Kalau aku berpikir mengenai diriku, maka aku senantiasa membayangkan diri-Mu di hadapanku. Mengapa begitu? Mengapa Engkau selalu mengejar aku dan menyertai selalu kesadaranku? Tidakkah Engkau lelah? Tetapi lebih dari itu, tidakkah Engkau mau sejenak saja meninggalkan diriku, biar aku merasa sendiri dan tidak peduli akan yang lain?
Ah, Engkau juga yang lain itu! Engkaulah yang bukan aku, berbeda dariku dan bukan menjadi bagian dari hidupku. Tetapi siapakah Engkau sebenarnya?
Kalau aku berpikir mengenai diriku, maka aku merasa kecil dan takut. Aku merasa seperti anak kecil yang membutuhkan uluran tangan-Mu. Kehadiran-Mu membuatku sadar akan ketidak-berdayaanku. Tiba-tiba aku merasa diri telanjang, tanpa pakaian, tanpa keunggulan, tanpa keutamaan, tanpa apa-apa, miskin sekali. Tiba-tiba aku merasa diri telanjang dan Engkau memandangku. Engkau senang tetapi aku malu. Engkau sayang tetapi aku ragu. Engkau menang, tetapi aku menjadi bisu. Kesucian-Mu, kebesaran-Mu, kekuasaan-Mu sungguh-sungguh meremukkan keberadaanku. Apakah sebenarnya yang Engkau mau?
Allah adalah Sang Engkau Abadi (Toi absolu) kata Gabriel Marcel. Dalam hubungan Aku – Engkau, semestinya yang terjadi adalah perbedaan – bahkan perlawanan – yang saling melengkapi. Gabriel Marcel mengajak kita berpikir dan tafakur, sama seperti pemazmur, “Jika aku melihat langit-Mu, buatan jari-Mu, bulan dan bintang-bintang yang Kautempatkan: Apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya? Apakah anak manusia, sehingga Engkau mengindahkannya?” (Mazmur 8:3-4).
Kalau aku berpikir mengenai diriku, maka aku merasa kecil dan takut. Aku merasa seperti anak kecil yang membutuhkan uluran tangan-Mu. Bisa jadi kalimat ini menggambarkan situasi kita dalam menatap ke depan, melangkah di tahun yang baru. Betapa tidak? Ada segudang alasan untuk kita menjadi kecil, ciut seperti anak kecil di tengah-tengah rimba raya. Hitung-hitungan keuangan yang pastinya tidak bakalan cukup menopang kebutuhan keluarga. Iuran BPJS bukan lagi naik, tetapi loncat, iuran PLN, PAM, uang sekolah anak-anak, cicilan rumah, kendaraan, biaya konsumsi makan dan lain sebagainya yang sudah mencekik leher yang tidak ditunjang dengan kenaikan pemasukan keuangan. Sudah lebih dari cukup untuk menjadi alasan pesimis dan takut!
Ketakutan lain yang jelas-jelas ada di depan mata, mana kala orang-orang yang kita kasihi terbaring sakit bahkan mungkin saja ada di antara mereka sudah pergi untuk selama-lamanya! Dalam kondisi seperti ini sangat wajar ketika kita menjadi seperti anak kecil yang berhadapan dengan tantangan luar biasa!
Narasi pemazmur tidak berhenti pada pertanyaan, “Apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya? Apakah anak manusia, sehingga Engkau mengindahkannya?” Ia melanjutkan – tentunya berdasarkan hubungan yang erat dan pengalamannya bersama dengan Sang Engkau itu. “Namun Engkau telah membuatnya hampir sama seperti Allah, telah memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat. Engkau membuat dia berkuasa atas buatan tangan-Mu; segala-galanya telah Kauletakkan di bawah kakinya.” (Mazmur 8:5-6). Manusia bukan siapa-siapa, ia tidak lebih dari debu dan tanah. Namun, TUHAN begitu rupa mengingat dan memberinya peran istimewa. Kasih karunia Allah itu nyata dalam mengangkat dan memberinya kuasa.
Bukankah, Allah di dalam Kristus telah melakukan itu? Ia memakai orang-orang sederhana untuk menghadirkan kasih-Nya. Lihat, Yusuf, Maria, kaum gembala…bukankah mereka orang-orang sederhana? Totalitas Allah bukan sekedar ucapan atau menyuruh utusan-Nya untuk menyapa dan memberdayakan manusia. Tidak! Dalam bacaan pertama minggu lalu kita diingatkan, “Bukan seorang duta atau utusan, melainkan Ia sendirilah yang menyelamatkan mereka; Dialah yang menebus mereka dalam kasih-Nya dan belas kasihan-Nya. Ia mengangkat dan menggendong mereka selama zaman dahulu kala.” (Yesaya 63:9). Dia sendiri datang untuk menebus dan mengembalikan manusia sebagai gambar Allah!
Totalitas Allah digambarkan bukan dengan mengutus duta atau suruhan-Nya. Dia sendiri datang menyapa dalam segala kelemahan dan kerentanan-Nya. Dia hadir dalam diri Anak-Nya. Seperti yang diungkapkan Paulus, “Ia diutus untuk menebus mereka, yang takluk kepada hukum Taurat, supaya kita diterima sebagai anak.” (Galatia 4:5). Sebagai anak yang lahir dalam tradisi Yahudi, Yesus menjalani apa yang anak-anak lain alami. Ia disunat dan diberi nama ketika genap usianya delapan hari (Lukas 2:21). Nama Yesus, yang melekat pada diri-Nya, tepat seperti yang dikatakan malaikat kepada Maria. Nama Yesus berarti “TUHAN menyelamatkan” atau “TUHAN adalah keselamatan” yang searti juga dengan “Imanuel” (Allah menyertai kita!)
Ia lahir sebagai anak manusia dan takluk dalam tradisi Taurat agar kita menjadi anak-anak Allah. “Jadi kamu bukan lagi hamba, melainkan anak; jikalau kamu anak, maka kamu juga adalah ahli-ahli waris, oleh Allah.” (Galatia 4:7) demikianlah totalitas Allah dalam menyelamatkan manusia.
Tiba-tiba aku merasa diri telanjang dan Engkau memandangku. Engkau senang tetapi aku malu. Engkau sayang tetapi aku ragu. Engkau menang, tetapi aku menjadi bisu. Kesucianmu, kebesaranmu, kekuasaan-Mu sungguh-sungguh meremukkan keberadaanku. Apakah sebenarnya yang Engkau mau?
Hanya satu yang Allah mau, buka hati kita. Jangan ragu, malu dan membisu! Sambutlah Dia dan biarkan Dia bertakhta dalam kehidupan kita. Bukan saja penyelamatan-Nya yang totalitas. Sebagai sosok Imanuel, Dia senantiasa menyertai dalam pelbagai kemelut kehidupan kita. Ingat, bahwa di dalam Dia kita adalah anak-anak-Nya yang sudah tentu disertainya. Oleh karena itu, marilah kita melangkah ke masa depan dengan keyakinan penuh bahwa Dia akan senantiasa menyertai kita.
Jakarta, Selamat Tahun Baru, 1 Januari 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar