Kamis, 27 Juni 2019

MELEPASKAN KENYAMANAN DEMI KETAATAN

George McClellan adalah seorang Jenderal Amerika pada masa Perang Sipil. Ia memenuhi semua kriteria sebagai seorang jenderal: lulusan West Point, seorang pembelajar sejarah, keturunan bangsawan, terbukti dalam medan perang dan disukai oleh anak buahnya. Namun sayang, McClellan dikenal sebagai jenderal yang paling buruk bahkan di antara para pemimpin yang tidak berkompeten sekalipun!

Mengapa? Sibuk dengan dirinya sendiri! Ia hanya memikirkan dirinya sendiri dan tidak bisa keluar dari pemikirannya sendiri. McClellan sangat jatuh cinta pada visinya sebagai pemimpin dari pasukan besar. Dia dapat mempersiapkan pasukan untuk berperang layaknya profesional, akan tetapi ketika harus memimpin seseorang ke dalam peperangan, ketika harus mempraktikan kepemimpinannya, masalah segera muncul.

McClellan secara konyol yakinbahwa para musuh menjadi semakin hebat – padahal kenyataannya tidak seperti itu. Bahkan, defaktodirinya memiliki kekuatan tiga kali lipat dibandingkan musuh. Dia meyakini adanya bahaya yang terus berdatangan dan tipu muslihat musuh oleh teman politiknya – sebenarnya hal itu tidak terjadi. Dia meyakini bahwa jalan satu-satunya untuk memenangkan perang adalah dengan sebuah rencana sempurna dan kampanye yang tegas. Dia sangat meyakini akan semua ini sampai ia membeku dan tidak melakukan apa-apa, selama berbulan-bulan saat itu.

McClellan adalah seorang jendral yang punya potensi besar, namun gagal dalam misi perang yang justru di medan itulah seharusnya kompetensinya dipertaruhkan. Ia gagal karena terus-menerus memikirkan tentang dirinya sendiri. Ia tidak mau melepaskan kenyamanannya sebagai seorang jenderal! Egoismenya sangat besar dan dengan demikian merenggut kemampuannya dalam memimpin. Egonya merenggut kemampuan berpikirnya bahwa ia harus bertindak, bukan hanya memikirkan dirinya sendiri.Bukankah hari ini ada banyak orang seperti McClellan, yang hidup hanya memikirkan diri dan kepentingannya sendiri?

Hari ini, kita akan belajar untuk berani melepaskan kenyamanan dari kisah Yesus yang menuju ke Yerusalem. Sang Guru bersama paramurid-Nya berjalan dari Galilea menuju Yerusalem. Sekarang, pusat ritual Yahudi itu menjadi pusat arah perjalanan-Nya. Perjalanan ini bukan untuk ziarah apalagi tamasya. Melainkan, untuk menderita dan mati. Yesus sadar bahwa Ia harus menanggung penderitaan sebagaimana telah dua kali Ia menyatakannya. Perjalanan ini merupakan perjalanan keluar menembus zona nyaman. Perjalanan ini juga merupakan kesempatan khusus bagi Yesus untuk mengajar para murid-Nyatentang melepas kenyamanan, dan komitmen total berjalan dalam ketaatan.

Yesus mengarahkan pandangan-Nya untuk pergi ke Yerusalem. Eksodus Yesus yang dibicarakan dengan Musa dan Elia sekarang dimulai. Kemuliaan di atas gunung itu harus ditinggalkan demi mewujudkan kemuliaan yang sebenarnya. Kini, Yesus mengirim beberapa utusan untuk mendahului-Nya. Segeralah, para utusan itu menghadapi sebuah rintangan. Mereka harus melewatisebuah desaorang Samaria. Orang-orang Samaria itu menolak Yesus. Mereka beralasan karena Yesus hendak berjalan menuju Yerusalem. Bisa saja orang Samaria itu tidak mengakui Bait Suci di Yerusalematau takut dengan kuasa Yesus yang baru saja mengorbankan kawanan babi terjun ke dalam danau. Namun, yang jelas mereka menolak Yesus melewati wilayah mereka!

Penolakan! Akrab dalam kehidupan Yesus. Kita mengingat, ketika Yesus memulai karya-Nya di Galilea, Ia ditolak oleh orang-orang sekota-Nya, sehingga Ia harus pergi ke kota-kota lain di Galilea. Mungkin hal ini yang nantinya Yesus akan mengatakan bahwa,“Serigala mempunyai liang dan burung mempunyai sarang, tetapi Anak Manusia tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepala-Nya.”(Lukas 9:58). Sekarang, perjalanan Yesus ke Yerusalem pun ditandai dengan penolakan orang-orang Samaria. Penolakan kali ini menimbulkan reaksi dua murid, Yakobus dan Yohanes. Mereka mengusulkan sebuah jalan instan; yakni menyuruh api turun dari langit untuk membinasakan orang-orang Samaria itu. Setelah menyaksikan kekuatan dasyat Yesus yang dapat menenangkan badai dan mengusir Legion, tampaknya kini percaya diri para murid meningkat luar biasa. Sebelumnya juga mereka mengambil jalan pintas menghadapi ketidak-nyamanan. Mereka melarang seorang yang bukan kelompok Yesus mengusir setan demi nama Yesus. Para murid ingin menggunakan kuasa yang ada pada mereka untuk kenyamanan sendiri.

Namun, jalan keluar yang mereka tawarkan tidak diterima oleh Yesus. Yesus berpaling kepada mereka dan menegur mereka. Dulu, Yesus tidak menggunakan kuasa-Nya untuk mencelakakan orang-orang sekota-Nya yang menolak Dia. Sekarang, Ia pun tidak akan menggunakan kuasa untuk mencelakakan orang-orang Samaria itu. Mereka yang sekarang tidak mau menerima-Nya, suatu saat kelak akan menyambut kabar sukacita tentang Yesus (Kisah Para Rasul 8).

Yesus tidak pernah memaksa orang-orang untuk menerima dan menyambut-Nya. Penolakan itu jelas menghentikan perjalanan Yesus. Namun, Yesus dan murid-murid-Nya pergi melewati desa lain. Dalam perjalanan itu, tak hentinya Yesus mengajar para murid-Nya. Di sinilah Yesus mengajar tentang dasar-dasar pemuridan, yakni: komitmen danketaatan.

Pengajaran dibuka dengan sebuah pernyataan dari seseorang di tengah perjalanan itu yang menyatakan keinginannya untuk mengikut Yesus ke mana pun Ia pergi. Pernyataan itu ditanggapi-Nya dengan menyatakan bahwa serigala mempunyai liang dan burung mempunyai sarang, tetapi Anak Manusia tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepala-Nya. Tegas Yesus menyatakan bahwa Ia tidak menjanjikan kenyamanan, bahkan menuntut kesediaan untuk menyangkal diri dan memikul salib serta terus-menerus mengikuti-Nya. Setiap orang yang mau mengikut Yesus harus menyadari bahwa ia akan menjadi seorang asing di tengah dunianya, ditolak oleh orang-orang di sekitarnya sebagaimana dialami sendiri oleh Yesus. Mengikut Yesus membutuhkan komitmen yang kokoh: tidak takut kesulitan, tidak takut berhadapan dengan penolakan dan ketidak-nyamanan hidup.

Ada orang yang menyatakan ingin mengikuti-Nya, namun Yesus tidak menerima begitu saja. Kini, Yesus sendiri yang memanggil orang lain, “Ikutlah Aku!”Namun, orang itu meminta izin untuk pergi lebih dahulu menguburkan ayahnya. Tentu saja ini alasan yang bisa diterima. Tetapi Yesus menggunakan kondisi ini untuk mengajar tentang tuntutan atau komitmen seorang murid. Siapa pun yang dipanggil-Nya harus melepaskan segala sesuatu dan mengikuti Dia; bahkan orang-orang dalam keluarga pun harus ditinggalkan. Jangankan bapak yang sudah mati, bapak yang masih hidup pun harus ditinggalkan demi Yesus. Selanjutnya Yesus akan mengajar, “Jikalau seseorang datang kepada-Ku dan tidak membenci bapaknya, ibunya, istrinya, anak-anaknya, saudara-saudaranya laki-laki atau perempuan, bahkan nyawanya sendiri, ia tidak dapat menjadi murid-Ku.”(Lukas 14:26). Apa yang dituntut oleh Yesus adalah penyerahan diri secara total dan komitmen untuk mengikuti-Nya.

Mungkinkah orang mati menguburkan orang mati? Tidak mungkin! Itu kalau kita memahami secara harfiah. Jawaban Yesus ini harus dipahami sebagai sebuah jawaban retorika yang mengandung arti bahwa mengikut Yesus harus mendapat prioritas lebih dibandingkan dengan mengurusi macam-macam hal, termasuk juga mengurusi anggota keluarga yang meninggal. Dengan kata lain Yesus meminta kepada orang itu untuk tidak terlalu digelisahkan dengan hal-hal yang tidak pokok.

Ada seorang lagi yang menyatakan ingin mengikuti-Nya. Namun, orang itu minta izin untuk pamit terlebih dahulu kepada keluarganya. Cerita tentang pamitan ini mengingatkan Elisa (1 Raja-raja 19:19-21). Yesus tidak mau disamakan dengan Nabi Elia. Ia tidak dapat memberi izin untuk pamitan dahulu, sebab bersamaan dengan karya-Nya, Kerajaan Allah sudah diambang pintu. Jawaban Yesus pun tegas, “Setiap orang yang siap untuk membajak tetapi menoleh ke belakang tidak layak untuk Kerajaan Allah.”Mengikut Yesus searti dengan memutuskan hubungan dengan masa lampau!Yang harus diputuskan tidak sekedar ikatan-ikatan dengan keluarga.  Menoleh ke belakangsearti dengan ingin mempertahankan warisan nilai-nilai dan pengalaman masa lampau. Bajak yang disebutkan di sini bukan bajak modern. Bajak itu ringan dan dipegang satu tangan saja. Tangan yang lain dipakai untuk mengendalikan sapi yang menarik bajak. Pembajak harus kuat dan tanpa hentinya memperhatikan lurusnya alur. Bila ia menoleh ke belakang, alur-alurnya akan tidak karuan.

Yesus tidak pernah menjanjikan kemudahan dalam mengikuti-Nya. Ia meminta kepada setiap orang untuk berpikir ulang untuk menjadi pengikut-Nya. Setiap orang yang masih berpikir – seperti Jenderal McClellan – tentang dirinya sendiri; popularitas dan kenyamanannya maka tidak mungkin menjadi pengikut Yesus yang setia. Sebab, yang diminta oleh Yesus justru menanggalkan egoisme dan egosentrisme. Kekuasaan, kemudahan, keluarga, kerabat dan karier adalah bentuk-bentuk kenyamanan yang berpotensi menghalangi kita mengikut Yesus dengan totalitas ketaatan.

Pada sisi lain, haruslah kita mengingat bahwa orang-orang yang dengan totalitas mengikut Yesus bukan berarti mereka benar-benar memusuhi dan meninggalkan keluarga dan kerabat mereka. Justru ketika mereka mengikut Yesus, hidup mereka diubahkan: mereka dapat mengasihi musuh sekalipun– apalagi kerabat dan anggota keluarga!

Jakarta, 27 Juni 2019

Sabtu, 22 Juni 2019

MENJANGKAU YANG TAK TERJANGKAU

Pada umumnya manusia, termasuk kita, tidak mau mengambil risiko. Kita hanya mau bertindak dan mengerjakan sesuatu sejauh yang ada dalam jangkauan kita. Tolok ukurnya adalah pengetahuan dan kepandaian kita. Sama seperti kebanyakan manusia modern, kita cenderung menggunakan terlalu banyak belahan otak kiri kita, yang berfungsi pada aspek logis, rasional, dan berpikir analitis. Sejauh menurut logika dan analisa sebuah tindakan itu menguntungkan, maka kita kerjakan. Sebaliknya, ketika analisa itu menyimpulkan banyak kendala, risiko, bahkan kerugian, maka sebaiknya tidak usah dilakukan. Logis!

Namun, apa yang logis ini berpotensi menjadi penghalang untuk kita mengembangkan sisi baik dari kemanusiaan kita. Misalnya, tindakan memberi, berbelas kasih atau belarasa jelas-jelas secara analisis merugikan. Ya, kita memberi, itu artinya kita mengeluarkan apa yang ada pada kita. Uang atau harta benda kita berkurang. Memang bisa saja pemberian itu dapat menguntungkan diri sendiri, yakni ketika perbuatan baik itu dirancang menjadi sarana publisitas politis popularitas dan investasi menanamkan budi baik. Namun bukan ini yang dimaksud. Pemberian tulus, tanpa pamrih untuk memberdayakan orang lain, jelas-jelas akan mengurangi apa yang ada pada kita. Apakah kita bertindak hanya memakai sebelah perintah otak saja?

Padahal, menurut kajian neuroscience, manusia bukan hanya dilengkapi dengan belahan otak kiri. Masih ada otak kanan. Ini terkait dengan menolong manusia untuk melihat keadaan secara keseluruhan, ungkapan emosi, kreativitas, kesadaran non verbal, persepsi visual dan spasial, dan itu adalah sisi syaraf empati. Ada cukup banyak penelitian menunjukkan bahwa kemauan untuk merasakan apa yang dirasakan orang lain sudah tertanam dengan apa yang disebut “mirror neurons”,yang menghubungkan otak kita layaknya WI-Fi dengan orang yang sedang kita amati (www.livescience.com/220-scientiest-read-minds.html). Gambar dari hasil FMRI (Functional Magnetic Resonance Imaging) menunjukkan bahwa daerah otak yang melibatkan baik sensasi emosi dan fisik menyala pada seseorang yang mengamati atau menyadari rasa sakit atau penderitaan orang lain. Sebenarnya, kita merasakan penderitaan atau emosi orang lain. Penelitian yang sama menunjukkan bahwa kemurahan hati dan perilaku altruistic memicu pusat kesenangan otak yang biasanya berhubungan dengan makanan atau seks (www.psyichologytoday.com/basics/altruism).

Contohmirror neurons: Ketika Anda jalan-jalan, kemudian ada seseorang berjalan menuju Anda, kemungkinan Anda dan orang yang sedang menuju Anda itu akan bergerak ke arah yang sama, walaupun Anda berdua berusaha untuk tidak saling menghalangi. Ini dikarenakan mirror neuronsmerasakan niat orang lain dan Anda “merefleksikan” tindakan-tindakan orang lain itu, sampai otak kognitif Anda merencanakan arah berlawanan, dan Anda pun memberikan jalan. Mirror neuronsini memungkinkan kita untuk berempati dan menunjukkan bahwa, di tingkat yang lebih besar atau kecil, kita masing-masing didesain untuk bermpati.

Lalu, apakah salah kalau kita menggunakan “otak kiri” dengan segala fungsi nalar analisisnya. Tentu saja tidak! Namun, pastilah tidak lengkap karena Tuhan juga menciptakan bagian sisi otak kita untuk mengembangkan sisi kepedulian, atau tepatnya empat terhadap orang lain. Analisis nalar dan kepedulian idealnya saling melengkapi: yang satu menolong mengkaji pemahaman, bagaimana menganalisis masalah, dan merancangkan tindakan-tindakan nyata. Yang lainnya, membuka wawasan kepedulian dan sekat-sekat yang membentengi nilai-nilai kemanusiaan.

Yesus, dalam pelayanan-Nya tidak hanya memakai analisis logika analisis nalar – bukan tidak perlu – namun Ia tidak menjadikannya sebagai penghalang untuk peduli dan menyatakan cinta kasih Allah kepada siapa pun. Yesus memakai analisis nalar untuk memahami hukum-hukum Allah. Ia membuka cakrawala baru: hukum-hukum itu harus menolong manusia menemukan kemanusiaannya yang sejati. Tidak boleh menghambat pada akses cinta kasih Allah. Itulah sebabnya, dalam Injil kita banyak menemukan kisah-kisah penyembuhan yang dilakukan Yesus tidak dibatasi oleh hukum, tradisi bahkan area wilayah pelayanan-Nya.

Injil yang kita baca hari ini (Lukas 8:26-39) mengisahkan pemulihan yang dilakukan Yesus berada di Gerasa (wilayah orang-orang Gerasa). Gerasa adalah daerah yang terletak sekitar 33 mil sebelah timur Galilea. Penduduknya mempunyai keturunan campuran yang lebih banyak unsur bangsa asing. Gerasa terletak di pegunungan Gilead. Kota ini didirikanoleh Aleksander Agung dan pada waktu itu menjadi sebuah kota Romawi. Masih bisa dijumpai gerbang kota, lapangan (forum), tempat pascuan kuda, teater, dan kuil para dewa. Inilah satu-satunya kisah dalam Injil Lukas di mana Yesus berkarya di sebuah tempat orang asing. Kisah ini sering dianggap sebagai prefigurasi pelayanan misi terhadap orang-orang non Yahudi. Benar, Yesus pernah berbuat sesuatu bagi seorang non-Yahudi (Lukas 7:1-10), tetapi hal itu terjadi masih di dalam wilayah orang-orang Yahudi dan dilakukan untuk seorang yang takut akan Allah. Kini, peristiwanya terjadi di luar wilayah Yahudi, di antara orang-orang non-Yahudi, dan terhadap orang yang tidak menyatakan imannya.

Yesus memasuki daerah kecil yang terletak di atas sebuah bukit yang menghadap ke laut itu. Pekuburan dan batu-batu penutup makam berdiri teguh di atasnya. Suasana damai ini terusik oleh omelan orang tanpa pakaian, yang disebutkan kerasukan setan. Tampaknya, setan-setan itu mengenali Yesus, “Anak Allah, Yang Mahatinggi.”Mereka memohon agar Yesus tidak menyiksa mereka dan mengizinkan mereka pindah ke babi-babi yang sedang digembalakan. Yesus mengabulkan permintaan mereka. Babi-babi itu terjun dari tepi jurang ke dalam danau dan mati.

Berapa harga yang harus dibayar untuk menolong seorang anak manusia? Tak ternilai! Hitung-hitungan bisnis, berapa harga kawanan babi yang mati itu? Bisa saja nalar analisis orang-orang Gerasa mengatakan, “Untuk apa menolong manusia yang tidak berguna, gila dan tinggal di kuburan ini, dengan mengorbankan babi-babi itu? Bukankah lebih baik dia yang binasa saja, agar penduduk tentram dan babi-babi mereka aman?” Yesus, melampaui pikiran itu! Ia melihat penderitaan anak manusia itu dan Dia harus menolongnya. Ia menjangkau apa yang tidak dijangkau oleh nalar manusia.

Apa yang terjadi kemudian? Orang yang kerasukan setan itu sembuh dan orang-orang Gerasa menjadi takut. Mereka meminta supaya Yesus meninggalkan daerah mereka. Penggunaan kekuatan dan kuasa oleh Yesus ternyata tidak saja mengagumkan, tetapi juga menakutkan. Para murid sebelumnya mengalami ketakutan pada peristiwa badai yang kemudian diredakan. Kini, orang-orang Gerasa juga mengalaminya. Di sinilah Yesus mempunyai kuasa juga atas kekuatan yang begitu besar yang melawan Allah.

Setan-setan itu menghadapi Yesus sebagai Anak Allah Yang Mahatinggi. Mereka menempatkan diri berhadapan dengan kuasa Allah yang mereka lawan. Oleh karena itu, mereka juga merumuskan pernyataan kepada Yesus dalam sebuah pernyataan oposisi: “Apa urusan-Mu dengan aku….?”Urusan Yesus dengan mereka jelas: Pewartaan akan Kerajaan Allah memuat di dalamnya tindakan konkrit untuk mengalahkan kuasa-kuasa yang melawan dan merintangi Kerajaan Allag tersebut.

Orang yang telah mengalami pemulihan itu ingin mengikuti Yesus. Namun, Yesus tidak mengizinkannya. Kepadanya, Yesus memberikan tugas, “Pulanglah ke rumahmu dan ceritakanlah segala sesuatu yang telah diperbuat Allah atasmu!”Orang itu taat kepada perintah Yesus. Ia mengelilingi seluruh kota dan memberitakan segala apa yang diperbuat Yesus terhadap dirinya.

Sekarang, apakah logika nalar dan hati kita menolong untuk membebaskan kita bertindak menyebarkan cinta kasih Tuhan yang tanpa batas itu? Dan, apakah hukum-hukum agama, ritual, liturgi dan segenap kehidupan agama itu mampu meneruskan urusan Yesus di muka bumi ini? Ataukah kita lebih banyak mengatakan, “Apa urusan semua ini dengan aku?”. Ketika kita lebih banyak menggunakan kalimat terakhir ini, kita tidak mau diganggu dan diusik, bukankah kalimat ini senada dengan apa yang diucapkan setan itu? 

Setiap orang yang menghambat Kerajaan Allah, ia menempatkan diri sebagai lawan Allah. Dan setiap orang yang meneruskan karya Allah dalam Kristus yang melampaui batas itu, maka ia merupakan bagian dari Kerajaan Allah.


Jakarta, 22 Juni 2019