Kamis, 16 Januari 2020

MERESPON ANUGERAH DAN PANGGILAN ALLAH

Lihatlah Anak Domba Allah!” Seru Yohanes Pembaptis kepada murid-muridnya. 

Sejenak kita menerawang pada kisah purba nan klasik. Ya, kisah Abraham ketika membawa Ishak, anak yang lama dijanjikan Tuhan itu. “Lihatlah Anak Domba Allah!” bukankah seperti jawaban penuh misteri yang diajukan Ishak. Ketika TUHAN meminta Abraham mengorbankan anak yang dikasihinya itu. Keduanya naik ke atas gunung. Ishak membawa kayu bakar dan Abraham membawa pisau dan api. Ishak bertanya:

“Bapa, di sini sudah ada api dan kayu, tetapi di manakah anak domba untuk kurban bakaran itu?” Abraham menjawab, “Allah yang akan menyediakan anak domba untuk korban bakaran bagi-Nya,anakku.” (Kejadian 22:7,8).

Setelah ribuan tahun berselang, jawabannya datang dari Yohanes Pembaptis:

“Lihatlah Anak Domba Allah!”

Untuk memahami arti mendalam dari anak domba bagi komunitas Yahudi, kita harus mengingat Kitab Keluaran. Darah anak domba menyelamatkan orang-orang Israel dari perbudakan dan kemudian memungkinkan mereka melangkah maju menuju kemerdekaan dan melangkah masuk ke Tanah Perjanjian. Dalam perayaan Paskah, orang-orang Israel mengingat peristiwa pembebasan ini dengan memakan daging anak domba yang dibakar di atas api. Selanjutnya Nabi Yesaya berbicara tentang “hamba yang menderita”, yang disiksa oleh karena dosa-dosa kita dan yang memberikan damai. “Seperti anak domba yang dibawa ke pembantaian… ia tidak membuka mulutnya…Ia menanggung dosa banyak orang dan berdoa untuk pemberontak-pemberontak…” (Yesaya 53:7,12)

Di hadapan kekuasaan dan pasukan Kaisar; berhadapan dengan kekuatan senjata yang dasyat pada zamannya. Di tengah ancaman intimidasi terhadap kemanusiaan, bukankah lebih tepat dihadapi oleh orang perkasa dengan pasukan berlaksa-laksa untuk menaklukkannya? Bukankah lebih logis rudal-rudal balistik dihadapi dengan rudal-rudal berhulu ledak nuklir? Namun nyatanya Yohanes menegaskan kembali jawaban dari Allah : Inilah Anak Domba Allah!

Lalu, apa yang dapat dilakukan oleh Anak Domba ini? Anak Domba ini akan merobohkan tembok-tembok ketakutan, agresi, kekerasan, dan dosa yang memenjarakan manusia di dalam dirinya sendiri. Dosa yang menjerat, membelenggu manusia dan mencabik-cabik gambar Allah. Anak Domba itulah yang akan menyebarkan dalam diri setiap orang hidup yang baru, yaitu hidup yang mengalami perjumpaan dengan Allah. Sehingga akan mengubah cara pandang dan relasi baik dengan diri sendiri, orang lain dan segenap ciptaan.

Yohanes Pembaptis sedang bersama dengan dua orang muridnya ketika Yesus lewat. Sambil memandang-Nya, Yohanes berkata, “Lihatlah Anak Domba Allah!” Yohanes tidak membangun kultus individu terhadap dirinya. Kebanyakan orang tidak akan merelakan begitu saja pengikutnya untuk mengikuti orang lain. Yohanes tidak! Seolah ia mengatakan kepada dua muridnya itu, “Inilah Mesias yang dijanjikan Allah, tinggalkan aku, ikutilah Dia!” Bukan Yesus yang memanggil kedua orang ini untuk mengikuti-Nya, Yohaneslah yang menuntun mereka kepada Yesus. Dan melalui Yohanes, Bapalah yang menarik hati kedua orang ini untuk menjumpai Yesus.

Bukankah banyak anak muda pada masa kini seperti murid-murid Yesus yang pertama. Mereka mencari sesuatu yang bermakna bagi hidup mereka. Mereka mencari, tetapi apa yang mereka temukan? Suatu dunia di mana apresiasi diberikan kepada mereka yang kaya, sukses, tenar, dan berkuasa. Materi dan kekuasaan menjadi tolok ukur manusia dihargai! Mereka sering kali dikejutkan oleh dunia kita yang indah namun rentan diperlakukan, diekspoitasi, dan tertekan oleh konflik-konflik bersenjata yang terus terjadi. Beberapa jatuh ke dalam jerat obat bius, mencari pengalaman yang hanya sementara dapat membebaskan mereka dari tekanan hidup. Mereka berharap dapat dibebaskan dari rasa sakit karena keputusasaan, untuk mencicipi “yang tak terbatas”, dan melupakan kerasnya dunia.

Banyak yang menunggu dan mengharapkan dapat bertemu dengan pribadi-pribadi yang sungguh-sungguh menjalankan apa yang mereka katakan. Integritas masih adakah? Mereka mencari model-model dan saksi-saksi yang autentik yang akan membimbing mereka keluar dari jalan depresi, putus asa, dan kematian menuju jalan pengharapan dan kehidupan.

Betapa banyaknya mereka yang rindu berharap dapat menghayati pengalaman akan Allah yang sejati. Allah yang tidak sekedar membius untuk melupakan kepenatan sesaat. Allah yang bukan sekedar konsep-konsep doktrinal. Mereka butuh menjadi subyek dan pelaku bukan sekedar obyek dari sebuah pengajaran. Mereka rindu untuk menemukan suatu tempat di dunia ini, di mana mereka dapat memberi dan menerima hidup baru bersama dengan yang lain, sambil berjuang untuk keadilan dan perdamaian. 

Yesus, Sang Anak Domba Allah menoleh dan memandang kedua murid yang pertama ini dan bertanya, “Apa yang kamu cari?” (Yohanes 1:38)

Inilah kata-kata pertama Yesus dalam Injil Yohanes. Mungkin itu pula kata-kata pertama Yesus bagi masing-masing dari antara kita. Lihat, Yesus tidak ingin memaksakan suatu gagasan, ajaran, atau ideologi kepada kita. Ia mengharapkan orang mengikuti-Nya bukan karena terpedaya oleh konsep atau gagasan. Bukan pula oleh paksaan baik secara halus maupun kasar. Tidak! Ia menjadikan orang-orang yang akan mengikuti-Nya sebagai subyek yang punya kebebasan untuk merespon.

Yesus mengajak orang untuk melihat ke dalam hati diri sendiri dan menjadi sadar akan harapan-harapan yang paling mendasar. Apa yang sebenarnya kita harapkan untuk hidup kita? Apa yang sedang kita cari? Dengan mengajukan pertanyaan ini, Yesus mengajak masuk ke dalam sebuah relasi, ke dalam dialog dengan dua orang itu.

Yesus berkata, “Datanglah dan lihatlah”.

Kata “datanglah” keluar dari mulut Yesus, dan mengalir di sepanjang seluruh Injil yang ditulis oleh murid yang terkasih. Sekali lagi, Yesus tidak memaksakan atau mendesakkan sesuatu kepada siapa pun. Dengan lembut Dia mengundang masing-masing dari antara kita untuk melangkah maju. Ia berkata, “datanglah”, “datanglah dan lihatlah.”Kedua orang murid Yohanes itu mengikuti Yesus, melihat di mana Ia tinggal dan selanjutnya memilih tinggal bersama-Nya.

Kata Yunani untuk “tinggal” adalah menein mempunyai peran khusus dalam Injil dan surat-surat Yohanes. Ia menggunakannya 43 kali! Kita sudah berjumpa dengan kata ini ketika Yohanes Pembaptis mengatakan bahwa ia melihat Roh turun dari langit dan “tinggal” di atas-Nya. Injil Yohanes menggunakan kata ini dalam arti “tinggal” di suatu tempat tertentu; lebih dari pada itu, ia mempergunakannya dalam arti persahabatan, yaitu ketika kita “tinggal” dalam pribadi orang lain. 

Tinggal satu dalam yang lain”,  berarti persahabatan yang langgeng dan mendalam. Persahabatan itu adalah relasi dan bukan transaksi. Relasi yang amat pribadi, dinamis dari dua pribadi yang tinggal satu dalam yang lain. Oleh karena itu kalau Injil Yohanes mengatakan,  “Mereka pun datang dan melihat di mana Ia tinggal, dan hari itu mereka tinggal bersama-sama Dia.” (Yohanes 1:39). Ini mempunyai arti yang sangat istimewa. Yang dimaksudkan pertama-tama tentu saja tinggal dalam satu tempat atau rumah. Namun, dalam arti yang lain selanjutnya bermakna bahwa tempat tinggal Yesus yang sesungguhnya itu adalah dalam Bapa. Ia tinggal di hadirat Bapa. Barangsiapa tinggal dengan Yesus, ia juga akan mengalami tinggal bersama-sama dengan Bapa!

Injil Yohanes mengisahkan pemanggilan para murid Yesus yang pertama ini bukan seperti pemanggilan, dalam arti Yesus berseru, memanggil nama atau menunjuk orang tertentu. Tidak! Panggilan terjadi justru dengan mengetuk hati manusia yang terdalam. Yohanes Pembaptis menjadi seorang penunjuk arah dan dua orang muridnya itu lalu mengikuti Yesus. Yesus tidak merayu. Namun, Ia mengajak orang untuk membangun relasi dengan-Nya: melihat, mengalami dan merasakan sendiri persahabatan itu. Para murid pertama merespon dan mau tinggal bersama-Nya.

Benar, saat ini Yohanes Pembaptis yang mengarahkan banyak orang kepada Kristus secara fisik tidak ada lagi. Namun, Allah dapat menghadirkan Yohanes Pembaptis- Yohanes Pembaptis masa kini untuk mengarahkan kita kepada Sang Anak Domba yang menghapus dosa dunia itu. Dia tidak pernah memaksa, mengintimidasi, membuai dengan janji-janji indah, atau memperdaya dengan doktrin-doktrin canggih. Tidak! Yang Ia katakan, “Mari, datang, lihat dan tinggallah bersama-Ku! Bagaimana respon kita?

Jakarta, 16 Januari 2020

Kamis, 09 Januari 2020

HIDUP YANG PATUT DI HADAPAN ALLAH

Ada beberapa padanan untuk kata “patut”, yakni: baik, layak, pantas, senonoh, sesuai benar (dengan), seimbang (dengan), masuk akal, wajar, sudah seharusnya, sepantasnya, selayaknya, tentu saja, sebenarnya. Ternyata, satu kata ini tidak sederhana untuk diuraikan, apalagi kata itu digandeng dengan kata-kata yang lain seperti dalam tema kita hari ini. Lebih sulit lagi ketika kita mewujudkannya dalam kehidupan nyata! Lalu, apakah yang tidak mudah ini kemudian menjadi mustahil untuk kita lakukan?

Yohanes Pembaptis berada pada persimpangan antara yang mustahil dan bisa dilakukan. Batu ujinya adalah pertobatan! Bagi mereka yang tetap memertahankan cara hidup nyaman meski tidak pantas dan seharusnya maka tidak mungkin atau mustahil kelompok ini bisa hidup patut di hadapan Allah. Bisa saja mereka mengklaim telah hidup patut di hadapan Allah. Namun, kenyataannya tidak. Kelompok ini diwakili oleh Farisi dan Saduki yang dikecam Yohanes sebagai keturunan ular beludak (Matius 3:7). Bagi mereka yang mendengar dan menyambut seruan Yohanes Pembaptis, hidup patut di hadapan Allah merupakan keniscayaan. Pengharapan itu nyata! Mereka akan menghasilkan buah pertobatan dan merasakan persekutuan yang indah dengan Allah. 

Yesus salah seorang yang masuk dalam kelompok orang-orang yang datang kepada Yohanes untuk dibaptis. Pada zaman Yesus, baptisan yang sedang populer adalah baptisan Yohanes Pembaptis. Namun, yang dilakukan oleh Yohanes sebetulnya bukan hal baru pada waktu itu. Praktik baptisan sudah dikenal para rahib di Qumran. Juga kelompok-kelompok orang saleh waktu itu untuk menyatakan niat pembaruan hidup mereka dengan baptisan. 

Dalam peristiwa pembaptisan itu, Yohanes menegaskan bahwa ia membaptis dengan air, sedangkan yang akan datang nanti akan membaptis dengan Roh dan api (Matius 3:11). Air punya sifat membersihkan. Tetapi air hanya membersihkan bagian luar. Api memurnikan luar dalam. Api dapat mengubah secara utuh. Ini bahasa kiasan. Cara penyampaian seperti itu menolong kita mengerti bahwa baptisan dengan Roh artinya diberi kemungkinan menempuh hidup baru dengan bimbingan dan kekuatan dari Tuhan sendiri. Siapa yang dapat membaptiskan seperti itu? Jelas, pertama-tama adalah Ia yang telah terlebih dahulu berkenan kepada Allah!

Siapa? Peristiwa di sungai Yordan itu menjawab, “Inilah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan.”(Matius 3:17). Redaksi Matius berbeda dengan Markus dan Lukas (Markus 1:11 dan Lukas 3:22). Kedua Injil ini mencatat, “Engkaulah anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Mulah Aku berkenan”. Jadi, yang disapa dengan kata-kata itu ialah Yesus sendiri. Markus mencatat (Markus 1:10), ketika keluar dari air, setelah dibaptis, Yesus langsung “melihat langit terkoyak…”. Lukas menyebut bahwa Yesus juga dibaptis dan “sedang berdoa…”. Kedua Injil ini memang hendak menekankan pengalaman rohani atau spiritualitas Yesus ketika menerima baptisan itu. Pengalaman rohanimendapati diri sebagai orang yang disapa sebagai “Anak terkasih” oleh Dia yang ada di langit itu dimungkinkan oleh Roh Kudus yang turun ke atas Yesus. Ungkapan “Anak terkasih” di situ berarti orang yang amat dekat, yang terpilih untuk menjalankan urusan-urusan Allah. Itulah maksud “kepada-Mu Aku berkenan”. Pengalaman rohani ini kemudian menjadi kekuatan Yesus dalam menunaikan tugas Ilahi itu. Lalu bagaimana dengan pesan Injil Matius?

Matius 3:17 mencatat, “Inilah anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan”. Kalimat ini bukan sapaan Ilahi kepada Yesus sebagaimana tercatat dalam Markus dan Lukas, melainkan sebagai pernyataan tentang Dia. Proklamasi! Matius lebih suka membuat apa yang dialami Yesus secara rohani tadi akhirnya juga menjadi pengalaman semua orang yang menyaksikan peristiwa itu, termasuk siapa saja yang menjadi pembaca Injilnya. Jadi, ada pewartaan mengenai siapa Yesus itu kepada orang banyak. Dia itu orang yang amat dekat (“Anak-Ku yang Kukasihi”) dengan Yang Ilahi dan mendapat perkenan dari-Nya untuk melakukan tindakan-tindakan di antara manusia atas nama-Nya.

Matius juga mendekatkan pengalaman spiritual Yesus pada semua orang. Matius merasa yakin bahwa pengalaman Yesus dapat menjadi pengalaman semua orang yang menyaksikan dan membaca Injilnya. Bagaimana caranya? Tentu saja bila mengimani bahwa peristiwa baptisan itu bukan semata-mata peristiwa simbolik saja, melainkan meyakini bahwa Roh Allah bekerja sama seperti Ia bekerja melalui Yesus. Dikatakan dalam Matius 3:16, “Roh Allah seperti burung merpati turun ke atas-Nya”. Roh yang bisa tampil sebagai api yang membakar itu kini tampil sebagai yang lemah lembut. Tetapi daya dan kuasa-Nya tetap sama! Dan kekuatan yang turun ke atas Yesus dalam wujud yang lembut itu akan menjadi juga baptisan bagi orang banyak!

“Hidup yang patut di hadapan Allah” itu sangat mungkin. Yesus membuka jalan untuk itu! Yesus datang seperti orang banyak kepada Yohanes untuk menerima baptisan tobat, meski Ia sendiri tidak berdosa. Di sini Dia memberi ruang untuk gerak bagi Roh Kudus dan kehadiran kuasa Ilahi. Di sini Dia menunjukkan kesediaan untuk berbagi kehidupan dengan orang banyak dengan ikut merasakan kegelisahan, mau mengambil bagian dalam kerisauan orang banyak dalam menantikan kedatangan yang dijanjikan, itulah yang membuat-Nya dipenuhi Roh, menjadikan-Nya orang yang amat dekat dengan Yang Ilahi sendiri dan diserahi tugas untuk menghadirkan-Nya kepada siapa saja. Kesediaan-Nya berbagi keprihatinan dengan orang banyak itu menjadi jalan bagi Yang Ilahi untuk hadir di tengah-tengah manusia. Yang Mahakuasa tidak meninggalkan kemanusiaan yang gelisah, yang menderita, yang mengalami kesusahan. Dan sekarang ini juga Yang Ilahi masih bisa dan terus hadir menghibur dan menolong yang menderita lewat kesediaan orang-orang yang memperdulikan keadaan mereka.

Anda dan saya, sangat mungkin untuk hidup patut di hadapan Allah. Kehidupan yang patut di hadapan-Nya tentu saja dimulai dengan pertobatan. Pertobatan itu adalah kesediaan meninggalkan kehidupan lama dan hidup mau dipimpin oleh Roh. Baptisan adalah peristiwa atau momentum ritual yang seharusnya punya makna mendasar dalam kehidupan kita. Bukan sekedar memperdebatkan caranya; baptis percik atau selam. Melainkan, adakah di sana kita sungguh-sungguh berkomitmen untuk hidup baru dalam pimpinan Roh Kudus? Hidup menjadi individu yang lebih baik! 

Hidup menjadi individu lebih baik berarti mencontoh apa yang dilakukan Yesus Kristus yang disebut sebagai “Yang dikasihi Allah dan yang kepada-Nya Allah berkenan”. Bagaimana cara hidup Kristus itu? Bukan berpusat pada ego dan kenyamanan diri sendiri. Melainkan mengutamakan apa yang Bapa kehendaki. Ia menjadikan kata-kata Yang Ilahi itu menjadi hidup; Firman itu benar-benar menjadi manusia! Pelayanan-Nya tidak part time, seluruh hidup-Nya digunakan untuk melayani. Ia rela mengosongkan diri-Nya, mengambil rupa sebagai hamba dan taat sampai mati, bahkan mati di atas kayu salib! Paulus mengatakan, “maka Allah memberikan nama di atas segala nama!” Yesus Kristus telah menjadi individu yang patut di hadapan Allah!

Contoh dan teladan sudah banyak kita pelajari. Peristiwa ritual baptisan juga telah kita terima. Tinggal selangkah lagi, yakni kita mewujudkannya dalam tindakan nyata. Hanya ada dua pilihan: Hidup yang patut di hadapan Allah atau Hidup yang menyia-nyiakan kasih Allah.

Jakarta, 8 Januari 2020