Ada beberapa padanan untuk kata “patut”, yakni: baik, layak, pantas, senonoh, sesuai benar (dengan), seimbang (dengan), masuk akal, wajar, sudah seharusnya, sepantasnya, selayaknya, tentu saja, sebenarnya. Ternyata, satu kata ini tidak sederhana untuk diuraikan, apalagi kata itu digandeng dengan kata-kata yang lain seperti dalam tema kita hari ini. Lebih sulit lagi ketika kita mewujudkannya dalam kehidupan nyata! Lalu, apakah yang tidak mudah ini kemudian menjadi mustahil untuk kita lakukan?
Yohanes Pembaptis berada pada persimpangan antara yang mustahil dan bisa dilakukan. Batu ujinya adalah pertobatan! Bagi mereka yang tetap memertahankan cara hidup nyaman meski tidak pantas dan seharusnya maka tidak mungkin atau mustahil kelompok ini bisa hidup patut di hadapan Allah. Bisa saja mereka mengklaim telah hidup patut di hadapan Allah. Namun, kenyataannya tidak. Kelompok ini diwakili oleh Farisi dan Saduki yang dikecam Yohanes sebagai keturunan ular beludak (Matius 3:7). Bagi mereka yang mendengar dan menyambut seruan Yohanes Pembaptis, hidup patut di hadapan Allah merupakan keniscayaan. Pengharapan itu nyata! Mereka akan menghasilkan buah pertobatan dan merasakan persekutuan yang indah dengan Allah.
Yesus salah seorang yang masuk dalam kelompok orang-orang yang datang kepada Yohanes untuk dibaptis. Pada zaman Yesus, baptisan yang sedang populer adalah baptisan Yohanes Pembaptis. Namun, yang dilakukan oleh Yohanes sebetulnya bukan hal baru pada waktu itu. Praktik baptisan sudah dikenal para rahib di Qumran. Juga kelompok-kelompok orang saleh waktu itu untuk menyatakan niat pembaruan hidup mereka dengan baptisan.
Dalam peristiwa pembaptisan itu, Yohanes menegaskan bahwa ia membaptis dengan air, sedangkan yang akan datang nanti akan membaptis dengan Roh dan api (Matius 3:11). Air punya sifat membersihkan. Tetapi air hanya membersihkan bagian luar. Api memurnikan luar dalam. Api dapat mengubah secara utuh. Ini bahasa kiasan. Cara penyampaian seperti itu menolong kita mengerti bahwa baptisan dengan Roh artinya diberi kemungkinan menempuh hidup baru dengan bimbingan dan kekuatan dari Tuhan sendiri. Siapa yang dapat membaptiskan seperti itu? Jelas, pertama-tama adalah Ia yang telah terlebih dahulu berkenan kepada Allah!
Siapa? Peristiwa di sungai Yordan itu menjawab, “Inilah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan.”(Matius 3:17). Redaksi Matius berbeda dengan Markus dan Lukas (Markus 1:11 dan Lukas 3:22). Kedua Injil ini mencatat, “Engkaulah anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Mulah Aku berkenan”. Jadi, yang disapa dengan kata-kata itu ialah Yesus sendiri. Markus mencatat (Markus 1:10), ketika keluar dari air, setelah dibaptis, Yesus langsung “melihat langit terkoyak…”. Lukas menyebut bahwa Yesus juga dibaptis dan “sedang berdoa…”. Kedua Injil ini memang hendak menekankan pengalaman rohani atau spiritualitas Yesus ketika menerima baptisan itu. Pengalaman rohanimendapati diri sebagai orang yang disapa sebagai “Anak terkasih” oleh Dia yang ada di langit itu dimungkinkan oleh Roh Kudus yang turun ke atas Yesus. Ungkapan “Anak terkasih” di situ berarti orang yang amat dekat, yang terpilih untuk menjalankan urusan-urusan Allah. Itulah maksud “kepada-Mu Aku berkenan”. Pengalaman rohani ini kemudian menjadi kekuatan Yesus dalam menunaikan tugas Ilahi itu. Lalu bagaimana dengan pesan Injil Matius?
Matius 3:17 mencatat, “Inilah anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan”. Kalimat ini bukan sapaan Ilahi kepada Yesus sebagaimana tercatat dalam Markus dan Lukas, melainkan sebagai pernyataan tentang Dia. Proklamasi! Matius lebih suka membuat apa yang dialami Yesus secara rohani tadi akhirnya juga menjadi pengalaman semua orang yang menyaksikan peristiwa itu, termasuk siapa saja yang menjadi pembaca Injilnya. Jadi, ada pewartaan mengenai siapa Yesus itu kepada orang banyak. Dia itu orang yang amat dekat (“Anak-Ku yang Kukasihi”) dengan Yang Ilahi dan mendapat perkenan dari-Nya untuk melakukan tindakan-tindakan di antara manusia atas nama-Nya.
Matius juga mendekatkan pengalaman spiritual Yesus pada semua orang. Matius merasa yakin bahwa pengalaman Yesus dapat menjadi pengalaman semua orang yang menyaksikan dan membaca Injilnya. Bagaimana caranya? Tentu saja bila mengimani bahwa peristiwa baptisan itu bukan semata-mata peristiwa simbolik saja, melainkan meyakini bahwa Roh Allah bekerja sama seperti Ia bekerja melalui Yesus. Dikatakan dalam Matius 3:16, “Roh Allah seperti burung merpati turun ke atas-Nya”. Roh yang bisa tampil sebagai api yang membakar itu kini tampil sebagai yang lemah lembut. Tetapi daya dan kuasa-Nya tetap sama! Dan kekuatan yang turun ke atas Yesus dalam wujud yang lembut itu akan menjadi juga baptisan bagi orang banyak!
“Hidup yang patut di hadapan Allah” itu sangat mungkin. Yesus membuka jalan untuk itu! Yesus datang seperti orang banyak kepada Yohanes untuk menerima baptisan tobat, meski Ia sendiri tidak berdosa. Di sini Dia memberi ruang untuk gerak bagi Roh Kudus dan kehadiran kuasa Ilahi. Di sini Dia menunjukkan kesediaan untuk berbagi kehidupan dengan orang banyak dengan ikut merasakan kegelisahan, mau mengambil bagian dalam kerisauan orang banyak dalam menantikan kedatangan yang dijanjikan, itulah yang membuat-Nya dipenuhi Roh, menjadikan-Nya orang yang amat dekat dengan Yang Ilahi sendiri dan diserahi tugas untuk menghadirkan-Nya kepada siapa saja. Kesediaan-Nya berbagi keprihatinan dengan orang banyak itu menjadi jalan bagi Yang Ilahi untuk hadir di tengah-tengah manusia. Yang Mahakuasa tidak meninggalkan kemanusiaan yang gelisah, yang menderita, yang mengalami kesusahan. Dan sekarang ini juga Yang Ilahi masih bisa dan terus hadir menghibur dan menolong yang menderita lewat kesediaan orang-orang yang memperdulikan keadaan mereka.
Anda dan saya, sangat mungkin untuk hidup patut di hadapan Allah. Kehidupan yang patut di hadapan-Nya tentu saja dimulai dengan pertobatan. Pertobatan itu adalah kesediaan meninggalkan kehidupan lama dan hidup mau dipimpin oleh Roh. Baptisan adalah peristiwa atau momentum ritual yang seharusnya punya makna mendasar dalam kehidupan kita. Bukan sekedar memperdebatkan caranya; baptis percik atau selam. Melainkan, adakah di sana kita sungguh-sungguh berkomitmen untuk hidup baru dalam pimpinan Roh Kudus? Hidup menjadi individu yang lebih baik!
Hidup menjadi individu lebih baik berarti mencontoh apa yang dilakukan Yesus Kristus yang disebut sebagai “Yang dikasihi Allah dan yang kepada-Nya Allah berkenan”. Bagaimana cara hidup Kristus itu? Bukan berpusat pada ego dan kenyamanan diri sendiri. Melainkan mengutamakan apa yang Bapa kehendaki. Ia menjadikan kata-kata Yang Ilahi itu menjadi hidup; Firman itu benar-benar menjadi manusia! Pelayanan-Nya tidak part time, seluruh hidup-Nya digunakan untuk melayani. Ia rela mengosongkan diri-Nya, mengambil rupa sebagai hamba dan taat sampai mati, bahkan mati di atas kayu salib! Paulus mengatakan, “maka Allah memberikan nama di atas segala nama!” Yesus Kristus telah menjadi individu yang patut di hadapan Allah!
Contoh dan teladan sudah banyak kita pelajari. Peristiwa ritual baptisan juga telah kita terima. Tinggal selangkah lagi, yakni kita mewujudkannya dalam tindakan nyata. Hanya ada dua pilihan: Hidup yang patut di hadapan Allah atau Hidup yang menyia-nyiakan kasih Allah.
Jakarta, 8 Januari 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar