhta Anak Manusia. Bukan Allah, melainkan Kristus Raja adalah tokoh sentral dalam peristiwa penghakiman ini. Kehadiran para malaikat sebagai pelayan istana meningkatkan gambaran Raja yang mulia itu.

 

Yang dikumpulkan ke hadapan takhta Anak Manusia itu bukan hanya umat pilihan melainkan semua bangsa. Yang dipisahkan bukan manusia berdasarkan umat atau bangsa, tetapi seorang dari seorang. Perbandingan pemisahan ini sama seperti gembala memisahkan domba dari kambing. Bisa jadi gambaran ini berangkat dari para gembala yang memang memisahkan domba yang umumnya punya karakter lembut dari kambing yang sedikit beringasan. Maksud kiasan ini mau menggambarkan bahwa orang-orang yang lemah lembut seperti domba yang jinak dipisahkan dan diberi tempat yang lebih baik daripada orang-orang yang nakal seperti kambing yang putus tali. Sebelumnya kerap kali Yesus memberi gambaran tentang pemisahan seperti ini: gandum dan ilalang, ikan yang baik dan yang buruk akan dipisahkan pada akhir zaman. Ya, intinya ada pemisahan orang yang nantinya akan disambut “Marilah!” dengan orang yang akan ditolak, “Enyahlah!”

 

Dalam adegan pengadilan ini Anak Manusia berperan sebagai Raja Hakim yang menjalankan rencana Allah. Anugerah Kerajaan diberikan-Nya kepada orang-orang benar. Anugerah itu telah dipersiapkan Allah sejak awal. Dalam takhta pengadilan ini, masing-masing orang diadili menurut tindakannya sendiri. Ukuran penghakiman bukanlah pelbagai syareat agama yang pernah dilakukan atau dilanggar, tetapi hanya satu hal saja, yakni: pelayanan kasih, yang dikonkritkan secara berulang-ulang dalam daftar enam tindakan belas kasihan. Daftar ini konsisten dengan pengertian Yesus terhadap Taurat: Apa yang dikehandaki Allah bukanlah kurban persembahan, melainkan belas kasihan (Matius 9:13; 12:7; 23:23).

 

Di sini bukan berarti Yesus mengabaikan perkara ritual yang termasuk di dalamnya memberlakukan hukum-hukum agama. Bukan itu, melainkan harus kita pahami bahwa semua muara dari ritual dan menaati hukum-hukum itu harusnya bermuara pada tindakan belas kasihan atau belarasa; itu adalah ibadah yang sesungguhnya! Bukankah Yesus pun mengingatkan bahwa barangsiapa mengasihi-Nya, ia akan menuruti kehendak-Nya. Jadi, fokus kehendak-Nya itu adalah kasih; maka kasih jugalah yang menjadi batu uji pada hari penghakiman itu.

 

Sang Raja yang telah menyebut diri-Nya sebagai penerima tindakan-tindakan belas kasihan itu, menimbulkan keheranan dari orang-orang benar. Betapa tidak, mereka tidak pernah menyangka bahwa yang mereka layani: orang lapar, haus, telanjang, sakit, asing dan terpenjara adalah tidak lain dari Raja itu sendiri. Oleh karena itu, mereka juga tidak pernah berpikir dan mencanangkan jika tindakan-tindakan kasih itu akan membuahkan imbalan Kerajaan. Ketidaksadaran inilah yang menegaskan bahwa mereka melakukan tindakan kasih itu atas dorongan hati yang murni dan bukan karena pamrih!

 

Tiga pertanyaan ganda yang mengungkapkan keheranan orang-orang benar itu dijawab Raja dengan mengingatkan mereka aka napa yang telah mereka lakukan terhadap salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini” Yesus mengidentikan diri-Nya sebagai “orang yang paling hina” (adelphon mou ton elakhiston) “Elakhiston” berarti “yang paling kecil” atau “yang paling terakhir”, artinya “Aku” adalah mereka yang terlupakan, mereka yang tidak diingat karena memiliki status diri yang rendah, baik secara sosial maupun ekonomi.

 

Jika Raja itu menempatkan diri-Nya sebagai yang hina, kecil dan terlupakan, ini berarti bahwa Sang Raja itu berempati dengan mencitai keadilan. Ia bagaikan apa yang terungkap dalam bacaan pertama (Yehezkiel 34). Raja yang berempati bagaikan gembala yang baik yang menggembalakan semua domba-domba-Nya dengan keadilan. Tentu saja, berangkat dari ilustrasi penghakiman, Sang Raja ingin keadilan dan cinta kasih itu terwujud dalam kehidupan sebelum penghakiman itu tiba. Manusia saling mempedulikan terlebih mereka yang sering dilupakan dan dipolitisasi.

 

Kontras, Raja menyapa yang di sebelah kiri sebagai orang-orang terkutuk, yang dibuang-Nya dalam siksaan neraka yang telah disediakan Allah untuk iblis dan kawan-kawannya. Keputusan Anak Manusia, Sang Raja tidaklah sewenang-wenang, dan tidak menimpa manusia tanpa persiapan. Tolok ukurnya sejak awal sudah diperdengarkan, bukan hanya oleh Yesus dan para murid-Nya, melainkan oleh para nabi-Nya juga. Keputusan Tuhan tidak dijatuhkan menurut keistimewaan suku, bangsa atau agama, tetapi menurut tindakan belas kasihan masing-masing orang.

 

Ketika Yesus memberitakan dekatnya Kerajaan Allah, manusia yang menderita menjadi perhatian-Nya. Pada akhir pelayanan-Nya di bumi, Ia sendiri mengenakan penderitaan mereka. Setelah bangkit Ia tetap menyamakan diri dengan mereka. Merekalah gambar-Nya yang paling nyata di bumi ini. Maka melayani mereka dan mengabdi kepada Kristus tidak dapat dipisahkan, ingat hukum kasih yang diajarkan-Nya: Mengasihi Allah dan sesama manusia tidak dapat dipisahkan. Orang yang melayani kebutuhan manusia yang paling lemah, melayani Kristus, juga ketika tidak menyadari kehadiran-Nya di situ.

 

Banyak hal yang kita anggap penting, seperti melakukan pembinaan dan pelatihan, pada akhirnya – seperti yang dikatakan Paulus – jika tidak ada cinta kasih semuanya itu akan menjadi mubajir. Sia-sia! Sebab, tanpa kasih kita akan dihalau, “Enyahlah kamu, hai orang-orang yang terkutuk!


Selagi ada waktu, manfaatkanlah dengan sungguh-sungguh untuk mewujudkan belaras kepada sesama, khususnya mereka yang terlupakan.

 

Jakarta, 13 November 2020

 

 

Kamis, 05 November 2020

HAMBA YANG DIPERCAYA

James Clear dalam bukunya Atomic Habit menceritakan pengalaman menarik dari Trent Dyrsmid. Pada 1993, sebuah bank di Abbotsford, Kanada merekrut Dyrsmid, seorang pialang yang waktu itu berusia 23 tahun. Abbotsford adalah wilayah pinggiran kota yang relative kecil, yang hanya seperti bayangan kota besar terdekatnya, Vancouver, tempat Sebagian besar transaksi bisnis terjadi. Mengingat lokasinya, dan kenyataan bahwa Dyrsmid terbilang pemula, tidak ada yang berharap terlalu banyak darinya. Namun, ia menunjukkan kemajuan yang cepat berkat kebiasaan sehai-harinya yang sederhana.

 

Dyrsmid memulai tiap pagi dengan dua gelas di meja kerja. Yang satu berisi 120 buah penjepit kertas. Yang lain kosong. Ia akan mulai menelpon seorang klien. Setelah itu, ia memindahkan satu penjepit kertas dari gelas yang penuh ke gelas yang kosong dan menelepon klien yang lain. “Setiap pagi saya mulai dengan 120 penjepit kertas di satu gelas dan terus menelepon sampai saya memindahkan semuanya ke gelas kedua,” ceritanya kepada James Clear.

 

Dalam delapan belas bulan, Dyrsmid mendatangkan 5 juta dolar ke perusahaan itu. Pada usia 24 tahun, ia berpenghasilan 75.000 dolar per-tahun setara dengan 125.000 saat ini (Rp 1.750.000.000 / kurs 14.000 per dolar). Tidak lama setelah itu, ia pindah ke perusahaan lain dengan gaji jutaan dolar. Dyrsmid tidak hanya seorang yang berhasil dalam dunia pekerjaan atau bisnis, tetapi juga ia adalah seorang yang dapat dipercayai. Kepercayaannya itu diraih dari kebiasaan sederhana; pekerjaan sehari-hari yang konsisten! Ia mengelola kepercayaan tuannya dan melipatgandakannya.

 

Yesus mengajarkan hal Kerajaan Allah dengan perumpamaan yang memakai konteks bisnis. Ada seorang banker yang hendak pergi ke luar negeri. Sebelum keberangkatannya, ia menyerahkan sejumlah besar uang kepada para hambanya. Dalam konteks waktu itu, seorang tuan dapat memberikan kepercayaan menyerahkan tanggung jawab yang sangat besar kepada budaknya sesuai dengan kesanggupannya.

 

Dalam konteks Injil Matius, cerita tentang kepergian orang ini dan penyerahan hartanya tidak dapat tidak menunjuk kepada Yesus yang menjelang kematian dan kebangkitan-Nya menyerahkan “harta-Nya” kepada para murid-Nya. Maka sejalan dengan itu, kata “talenta” tidak mengacu kepada “bakat” atau pembawaan sejak lahir, melainkan kepada anugerah-anugerah yang datang bersamaan dengan Kerajaan Allah dan diserahkan (paradidōmi, seperti dalam Matius 11:27) atau diberikan (didōmi) kepada murid-murid-Nya. Diberikan, dan bukan Cuma dipercayakan sebagai pinjaman atau titipan. Nilai tinggi anugerah-anugerah yang mereka terima itu diungkapkan dengan pilihan kata talenta, mata uang tertinggi. Nilai satu talenta itu 6000 dinar. Upah buruh bekerja waktu itu adalah 1 dinar sehari. Jika saat ini upah buruh Rp. 100.000/hari, maka nilai satu talenta setara dengan 100.000 x 6000 = 600 juta! Jumlah yang sangat besar.

 

Inilah penggabaran nilai kepercayaan Yesus berikan kepada para murid-Nya. Nilai yang sangat besar. Pemberian Yesus yang murah hati ini membawa konsekuensi tanggung jawab  para murid untuk mengembangkannya sesuai dengan kehendak Allah dan tentu saja dengan kesanggupan mereka.

 

Dua orang hamba bekerja keras dengan apa yang diberikan kepada mereka. Hasil kerja keras itu dibuktikan dengan laba dua kali lipat. Ini sangat berbeda dengan hamba yang ketiga. Sementara dua orang hamba melipatgandakan talenta yang mereka terima tanpa menyebut “uang tuannya”, hamba terakhir tidak melihat talentanya sebagai pemberian tetapi tetap sebagai “uang tuannya” dan dalam ketakutan, ia menyembunyikannya. Cara yang lazim di dunia kuno dan paling aman untuk menyimpan harta atau barang titipan, misalnya pada waktu perang, adalah dengan menyembunyikannya dalam wadah yang dikuburkan ke dalam tanah.

 

Saatnya tiba, sang tuan pulang dan mengadakan perhitungan. Perhitungan dengan hamba pertama dan kedua diceritakan dalam bentuk dialog yang sepenuhnya sejajar atau sama. Hamba-hamba itu melaporkan jumlah uang yang diserahkan kepada mereka dan memperlihatkan tambahan yang diperolehnya; lalu sang tuan memuji dan menggajari mereka.

 

Terakhir, sang tuan mengadakan perhitungan dengan hamba yang ketiga. Kali ini dialog lebih panjang. Hamba ketiga ini menyampaikan berbagai argumentasi bahkan menghakimi si tuan dengan sebutan “orang yang kejam”. Hamba ini kemudian melaporkan bahwa ia telah menyembunyikan “uang tuanya”, dan sekarang ia mengembalikannya. Ia menjelaskan mengapa hal itu dilakukannya: ia takut terhadap tuannya yang ia nilai kejam sebab menuntut apa yang tidak ia tanam sendiri. Tuduhan itu adalah kebalikan dari apa yang telah kita lihat dari kedua hamba terdahulu.

 

Hamba ini dicela dan disebut jahat karena persepsinya sendiri. Seandainya memang benar tuannya memungut apa yang tidak ditanamnya, hamba ini seharusnya bekerja dengan modal tuannya untuk dapat mengembalikan lebih banyak, minimal bersama dengan bunganya. Namun, itu tetap bukan tujuan tuannya. Kesalahan hamba ini bukan karena ia korupsi berfoya-foya menggunakan uang tuannya. Bukan! Kesalahan hamba ini adalah karena ia tidak berbuat apa-apa atas anugerah yang diberikan oleh sang tuan. 

 

Hal itu kemudian tampak dari tindakan hukuman: talenta yang telah diberikan tuan kepada hamba itu diambil darinya, bukan diambil kembali oleh tuannya, tetapi ditambahkan kepada hamba yang telah memperoleh laba. Tindakan yang mengejutkan ini dibenarkan dengan sebuah pepatah, “Yang mempunyai, akan diberi …Pepatah yang sama dalam Matius 13:11-12 berkaitan dengan anugerah untuk mengetahui rahasia Kerajaan Allah, di sini pun berkaitan dengan Kerajaan Allah yang perlu dikembangkan. 

 

Yesus yang akan segera mengakhiri karya-Nya di bumi ini; Ia akan segera mati, bangkit dan naik ke sorga telah mengutus murid-murid-Nya seraya memberi mereka anugerah-anugerah Kerajaan Allah untuk dikembangkan dan dilipatgandakan di dunia. Berbahagialah mereka yang berhasil menghadirkan Kerajaan Allah dengan kelimpahan anugerah-Nya di tengah masyarakat yang semakin luas. Pada hari pengadilan, buah perjuangan mereka akan diungkapkan dan mereka akan ditinggikan oleh Tuhan dan merayakan sukacita abadi.

 

Sebaliknya, celakalah hamba Tuhan yang tidak dapat dipercaya, yang tidak memahami, mananggapi, dan mengembangkan anugerah Injil dan tugas perutusannya untuk memenuhi dunia dengan anugerah Kerajaan Allah itu, sebaliknya dilumpuhkan oleh ketakutan terhadap Sang Penguasa yang dipandangnya kejam dan memeras. Anugerah yang tidak dikembangkannya menjadi mubazir dan ia berakhir dalam kesengsaraan kekal.

 

Marilah kita menggunakan apa yang Tuhan anugerahkan kepada kepada kita untuk menghadirkan Kerajaan-Nya di bumi ini. Inilah cara yang terbaik untuk menanggapi anugerah itu. Cara yang terbaik untuk membuktikan bahwa kita adalah hamba-hamba yang dapat dipercaya. Hamba-hamba yang kelak duduk bersama dalam kemuliaan yang sesungguhnya.

 

 

Jakarta, 5 November 2020