Jumat, 03 Januari 2020

EPIFANI

Epifani, apa itu? Jelas bukan nama diri seseorang. Kata ini berarti “manifestasi” (penyataan) sebuah kata yang artinya hampir sama dengan teofani: “penyataan ilahi”. Setiap umat kristiani meyakini pernyataan Allah tertinggi kepada umat-Nya ada dalam peristiwa inkarnasi, Firman yang menjadi manusia dan diam di antara umat manusia.

Untuk memperingati hari Epifania da dua tradisi, yakni Hari Raya dalam kalender kekristenan Barat dan Timur. Sejak pertengahan abad ke-5, Gereja yang berpusat di Roma peristiwa kunjungan orang Majus dari Timur menjadi tonggak perayaan itu. Mengapa? Sebab, pada saat itulah Yesus untuk pertama kalinya tampak kepada orang-orang bukan Yehudi (Matius 2:11). Dalam tradisi ini, Epifani dirayakan setiap tanggal 6 Januari. Dari Roma, perayaan ini menyebar ke Barat, bersamaan dengan perayaan Hari Natal, tanggal 25 Desember sebagai Hari Kelahiran Yesus Kristus, yang dimulai sekitar tahun 336 M. 

Gereja-gereja di Timur ternyata telah merayakan Epifani sejak abad ke-3. Epifani tidak saja dirayakan bertolak dari kunjungan orang Majus dari Timur, melainkan juga peristiwa pembaptisan Yesus oleh Yohanes Pembaptis di sungai Yordan, bahkan termasuk peristiwa mukjizat pertama Yesus; air menjadi anggur di Kana. Lalu, Gereja Timur pada abad ke-4 menyepakati bahwa Epifani dipusatkan pada peristiwa pembaptisan Yesus Kristus. Mana yang paling tepat; peristiwa kunjungan orang Majus atau Baptisan Yesus yang menjadi tonggak perayaan Epifani? Semua sama, semua penting, keduanya menyatakan tentang teofani, Allah yang menampakkan dan menyatakan diri-Nya, Ia berkenan menyapa umat-Nya dalam segala kesederhanaan dan mengambil rupa seorang anak manusia!

Liturgi gerejawi tahun A kali ini, bacaan Injil dalam perayaan Epifani terambil dari Matius 2:1-12. Bacaan ini mengisahkan kedatangan orang-orang bijak dari jauh untuk menyatakan penghormatan mereka kepada Raja yang baru dilahirkan. Siapakah sesungguhnya orang-orang Majus ini? Mungkin saja selama ini kita mengenal para Majus dari kisah drama-drama Natal yang digelar oleh gereja. Mereka sering disebut “Tiga Raja”; Gaspar, Baltasar, dan Melkhior. Benarkah bahwa orang-orang Majus itu berjumlah tiga orang, lantaran persembahan mereka tiga jenis barang yang berbeda: Mas, Kemenyan, dan Mur? Atau benarkah mereka bernama: Gaspar, Baltasar dan Melkhior? 

Matius tidak menyebutkan berapa jumlah orang Majus yang mengunjungi bayi Yesus, apalagi Namanya! Bahwasanya mereka kemudian dianggap raja, sangat mungkin berdasarkan tradisi Yahudi sendiri yang berdasarkan pada Mazmur 72:10, “Kiranya raja-raja dari Tarsis dan pulau-pulau membawa persembahan; kiranya raja-raja dari Syeba dan Seba membawa upeti”. Sedangkan nama-nama Gaspar, Baltasar, dan Melkhior itu dikenal di wilayah Kekaisaran Romawi sebelah barat. Di wilayah lain, nama mereka berbeda, jumlah mereka berbeda-beda, dari dua hingga dua belas orang.

Tidak penting untuk membahas berapa jumlah dan siapa saja nama dari para Majus itu. Yang jelas, mereka itu berasa dari wilayah Babilonia dan Persia dulu, sekarang Irak dan Iran Utara, ada orang-orang bijak yang mahir dalam ilmu perbintangan. Mereka biasanya dihormati sebagai para ulama bijak. Yang ingin ditekankan penulis Injil Matius adalah bahwa mereka orang-orang bijak yang dihormati dan mewakili orang-orang bukan Yahudi, yang datang dari jauh untuk menghormati dan menyembah Raja yang baru lahir di Betlehem dan bakal menjadi pemimpin umat manusia. Hikmat dan kebijaksanaan para Majus inilah yang membawa mereka menempuh perjalanan jauh berdasarkan petunjuk ilahi melalui bintang Betlehem. Orang-orang asing mau bersusah payah mencari Sang Mesias, sebaliknya Herodes justru ingin mengenyahkan-Nya!

Ini sangat kontras! Matius menunjukkan bahwa orang-orang asing yang malah terbuka dan menyambut kedatangan Yesus. Ini menandakan sejak dari awal, kedatangan Yesus bukan ekslusif untuk satu umat saja. Kelahiran-Nya terbuka bagi segala bangsa. Ia lahir sebagai seorang Yahudi, tetapi kelahiran-Nya sangat menentukan bagi peradaban semua manusia.  Orang Majus adalah perwakilan orang-orang asing yang sering dianggap kafir dan terpisah dari keselamatan. Mereka juga menjadi simbol orang-orang yang selama ini disisihkan dari masyarakat, dikucilkan, dinaziskan, dan tidak dimasukkan dalam kelompok orang yang diselamatkan menurut tradisi yuridis Yahudi. Namun, nyatanya merekalah yang datang dari jauh untuk menyembah Raja orang Yahudi. Mereka bersukacita ketika melihat bintang-Nya dan memberikan persembahan kepada Yesus berupa Mas, Kemenyan, dan Mur.

Matius sangat mungkin mengingat Yesaya 60:6 “Mereka semua akan  datang dari Syeba, akan membawa emas dan kemenyan, serta memberitakan perbuatan masyhur Tuhan.” Dalam tradisi Gereja awal, emas dihubungkan dengan kedudukan mulia, Yesus sebagai Raja, Kemenyan atau dupa menyiratkan martabat keilahian-Nya, dan Mur berhubungan dengan kematian-Nya sebagai manusia kelak. Mur merupakan bahan yang digunakan untuk memulasara jenazah sebelum dikuburkan. Persembahan mereka menandai terjalinnya hubungan antara orang-orang non Yahudi dengan Sang Mesias yang baru dilahirkan. Iman dan berkat-Nya mengatasi ikatan-ikatan tradisi, bangsa dan kedaerahan.

Dalam Injil Lukas, orang-orang pertama yang menyadari peristiwa kelahiran Yesus ialah para gembala. Dalam Injil Matius, peran yang sama dijalankan oleh orang-orang Majus tadi. Baik para gembala maupun orang-orang Majus mendapat bimbingan langsung dari “langit” tetapi dengan cara dab bahasa yang berbeda sesuai kapasitas dan konteks mereka masing-masing. Kepada para gembala, Tuhan berbicara melalui penampakan malaikat dan bala tentara surgawi. Kepada para ulama, kaun cerdik pandai – orang-orang Majus – Ia berbicara melalui isyarat bintang dan kepandaian mereka dalam menafsir. Ia bahkan bisa berbicara kepada mereka melalui orang yang memiliki niat tidak lurus seperti Herodes, yang meminta mereka agar pergi ke Betlehem!

Baik para gembala maupun orang-orang Majus itu sama-sama mencari Dia yang baru lahir. Mereka membuat orang-orang yang mereka jumpai tidak tinggal diam. Menurut Lukas 2:18, orang-orang dibuat keheranan ketika mendengar para gembala itu bercerita tentang anak yang baru dilahirkan itu. Dalam Matius 2:3, dikisahkan bahwa Herodes dan seluruh isi Yerusalem terkejut ketika mendengar kata-kata para Majus itu. Ironisnya, mereka yang heran dan terkejut itu adalah orang-orang yang sebenarnya sudah begitu dekat dengan Dia yang baru lahir itu.

Epifani kini menyapa kita kembali! Kita bersyukur bahwa Sang Mesias, Allah yang menampakkan diri itu bukan hanya milik sebuah umat, sebuah bangsa atau sebuah tradisi. Ia hadir untuk semua orang, bahkan orang-orang yang sering kali disangkakan kepada mereka jauh dari keselamatan itu: asing dan kafir! Namun, justru merekalah yang mula-mula menyadari dan menyambut-Nya!

Epifani kini menyapa kita kembali. Jangan-jangan kehadiran-Nya selama ini tidak kita sadari. Dia adalah Allah yang begitu dekat sekali ada Bersama-sama dengan kita. Kita merayakan kelahiran-Nya. Namun, sering kali justru orang-orang terdekat inilah yang tidak menyadari. tidak ada damai sejahtera. Alih-alih bertambah-tambah sukacita dapat menyenggarakan acara Natal, malah sibuk bertengkar tentang ide atau gagasan. Kita menjadi mudah tersinggung oleh karena kurangnya tegur sapa dan keramahan. Seakan Raja Damai yang kita rayakan kehadiran-Nya hanya basa-basi dan rutinitas gerejawi saja!

Kita yang begitu dekat dengan gereja, yang disebut “Tubuh Kristus” yang seharusnya merupakan penampakan kasih Allah di dunia ini malah sama sekali tidak merasakan adanya kasih itu! Momentum Epifani seharusnya membuat kita introspeksi diri, apakah kita benar-benar telah menghadirkan, menampakkan Tuhan di bumi ini? Atau justru sebaliknya: sedang mempermalukan-Nya dengan membuat seolah-olah menghadirkan pelayanan padahal ada banyak motivasi yang sebenarnya bermuara pada pemuasan nafsu sendiri!

Jakarta, Epifani 2020

Selasa, 31 Desember 2019

TOTALITAS PENYERTAAN ALLAH

Kalau aku berpikir mengenai diriku, maka aku senantiasa membayangkan diri-Mu di hadapanku. Mengapa begitu? Mengapa Engkau selalu mengejar aku dan menyertai selalu kesadaranku? Tidakkah Engkau lelah? Tetapi lebih dari itu, tidakkah Engkau mau sejenak saja meninggalkan diriku, biar aku merasa sendiri dan tidak peduli akan yang lain?

Ah, Engkau juga yang lain itu! Engkaulah yang bukan aku, berbeda dariku dan bukan menjadi bagian dari hidupku. Tetapi siapakah Engkau sebenarnya?

Kalau aku berpikir mengenai diriku, maka aku merasa kecil dan takut. Aku merasa seperti anak kecil yang membutuhkan uluran tangan-Mu. Kehadiran-Mu membuatku sadar akan ketidak-berdayaanku. Tiba-tiba aku merasa diri telanjang, tanpa pakaian, tanpa keunggulan, tanpa keutamaan, tanpa apa-apa, miskin sekali. Tiba-tiba aku merasa diri telanjang dan Engkau memandangku. Engkau senang tetapi aku malu. Engkau sayang tetapi aku ragu. Engkau menang, tetapi aku menjadi bisu. Kesucian-Mu, kebesaran-Mu, kekuasaan-Mu sungguh-sungguh meremukkan keberadaanku. Apakah sebenarnya yang Engkau mau?

Allah adalah Sang Engkau Abadi (Toi absolu) kata Gabriel Marcel. Dalam hubungan Aku – Engkau, semestinya yang terjadi adalah perbedaan – bahkan perlawanan – yang saling melengkapi. Gabriel Marcel mengajak kita berpikir dan tafakur, sama seperti pemazmur, “Jika aku melihat langit-Mu, buatan jari-Mu, bulan dan bintang-bintang yang Kautempatkan: Apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya? Apakah anak manusia, sehingga Engkau mengindahkannya?” (Mazmur 8:3-4).

Kalau aku berpikir mengenai diriku, maka aku merasa kecil dan takut. Aku merasa seperti anak kecil yang membutuhkan uluran tangan-Mu. Bisa jadi kalimat ini menggambarkan situasi kita dalam menatap ke depan, melangkah di tahun yang baru. Betapa tidak? Ada segudang alasan untuk kita menjadi kecil, ciut seperti anak kecil di tengah-tengah rimba raya. Hitung-hitungan keuangan yang pastinya tidak bakalan cukup menopang kebutuhan keluarga. Iuran BPJS bukan lagi naik, tetapi loncat, iuran PLN, PAM, uang sekolah anak-anak, cicilan rumah, kendaraan, biaya konsumsi makan dan lain sebagainya yang sudah mencekik leher yang tidak ditunjang dengan kenaikan pemasukan keuangan. Sudah lebih dari cukup untuk menjadi alasan pesimis dan takut!

Ketakutan lain yang jelas-jelas ada di depan mata, mana kala orang-orang yang kita kasihi terbaring sakit bahkan mungkin saja ada di antara mereka sudah pergi untuk selama-lamanya! Dalam kondisi seperti ini sangat wajar ketika kita menjadi seperti anak kecil yang berhadapan dengan tantangan luar biasa!

Narasi pemazmur tidak berhenti pada pertanyaan, “Apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya? Apakah anak manusia, sehingga Engkau mengindahkannya?” Ia melanjutkan – tentunya berdasarkan hubungan yang erat dan pengalamannya bersama dengan Sang Engkau itu. “Namun Engkau telah membuatnya hampir sama seperti Allah, telah memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat. Engkau membuat dia berkuasa atas buatan tangan-Mu; segala-galanya telah Kauletakkan di bawah kakinya.” (Mazmur 8:5-6). Manusia bukan siapa-siapa, ia tidak lebih dari debu dan tanah. Namun, TUHAN begitu rupa mengingat dan memberinya peran istimewa. Kasih karunia Allah itu nyata dalam mengangkat dan memberinya kuasa.

Bukankah, Allah di dalam Kristus telah melakukan itu? Ia memakai orang-orang sederhana untuk menghadirkan kasih-Nya. Lihat, Yusuf, Maria, kaum gembala…bukankah mereka orang-orang sederhana? Totalitas Allah bukan sekedar ucapan atau menyuruh utusan-Nya untuk menyapa dan memberdayakan manusia. Tidak! Dalam bacaan pertama minggu lalu kita diingatkan, “Bukan seorang duta atau utusan, melainkan Ia sendirilah yang menyelamatkan mereka; Dialah yang menebus mereka dalam kasih-Nya dan belas kasihan-Nya. Ia mengangkat dan menggendong mereka selama zaman dahulu kala.” (Yesaya 63:9). Dia sendiri datang untuk menebus dan mengembalikan manusia sebagai gambar Allah!

Totalitas Allah digambarkan bukan dengan mengutus duta atau suruhan-Nya. Dia sendiri datang menyapa dalam segala kelemahan dan kerentanan-Nya. Dia hadir dalam diri Anak-Nya. Seperti yang diungkapkan Paulus, “Ia diutus untuk menebus mereka, yang takluk kepada hukum Taurat, supaya kita diterima sebagai anak.” (Galatia 4:5). Sebagai anak yang lahir dalam tradisi Yahudi, Yesus menjalani apa yang anak-anak lain alami. Ia disunat dan diberi nama ketika genap usianya delapan hari (Lukas 2:21). Nama Yesus, yang melekat pada diri-Nya, tepat seperti yang dikatakan malaikat kepada Maria. Nama Yesus berarti “TUHAN menyelamatkan” atau “TUHAN adalah keselamatan” yang searti juga dengan “Imanuel” (Allah menyertai kita!)

Ia lahir sebagai anak manusia dan takluk dalam tradisi Taurat agar kita menjadi anak-anak Allah. “Jadi kamu bukan lagi hamba, melainkan anak; jikalau kamu anak, maka kamu juga adalah ahli-ahli waris, oleh Allah.” (Galatia 4:7) demikianlah totalitas Allah dalam menyelamatkan manusia.

Tiba-tiba aku merasa diri telanjang dan Engkau memandangku. Engkau senang tetapi aku malu. Engkau sayang tetapi aku ragu. Engkau menang, tetapi aku menjadi bisu. Kesucianmu, kebesaranmu, kekuasaan-Mu sungguh-sungguh meremukkan keberadaanku. Apakah sebenarnya yang Engkau mau? 

Hanya satu yang Allah mau, buka hati kita. Jangan ragu, malu dan membisu!  Sambutlah Dia dan biarkan Dia bertakhta dalam kehidupan kita. Bukan saja penyelamatan-Nya yang totalitas. Sebagai sosok Imanuel, Dia senantiasa menyertai dalam pelbagai kemelut kehidupan kita. Ingat, bahwa di dalam Dia kita adalah anak-anak-Nya yang sudah tentu disertainya. Oleh karena itu, marilah kita melangkah ke masa depan dengan keyakinan penuh bahwa Dia akan senantiasa menyertai kita.


Jakarta, Selamat Tahun Baru, 1 Januari 2020