Jumat, 30 Oktober 2020

BIJAKSANA DAN ANTISIPATIF

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “bijaksana” diartikan sebagai “selalu menggunakan akal budinya (pengalaman dan pengetahuannya); arif, tajam pikiran, pandai dan hati-hati (cermat, teliti, dan sebagainya) apabila menghadapi kesulitan dan sebagainya. Tentu saja sikap bijaksana merupakan sikap yang baik. Siapa pun senang bergaul dengan orang yang bijaksana. Sayangnya, meski kita semua suka sikap bijaksana tidak serta merta kita berupaya, berjuang sekuat tenaga untuk mempunyai karakter diri yang bijaksana.

 

Dalam Injil Matius, bijaksana (phronimos) menunjuk kepada mereka yang melakukan firman Yesus tentang kehendak Bapa (Matius 7:24-25) dan dengan demikian siap untuk hari Tuhan kapan pun. Kebalikan dari sikap bijaksana adalah “bodoh”. Orang bodoh bukan berarti tidak mempunyai akal budi. Orang bodoh tahu, bisa juga mengerti firman itu namun tidak mau melakukannya. Merujuk pada Matius 7:26-27 orang bodoh berujung pada malapetaka.

 

Sikap bijaksana dan yang sebaliknya diangkat Yesus melalui perumpamaan. Perumpamaan itu berkisah tentang lima gadis bijaksana dan lima gadis yang bodoh. Perumpamaan ini dibuka dengan keluarnya sepuluh gadis dari rumah pengantin perempuan untuk menyongsong mempelai laki-laki. Sepuluh gadis ini adalah teman pengiring atau “dayang-dayang” yang mendampingi mempelai perempuan. Mereka mungkin sama seperti dayang-dayang di istana raja kuno. Mereka belum menikah, sehingga dalam bahasa Yunani, mereka disebut parthenoi (harfiah: perawan). Tampaknya peran mereka dalam pesta pernikahan ini sangat penting. Mereka bertugas menyongsong kedatangan mempelai laki-laki, sebuah tugas penting dan membahagiakan. Mereka datang untuk bersiap sedia melayani dan selanjutnya menjadi saksi dan tentu saja menikmati kebahagiaan dalam pesta kedua mempelai itu.

 

Lima gadis disebut Yesus sebagai gadis-gadis yang bijaksana. Karakter bijaksana diperlihatkan dalam kesiap-siagaan mereka dalam tugas yang maha penting itu. Mereka tidak hanya membawa pelita masing-masing, mereka juga menyiapkan cadangan minyak dalam buli-buli (Matius 25:4). Bi balik kesiapan menyediakan minyak cadangan, mereka mengantisipasi berbagai kemungkinan terburuk, yakni bahwa sang mempelai laki-laki dapat saja mengalami gangguan dalam perjalanan dan tiba larut malam. Ternyata sikap antisipatif ini benar. Mempelai laki-laki datang sudah larut malam. Sama seperti lima gadis yang lainnya, gadis-gadis bijaksana ini pun tertidur. Namun, ada yang membedakan, pelita kelima gadis bijaksana ini tetap menyala. Mereka menyambut mempelai laki-laki dan kemudian masuk dalam kegembiraan pesta.

 

Sebaliknya, tragis menimpa lima gadis lain yang disebut bodoh. Pelita mereka padam ketika sang mempelai datang. Lima gadis malang itu meminta berbagi minyak dari gadis-gadis yang membawa minyak cadangan. Bagaimana respons mereka? Lima gadis bijaksana itu menolak. Kejam! Ya, mereka seolah terlihat sangat egois dan tidak mau membantu teman-temannya sendiri. Apakah memang begitu, mereka egois?

 

Mari kita telisik alasan kelima gadis bijaksana yang enggan memberikan minyak cadangan kepada mereka. Gadis-gadis bijaksana itu menjelaskan bahwa mereka tidak dapat memberikan Sebagian minyak cadangan mereka karena ini adalah urusan serius. Membaginya, bisa saja menjadi tidak berguna, tidak cukup untuk keperluan pesta dan akhirnya padam semuanya. Di sinilah Yesus mau mengingatkan bahwa kesetiaan melakukan kehendak Allah memang bukan barang yang bisa dibagi-bagi seperti hanya minyak atau pulsa. Persiapan untuk menyambut hari kedatangan Tuhan pada hakikatnya menjadi tugas dan tanggungjawab masing-masing murid Yesus, tidak dapat dipinjamkan atau diwakilkan kepada orang lain. Maka tidak pada tempatnya mempermasalahkan bahwa gadis-gadis bijaksana itu adalah orang-orang yang egois! Anda dan saya tidak dapat menuntut orang lain untuk melakukan kebaikan kepada kita, sementara diri kita sendiri teledor dan tidak antisipatif. Orang lain tidak bisa dimintai pertanggung jawaban dari kekeliruan yang kita lakukan.

 

Meskipun demikian, gadis-gadis bijaksana itu tetap memberikan saran. Mereka diminta untuk membeli minyak ke warung yang menjualnya. Tengah malam cari tukang minyak di m ana? Ini mengandaikan kebiasaan bahwa ketika ada kenduri, maka warung-warung juga akan buka sampai larut malam mengikut keramaian yang ada. Sayangnya, warung penjual minyak itu jauh sehingga ketika mereka sedang mencari untuk membelinya, sang mempelai pria datang. Tugas utama penyambutan tidak dapat dilakukan oleh mereka.

 

Perjamuan pernikahan melambangkan pesta keselamatan pada akhir zaman bersama dengan Kristus. Dalam konteks akhir zaman, pintu yang terbuka atau yang tertutup berarti mendapat bagian dalam kebahagiaan kekal atau tersingkir serta terbuang. Bagi kelima gadis bijaksana, mereka mendapat bagian dari kebahagiaan. Ini melambangkan pintu itu terbuka bagi siapa pun yang hidup “bijaksana”. 

 

Memasuki pesta “perjamuan pernikahan” bersama Tuhan itu mengandaikan suatu sikap antisipatif yang tekun. Tidak seorang pun tahu kapan akhir zaman itu tiba; kapan Yesus Kristus datang kembali. Orang yang ditemukan sedang melakukan kehendak Bapa akan menemukan pintu terbuka dan tentu saja ia dapat masuk. Sebaliknya, orang dapat juga menemukan pintu itu sudah tertutup, dapat dikucilkan, bila tidak senantiasa siap sedia di dalam iman dan kebenaran, dalam kasih yang bukan hanya sesaat, melainkan terus-menerus. Pada saat kedatangan Tuhan tidak mungkin mengandalkan jasa orang lain. Meskipun Yesus mengajarkan kita untuk saling mendukung dalam perjalanan, namun dalam hal menyambut kedatangan Tuhan merupakan tanggungjawab pribadi. Tidak ada pula rumusan mujarab dengan memanggil “Tuhan, Tuhan!” untuk membuka pintu.

 

Dalam hal inilah kita juga diingatkan untuk bukan sekedar ibadat bibir, ibadat ritual formal seperti pada zaman Nabi Amos yang mengutamakan ritual perayaan namun mengabaikan moralitas sebagai umat Tuhan. Akhirnya, hari Tuhan itu bukanlah “pesta kegembiraan”, melainkan kengerian. Tuhan menghendaki kita menjadi pelaku firman bukan sekedar pendengar saja untuk dapat merayakan sukacita yang sesungguhnya. 

 

Kita semua senang berkawan dengan orang-orang yang bijaksana. Maka, jadilah kita juga orang yang bijaksana. Berjuanglah untuk menjadi orang yang bijaksana, jangan pernah mengandalkan jasa orang lain karena kita masing-masing akan dimintai pertanggungjawaban.

 

Jakarta, 30 Oktober 2020 

 

 

Jumat, 23 Oktober 2020

BERHASIL DI JALAN TUHAN

Dan barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan.” (Matius 23:12). Itulah bunyi ayat penutup pada Injil yang kita baca hari ini. Injil hari ini tidak biasa. Ya, tidak biasa oleh karena biasanya Injil itu merupakan berita atau kabar gembira, tapi Matius 23 ini bukan kabar gembira, kalau Anda baca sampai habis, isinya adalah kabar celaka! Isinya kecaman atau bahkan kutukan Yesus terhadap orang-orang yang selalu memperlihatkan karakter tinggi hati. Mereka yang dikecam adalah pemuka-pemuka agama Yahudi yang selalu ingin tampil saleh. 

 

Sulit untuk dibantah, kebanyakan orang punya kecenderungan untuk membanggakan apa yang ada pada dirinya. Kecenderungan orang untuk tidak rendah hati banyak terjadi di segala bidang dan profesi. Orang cenderung mengharapkan sanjungan atau pujian terhadap apa yang dimiliki atau berhasil diraihnya. Ya, benar ini kecenderungan manusiawi namun hakikatnya sangat tidak terpuji. “Betapa munafiknya kita mena kala kita berbicara tentang diri sendiri. Kata-kata kita tampak rendah hati, sementara hati kita sangat berbangga hati!” kata Augustus Hare, seorang penulis Inggris abad ke-19.

 

Barang kali apa yang diungkapkan oleh Augustus Hare itulah yang dilihat Yesus dalam diri para pemimpin Yahudi yang terus berpolemik dengan-Nya. Beberapa kali mereka tidak berkutik bersoal jawab dengan Yesus. Jebakan demi jebakan dapat dipatahkan oleh Yesus. Lalu, mereka bungkam dan tidak ada lagi seorang pun yang mengajukan pertanyaan apalagi sanggahan kepada-Nya. Sekarang Yesus mengarahkan pengajaran-Nya kepada para murid dan orang banyak yang masih mau mendengarkan-Nya. Isi ucapan-ucapan Yesus yang terekam dalam Injil Matius 23 sepenuhnya berisi kecaman-kecaman terhadap orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat. Yesus mengkritik mereka karena kebutaan dan legalisme yang sempit dari mereka.

 

Yesus tidak sedang mengajukan tuduhan langsung kepada orang-orang Farisi atau ahli-ahli Taurat. Tetapi Yesus sedang mengajar para murid dan pendengar-Nya dengan maksud untuk membangun sebuah kehidupan yang berbeda dari kehidupan yang dibangun oleh orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat. Dengan kata lain, hidup para murid Yesus harus dijauhkan dari kemunafikan, kebutaan dan legalisme sempit orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat. 

 

Yesus menyebut bahwa orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat telah menduduki kursi Musa. Ya, mereka memang dikenal sebagai orang-orang yang mendasarkan seluruh hidupnya pada Taurat. Mereka adalah para pengajar yang disegani oleh masyarakat Yahudi. Hal ini merupakan kebanggaan dan kesuksesan hidup buat mereka. Yesus tidak menolak, Ia mengakui status mereka ini. Oleh karena itu Yesus meminta agar para murid-Nya dan orang banyak yang mendengarkan-Nya menuruti dan melakukan segala sesuatu yang mereka ajarkan. 

 

Tetapi pengakuan dan perintah Yesus itu disertai dengan peringatan untuk tidak menuruti perbuatan-perbuatan mereka. Mengapa? Karena mereka pandai mengajarkannya tetapi tidak melakukannya. Tema ini banyak muncul dalam Injil Matius. Bagi Yesus, butuh keselarasan antara omongan dan tindakan; antara kepercayaan dan praktik hidup sehari-hari. Mengapa perbuatan para pengajar itu tidak boleh ditiru? Mereka meletakkan beban berat di pundak orang lain, sementara mereka sendiri tidak mau menanggungnya. Mereka melakukan pekerjaan-pekerjaan mereka hanya supaya dilihat dan dihormati oleh orang banyak. Mereka suka dipanggil rabi dan pemimpin. Dan kehidupan yang seperti inilah yang dipandang berhasil atau sukses buat mereka.

 

Kebalikan dengan perbuatan para pengajar itu, setiap murid Yesus tidak boleh meniru mereka. Mereka tidak boleh menyebut diri sebagai rabi atau pemimpin. Yesus sendiri pernah mengatakan bahwa barangsiapa ingin menjadi yang terbesar, ia harus menjadi pelayan. Yang ingin ditinggikan, ia harus merendahkan diri. Maka unsur hidup dalam kerendahan hati menjadi pokok ajaran penting Yesus. Hidup para murid tidak dibangun hanya supaya mereka dilihat orang, dihormati, disapa sebagai guru atau pemimpin.

 

Jelas bagi Yesus berbicara tentang keberhasilan hidup itu bukanlah kehidupan yang penuh sanjungan, melainkan kerendahan hati. Dengan demikian kerendahan hati merupakan jalan kehidupan atau gaya hidup para pengikut Yesus. Jadi, keberhasilan seseorang di hadapan Yesus adalah ketika Ia berada dalam jalan rendah hati!

 

John Wooden, pelatih basket ternama Amerika Serikat, mempunyai pandangan sekaligus nasihat tentang kesombongan dan kerendahan hati. Ia berkata, “Talenta adalah pemberian Tuhan. Jadilah orang yang rendah hati. Popularitas adalah pemberian orang-orang. Berterimakasihlah! Kesombongan adalah hasil tingkah lakumu sendiri. Hati-hatilah!” Benar, dengan menjadi sombong kita wajib berhati-hati, dunia olah raga banyak mencatat, orang-orang hebat kalah karena terlalu sombong dan mengganggap rendah lawan mereka.

 

Kesombongan bisa berasal dari kebiasaan membangga-banggakan diri. “Membanggakan diri dan sombong adalah dosa asli manusia,” kata Alain Rene Le Sage (penulis Perancis abad ke-18). Dengan begitu, jelaslah bahwa kesombongan bukan jalan Tuhan bahkan Tuhan membencinya. Dan kesombongan itu, cepat atau lambat, akan meruntuhkan segala pencapaian yang telah ada. Dan pada ujungnya akan mempermalukan diri sendiri.

 

“Satu karakteristik kekuatan autentik yang sering kali dibaikan orang adalah kerendahan hati. Itu adalah hal penting untuk banyak alasan. Seorang yang rendah hati melangkah dalam dunia yang bersahabat. Ia mendapatkan kawan di mana pun ia berada, ke mana pun ia melangkah. Persepsi hidupnya jauh melampaui tampilan kulit luarnya, karena misi hidupnya sangat mendalam,” kata Gary Zukav, seorang pengajar spiritual lulusan Harvard.

 

Yesus menghendaki para murid ada dalam jalan-Nya, jalan kerendahan hati karena di sinilah mereka tidak akan menjumpai kutuk dan celaka seperti yang Ia tujukan untuk orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat. Jalan kerendahan hati tidaklah mudah. Mengapa? Ya, karena musuh kita bukanlah orang atau pihak lain melainkan diri kita sendiri. Namun, percayalah ketika kita berhasil melakukannya, maka kitalah orang-orang yang beruntung, orang-orang yang berhasil di jalan Tuhan!

 

Jakarta, 23 Oktober 2020