Jumat, 29 November 2019

BERKARYA DALAM PENANTIAN

Apa yang kebanyakan orang sesali setelah duka nestapa menyapa kepergian orang terkasih untuk selama-lamanya? Sesal! Ya, mungkin kata itu tepat mewakili gejolak emosi. Kita menyesali mengapa kesempatan ketika dia hidup tidak dipergunakan dengan sebaik-baiknya. Kita menyesali mengapa sering menyalahpahami sikapnya. Kita menyesali mengapa tidak sungguh-sungguh mencintainya. Dan kita menyesali mengapa waktu ini berlalu begitu cepat! Di sini, pada momen ini kita diingatkan bahwa waktu yang Tuhan berikan kepada setiap kita terbatas, dan dalam keterbatasan itulah kita diminta memanfaatkan sang waktu dengan sebaik-baiknya.

Adven mengajak kita masuk dalam penantian. Penantian dalam mempersiapkan Natal, kelahiran Yesus Kristus, tetapi dalam waktu bersamaan kita menantikan kedatangan-Nya kembali. Penantian yang dimaksud jelas bukan menanti dengan duduk diam dan berpangku tangan. Justru dalam masa penantian ini kita diajak untuk berkarya sebelum segala sesuatunya terlambat. Berkarya menyongsong kedatangan-Nya dengan melakukan apa yang diajarkan dan diteladankan-Nya. Berkarya setiap hari, setiap saat tanpa mau membuang waktu, sebab siapa pun di antara kita tidak akan pernah tahu kapan percisnya kedatangan Sang Mesias itu terjadi.

Minggu Adven pertama ini merupakan tahun baru liturgi gerejawi. Secara liturgis kita telah beralih dari tahun C (bacaan Injil Lukas) ke tahun A (bacaan Injil Matius). Berita Injil dalam tahun baru liturgi kali ini kita mendengarkan ajakan untuk berjaga-jaga menunggu kedatangan “Anak Manusia” pada akhir zaman (Matius 24:36-44). Peristiwa penyelamatan sudah dimulai dan akan tergenapi sepenuhnya kelak. Kita semua diajak untuk menyadari kenyataan ini.

Lalu, apa maksudnya?
Sebutan “Anak Manusia” dalam pembicaraan mengenai akhir zaman pada Injil Matius (juga dalam Markus dan Lukas) tidak terlepas dari gema dalam Daniel 7:13, yakni Anak Manusia yang datang menghadap Yang Mahakuasa untuk memperoleh anugerah atas alam semesta. Dalam Kitab Daniel, Anak Manusia ini akan tampil setelah kekuatan-kekuatan jahat yang mengungkung alam semesta punah. Begitulah, zaman yang dikuasai oleh kekuatan anarkis itu akan diganti dengan “zaman Anak Manusia” Kalau begitu, siapakah Anak Manusia itu? Bila dibaca dengan cermat, sosok Anak Manusia dalam Kitab Daniel menggambarkan kemanusiaan yang baru yang sepenuhnya ada di hadapan hadirat ilahi dan bebas dari pengaruh anasir jahat. Ketika Matius dan Injil lainnya menggambarkan Yesus Kristus sebagai Anak Manusia, itu berarti Ia datang dengan kuasa yang penuhi dari Allah sendiri. Orang bisa saja tidak peduli dan mendiamkannya begitu saja. Namun, akan tiba saatnya nanti mereka yang menganggapnya sepele akan merasa ketinggalan kesempatan. Tidak ada lagi waktu tersisa!

Itulah sebabnya, tema kita hari ini relevan agar kita melakukan karya-karya terbaik untuk membangun kemanusiaan yang baru. Kita harus menyadari bahwa Yang Mahakuasa itu sungguh-sungguh hadir walau tidak kasat mata dantidak jelas terlihat. Bukan kehadiran yang diam dan jauh, melainkan yang terus bergerak mendekat. Pada saat Ia tiba, dunia ini akan terpilah-pilah dengan sendirinya. Akan sangat jelas siapa saja yang berada di pihak-Nya. Akan nyata pula siapa yang tidak peduli dengan kehadiran-Nya yang kini masih terselubung itu. Pada masa penantian ini juga merupakan kesempatan untuk terus berupaya memahami kemanusiaan yang baru yang diperkenalkan Yesus serta mengupayakan agar kehidupan komunitas kita terarah ke sana. Dalam Injil Matius, kemanusiaan baru itu ditampilkan sebagai kenyataan Kerajaan Sorga. Dalam tataran ini kita diajak untuk tidak bermimpi tentang Sorga, melainkan menghadirkan Sorga ke bumi!

Bilamanakah itu terjadi? Selalu menjadi pertanyaan bahkan hingga kini. Kerajaan Allah yang diwartakan Yesus sudah ada tetapi tidak seorang pun tahu kapan sepenuhnya terjadi. Kerajaan Sorga tidak mengikuti kaidah-kaidah hukum alam dan kesepakatan atau hukum-hukum yang dibuat oleh komunitas manusia. Tidak ada yang tahu kapan kemanusiaan yang baru itu sepenuhnya terwujud, kecuali Bapa sendiri, bahkan Anak Manusia yang akan datang itu pun tidak tahu (Matius 24:36), oleh karena itu semua orang diminta untuk berjaga-jaga, agar selalu siap (Matius 24:42-44).

Gambaran zaman Nuh dipakai Yesus untuk menjelaskan betapa manusia itu harus sungguh-sungguh serius dalam mengerjakan perintah Allah dan waspada karena saatnya akan tiba di luar dugaan dan kebiasaan yang lazim. Nuh dikasihi Allah dan dia berusaha membalas kasih Allah itu dengan setia menuruti perintah-Nya. Atas perintah Allah, Nuh membangun bahtera. Sebaliknya, orang-orang pada zaman Nuh itu merasa diri sudah aman, tak butuh apa-apa lagi. Mereka melihat apa yang dikerjakan Nuh adalah sesuatu yang aneh. Bisa jadi Nuh dianggap gila oleh mereka. Kan, tidak akan terjadi apa-apa yang luar biasa! Semua bisa diperhitungkan, menurut orang-orang itu. Memang tidak satu pun yang disebut sebagai tindakan buruk: makan, minum, kawin dan mengawinkan. Semua ini adalah kegiatan sehari-hari yang melangsungkan kehidupan manusia. Tetapi orang mudah melupakan, ada yang tak termasuk dalam tindakan keseharian. Gerak-gerik Ilahi, tidak sepenuhnya dapat diperhitungkan. Ia tetap dalam wilayah misteri ilahi, yang tidak tunduk pada hukum-hukum dunia ini. 

Hanya ketaatan dalam mengerjakan kehendak Allah yang menolong manusia, dalam hal ini Nuh dapat menyambut bahkan membawanya tidak binasa. Mungkin saja kini kita termasuk orang-orang seperti zaman Nuh itu. Semuanya baik-baik saja. Ekonomi dan kesehatan sudah terjamin, pendidikan anak dan masa depannya sudah diperhitungkan, segala pencapaian sudah memenuhi target. Kini, tinggal menikmati saja! Namun, ingatlah ada sesuatu yang bisa terjadi di luar prediksi kita. 

Bagi anak-anak Tuhan, ini bukan ancaman melainkan cara Allah memberikan kesempatan untuk kita ikut membangun “bahtera Nuh” yang baru. Dulu bahtera itu dipakai Nuh untuk menyelamatkan hewan, dan tumbuhan serta keluarganya. Kini bahtera yang baru itu adalah habitat, komunitas yang mampu menghadirkan kemanusiaan baru. Habitat dan komunitas yang sama sekali berbeda dari “manusia-manusia lama” yang hanya memikirkan perut, dan nafsunya sendiri. Komunitas dan habitat manusia baru ini harus mampu menghadirkan kemanusiaan yang benar-benar baru. Seperti apa? Tidak lain seperti apa yang sudah dilakukan oleh Anak Manusia itu. Dialah contoh paling lengkap dan paripurna! Andai kata saja apa yang dilakukan oleh para pengikut “Anak Manusia” itu sama seperti yang diikuti mereka, maka akan tercipta peradaban baru! Sorga itu akan turun dengan sendirinya ke bumi. Mengapa? Sebab setiap orang tidak ada yang egois, rela berbagi bahkan menyerahkan nyawanya sendiri, tutur katanya adalah tutur kata yang membangun; karyanya adalah karya untuk kepentingan orang banyak; seluruh hidupnya penuh dengan pengampunan dan kasih sayang dan semua orang merasa terberkati. Bukankah sorga seperti itu?

Di sinilah kita diajak untuk terlibat berkarya. Ingat sebelum air bah itu datang, Nuh telah selesai membuat bahtera. Maka sebelum harinya tiba, kita diminta juga menyiapkan bahtera; komunitas dan “ekosistem” di mana kehidupan kita membawa dampak, seperti “bahtera” yang berguna untuk menyelamatkan, beguna untuk menghadirkan sorga di bumi ini. Ingatlah, waktu kita sangat terbatas. Jangan di penghujung hidup, baru kita menyadari dan menyesali bahwa kita lalai dan tidak melakukan apa-apa!

Jakarta, Adven 1 Tahun A 2019

Rabu, 20 November 2019

KRISTUS, RAJA SEMESTA

Ketika pater Pedro Arrupe, jendral Serikat Yesus ditanyai mengenai “Siapa Yesus baginya”, ia menjawab sebagai berikut:

“Pertanyaan yang sama telah diajukan kepada saya, secara spontan dalam wawancara yang saya adakan untuk televisi Italia, kira-kira lima puluh tahu yang lampau. Pertanyaan itu mengagetkan saya. Ketika itu saya juga menjawabnya secara spontan sekali. Bagi saya Yesus Kristus adalah segala-galanya! Dan hari ini saya memberikan jawaban yang sama kepada pater. Masih dengan lebih tegas dan jelas, ‘Bagi saya, Yesus Kristus adalah segala-galanya’. Demikian saya merumuskan sebagai apa Yesus Kristus dalam hidup saya: segala-galanya. Kristuslah yang dulu dan sekarang menjadi cita-cita saya masuk Serikat Yesus. Dialah yang di masa silam dan di masa sekarang menjadi jalan saya. Dialah yang di waktu lampau dan pada saat ini menjadi kekuatan saya. Saya rasa tidak perlu menerangkan secara Panjang lebar. Ambil Kristus dari hidup saya, maka segalanya akan runtuh, bak tubuh diambil kerangka, jantung dan kepalanya.” (Perjalanan Hidup Seorang Yesuit, Yogyakarta: Kanisius, 1984:42).

Orang Kristen ketika ditanya tentang siapakah Yesus bagi diri mereka, banyak yang menjawab seperti Petro Arrupe, “Yesus segala-galanya!” Atau, “Yesus itu Tuhan dan Rajaku!”. Namun, apakah jawaban ini akan berlaku dalam segala situasi dan kondisi? Pedro Arrupe telah membuktikannya. Sehingga lima puluh tahun kemudian ketika ditanya tentang siapa Yesus bagi dirinya, jawabannya tetap sama bahkan lebih jelas dan tegas, “… Dialah yang di masa silam dan masa sekarang menjadi jalan saya. Dialah yang di waktu lampau dan pada saat ini menjadi kekuatan saya!” Lalu, bagaimana kita juga bisa membuktikan jawaban kita ketika ditanya tentang berapa berarti Yesus bagi kita?

Jawaban pater Arrupe ini menimbulkan pertanyaan buat kita. Apa yang membuatnya begitu yakin dan sungguh-sungguh mempertaruhkan hidupnya kepada Yesus? Imbalan apakah sebenarnya yang ia peroleh, sehingga ia berani menyerahkan seluruh dedikasinya kepada Yesus?

Berbicara mengenai imbalan, sangat manusiawi! Tidak dapat dipungkiri orang akan berhitung mengenai imbalan atau apa yang ia akan dapatkan ketika melakukan segala sesuatu. Apalagi mempertaruhkan dedikasi dan hidupnya. Kalau imbalannya itu menguntungkan maka apa pun akan dilakukan, tetapi kalau diperkirakan akan merugikan, maka lebih baik ambil pilihan yang lain.

Hari Minggu ini (24, November 2019) kita merayakan Kristus Raja. Bacaan Injil terambil dari peristiwa penyaliban Yesus. Sama sekali tidak ada gambaran Yesus sebagai raja seperti yang dibayangkan oleh manusia pada umumnya. Raja sebagai pesakitan, diperolok, dihina dan dilukai! Apakah sebanding mempertaruhkan dedikasi dan seluruh hidup kita pada sosok yang demikian? Saya kira pada waktu itu tidak ada orang yang bisa memandang Yesus sebagai raja. Tulisan yang terpampang di atas kepala-Nya, “Inilah Raja orang Yahudi” (Lukas 23:38) sangat jelas bukanlah sebuah pengakuan apalagi pujian. Melainkan cara mereka memperolok-olok Yesus! Buktinya? Sangat jelas dari cibiran para prajurit, “Jika Engkau adalah Raja orang Yahudi, selamatkanlah diri-Mu!” (Lukas 23:37). Hal senada dilakukan juga oleh salah satu penjahat yang disalibkan bersama-Nya.

Hari itu hanya ada satu orang yang benar-benar mengakui Yesus sebagai Raja. Seorang penjahat yang disalibkan bersama Yesus berujar, “Yesus, ingatlah akan aku, apabila Engkau datang sebagai Raja.” (Lukas 23:42). Orang ini adalah orang jahat, dia sadar bahwa sepantasnyalah hukuman itu diterimanya. Di tengah kesadarannya itu rupanya ia tahu bahwa Yesus bukanlah orang yang pantas menerima hukuman salib seperti dirinya. Yesus tidak bersalah dan Ia mau menanggung kesalahan orang lain! Meski mungkin hanya samar-samar, penjahat ini sudah cukup mempunyai iman. Ya, iman bahwa Yesus sesungguhnya adalah Raja!

Yesus Raja bukan dalam tataran pemikiran manusia pada umumnya. Manusia pada konteks zaman itu, saya kira pada masa kini pun akan berpendapat bahwa seorang pantas disebut sebagai raja ketika ia dapat menampilkan kuasanya. Baik tentara Romawi dan seorang penjahat lainnya berpendapat bahwa untuk membuktikan Yesus sebagai Raja atau Mesias, Ia harus bisa melepaskan diri dari tiang gantungan salib itu. 

Raja Orang Yahudi, setiap kelompok mengejek Yesus dengan sebutan itu sambil berharap bahwa Yesus akan menyelamatkan diri-Nya. Para pembesar Yahudi menantang-Nya sebagai Mesias dari Allah. Para prajurit menyebut Yesus “Raja orang-orang Yahudi”. Penjahat menyapa Yesus sebagai Mesias. Mereka masing-masing yakin bahwa menyelamatkan diri searti dengan turun dari salib untuk luput dari kematian. Penjahat malah berharap agar Yesus menyelamatkan diri-Nya, lalu dia dan kemudian temannya. Dengan cari ini menjadi jelas apa yang dipahami oleh manusia sebagai keselamatan dan apa yang dipahami manusia sebagai raja. Manusia memikirkan keselamatansebagai tindakan pelestarian hidup di bumi ini saja. Manusia memahami bahwa raja adalah sosok yang mampu menghadirkan kuasa untuk kelangsungan hidup di bumi saja! Raja harus mampu menunjukkan dan membuktikan itu!

Berbeda dari semua kelompok dan kebanyakan orang, penjahat yang bertobat justru dapat melihat bahwa Yesus bukanlah sosok raja seperti yang mereka fahami dan harapkan. Pandangannya tidak berhenti dalam derita salib yang sedang dijalaninya. Penjahat ini mampu melihat ke masa depan. Ia mampu meyakini bahwa kehidupannya tidak hanya berakhir di kayu salib. Dengan demikian ia yakin bahwa ada kehidupan sesudah ini semua usai, ada sebuah kehidupan kekal di mana Yesus adalah Rajanya.

Dengan keyakinan itu, si penjahat ini menyapa Yesus dengan nama pribadi-Nya. Nama itu searti “Allah Penyelamat!” Penjahat itu mengatakan, “Yesus (Allah Penyelamat), ingatlah akan aku, apabila Engkau datang sebagai Raja.” Penjahat ini meminta kemurahan hati Yesus. Kerajaan Yesus tidak dapat dimasuki atau dibeli seorang pun tanpa rahmat ilahi. Manusia tidak bisa menghimpun jasa untuk memasukinya. Hanya oleh anugerah-Nya! Yesus menyambut permintaan si penjahat ini, kata-Nya, “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya hari ini juga engkau akanada Bersama-sama dengan Aku di dalam Firdaus.” (Lukas 23:43). “Hari ini juga”, ungkapan ini selalu mengacu kepada suatu saat pernyataan dari Allah (wahyu) atau penyelamatan. Jadi, jangan disimpulkan “pada hari penyaliban ini!” Kata Ambrosius, Hidup berarti berada Bersama dengan Kristus, sebab di mana ada Kristus di situlah Kerajaan-Nya.

Sejenak pada kisah Petro Arrupe. Rupanya ia tahu bahkan telah mengalami apa imbalan yang ia terima. Ia telah mengenal dan tahu Yesus. Bagi dirinya, Yesus adalah Raja. Raja Semesta yang tidak hanya nyata kuasa-Nya di bumi ini, melainkan dalam sepenuh-penuh-Nya Kerajaan-Nya kelak. Ini sejalan dengan apa yang dikatakan Paulus, “…karena di dalam Dia telah diciptakan segala sesuatu, yang ada di sorga dan yang ada di bumi, yang kelihatan dan yang tidak kelihatan, baik singgasana maupun kerajaan, baik pemerintah maupun penguasa; segala sesuatu diciptakan oleh Dia dan untuk Dia.” (Kolose 1:16).

Setiap orang yang hidup dalam Kristus pasti akan berusaha mewujudkan Kerajaan-Nya agar orang-orang di sekitarnya dapat merasakan kehadiran-Nya juga. Kesempatan ini haruslah kita gunakan sebaik-baiknya. Itulah kesaksian!

Dalam penderitaan salib dan detik-detik terakhir hidupnya, si penjahat berhasil melihat wajah Yesus yang sebenarnya. Tidak hanya berhenti di situ, ia mempertaruhkan pengharapan-Nya pada Raja yang sesungguhnya itu. Tidak mustahil, hidup Anda saat ini dalam erang derita, bisa jadi juga dokter telah memvonis hanya beberapa hari atau bulan usia Anda. Percayakanlah dan mohon belas kasihan-Nya di dalam Dia ada kuasa, sebab Dialah Raja Alam Semesta!

Jakarta, 20 November 2019