Kamis, 19 Desember 2019

MENGHADAPI PERGUMULAN DENGAN IMAN

Suasana jelang Natal semakin terasa, bahkan sudah banyak di sana-sini orang Kristen merayakan Natal! Kalau saja kita mengikuti proses kelahiran Sang Juruselamat, mungkin saja merayakan Natal tidak semudah seperti sekarang kita merayakannya. Proses kelahiran itu melibatkan manusia, dan manusia yang diajak menghadirkan Sang Imanuel itu tidak serta-merta menerimanya tanpa melalui proses gumul dan juang.

Minggu Adven terakhir tahun A bacaan Injil terambil dari Matius 1 :18 – 25. Bagi komunitas umat Matius dan orang Kristen mula-mula, kelahiran Yesus bukanlah kejadian lumrah. Yesus Kristus dikandung dari Roh Kudus tetapi dilahirkan secara manusiawi oleh Maria dan dibesarkan oleh Yusuf. Injil Matius memberikan keterangan peristiwa yang tidak biasa ini melalui kata-kata malaikat kepada Yusuf melalui mimpi. Semua yang diucapkan malaikat itu merupakan penggenapan nubuat Nabi Yesaya (Yesaya 7:14), yang mengatakan bahwa seorang anak dara akan melahirkan anak laki-laki yang disebut Imanuel, yang artinya “Tuhan menyertai kita”. Sekilas berita ini mengalir begitu mudahnya. Kita jarang sekali memerhatikan pergumulan orang-orang yang menyiapkan kedatangan Sang Imanuel itu.

Dalam Matius 1:18 dan 20 disebutkan bahwa Maria mengandung dari Roh Kudus sebelum hidup layaknya suami-istri bersama Yusuf. Dalam adat istiadat Yahudi, sejak usia remaja, seorang gadis pada umumnya sudah dipertunangkan dengan calon suaminya jauh-jauh sebelum pernikahan. Pernikahan itu sendiri baru terjadi setelah keduanya siap membangun rumah tangga secara mandiri. Apakah pertunangan dapat dibatalkan? Ya, tentu saja! Ikatan pertunangan dapat dibatalkan dengan alasan-alasan tertentu. Salah satunya ialah bila calon istri didapati mengandung sebelum pernikahan. Menurut hukum adat itu, bakal suami wajib membatalkan ikatan pertunangan tadi.

Setelah pembatalan itu, pihak perempuan akan bebas dari ikatan itu dan dapat diperistri oleh orang lain secara sah. Kendati sudah dibebaskan dari ikatan pertunangan dan boleh diperistri oleh pria lain, namun kenyataannya: siapa yang mau mempersunting perempuan yang hamil di luar nikah? Yusuf, jelas ia mencintai Maria. Dia bisa membayangkan bagaimana nasib Maria kalau pertunangan itu ia batalkan. Di pihak lain, tentu saja Yusuf tahu hukum-hukum yang mengikatnya sebagai orang Yahudi. Dalam kondisi ini Yusuf bergumul!

Dalam pergumulannya, tercermin sikap Yusuf bahwa ia tidak egois. Ia tidak hendak menyusahkan Maria, tapi tetap mau menaati hukum tadi. Maka dari itu, ia bermaksud membatalkan pertunangannya dengan Maria secara “diam-diam”, artinya Yusuf membatalkan pertunangan itu bukan tanpa saksi, tetapi tidak memperkarakannya di muka pengadilan atau tanpa membuat pernyataan macam-macam tentang perkara tersebut. Dengan demikian, pembatalan itu akan sah menurut hukum, tetapi tidak mendatangkan aib bagi Maria.

Perhatikan apa yang dirancangkan Yusuf. Ia berusaha mencari jalan yang terbaik untuk memecahkan pergumulan hubungannya dengan Maria. Yusuf tidak mau gadis yang dicintainya dilecehkan oleh orang banyak lantaran ia hamil di luar pernikahan dengannya. Yusuf juga tidak mau ada hukum-hukum dalam tradisinya yang dilanggar. Itulah usahaoptimal yang dapat dilakukan oleh Yusuf. 

Namun apa yang terjadi sebelum niatnya dilaksanakan? Sesuatu yang luar biasa! Malaikat Tuhan datang menjumpai dan mengatakan kepada Yusuf, “Yusuf, anak Daud, janganlah engkau takut mengambil Maria sebagai isterimu, sebab anak yang di dalam kandungannya adalah dari Roh Kudus.” (Matius 1:20). “Mengandung dari Roh Kudus menggemakan berita-berita yang tercantum dalam Perjanjian Lama (Kejadian 18:11; 1Samuel 1) tentang Allah yang menyuburkan rahim perempuan-perempuan mandul. Melalui pernyataan ini, Injil Matius mau menegaskan Allah sendirilah Sang penyebab kehidupan Anak-Nya sebagai manusia. Dengan cara ini terungkap ikatan mendalam antara yang ilahi dengan yang insani.

Pernyataan malaikat Tuhan ini merupakan jalan yang sama sekali tidak terpikirkan oleh Yusuf. Barangkali juga jalan yang sulit dimengerti dan diterima. Bayangkan, Yusuf, semenjak pertunangannya dengan Maria, ia harus menjaga dan merawat mimpi-mimpi indahnya membangun keluarga kecil. Ia akan bekerja sebagai tukang kayu, Maria tentunya sebagai ibu rumah tangga akan merawat anak, mengurusi rumah dan menjadi curahan kasih sayangnya. Namun, kini kenyataan menjadi lain ketika ia harus berhadapan dengan rancangan Yang Ilahi. Yusuf harus merelakan impiannya dengan keyakinan bahwa rencana Allah pasti lebih baik dari apa yang ia rancangkan. Tugasnya akan tetap ada: Ia menjadi suami dari Maria dan ayah dari Yesus. Sebagai seorang ayah, ia bertanggung jawab anak yang dilahirkan oleh Maria itu akan dimasukkan dalam garis keturunannya: Ya, garis keturunan Raja Daud. Sebagai ayah pula, ia yang nantinya akan memberi nama kepada bayi yang dilahirkan Maria.

Kelahiran Yesus memenuhi janji Allah yang tercatat dalam Yesaya 7:14. Janji itu diberikan kepada Raja Ahaz. Ahaz diuji, kalau ia mempunyai iman yang sungguh terhadap Allah, ia akan melihat kekuatan Allah yang menyelamatkan umat-Nya. Keselamatan itu akan menjadi nyata ketika ada seorang anak dara mengandung dan melahirkan anak yang dinamai Imanuel. Namun, sayang Ahaz dikenal sebagai raja Yehuda yang membuat Allah murka. Ahaz bukanlah raja yang taat dan setia apalagi beriman teguh kepada Allah, maka dalam hidupnya Imanuel – dalam arti yang sesungguhnya – tidak pernah ia lihat dan rasakan. Sebaliknya Yusuf, barangkali adalah “Ahaz” yang berikutnya, ia melihat, mengalami bahkan terlibat langsung dalam pemenuhan janji Allah itu. Yusuf sejak semula dikatakan “seorang yang tulus hati”, ia seorang yang benar dan saleh. Tentu saja tidak berhenti di situ, Yusuf juga orang yang bergumul dan setia pada kehendak Allah. Dengan ketaatannya itulah Yusuf dipakai Allah untuk menjadi salah seorang yang terlibat dalam kelahiran Sang Mesias!

Sangat mungkin pada hari ini kita sedang menghadapi pergumulan yang tidak mudah. Kita mencari jalan keluar yang terbaik menurut kaidah-kaidah hukum positif dan ketentuan-ketentuan agama yang kita pandang sebagai kebenaran. Namun, bisa saja kita tetap tidak menemukan jalan keluarnya!

John Henry Newman, seorang teolog Inggris abad 19 pernah mengalami pergumulan berat ketika diperhadapkan pada tugas panggilannya baik sebagai teolog maupun pemimpin umat. Dalam pergumulannya ia menulis syair terkenal yang amat indah “Lead kindly light” (Bimbinglah daku wahai cahaya). Newman dimampukan untuk bertahan dan menemukan pilihan hidupnya karena ia membiarkan diri dipimpin oleh “cahaya”.

Dalam pergumulan dan dalam gelapnya jalan kehidupan, kita sering memohon kepada Allah untuk menerangi hati kita agar mampu melihat jalan yang dikehendaki-Nya; kita memohon terang kepada Allah untuk dapat melihat pilihan-pilihan kita dengan sebaik-baiknya. Akan tetapi kita harus realistis. Mungkin kita tidak akan pernah diberikan cahaya yang terang benderang, mungkin bukan seperti Yusuf di tengah kegalauannya segera hadir malaikat Tuhan yang menyatakan jalan yang harus diambilnya. Namun, setidaknya kita hanya perlu sedikit saja terang, agar kita dapat terus melangkah. Dan untuk itu, di sinilah iman kita berperan! Iman seperti Yusuf, tidak hanya berpusat pada pementingan diri, melainkan iman yang mampu melihat rencana Allah buat banyak orang. Iman yang tidak ada niatan untuk menyakiti sesama. Iman yang mengerjakan apa yang baik. Iman seperti ini hanya dapat terjadi jika hati dan pikiran kita mau dan terbuka untuk diterangi cahaya ilahi!

Jakarta, Adven ke-4 Tahun A 2019

Jumat, 13 Desember 2019

HARUSKAH KAMI MENANTIKAN ORANG LAIN?

“Waiting for Godot” kisah klasik karya Samuel Beckett mengisahkan dua orang gelandangan: Vladimir dan Estragon yang sedang menunggu Godot. Sementara menunggu, mereka ngobrol tak tentu arah dan temanya, seolah sedang menghabiskan waktu saja lazimnya orang yang menunggu. Sambil ngobrol mereka mengamati yang satu topinya, yang lain sepatu bootnya. Namun, isi pembicaraan mereka tak ada satu pun yang penting.

Siapa Godot itu? Beckett tidak mau menjelaskan. Demikian pula dalam dialog antara Vladimir dan Estragon sama sekali tidak menggambarkan siapa Godot itu sehingga sedemikian pentingnya mereka menunggu. Sampai pada akhir babak pertama kisah itu, muncul seorang anak yang memberi tahu bahwa Godot tidak datang pada hari itu. Di babak kedua, hal sama diulang kembali. Vladimir dan Estragon berbicara panjang lebar, tidak menentu sementara menunggu Godot, hingga muncul seorang anak yang memberitahukan hal yang sama bahwa Godot tidak datang hari itu, tetapi besoknya ia akan datang.

Kisah Godot, mungkin mewakili kisah kita dalam kehidupan ini. Kita terlalu banyak bicara ngalor-ngidul, kita berpikir menduga-duga tentang Tuhan. Ya, Tuhan yang sangat idealis menurut pandangan kita. Lalu, kita ingin tahu dan mencoba menerangkan, setidaknya untuk diri dan kalangan kita sendiri tentang siapakah Tuhan itu, bagaimanakah sifat, karakter, dan perbuatan-Nya. Kita juga mencoba berdoa, berkomunikasi dengan gambaran Tuhan menurut kita itu. 

Dalam Minggu Adven ke-3 ini bacaan dan perenungan mengajak kita kritis terhadap pemahaman dan prilaku kita: Apakah kita ditipu oleh konsep yang muncul dari ilusi dan hasrat kita sendiri? Pikiran kita yang dipenuhi tentang konsep Tuhan – padahal konsep itu merupakan pantulan keinginan kita sendiri – dari ilusi dan hasrat kita? Bisa juga pikiran kita dipenuhi dengan Tuhan siang-malam, tetapi tidak pernah mendapat jaminan bahwa keyakinan kita itu benar.

Yohanes Pembaptis, sebagaimana narasi Injil Minggu (Matius 11:2-11) ini mempunyai konsep ideal tentang Mesias yang jalannya sudah ia siapkan. Mesias itu akan membawa kapak yang siap menebang akar pohon yang tidak berbuah; Mesias itu akan menghakimi dan menegakkan kekuasaannya. Namun, sampai akhirnya ia ditangkap dan dipenjarakan tanda-tanda itu tidak pernah muncul dan terlihat kasat mata! Lantas, di dalam penjara yang pengap itu ia menyuruh para muridnya pergi menghadap Yesus dan menanyakan kepada-Nya, “Engkaukah yang akan datang itu atau haruskah kami menantikan orang lain?” (Matius 11:3).

Mengapa Yohanes dipenjara? Ini lebih pada perkara politik. Seruan pertobatan yang dikumandangkan Yohanes seolah gendering perang bagi Herodes. Suara padang gurun itu mampu mengguncang rakyat. Ini jelas mengkuatirkan dan membahayakan kedudukan Herodes di hadapan penguasa Romawi. Alasan lainnya, Yohanes pernah mengecam keras perkawinan Herodes dengan Herodias yang waktu itu masih bersuamikan saudara tiri Herodes sendiri (Matius 14:4) ini terlarang menurut Imamat 18:6). Dalam penjara, Yohanes masih dapat menerima kunjungan para muridnya. Dari merekalah, Yohanes mendengar tentang apa yang dilakukan Yesus.

Yohanes pernah menyerukan bahwa Dia yang akan datang itu lebih berkuasa dari dirinya. Kalau dirinya membaptis orang dengan air, maka Ia yang akan datang itu membaptis dengan Roh dan api. Tampaknya ketika berseru, Yohanes belum jelas siapa orangnya. Dalam seruannya, Yohanes tidak menyebutkan Yesus sebagai orang yang lebih berkuasa dari dirinya. Namun, ketika Yesus datang dan meminta dibaptis olehnya, Yohanes tentunya menduga bahwa Dialah orangnya. Ada pengalaman spiritual. Injil menggambarkannya dengan terdengarnya kata-kata dari langit bahwa Yesus itu adalah Anak yang terkasih dan mendapat perkenan ilahi. Tetapi sekarang masalahnya, Diakah orang yang dinanti-nantikan itu? Keraguan ini bukan diartikan sebagai bentuk ketidakpercayaan. Yohanes tampaknya membutuhkan konfirmasi lebih lanjut, lebih lengkap untuk memastikan bahwa Yesus itu Mesias. Iman yang hidup tetap butuh informasi aktual, bukan sekedar mengamini rumus-rumus dokmatik belaka. 

Pertanyaan Yohanes Pembaptis tentang apakah Yesus itu betul-betul Dia yang akan datang, atau masih ada orang lain, menunjukkan bahwa Yohanes ingin mendengar berita yang terpercaya. ia juga mau mengajar murid-muridnya berani mengenal siapa tokoh Yesus itu sesungguhnya dengan menemuinya sendiri. Berusaha untuk mengerti mana tanda-tanda yang bisa membuat orang percaya adalah termasuk tindakan beriman. Percaya dan beriman itu seperti semua tindakan manusia lainnya; bisa dan butuh dipertanggungjawabkan. Iman bukan hanya sekedar perasaan mantap sesuai pola pikir sendiri. Malah rasa mantap itu bakal berkurang ketika menghadapi tantangan baru.

Yohanes sepertinya sedang menghadapi pergumulan iman mendasar: Di hati dan dalam niatan, ia percaya bahwa ada sosok yang akan datang untuk menyempurnakan warta Kerajaan Surga. Tetapi siapakah sosok itu dalam kenyataannya? Orang yang dikabarkan di mana-mana menegerjakan perkara-perkara ajaib itukah? Bila betul, bagaimanakah penjelasannya? Apa ada kelanjutan dengan cara-cara Yang Ilahi mewahyukan kehendak-Nya dan memperkenalkan diri dulu? Apa betul-betul dapat diterima manusia? Ataukah tokoh yang sekarang populer itu Cuma mau memanfaatkan gairah orang banyak melihat hal-hal yang mengguncang batin tapi tidak membawa kepada pengalaman yang utuh? Kebutuhan untuk mengkonfirmasi dan mempertanggungjawabkan terasa mendesak waktu itu karena seruan yang disampaikan Yohanes dan pengajaran yang diberikan Yesus sering dipertanyakan bahkan ditolak.

Yesus tidak langsung menjawab kebutuhan Yohanes Pembaptis. Ia meminta agar murid-murid Yohanes melaporkan kepada guru mereka apa yang mereka lihat dan dengar, yakni orang buta melihat, orang lumpuh berjalan, orang kusta tahir, orang tuli mendengar, orang mati dibangkitkan, dan kepada orang miskin diberikan berita gembira. Seakan Yesus menyatakan bahwa Ia telah memenuhi apa yang dinubuatkan nabi Yesaya, “Pada waktu itu mata orang-orang buta akan dicelikkan, dan telinga orang-orang tuli akan dibuka. Pada waktu itu orang lumpuh akan melompat seperti rusa, dan mulut orang bisu akan bersorak-sorai….“ (Yesaya 35:5-6). Juga pewartaan kabar gembira untuk orang-orang miskin membuat Yesus terkonfirmasi memenuhi apa yang dikatakan dalam Yesaya 61:1, “Roh TUHAN Allah ada padaku, oleh karena TUHAN telah mengurapi aku; Ia telah mengutus aku untuk menyampaikan kabar gembira kepada orang-orang sengsara, dan merawat orang-orang yang remuk hati, untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan…”

Yohanes dan banyak orang yang telah mendengar dan melihat karya Yesus diminta-Nya untuk kembali melihat narasi teks nubuat yang sering didengar dan mencoba untuk melihat kenyataan sekarang. Penyembuhan dan kabar gembira kepada orang-orang yang sengsara tadi membuat kedatangan Yesus dapat dipertanggungjawabkan dan terkonfirmasi! Pada akhir jawaban-Nya, Yesus menyebut berbahagia orang “yang tidak menolak-Nya”, ungkapan aslinya, “yang tidak tersandung karena Aku”. Orang yang bisa menerima warta Yesus tanpa tersinggung dan menyambut-Nya dengan merdeka boleh merasa bahagia. Mereka ini menerima Kerajaan Surga (bnd. Matius 5:3). Yesus memilih menunjukkan karya-Nya ketika orang menanyakan tentang diri-Nya. Ia tidak memilih berdebat.

Kita bisa menarik pelajaran dari lakon Godot – ini mungkin sekali kritik Samuel Beckett terhadap kehidupan beragama – bahwa berbicara mengenai God(ot) tidak ada artinya lagi. Pembicaraan semacam itu mandul dan bahkan menyisakan banyak persoalan baru, mengkafirkan orang yang tidak sepaham dan memupuk kebanggaan semu serta semakin ekslusif. Mestinya narasi kita adalah meneruskan narasi Yesus, yakni bagaimana memanfaatkan waktu yang ada dengan sungguh-sungguh meneruskan apa yang dilakukan oleh Yesus: menyembuhkan yang sakit, membebaskan yang tertindas, menyampaikan kabar baik bagi orang-orang miskin.

Pemikiran dan pembicaraan tentang Tuhan memang penting. Namun, tidak akan berguna jika tidak bermuara pada tindakan. Perhatian terhadap Tuhan harus terwujud dalam tindakan-tindakan yang berguna sementara kita menunggu kedatangan-Nya. Menunggu dengan melakukan karya-karya kebajikan akan menjadi peristiwa sukacita dan sama sekali tidak membosankan. Ibarat sang gadis menunggu kedatangan kekasihnya, ia bersolek dan menyiapkan segala sesuatu demi sang kekasih itu. Mari kita “bersolek” mempercantik hati kita; mari kita berbenah, apa yang buruk harus ditinggalkan karena kita akan menyambut dengan sukacita kedatangan-Nya. Gaudatte!


Jakarta, Gaudatte Adeven III Tahun A 2019