Selasa, 31 Desember 2019

TOTALITAS PENYERTAAN ALLAH

Kalau aku berpikir mengenai diriku, maka aku senantiasa membayangkan diri-Mu di hadapanku. Mengapa begitu? Mengapa Engkau selalu mengejar aku dan menyertai selalu kesadaranku? Tidakkah Engkau lelah? Tetapi lebih dari itu, tidakkah Engkau mau sejenak saja meninggalkan diriku, biar aku merasa sendiri dan tidak peduli akan yang lain?

Ah, Engkau juga yang lain itu! Engkaulah yang bukan aku, berbeda dariku dan bukan menjadi bagian dari hidupku. Tetapi siapakah Engkau sebenarnya?

Kalau aku berpikir mengenai diriku, maka aku merasa kecil dan takut. Aku merasa seperti anak kecil yang membutuhkan uluran tangan-Mu. Kehadiran-Mu membuatku sadar akan ketidak-berdayaanku. Tiba-tiba aku merasa diri telanjang, tanpa pakaian, tanpa keunggulan, tanpa keutamaan, tanpa apa-apa, miskin sekali. Tiba-tiba aku merasa diri telanjang dan Engkau memandangku. Engkau senang tetapi aku malu. Engkau sayang tetapi aku ragu. Engkau menang, tetapi aku menjadi bisu. Kesucian-Mu, kebesaran-Mu, kekuasaan-Mu sungguh-sungguh meremukkan keberadaanku. Apakah sebenarnya yang Engkau mau?

Allah adalah Sang Engkau Abadi (Toi absolu) kata Gabriel Marcel. Dalam hubungan Aku – Engkau, semestinya yang terjadi adalah perbedaan – bahkan perlawanan – yang saling melengkapi. Gabriel Marcel mengajak kita berpikir dan tafakur, sama seperti pemazmur, “Jika aku melihat langit-Mu, buatan jari-Mu, bulan dan bintang-bintang yang Kautempatkan: Apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya? Apakah anak manusia, sehingga Engkau mengindahkannya?” (Mazmur 8:3-4).

Kalau aku berpikir mengenai diriku, maka aku merasa kecil dan takut. Aku merasa seperti anak kecil yang membutuhkan uluran tangan-Mu. Bisa jadi kalimat ini menggambarkan situasi kita dalam menatap ke depan, melangkah di tahun yang baru. Betapa tidak? Ada segudang alasan untuk kita menjadi kecil, ciut seperti anak kecil di tengah-tengah rimba raya. Hitung-hitungan keuangan yang pastinya tidak bakalan cukup menopang kebutuhan keluarga. Iuran BPJS bukan lagi naik, tetapi loncat, iuran PLN, PAM, uang sekolah anak-anak, cicilan rumah, kendaraan, biaya konsumsi makan dan lain sebagainya yang sudah mencekik leher yang tidak ditunjang dengan kenaikan pemasukan keuangan. Sudah lebih dari cukup untuk menjadi alasan pesimis dan takut!

Ketakutan lain yang jelas-jelas ada di depan mata, mana kala orang-orang yang kita kasihi terbaring sakit bahkan mungkin saja ada di antara mereka sudah pergi untuk selama-lamanya! Dalam kondisi seperti ini sangat wajar ketika kita menjadi seperti anak kecil yang berhadapan dengan tantangan luar biasa!

Narasi pemazmur tidak berhenti pada pertanyaan, “Apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya? Apakah anak manusia, sehingga Engkau mengindahkannya?” Ia melanjutkan – tentunya berdasarkan hubungan yang erat dan pengalamannya bersama dengan Sang Engkau itu. “Namun Engkau telah membuatnya hampir sama seperti Allah, telah memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat. Engkau membuat dia berkuasa atas buatan tangan-Mu; segala-galanya telah Kauletakkan di bawah kakinya.” (Mazmur 8:5-6). Manusia bukan siapa-siapa, ia tidak lebih dari debu dan tanah. Namun, TUHAN begitu rupa mengingat dan memberinya peran istimewa. Kasih karunia Allah itu nyata dalam mengangkat dan memberinya kuasa.

Bukankah, Allah di dalam Kristus telah melakukan itu? Ia memakai orang-orang sederhana untuk menghadirkan kasih-Nya. Lihat, Yusuf, Maria, kaum gembala…bukankah mereka orang-orang sederhana? Totalitas Allah bukan sekedar ucapan atau menyuruh utusan-Nya untuk menyapa dan memberdayakan manusia. Tidak! Dalam bacaan pertama minggu lalu kita diingatkan, “Bukan seorang duta atau utusan, melainkan Ia sendirilah yang menyelamatkan mereka; Dialah yang menebus mereka dalam kasih-Nya dan belas kasihan-Nya. Ia mengangkat dan menggendong mereka selama zaman dahulu kala.” (Yesaya 63:9). Dia sendiri datang untuk menebus dan mengembalikan manusia sebagai gambar Allah!

Totalitas Allah digambarkan bukan dengan mengutus duta atau suruhan-Nya. Dia sendiri datang menyapa dalam segala kelemahan dan kerentanan-Nya. Dia hadir dalam diri Anak-Nya. Seperti yang diungkapkan Paulus, “Ia diutus untuk menebus mereka, yang takluk kepada hukum Taurat, supaya kita diterima sebagai anak.” (Galatia 4:5). Sebagai anak yang lahir dalam tradisi Yahudi, Yesus menjalani apa yang anak-anak lain alami. Ia disunat dan diberi nama ketika genap usianya delapan hari (Lukas 2:21). Nama Yesus, yang melekat pada diri-Nya, tepat seperti yang dikatakan malaikat kepada Maria. Nama Yesus berarti “TUHAN menyelamatkan” atau “TUHAN adalah keselamatan” yang searti juga dengan “Imanuel” (Allah menyertai kita!)

Ia lahir sebagai anak manusia dan takluk dalam tradisi Taurat agar kita menjadi anak-anak Allah. “Jadi kamu bukan lagi hamba, melainkan anak; jikalau kamu anak, maka kamu juga adalah ahli-ahli waris, oleh Allah.” (Galatia 4:7) demikianlah totalitas Allah dalam menyelamatkan manusia.

Tiba-tiba aku merasa diri telanjang dan Engkau memandangku. Engkau senang tetapi aku malu. Engkau sayang tetapi aku ragu. Engkau menang, tetapi aku menjadi bisu. Kesucianmu, kebesaranmu, kekuasaan-Mu sungguh-sungguh meremukkan keberadaanku. Apakah sebenarnya yang Engkau mau? 

Hanya satu yang Allah mau, buka hati kita. Jangan ragu, malu dan membisu!  Sambutlah Dia dan biarkan Dia bertakhta dalam kehidupan kita. Bukan saja penyelamatan-Nya yang totalitas. Sebagai sosok Imanuel, Dia senantiasa menyertai dalam pelbagai kemelut kehidupan kita. Ingat, bahwa di dalam Dia kita adalah anak-anak-Nya yang sudah tentu disertainya. Oleh karena itu, marilah kita melangkah ke masa depan dengan keyakinan penuh bahwa Dia akan senantiasa menyertai kita.


Jakarta, Selamat Tahun Baru, 1 Januari 2020


Senin, 30 Desember 2019

HATI BARU YANG PENUH PENGERTIAN

Sejarah memperlihatkan selama seorang tokoh atau pemimpin memenuhi harapan para pengikutnya, maka ia akan dipuja-puji. Sebaliknya, ketika tidak lagi memenuhi keinginan, maka sang pemimpin bukan hanya kehilangan dukungan, tetapi juga dicaci maki beberapa di antaranya dianiaya dan dibunuh. Ujian bagi pemimpin adalah memertahankan integritas moral di tengah godaan untuk terus mengokohkan fanatisme pendukungnya.

Dalam perjalanan awal pelayanan-Nya, tampaknya Yesus berhasil memikat banyak orang. Ke mana pun Ia pergi, orang banyak berbondong-bondong mengikuti-Nya. Mukjizat yang dilakukan-Nya tak pelak lagi menjadi buah bibir dan daya tarik. Namun, setelah Yesus mulai berbicara hal serius tentang tubuh dan darah-Nya sebagai “makanan” dan “minuman”, muncullah kesangsian. Perlawanan menjadi lebih nyata dan orang mulai meninggalkan Dia. Alih-alih Yesus memanjakan para pengikut-Nya, Ia memerlihatkan integritas dan jati diri-Nya, “Akulah terang dunia; barang siapa mengikuti Aku, Ia tidak akan berjalan dalam kegelapan, melainkan ia akan mempunyai terang hidup.” (Yohanes 8:12).

Pada perayaan Pondok Daun itu, Yesus menyatakan diri-Nya sebagai “terang dunia” yang melampaui terang Israel yang bersinar dalam Tempat Suci pada perayaan itu. Terang dunia dinyatakan dalam tindakan Yesus yang memelekkan mata orang buta sejak lahir. Tidak hanya fisiknya ia melihat, namun mata batinnya dicerahkan untuk melihat terang yang sesungguhnya. Sebaliknya, Farisi yang selalu memosisikan diri sebagai orang-orang yang merasa membawa terang dengan mengajarkan perintah-perintah Allah melalui Taurat justru tidak melihat seberkas titik cahaya pun dalam diri Yesus!

Yesus menggemakan dan memenuhi nubuat Nabi Yesaya yang biasa kita baca dalam perayaan-perayaan Natal, “Bangsa yang berjalan di dalam kegelapan telah melihat terang yang besar; mereka yang diam di negeri kekelaman, atasnya terang telah bersinar.” (Yesaya 9:1). Tentu saja “terang” dan “gelap” adalah metafor. Hidup diliputi oleh kegelapan adalah pengalaman yang amat sulit. Dalam bahasa Kitab Suci “kegelapan” bukan hanya berarti pekatnya malam, melainkan kekuatan si jahat yang dapat menggoda manusia dan membelokkannya dari jalan yang benar ke arah tujuan yang sesat. Dari jalan menuju hidup ke arah kebinasaan.

Banyak manusia tersesat, tidak tahu lagi arah mana jalan yang harus ditempuh karena kegelapan melingkupinya. Banyak di antara kita telah tersesat dan kehilangan arah. Kita cenderung mengikuti apa pun oleh setiap orang yang hidup dalam budaya zaman masa kini. Tentu saja banyak yang baik, namun sering kali hedonisme, pemuasan dan pementingan diri sendiri menjadi hal yang dipandang lumrah, padahal bisa membutakan dan membungkan terang itu. Akibatnya, kita kehilangan arah dan menjadi takut!

Para ilmuwan telah menemukan hal-hal baru yang menakjubkan. Era masa kini disebut era industri 4.0, bahkan sudah ada negara yang siap dengan teknologi 5.0! Teknologi baru yang benar-benar mencengangkan. Namun, pertanyaannya tetap saja: “Dengan segala teknologi dalam genggaman, pengetahuan dan kekuasaan kita, tahukahke mana kita akan berjalan? Apakah yang kita kehendaki untuk diri kita sendiri dan untuk umat manusia serta semua ciptaan? Apakah kita menggunakan teknologi untuk kekuasaan dan kemuliaan kita sendiri dan untuk menaklukkan orang lain? Ataukah kita ingin menggunakannya untuk kehidupan, relasi, perdamaian, pemeliharaan semua ciptaan, dan kesejahteraan Bersama sehingga semua orang – tanpa membedakan suku, budaya, agama, kemampuan atau ketidakmampuan mereka – dapat dan mampu menemukan tempat dan martabat mereka masing-masing? Apakah kita ingin dikuasai oleh ketakutan atau oleh kasih?”

Salomo rupanya menyadari – sebagai raja punya kekuasaan dan potensi luar biasa pada zamannya – maka hal utama yang ia minta adalah hikmat atau pengertian untuk menimbang mana yang baik dan mana yang buruk; mana yang benar dan mana yang jahat. Ia meminta agar mata hatinya diberi terang! Terang itulah yang akan menolongnya melihat perkara yang samar menjadi terang benderang. Terang itulah yang mampu menelanjangi kelaliman.

Tanpa terang dalam hati, kita mudah diombang-ambingkan oleh si jahat. Kita tidak lagi mampu membedakan mana yang baik yang menjadi kehendak Tuhan dan mana yang merupakan keinginan kita sendiri. Apalagi ketika Tuhan memberi kita posisi dan jabatan strategis. Belum lagi seperti Salomo, banyak di antara kita tidak mampu membedakan apa yang harus dilakukan dan apa yang harus dihindari jauh-jauh.

Yesus, Sang Terang dunia yang telah datang itu, Ia hadir menyapa dan memberi makna serta arah hidup kita dan seluruh umat manusia. Ia datang untuk menyatakan apa yang seharusnya dilakukan oleh umat manusia. Ia datang dengan cinta kasih dan penerimaan terhadap siapa pun – pelacur, pendosa, pemungut cukai – dan semua orang tanpa kecuali. Ia hadir sebagai Terang oleh karena orang dapat dengan kasat mata melihat, mendengar dan mengalami kebaikan, pengampunan dan cinta kasih Allah di dalam diri-Nya. 

Terang yang dihadirkan Yesus berbeda dari pandangan sejarah manusia. Sejarah peradaban manusia menempatkan teknologi, kekuasaan, kepemimpinan dengan kekuatannya sebagai sarana untuk mengabdi pada kekuasaan itu sendiri. Namun Sang Terang menunjukkan arah baru. Arah baru itu bukan mengarah pada diri sendiri atau egosentris, melainkan dari diri sendiri untuk sesama dan semua makhluk. Yesus datang untuk menyatakan kepada kita masing-masing siapakah kita ini dengan segala sesuatu yang ada pada kita. Ia merangkul kita dengan kehangatan cinta-Nya.Ini merupakan pernyataan tentang jati diri kita yang paling dalam. Ia datang untuk menyatakan bahwa diri kita berharga, dicintai dan penting. Ia ingin kita semua terpanggil untuk meneruskan terang itu.

Kita dipanggil untuk berkembang dalam kasih dan kebenaran, bukan dalam ancaman dan ketakutan, bukan dalam semangat menguasai dan menaklukkan. Ia datang untuk menyatakan bahwa kita harus mengambil tempat kita di dunia sebagai pewarta-pewarta cinta kasih dan perdamaian! Ini semua dapat terjadi apabila kita dengan sungguh-sungguh membuka hati, menerima Sang Terang itu dan membiarkan hati kita dibentuk oleh-Nya menjadi hati yang baru. Hati yang baru yang penuh dengan pengertian; bukan pengertian untuk diri sendiri. Melainkan, mengerti kehendak Allah, mampu mengerti kebutuhan sesama dan siap menghadirkan cinta kasih bagi semua makhluk!


Jakarta, Akhir Tahun 2019