Jumat, 26 Juli 2019

DOA MENGUBAH SEGALA SESUATU

Orang percaya terbiasa mengatakan, “Tidak ada yang kebetulan di dalam hidup. Tuhan sudah merancangkannya sedemikian rupa.” Jika Tuhan menghendaki segala sesuatu terjadi, maka tidak ada satu makhluk pun yang bisa menghentikannya. Sama seperti Anda terlahir sebagai laki-laki atau perempuan, dari keluarga mana dan orang tuanya siapa. Semua merupakan ketetapan Tuhan. Lalu, kalau demikian apa gunanya orang berdoa jika segalanya sudah ditetapkan Tuhan? Tidakkah Tuhan mengubah ketetapan-Nya sesuai dengan keinginan si pendoa?

Kebanyakan orang memahami bahwa doa dapat membuat keadaan berubah seperti yang dikehendaki oleh si pendoa. Sebab itu orang suka mencari formula doa yang “ampuh” atau mujarab. Doa dipahami dapat mengubah keadaan itu juga tergantung pada siapa yang berdoa. Maka tidak heran dalam kehidupan jemaat, doa pendeta dianggap lebih ampuh ketimbang doa seorang ibu rumah tangga. Doa seorang ketua sinode diyakini lebih didengar Tuhan ketimbang doa seorang penatua. 

Konsep atau pemahaman doa seperti ini rupanya berkembang juga di kalangan murid Yesus. Buktinya, suatu kali Yesus sedang berdoa. Setelah Yesus selesai berdoa, para murid datang kepada-Nya meminta untuk diajari berdoa. Tentu niat yang bagus! Namun, apa motivasi mereka meminta diajari berdoa? Permintaan itu diajukan kepada Yesus karena Yohanes juga mengajarkan kepada para muridnya bagaimana harus berdoa(Lukas 11:1). Rupanya para murid beranggapan bahwa ada formula doa yang hebat di mana ketika doa itu dipanjatkan, permintaan si pendoa segera terkabul. Atau setidaknya ada semacam kebanggaan ketika seseorang memanjatkan doa itu!

Meski demikian, Yesus mau juga mengajarkan para murid-Nya berdoa. Yesus mengajarkan mereka dengan doa yang kita kenal sebagai Doa Bapa Kami. Sama seperti kebanyakan doa, doa yang diajarkan Yesus juga berisi permohonan. Namun, meski doa permohonan, isinya signifikan berbeda dari kebanyakan doa-doa umumnya pada waktu itu. Yesus mengajarkan, apa yang dimohonkan bukanlah pertama-tama agar Allah mencukupkan kebutuhan-kebutuhan, apalagi keinginan yang menjadi angan-angan para murid. Bukan! Apa yang harus diminta adalah agar nama Bapa dikuduskan, agar Kerajaan-Nya datang. Baru kemudian mereka diajarkan untuk meminta makanan; kebutuhan hidup pokok sehari-hari. Itu pun secukupnya!

Dalam doa yang diajarkan-Nya ada sesuatu yang sangat khas dan personal. Yesus mengajarkan menyapa Allah dengan sebutan Bapa Kami. Yesus mengajarkan para murid-Nya untuk menyebut Allah sebagai Bapa bersama. Sebutan Bapa (patér)berakar dari kata 'abbãdalam bahasa Aram. Kata ini memuat rasa hormat sekaligus hubungan yang intim. Oleh karena itu, kalau Allah disebut sebagai Bapa, di dalamnya terkandung makna, Allah yang dekat sekaligus kepada-Nya kita menaruh hormat.

Permintaan pertama adalah agar nama Allah dikuduskan. Allah dikenal sebagai Yang Kudus dan harus disapa dengan kekudusan-Nya. “Dikuduskanlah nama-MU”, apakah nama Allah kurang atau belum kudus sehingga harus dikuduskan? Bentuk kata kerja pasif (dikuduskan) mengindikasikan sesungguhnya nama Allah sudah kudus, sebab Ia sendirilah yang menguduskan nama-Nya – bukan si pendoa. Firman dan karya-Nya adalah rangkaian tindakan penegakkan kekudusan nama Allah. Dengan permohonan itu, para murid ketika memohon, sekaligus diingatkan agar menjaga kekudusan nama Allah melalui tutur kata, pola pikir dan tindakan mereka. Ketika yang dilakukan oleh si pendoa selaras dengan apa yang Allah lakukan, maka di sanalah nama Tuhan dimuliakan!

Selanjutnya, Yesus mengajarkan agar para murid memohon untuk Kerajaan Allah datang dan kehendak-Nya terjadi di bumi seperti di surga. Kapan Kerajaan datang? Kita menyakini Kerajaan Allah telah datang ketika Yesus hadir di bumi. Namun, nyatanyaKerajaan Allah yang sepenuhnya itu belum terjadi. Sebuah Kerajaan pasti ada raja-Nya. Bila disebut Kerajaan Allah, maka Allah-lah yang menjadi Raja. Kita menyaksikan, belum sepenuhnya orang menyembah Allah sebagai Raja. Belum sepenuhnya juga kehendak Allah diberlakukan di bumi seperti di surga. Melalui Doa Bapa Kami, Yesus mengundang setiap orang untuk berpartisipasi mewujudkan kehendak Allah itu terjadi. Di sini kekhasan doa yang diajarkan Yesus: tidak hanya mengajak orang untuk melihat Allah sebagai Bapa yang selalu siap sedia memberikan semua yang diminta oleh anak-anak-Nya. Melainkan, memanggil dan mengajarkan si pendoa untuk menyelaraskan hidup dengan Allah. Allah menghendaki bukan kita yang mengubah kehendak-Nya, melainkan memahami dan ikut terlibat melakukan kehendak-Nya!

Setelah permohonan kekudusan, kemuliaan dan kehendak-Nya untuk ditaati, Yesus mengajarkan tiga permohonan untuk si pendoa. Permohonan pertama adalah tentang makanan. Yang diminta adalah makanan yang secukupnya. Yesus mengajar para murid untuk minta yang secukupnya. Dengan demikian Yesus mengajar para murid untuk tidak kuatir. Percaya penuh, seperti seorang ayah yang tidak mungkin menelantarkan anak-anaknya. Yesus menginginkan jika para murid meminta makanan bukan didasarkan pada perasaan kuatir, melainkan karena makanan adalah kebutuhan. Yang diminta bukan makanan sebanyak-banyaknya, yang bisa ditumpuk di lumbung, tetapi secukupnya. Itulah sebabnya maka ada keterangan “setiap hari”.Belajar percaya dan tidak serakah!

Permintaan kedua adalah permintaan tentang pengampunan dosa. Ini bukan karena si pendoa berhak, melainkan karena ia telah mengampuni sesamayang telah berdosa kepadanya. Permintaan ini menandakan bahwa apa yang diminta kepada Allah juga dilakukan oleh si peminta. Orang tidak bisa meminta pengampunan kalau ia tidak bersedia mengampuni sesamanya.

Permintaan terakhir adalah permintaan agar dilepaskan dari pencobaan. Pencobaan (peirasmon) sering diartikan sebagai pengadilan atau juga godaan ke dalam dosa. Hidup para murid tidak bisa lepas dari pencobaan. Sebagaimana Yesus telah dicobai, para murid pun akan selalu berhadapan dengan pencobaan itu. Jika dalam permintaan pengampunan dosa, Yesus mengajar agar para murid juga melakukan hal yang sama. Maka permohonan untuk dihindarkan dari pencobaan pun mempunyai semangat yang sama, yakni bahwa si pendoa juga harus bersedia menjauhkan diri dari hal-hal yang berpotensi membawa dirinya masuk ke dalam pencobaan.

Selanjutnya, menggunakan perumpamaan seorang sahabat yang menggedor pintu temannya untuk meminta roti (Lukas 11:5-10) dan seorang bapa yang tidak mungkin memberi apa yang membahayakan bagi anak-anaknya (Lukas 11:11,12). Yesus mengajarkan bahwa setiap murid harus berdoa dengan tidak jemu-jemu. Bapa di surgakan memberikan apa yang diminta bukan karena tidak materus-menerus diganggu oleh si pendoa, melainkan karena Ia adalah murah hati. Ketekunan dalam berdoa bukan dijadikan “alat merengek”, melainkan mencoba memahami kebutuhan. Belajar untuk memisahkan kebutuhan dari keinginan. Ketekunan dalam berdoa akan menolong kita memahami dan mengerti kehendak-Nya. Ketekunan dalam berdoa memampukan kita untuk menyelaraskan diri dengan kehendak-Nya. Doa membentuk kita. Doa mengubah cara pandang kita terhadap kebutuhan, keinginan dan makna hidup!

Reinhold Neibuhr mengajarkan doa yang indah, “Tuhan, mampukan aku mengubah apa yang dapat aku ubah, menerima apa yang tidak dapat aku ubah, dan hikmat untuk dapat mengetahui perbedaan di antara keduanya. Kita meyakini, Bapa yang baik tahu apa yang terbaik buat kita. Ia merancangkan segala yang indah.  Dalam batas-batas tertentu Dia memberi kemampuan kepada kita untuk mengubah apa yang tidak baik menjadi kebaikan, tentu dengan pertolongan-Nya. Di sinilah kita berkarya untuk menguduskan dan melaksanakan kehendak-Nya. Namun, ada kalanya ketetapan Tuhan itu tidak bisa diubah, dalam konteks inilah kita yang harus menyesuaikan diri dan menerima kehendak Tuhan dari sudut pandang yang baru. Berdoalah agar kita mempunyai sudut pandang baru, yakni seperti Allah memandangnya. Di atas semuanya itu, mintalah hikmat untuk membedakan mana yang bisa diubah dan mana yang tidak,sebab bias ambisi dan egosentris menyulitkan kita untuk bisa membedakannya. Hanya hikmat yang dari Tuhanlah yang dapat menolong kita melihatnya. Doa mengubah segala sesuatu, utamanya kita sendiri sebagai si pendoa!


Jakarta, 26 Juli 2019

Kamis, 18 Juli 2019

KERAMAHTAMAHAN SEBAGAI NILAI HIDUP

Indonesia konon terkenal dengan keramahtamahannya. Benarkah? Bisa “ya”, namun bisa juga “tidak”. Itu semua tergantung di mana dan dalam konteks apa. Ketika kita berjalan-jalan ke perkampungan, dusun-dusun yang jauh dari ingar-bingar polutan bisnis, sangat mungkin menjumpai warganya yang menegur ramah, tersenyum seolah mengajak larut dalam persahabatan. Ini sangat sulit kita jumpai di tengah masyarakat yang terpapar oleh sentimenprimordial dan budaya egosentrisme. 

Jepang merupakan negara moderen yang dapat mepertahankan keramahtamahan sebagai ciri utamanya. Omotenashi adalah kosa kata Jepang tentang keramahtamahan. Kata ini merupakan gabungan dari dua karakter kanji, yaitu : “omote” yang berarti “depan”, dan “nashi” yang berarti “tidak ada”. Istilah ini mengacu pada sesuatu yang dapat dilihat (terletak di depan) dan yang tidak dapat dilihat (seperti jiwa). Singkatnya, omotenashi berarti melayani tamu dengan sepenuh hati. Konon, kata ini semakin menjadi populer ketika Jepang mengajukan diri sebagai tuan rumah pelaksanaan Olympic Games di Tokyo pada 2020 mendatang. Mereka siap menyambut siapa pun dengan keramahtamahan.

Omotenashi telah merasuk dalam sendi-sendi kehidupan orang Jepang. Tidak mengherankan bila kita melewatkan waktu di sebuah ryokan (losmen tradisional), kita akan dilayani layaknya tamu hotel bintang lima. Awalnya budaya keramahtamahan Jepang ini dimulai pada momen penyajian teh pada saat perjamuan atau kehadiran tamu. Sapaan santun dengan bahasa formal adalah basicyang harus dipelajari oleh setiap pekerja di Jepang. Hal yang sangat mendasar dalam budaya omotenashi  adalah frasa “Ichi-go ichi-e” yang dapat diterjemahkan, “Saya sangat bersyukur dapat bertemu dengan Anda. Karena itu, izinkansaya akan melakukan hal terbaik saat ini, kalau-kalau kita tidak dapat bertemu kembali!”

Keramahtamahan yang penuh kehangatan dan ketulusan ini bukan hanya terlihat dari makanan dan minuman yang disajikan tetapi juga dari kehangatan sambutan, perhatian pada detail, dan “kehadiran” tuan rumah.

Pada dasarnya setiap orang ingin perlakuan ramah. Ramah bukan sekedar basa-basi. Bukan pula jamuan; makan-minum yang disajikan. Kedua hal ini – bahasa yang ramah dan penyajian makanan atau minuman – harus ditempatkan pada “dampak” atau “buah” dari seseorang yang memiliki hati yang tulus, ramah dan terbuka terhadap kehadiran orang lain. Sebab, bisa saja bahasa yang manis dan penyajian makanan dan minuman itu dilakukan dengan motif yang bertentangandari ketulusan atau keramahan itu sendiri.

Keramahtamahan adalah budaya umum bangsa-bangsa Timur, termasuk juga bangsa Yahudi. Kisah Abraham dan Sara yang menyambut tiga orang tamu (Kejadian 18:1-10) menegaskan itu. Keramahan itu ditunjukkan dengan sikap dan dengan pelbagai hidangan yang disiapkan untuk ketiga tamu itu. Bahkan, mereka melakukannya sebelum mengetahui bahwa ketiga tamu itu tidak lain adalah utusan TUHAN yang mengulangi pernyataan janji Allah terhadap Abraham.

Keramahtamahan juga tergambar dalam bacaan Injil hari ini. Peristiwanya, Yesus Bersama para murid dalam sebuah perjalanan singgah di rumah Marta dan Maria. Martalah yang mula-mula menerima Yesus. Kemudian Marta menyibukkan diri dengan pelbagai pekerjaan menyiapkan hidangan bagi tetamu kehormatan itu. Sedangkan Maria duduk dekat kaki Yesus dan mendengarkan apa yang dikatakan Yesus. Marta gusar oleh karena ia merasa bekerja seorang diri. Ia mengeluh kepada Yesus dan meminta-Nya agar Maria membantunya. Di sepanjang masa, kisah ini ditafsirkan dengan berbagai cara.  Antara lain, sebagai contoh adanya dua tipe manusia Kristen. Pertama, tipe Marta. Ia sangat aktif, sibuk menyiapkan berbagai kebutuhan; makanan dan minuman, hidangan agar para tamu dapat dijamu dengan baik. Kedua, tipe Maria. Ia seorang yang kontemplatif, yang bersimpuh di kaki Yesus “menyibukkan” diri dengan sabda dan doa. 

Ada sejumlah ahli tafsir yang berpendapat bahwa, alasan Yesus menegur Marta oleh karena Ia tidak mengharapkan bermacam-macam hidangan. Cukuplah bila Marta menyediakan satu jenis makanan saja. Seandainya Marta bersikap demikian, maka sama seperti Maria, ia pun akan punya cukup waktu untuk mendengarkan sabda Tuhan dan punya relasi khusus dengan Allah. Ada pula yang berpendapat, jika saja Marta melayani dengan gembira dan tidak merasa diri paling sibuk melayani, maka tidak akan terjadi teguran Yesus terhadapnya dan pembenaran terhadap sikap Maria. Semua penting, baik yang melayani kebutuhan jasmani maupun rohani, yang penting dilakukan dengan gembira dan tidak menganggap diri paling utama lalu merendahkan orang lain. 

Marta pasti tidak mengharapkan jawaban Yesus seperti itu. Bisa jadi ia juga tambah jengkel karena justru Yesus memuji Maria. Lukas sering berbicara tentang kekhawatiran yang tidak boleh dibiarkan berkembang dalam hati para murid Yesus. Orang bisa “terhimpit oleh kecemasan”, sehingga sabda Tuhan tidak menghasilkan buah. Pendengar sabda Yesus tidak boleh khawatir tentang makanan dan pakaian (Lukas 12:25, dst). Sebab, bila khawatir, mereka akan terperangkap dalam pola hidup manusia pada umumnya. Jadi, Yesus tidak mengkritik pelayanan yang diusahakan oleh Marta, melainkan pola pikirnya dan kerepotannya sehubungan dengan “banyak hal” di mana itu semua mencerminkan kekhawatirannya sendiri. Marta tenggelam ke dalam urusan domestik: makanan dan minuman untuk tamu-tamunya. Itulah yang memenuhi hatinya dan itulah satu-satunya yang dia anggap penting. Begitulah cara Marta melayani Yesus! Dan pikirnya, dengan cara itu paling tepat melayani Yesus. Marta tidak menyadari bahwa ada waktu untuk “bekerja” bagi Yesus, tetapi juga ada waktu menghadirkan diri dengan duduk tenang dan mendengarkan-Nya.

Sikap yang ditunjukkan Marta alih-alih keramahtamahan justru sebaliknya. Ia merusaknya, oleh karena merasa paling sibuk melayani. Meminjam budaya omotenashi, keramahan itu bukan saja tercermin dalam hidangan cukup dan enak. Tetapi juga dari kehangatan sambutan, perhatian pada detail, dan “kehadiran” tuan rumah. Walaupun di awal, Martalah yang menyambut Yesus terlebih dahulu, namun ia memilih “tidak hadir”. Sebaliknya, Maria memanfaatkannya sebagai momen yang “langka”. Lagi meminjam budaya keramahan Jepang, seolah Maria mengatakan, “Ichi-go ichi-e, Saya sangat bersyukur dapat bertemu dengan Anda. Karena itu izinkan saya melakukan hal terbaik saat ini, kalau-kalau kita tidak dapat bertemu kembali!” 

Maria telah melakukan hal terbaik, dan untuk itu Yesus mengapresiasinya, “Maria telah memilih bagian yang terbaik, yang tidak akan diambil dari padanya” (Lukas 10:42). Hal terbaik itu telah dilupakan oleh Marta karena ia menyibukkan diri dengan berbagai hal. Hal terbaik yang dipilih oleh Maria adalah duduk di dekat kaki Yesus dan mendengarkan setiap ajaran-Nya. Pada saat itu, bukan mereka yang harus melayani Yesus. Yesuslah yang datang untuk melayani mereka. Kini yang mereka butuhkan adalahmenyambut Yesus dan mendengarkan Dia. Baru sesudah itu, dengan ajaran dan firman yang telah mereka dengar, mereka akan melakukannya: melayani orang lain sebagaimana Yesus melayani mereka.

Keramahtamahan merupakan kata yang enak didengar tetapi tidak mudah melakukannya. Dalam bacaan Injil hari ini, keramahtamahan itu sangat erat kaitannya dengan pilihan. Pilihan untuk menyibukkan diri dengan berbagai hal atau duduk diam mendengarkan? Pilihan untuk menganggap diri paling penting, paling hebat, paling responsiatau mengutamakan orang lain? Bisa saja kita terjebak merasa diri telah melakukan pelayanan dan ramah. Namun, ketika meletakkan keramahtamahan sebagai tujuan, kita akan merasa diri paling ramah dan paling bisa melayani. Di sinilah kita gagal mengartikan tentang keramahtamahan sebagai nilai! Keramahtamahan bukanlah tujuan, melainkan buah,dampak, atau nilaiyang tertanam dalam hati.Hati yang dipenuhi oleh kegembiraan dalam menyambut Tuhan atau orang lain. Dengan hati yang seperti ini, akan menghasilkan tindakan yang ramah itu. Dengan hati seperti ini maka jelaslah fokusnya bukan pada diri sendiri, melainkan pada pihak atau orang lain. Dampaknya, tidak akan pernah merasa diri paling aktif, paling berguna, paling hebat dan paling bisa melayani. Namun, bersedia mendengar dan melakukan apa yang perlu dilakukan.

Sudah saatnya gereja harus berbenah diri menghadirkan keramahan. Tidak menyibukkan diri dengan hal-hal yang pada akhirnya bukan prioritas atau tidak berguna. Mencari nama, mementingkan diri sendiri dan menilai negatif orang lain yang berbeda dalam bentuk pelayanan adalah contoh-contoh ketidak ramahan dan itulahyang dikecam Yesus. Berusahalah agar jangan kita pun dikecam oleh Yesus!

Jakarta, 18 Juli 2019