Kamis, 05 November 2020

HAMBA YANG DIPERCAYA

James Clear dalam bukunya Atomic Habit menceritakan pengalaman menarik dari Trent Dyrsmid. Pada 1993, sebuah bank di Abbotsford, Kanada merekrut Dyrsmid, seorang pialang yang waktu itu berusia 23 tahun. Abbotsford adalah wilayah pinggiran kota yang relative kecil, yang hanya seperti bayangan kota besar terdekatnya, Vancouver, tempat Sebagian besar transaksi bisnis terjadi. Mengingat lokasinya, dan kenyataan bahwa Dyrsmid terbilang pemula, tidak ada yang berharap terlalu banyak darinya. Namun, ia menunjukkan kemajuan yang cepat berkat kebiasaan sehai-harinya yang sederhana.

 

Dyrsmid memulai tiap pagi dengan dua gelas di meja kerja. Yang satu berisi 120 buah penjepit kertas. Yang lain kosong. Ia akan mulai menelpon seorang klien. Setelah itu, ia memindahkan satu penjepit kertas dari gelas yang penuh ke gelas yang kosong dan menelepon klien yang lain. “Setiap pagi saya mulai dengan 120 penjepit kertas di satu gelas dan terus menelepon sampai saya memindahkan semuanya ke gelas kedua,” ceritanya kepada James Clear.

 

Dalam delapan belas bulan, Dyrsmid mendatangkan 5 juta dolar ke perusahaan itu. Pada usia 24 tahun, ia berpenghasilan 75.000 dolar per-tahun setara dengan 125.000 saat ini (Rp 1.750.000.000 / kurs 14.000 per dolar). Tidak lama setelah itu, ia pindah ke perusahaan lain dengan gaji jutaan dolar. Dyrsmid tidak hanya seorang yang berhasil dalam dunia pekerjaan atau bisnis, tetapi juga ia adalah seorang yang dapat dipercayai. Kepercayaannya itu diraih dari kebiasaan sederhana; pekerjaan sehari-hari yang konsisten! Ia mengelola kepercayaan tuannya dan melipatgandakannya.

 

Yesus mengajarkan hal Kerajaan Allah dengan perumpamaan yang memakai konteks bisnis. Ada seorang banker yang hendak pergi ke luar negeri. Sebelum keberangkatannya, ia menyerahkan sejumlah besar uang kepada para hambanya. Dalam konteks waktu itu, seorang tuan dapat memberikan kepercayaan menyerahkan tanggung jawab yang sangat besar kepada budaknya sesuai dengan kesanggupannya.

 

Dalam konteks Injil Matius, cerita tentang kepergian orang ini dan penyerahan hartanya tidak dapat tidak menunjuk kepada Yesus yang menjelang kematian dan kebangkitan-Nya menyerahkan “harta-Nya” kepada para murid-Nya. Maka sejalan dengan itu, kata “talenta” tidak mengacu kepada “bakat” atau pembawaan sejak lahir, melainkan kepada anugerah-anugerah yang datang bersamaan dengan Kerajaan Allah dan diserahkan (paradidōmi, seperti dalam Matius 11:27) atau diberikan (didōmi) kepada murid-murid-Nya. Diberikan, dan bukan Cuma dipercayakan sebagai pinjaman atau titipan. Nilai tinggi anugerah-anugerah yang mereka terima itu diungkapkan dengan pilihan kata talenta, mata uang tertinggi. Nilai satu talenta itu 6000 dinar. Upah buruh bekerja waktu itu adalah 1 dinar sehari. Jika saat ini upah buruh Rp. 100.000/hari, maka nilai satu talenta setara dengan 100.000 x 6000 = 600 juta! Jumlah yang sangat besar.

 

Inilah penggabaran nilai kepercayaan Yesus berikan kepada para murid-Nya. Nilai yang sangat besar. Pemberian Yesus yang murah hati ini membawa konsekuensi tanggung jawab  para murid untuk mengembangkannya sesuai dengan kehendak Allah dan tentu saja dengan kesanggupan mereka.

 

Dua orang hamba bekerja keras dengan apa yang diberikan kepada mereka. Hasil kerja keras itu dibuktikan dengan laba dua kali lipat. Ini sangat berbeda dengan hamba yang ketiga. Sementara dua orang hamba melipatgandakan talenta yang mereka terima tanpa menyebut “uang tuannya”, hamba terakhir tidak melihat talentanya sebagai pemberian tetapi tetap sebagai “uang tuannya” dan dalam ketakutan, ia menyembunyikannya. Cara yang lazim di dunia kuno dan paling aman untuk menyimpan harta atau barang titipan, misalnya pada waktu perang, adalah dengan menyembunyikannya dalam wadah yang dikuburkan ke dalam tanah.

 

Saatnya tiba, sang tuan pulang dan mengadakan perhitungan. Perhitungan dengan hamba pertama dan kedua diceritakan dalam bentuk dialog yang sepenuhnya sejajar atau sama. Hamba-hamba itu melaporkan jumlah uang yang diserahkan kepada mereka dan memperlihatkan tambahan yang diperolehnya; lalu sang tuan memuji dan menggajari mereka.

 

Terakhir, sang tuan mengadakan perhitungan dengan hamba yang ketiga. Kali ini dialog lebih panjang. Hamba ketiga ini menyampaikan berbagai argumentasi bahkan menghakimi si tuan dengan sebutan “orang yang kejam”. Hamba ini kemudian melaporkan bahwa ia telah menyembunyikan “uang tuanya”, dan sekarang ia mengembalikannya. Ia menjelaskan mengapa hal itu dilakukannya: ia takut terhadap tuannya yang ia nilai kejam sebab menuntut apa yang tidak ia tanam sendiri. Tuduhan itu adalah kebalikan dari apa yang telah kita lihat dari kedua hamba terdahulu.

 

Hamba ini dicela dan disebut jahat karena persepsinya sendiri. Seandainya memang benar tuannya memungut apa yang tidak ditanamnya, hamba ini seharusnya bekerja dengan modal tuannya untuk dapat mengembalikan lebih banyak, minimal bersama dengan bunganya. Namun, itu tetap bukan tujuan tuannya. Kesalahan hamba ini bukan karena ia korupsi berfoya-foya menggunakan uang tuannya. Bukan! Kesalahan hamba ini adalah karena ia tidak berbuat apa-apa atas anugerah yang diberikan oleh sang tuan. 

 

Hal itu kemudian tampak dari tindakan hukuman: talenta yang telah diberikan tuan kepada hamba itu diambil darinya, bukan diambil kembali oleh tuannya, tetapi ditambahkan kepada hamba yang telah memperoleh laba. Tindakan yang mengejutkan ini dibenarkan dengan sebuah pepatah, “Yang mempunyai, akan diberi …Pepatah yang sama dalam Matius 13:11-12 berkaitan dengan anugerah untuk mengetahui rahasia Kerajaan Allah, di sini pun berkaitan dengan Kerajaan Allah yang perlu dikembangkan. 

 

Yesus yang akan segera mengakhiri karya-Nya di bumi ini; Ia akan segera mati, bangkit dan naik ke sorga telah mengutus murid-murid-Nya seraya memberi mereka anugerah-anugerah Kerajaan Allah untuk dikembangkan dan dilipatgandakan di dunia. Berbahagialah mereka yang berhasil menghadirkan Kerajaan Allah dengan kelimpahan anugerah-Nya di tengah masyarakat yang semakin luas. Pada hari pengadilan, buah perjuangan mereka akan diungkapkan dan mereka akan ditinggikan oleh Tuhan dan merayakan sukacita abadi.

 

Sebaliknya, celakalah hamba Tuhan yang tidak dapat dipercaya, yang tidak memahami, mananggapi, dan mengembangkan anugerah Injil dan tugas perutusannya untuk memenuhi dunia dengan anugerah Kerajaan Allah itu, sebaliknya dilumpuhkan oleh ketakutan terhadap Sang Penguasa yang dipandangnya kejam dan memeras. Anugerah yang tidak dikembangkannya menjadi mubazir dan ia berakhir dalam kesengsaraan kekal.

 

Marilah kita menggunakan apa yang Tuhan anugerahkan kepada kepada kita untuk menghadirkan Kerajaan-Nya di bumi ini. Inilah cara yang terbaik untuk menanggapi anugerah itu. Cara yang terbaik untuk membuktikan bahwa kita adalah hamba-hamba yang dapat dipercaya. Hamba-hamba yang kelak duduk bersama dalam kemuliaan yang sesungguhnya.

 

 

Jakarta, 5 November 2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar