Jumat, 13 Desember 2019

HARUSKAH KAMI MENANTIKAN ORANG LAIN?

“Waiting for Godot” kisah klasik karya Samuel Beckett mengisahkan dua orang gelandangan: Vladimir dan Estragon yang sedang menunggu Godot. Sementara menunggu, mereka ngobrol tak tentu arah dan temanya, seolah sedang menghabiskan waktu saja lazimnya orang yang menunggu. Sambil ngobrol mereka mengamati yang satu topinya, yang lain sepatu bootnya. Namun, isi pembicaraan mereka tak ada satu pun yang penting.

Siapa Godot itu? Beckett tidak mau menjelaskan. Demikian pula dalam dialog antara Vladimir dan Estragon sama sekali tidak menggambarkan siapa Godot itu sehingga sedemikian pentingnya mereka menunggu. Sampai pada akhir babak pertama kisah itu, muncul seorang anak yang memberi tahu bahwa Godot tidak datang pada hari itu. Di babak kedua, hal sama diulang kembali. Vladimir dan Estragon berbicara panjang lebar, tidak menentu sementara menunggu Godot, hingga muncul seorang anak yang memberitahukan hal yang sama bahwa Godot tidak datang hari itu, tetapi besoknya ia akan datang.

Kisah Godot, mungkin mewakili kisah kita dalam kehidupan ini. Kita terlalu banyak bicara ngalor-ngidul, kita berpikir menduga-duga tentang Tuhan. Ya, Tuhan yang sangat idealis menurut pandangan kita. Lalu, kita ingin tahu dan mencoba menerangkan, setidaknya untuk diri dan kalangan kita sendiri tentang siapakah Tuhan itu, bagaimanakah sifat, karakter, dan perbuatan-Nya. Kita juga mencoba berdoa, berkomunikasi dengan gambaran Tuhan menurut kita itu. 

Dalam Minggu Adven ke-3 ini bacaan dan perenungan mengajak kita kritis terhadap pemahaman dan prilaku kita: Apakah kita ditipu oleh konsep yang muncul dari ilusi dan hasrat kita sendiri? Pikiran kita yang dipenuhi tentang konsep Tuhan – padahal konsep itu merupakan pantulan keinginan kita sendiri – dari ilusi dan hasrat kita? Bisa juga pikiran kita dipenuhi dengan Tuhan siang-malam, tetapi tidak pernah mendapat jaminan bahwa keyakinan kita itu benar.

Yohanes Pembaptis, sebagaimana narasi Injil Minggu (Matius 11:2-11) ini mempunyai konsep ideal tentang Mesias yang jalannya sudah ia siapkan. Mesias itu akan membawa kapak yang siap menebang akar pohon yang tidak berbuah; Mesias itu akan menghakimi dan menegakkan kekuasaannya. Namun, sampai akhirnya ia ditangkap dan dipenjarakan tanda-tanda itu tidak pernah muncul dan terlihat kasat mata! Lantas, di dalam penjara yang pengap itu ia menyuruh para muridnya pergi menghadap Yesus dan menanyakan kepada-Nya, “Engkaukah yang akan datang itu atau haruskah kami menantikan orang lain?” (Matius 11:3).

Mengapa Yohanes dipenjara? Ini lebih pada perkara politik. Seruan pertobatan yang dikumandangkan Yohanes seolah gendering perang bagi Herodes. Suara padang gurun itu mampu mengguncang rakyat. Ini jelas mengkuatirkan dan membahayakan kedudukan Herodes di hadapan penguasa Romawi. Alasan lainnya, Yohanes pernah mengecam keras perkawinan Herodes dengan Herodias yang waktu itu masih bersuamikan saudara tiri Herodes sendiri (Matius 14:4) ini terlarang menurut Imamat 18:6). Dalam penjara, Yohanes masih dapat menerima kunjungan para muridnya. Dari merekalah, Yohanes mendengar tentang apa yang dilakukan Yesus.

Yohanes pernah menyerukan bahwa Dia yang akan datang itu lebih berkuasa dari dirinya. Kalau dirinya membaptis orang dengan air, maka Ia yang akan datang itu membaptis dengan Roh dan api. Tampaknya ketika berseru, Yohanes belum jelas siapa orangnya. Dalam seruannya, Yohanes tidak menyebutkan Yesus sebagai orang yang lebih berkuasa dari dirinya. Namun, ketika Yesus datang dan meminta dibaptis olehnya, Yohanes tentunya menduga bahwa Dialah orangnya. Ada pengalaman spiritual. Injil menggambarkannya dengan terdengarnya kata-kata dari langit bahwa Yesus itu adalah Anak yang terkasih dan mendapat perkenan ilahi. Tetapi sekarang masalahnya, Diakah orang yang dinanti-nantikan itu? Keraguan ini bukan diartikan sebagai bentuk ketidakpercayaan. Yohanes tampaknya membutuhkan konfirmasi lebih lanjut, lebih lengkap untuk memastikan bahwa Yesus itu Mesias. Iman yang hidup tetap butuh informasi aktual, bukan sekedar mengamini rumus-rumus dokmatik belaka. 

Pertanyaan Yohanes Pembaptis tentang apakah Yesus itu betul-betul Dia yang akan datang, atau masih ada orang lain, menunjukkan bahwa Yohanes ingin mendengar berita yang terpercaya. ia juga mau mengajar murid-muridnya berani mengenal siapa tokoh Yesus itu sesungguhnya dengan menemuinya sendiri. Berusaha untuk mengerti mana tanda-tanda yang bisa membuat orang percaya adalah termasuk tindakan beriman. Percaya dan beriman itu seperti semua tindakan manusia lainnya; bisa dan butuh dipertanggungjawabkan. Iman bukan hanya sekedar perasaan mantap sesuai pola pikir sendiri. Malah rasa mantap itu bakal berkurang ketika menghadapi tantangan baru.

Yohanes sepertinya sedang menghadapi pergumulan iman mendasar: Di hati dan dalam niatan, ia percaya bahwa ada sosok yang akan datang untuk menyempurnakan warta Kerajaan Surga. Tetapi siapakah sosok itu dalam kenyataannya? Orang yang dikabarkan di mana-mana menegerjakan perkara-perkara ajaib itukah? Bila betul, bagaimanakah penjelasannya? Apa ada kelanjutan dengan cara-cara Yang Ilahi mewahyukan kehendak-Nya dan memperkenalkan diri dulu? Apa betul-betul dapat diterima manusia? Ataukah tokoh yang sekarang populer itu Cuma mau memanfaatkan gairah orang banyak melihat hal-hal yang mengguncang batin tapi tidak membawa kepada pengalaman yang utuh? Kebutuhan untuk mengkonfirmasi dan mempertanggungjawabkan terasa mendesak waktu itu karena seruan yang disampaikan Yohanes dan pengajaran yang diberikan Yesus sering dipertanyakan bahkan ditolak.

Yesus tidak langsung menjawab kebutuhan Yohanes Pembaptis. Ia meminta agar murid-murid Yohanes melaporkan kepada guru mereka apa yang mereka lihat dan dengar, yakni orang buta melihat, orang lumpuh berjalan, orang kusta tahir, orang tuli mendengar, orang mati dibangkitkan, dan kepada orang miskin diberikan berita gembira. Seakan Yesus menyatakan bahwa Ia telah memenuhi apa yang dinubuatkan nabi Yesaya, “Pada waktu itu mata orang-orang buta akan dicelikkan, dan telinga orang-orang tuli akan dibuka. Pada waktu itu orang lumpuh akan melompat seperti rusa, dan mulut orang bisu akan bersorak-sorai….“ (Yesaya 35:5-6). Juga pewartaan kabar gembira untuk orang-orang miskin membuat Yesus terkonfirmasi memenuhi apa yang dikatakan dalam Yesaya 61:1, “Roh TUHAN Allah ada padaku, oleh karena TUHAN telah mengurapi aku; Ia telah mengutus aku untuk menyampaikan kabar gembira kepada orang-orang sengsara, dan merawat orang-orang yang remuk hati, untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan…”

Yohanes dan banyak orang yang telah mendengar dan melihat karya Yesus diminta-Nya untuk kembali melihat narasi teks nubuat yang sering didengar dan mencoba untuk melihat kenyataan sekarang. Penyembuhan dan kabar gembira kepada orang-orang yang sengsara tadi membuat kedatangan Yesus dapat dipertanggungjawabkan dan terkonfirmasi! Pada akhir jawaban-Nya, Yesus menyebut berbahagia orang “yang tidak menolak-Nya”, ungkapan aslinya, “yang tidak tersandung karena Aku”. Orang yang bisa menerima warta Yesus tanpa tersinggung dan menyambut-Nya dengan merdeka boleh merasa bahagia. Mereka ini menerima Kerajaan Surga (bnd. Matius 5:3). Yesus memilih menunjukkan karya-Nya ketika orang menanyakan tentang diri-Nya. Ia tidak memilih berdebat.

Kita bisa menarik pelajaran dari lakon Godot – ini mungkin sekali kritik Samuel Beckett terhadap kehidupan beragama – bahwa berbicara mengenai God(ot) tidak ada artinya lagi. Pembicaraan semacam itu mandul dan bahkan menyisakan banyak persoalan baru, mengkafirkan orang yang tidak sepaham dan memupuk kebanggaan semu serta semakin ekslusif. Mestinya narasi kita adalah meneruskan narasi Yesus, yakni bagaimana memanfaatkan waktu yang ada dengan sungguh-sungguh meneruskan apa yang dilakukan oleh Yesus: menyembuhkan yang sakit, membebaskan yang tertindas, menyampaikan kabar baik bagi orang-orang miskin.

Pemikiran dan pembicaraan tentang Tuhan memang penting. Namun, tidak akan berguna jika tidak bermuara pada tindakan. Perhatian terhadap Tuhan harus terwujud dalam tindakan-tindakan yang berguna sementara kita menunggu kedatangan-Nya. Menunggu dengan melakukan karya-karya kebajikan akan menjadi peristiwa sukacita dan sama sekali tidak membosankan. Ibarat sang gadis menunggu kedatangan kekasihnya, ia bersolek dan menyiapkan segala sesuatu demi sang kekasih itu. Mari kita “bersolek” mempercantik hati kita; mari kita berbenah, apa yang buruk harus ditinggalkan karena kita akan menyambut dengan sukacita kedatangan-Nya. Gaudatte!


Jakarta, Gaudatte Adeven III Tahun A 2019

Tidak ada komentar:

Posting Komentar